Bab 5
Kalau Mbak Niken nanti akan ngadu ke Mas Andra, terserahlah. Aku nggak peduli. Sebenarnya males ngeladeni Mbak Niken. Tapi, sungguh hati ini kesal dan tak terima, dengan ucapan Mbak Niken tadi.
Padahal cuma gara-gara beli sofa, dia seolah kebakaran jenggot. Panas hati itu lebih mengerikan. Di banding panas badan.
Tapi, aku memang ingat betul, dulu awal aku beli TV, dia tak berselang lama juga ikut beli. Bahkan dia beli yang ukuran jauh lebih besar dari yang aku punya.
"Nanggung beli TV yang kecil, sama-sama ngeluarin duit, sekalian lah yang besar!" ucap Mbak Niken kalau itu.
Aku hanya bisa mengulas senyum dan manggut-manggut saja. Tak begitu menanggapi. Karena bagiku, penting punya TV. Kasihan Dika, sering main ke rumah tetangga, karena hanya demi nonton film kartun kesayangannya.
Waktu aku beli kulkas ukuran kecil, juga sama. Dia ngambil kulkas juga yang ukuran jumbo. Dua pintu. Dengan bangga dia bercerita.
"Halah ... Ka ... nanggung beli kulkas yang kecil. Sekalian yang gede puas. Kalau kulkas kecil gitu, nggak puas juga ngisinya," seperti itulah ucapan Mbak Niken kala itu.
Aku juga sama. Masih diam, nggak begitu menanggapi. Tapi kali ini, aku beneran emosi tentang sofa ini.
Ya Allah, maafkan hamba, jika hari ini harus adu mulut dengan Mbak Niken. Tapi mau gimana lagi, emosi di hati sudah tak bisa terkontrol lagi.
Nanti kalau Mas Firman sudah pulang kerja, biar aku jelaskan terlebih dahulu. Takutnya Mas Andra dan bininya ke sini, Mas Firman bingung karena nggak tahu apa-apa. Nggak tahu masalahnya.
Semoga saja Mas Firman nggak marah. Bisa ngerti gimana sakitnya hati ini, makanya aku berani menjawab. Karena di diam-diamkan, Mbak Niken jadi semena-mena.
"Ma, minta duit!" ucap Dika. Aku menoleh ke arah Dika.
"Beli bakso bakar, Ma. Dua ribu aja!" jelas Dika. Aku mengangguk sejenak. Kemudian membuka laci. Mengambil uang dua ribu yang Dika minta.
"Makasih, Ma!" teriak Dika, saat menerima uang dua ribu yang aku kasih. Aku mengangguk sambil mengulas senyum.
Dika terlihat berlalu. Aku mengikutinya dan duduk di teras. Ya, memang ada penjual bakso bakar yang lewat. Zaki juga ikut beli.
"Kamu beli berapa?" tanya Zaki.
"Dua ribu," balas Dika.
"Mamamu pelit! Aku looo beli lima ribu!" sahut Zaki.
"Nggak! Mamaku nggak pelit. Memang aku minta duitnya dua ribu!" balas Dika.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala saja, melihat percakapan mereka.
"Ini bakso bakarnya!" ucap penjualnya. Dika dan Zaki saling menerima. Kemudian memberikan uangnya masing-masing.
Setelah menerima bakso bakarnya, Dika dan Zaki berlalu ke rumah masing-masing. Aku lihat Mbak Niken duduk santai di teras. Dia nampaknya baru selesai mandi.
"Ma, Dika beli bakso bakarnya cuma dua ribu," Zaki mengadu kepada mamanya. Ya Allah, Zaki ini masih kecil, tapi terkadang ngeselin ucapannya.
"Iya, duit mamanya udah habis untuk beli sofa. Kaya karena pelit. Untuk jajan anak aja pelit!" jawab Mbak Niken. Entahlah, terdengar ngeselin di telinga. Tapi, lagi nggak mood nanggapinya.
Allahu Akbar. Itu mulut saat lahir dulu, di brokohi nggak sih? Kok ada manusia kayak gitu. Hidup dan punya anak lagi.
"Zaki udah nggak mau sofa lagi, Ma. Ntar duit Mama habis. Zaki nggak mau jajan cuma dua ribu," balas Zaki.
"Iya, nggak usah beli sofa. Bikin sempit ruangan juga!" balas Mbak Niken. Entahlah tujuan dia apa? Nyindir? Bukan nyindir lagi, sih, tapi memang terang-terangan.
"Mama mau nggak bakso bakarnya?" tanya Dika. Aku menggeleng.
"Nggak, Sayang! Mama nggak pengen," jawabku. Dika terlihat manggut-manggut.
"Haduh ... kaya karena pelit!" teriak Mbak Niken. Nggak tahu apa maksudnya. Karena setelah ngomong seperti itu dia beranjak dan masuk ke dalam rumahnya.
"Bude Niken itu kenapa Ma? Teriak sama siapa?" tanya Dika. Mungkin dia bingung.
"Nggak tahu, mungkin lagi telponan!" jawabku asal. Dika terlihat memperlihatkan giginya. Kemudian menghabiskan bakso bakarnya.
"Sudah selesai makan bakso bakar, mandi, ya!" titahku.
"Siap, Ma!" balas Dika. Kemudian aku mengelus kepala anak lanang.
Ya Allah, terimakasih, telah Engkau hadirkan Dika dalam hidup hamba. Semoga kelak akan menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi, agama, nusa dan bangsa.
Aamiin.
**********
Aku dan Dika sudah selesai mandi. Sambil menunggu Mas Firman pulang, aku dan Dika bersantai duduk di sofa.
Makan malam juga sudah aku siapkan. Jadi santai sudah.
"Ma, belikan mainan baru!" pinta Dika. Sambil bibir mengerucut. Seperti itulah gaya Dika jika ingin meminta sesuatu.
"Tunggu ayah ganjian, ya!" jawabku. Dika mengangguk.
"Ok, Ma!" balas Dika.
Ya, Dika memang seperti itu. Dia kalau minta sesuatu, masih bisa di janjiin. Nggak langsung harus saat ini juga.
"Kok, ada mobil, ya, Ma?" tanya Dika. Aku menoleh ke arah halaman rumah. Ternyata benar. Ada mobil pikc up terparkir di halaman rumah.
Aku dan Dika keluar. Penasaran dengan mobil pick up itu.
Tak berselang lama, Mas Firman datang mengendarai motor.
"Beli springbed, Mas?" tanyaku. Mas Firman mengangguk.
"Iya, sudah waktunya Dika kamar sendiri," jawab Mas Firman. Aku mengangguk. Entahlah, tetiba mata ini melirik ke arah rumah Mbak Niken.
Mata ini melihat Mbak Niken berdiri di teras rumahnya. Celingukan memperhatikan mobil pick up yang bertengker di halaman rumah. Yang mana terlihat ada springbed baru, masih terbungkus plastik. Kemudian aku lihat Zaki berlalu mendekat.
"Dika, beranikan tidur di kamar sendiri?" tanya Mas Firman kepada anak lanangnya.
"Berani dong, Yah! Jagoan!" jawab Dika.
"Siipppp ... jagoan memang harus berani!" balas Mas Firman.
"Beli springbed baru?" tanya Zaki kepada Dika.
"Iya, Dong! Kata Ayah aku harus tidur di kamar sendiri!" jawab Dika.
"Kamu nggak takut?" tanya Zaki.
"Nggak dong! Kata Ayah, jagoan nggak boleh takut!" jawab Dika.
"Buatkan teh manis nggak, Mas?" tanyaku.
"Buatkan untuk Mas saja. Yang nuruni springbed sudah Mas belikan rokok," jawan Mas Firman. Aku mengangguk.
Aku lihat Zaki berlalu. Mbak Niken masih di tempat semula. Berkali-kali aku lihat bibirnya mencebik. Bodo amatlah dengan Mbak Niken.
"Ma, Zaki ingin tidur di kamar sendiri. Belikan springbed kayak Dika!" teriak Zaki.
Hemmm, Zaki ini lama-lama mirip mamanya. Apapun yang Dika punya dia juga harus punya. Bahkan harus yang lebih bagus juga.
*******
"Mas, beli sofa baru, Mas udah gajian?" tanyaku. Mas Firman menggeleng.
"Belum, Dek. Arisan kantor hari ini nama Mas yang keluar. Akhirnya beli springbed saja. Untuk Dika. Sudah waktunya dia belajar tidur sendiri," balas Mas Firman. Aku mengulas senyum. Kemudian manggut-manggut.
"Man," terdengar suara memanggil. Suara yang sangat khas. Suara Mas Andra. Tapi nada suara itu terdengar seolah lagi marah.
Mampus! Mau apa dia ke sini? Aduh ... mana aku belum cerita lagi, sama Mas Firman tentang adu mulutku dengan Mbak Niken tadi. Karena tadi di repotkan dengan springbed baru. Akhirnya membersihkan calon kamar Dika. Dan lupa mau cerita.
Ya Allah, semoga nggak akan ada adu mulut.
*******
BAB 6"Masuk, Mas!" Mas Firman mempersilahkan kakaknya masuk. Ya, aku melihat wajah Mas Andra memerah."Hemm," balas Mas Andra. Suaranya terdengar tak bersahabat. Seolah lagi kesal.Aku mengajak Dika masuk ke kamar barunya. Biar tak mendengarkan obrolan Ayah dan pakdenya. Nggak bagus untuk pertumbuhannya, kalau pakdenya kesini ngajak adu mulut. Tapi, semoga saja nggak ngajak adu mulut."Dika bobo, ya! Mama mau buatin kopi Pakde dulu!" ucapku pada Dika."Iya, Ma!" balas Dika."Nggak takutkan?" tanyaku memastikan. "Nggak dong, Ma!" balas Dika, dengan gaya jagoannya."Anak Mama memang pinter," ucapku, seraya mengelus kepala anak lanang.Senyumnya terlihat, kemudian aku kecup kening anak semata wayangku itu.Setelah itu, baru aku berlalu, segera menuju ke dapur. Membuatkan Mas Andra kopi dulu. Ntar di sangka pelit lagi. Bertamu tak ada air yang keluar. Mereka terdengar sedang ngobrol. Tapi, nggak jelas mereka ngobrol apa. Aku fokus membuatkan kopi dulu, untuk kakak ipar.Kalaupun mau ng
Bab 7"Mbak Niken, akhir-akhir ini, aku lihat kurusan, ya!" ucap Mak Sugiyem. Tetangga."Iya, Mbak Niken nampak kurusan," sahut Mak Gati. Penjual sayur keliling.Ya, kami sedang membeli sayuran siang ini. Beli sayuran siang, untuk di masak besok pagi. Seperti itulah, kami amankan dulu sayur mayurnya di kulkas. Jadi pagi tak mikiri lagi, mau masak apa. Tinggal eksekusi.Aku memilih diam. Males banget menanggapi ucapan tentang Mbak Niken. Lagian hati ini masih kesal tentang hal kemarin. Tapi, ikuti saja alurnya. Pura-pura akur. Hi hi hi hi."Aku ini sedot lemak. Diet! Biar nggak gemuk-gemuk banget!" ucap Mbak Niken dengan gaya kemayunya. Aku tetap memilih sayuran yang akan aku beli. Tapi, telinga tetal mendengarkan.What? Sedot lemak? Sejak kapan? Seriusan? Entahlah, tapi hati ini tetap nggak percaya dia sedot lemak."Owh, sedot lemak?! Sakit nggak?" tanya Mak Giyem. Dia memang suka banget nanggapi ucapan Mbak Niken. Suka juga nanggapi ucapanku. Entahlah apa maksudnya."Sakit, Mak! Tapi
Bab 8"Mbak Niken sedot lemak?" tanya Mas Firman, memastikan ucapanku. Karena aku baru saja selesai cerita, tentang pengakuan Mbak Niken tadi."Iya katanya, Mas," ucapku. Mas Firman terlihat mencebikan mulutnya. Raut wajahnya, seolah tak percaya. Sama, sih, aku sendiri juga tak percaya. Ha ha ha."Kalau bisa sedot lemak, berarti banyak duit," ucap Mas Firman. "Itulah, tapi nyatanya Mas Andra utang duit ke sini untuk beli motor," balasku.Mas Firman menyeruput kopinya. Aku sendiri, juga ikut menikmati teh manis. Dika aku lihat fokus dengan acara TV yang dia lihat."Biarlah, Dek! Kayak nggak ngerti lagunya Mbak Niken saja!" ucap Mas Firman, setelah meletakan gelas kopinya di atas meja."Iya, sih, Mas. Tapi kok segitunya banget, ingin diakui kaya!" ucapku. Mas Firman mengulas senyum."Biar saja! Yang penting kamu nggak," balas Mas Firman."Insyaallah, nggak Mas. Aku saja malu sendiri dengarnya!" ucapku. Mas Firman manggut-manggut. "Iya, Sayang! Buat pelajaran saja. Pelajaran hidup, buk
BAB 9Dua hari ini keadaan sepi. Mbak Niken yang biasanya banyak ngomong dan sering datang ke rumahku, kini dia tak menampakan diri.Zaki juga tak terlihat datang. Tapi, aku lihat mereka ada di rumah. Dan motor yang dibawa pick up itu, juga tak nampak kembali. Mas Firman juga sudah aku kasih tahu. Tapi, suami juga tak tahu kenapa motor itu di bawa pick up.Dua hari tak dengar suara mereka, alhamdulillah tenang. Tapi juga penasaran. Ada apa? Tumben! Berasa ada yang hilang. Hi hi hi."Dek, semoga hari ini gajian. Kamu mau di belikan apa?" tanya Mas Firman."Apa, ya?" tanyaku balik, dengan mengerutkan kening."Terserah kamu. Perabotan dapur misal," ucap Mas Firman. "Emmm, belikan Dika mainan baru. Sama blender, ya!" jawabku akhirnya."Sipp!" balas Mas Firman. Aku mengulas senyum. Ya, seperti itulah Mas Firman. Setiap gajian PT selalu menyisihkan beli sesuatu dulu. Biar perabotan rumah juga nambah. Jadi nggak habis untuk makan saja.Semoga akan selalu begini rumah tangga kami. Tenang d
Bab 10Dengan rasa penasaran, aku masuk ke rumah Mbak Niken. Dua hari tak jumpa. Tak mendengar celotehan ngeselinnya. Ada yang hilang rasanya, ha ha ha.Kata Mas Andra, dia sakit, bisa jadi sakit karena kesakitan gegara sedot lemak. Kalau nggak, mungkin demam karena shok, motornya di tarik leasing. Atau bisa saja perasaan sendiri, karena malu. Sudah kowar-kowar mau beli motor baru, malah motor lama melayang tarik leasing. Menyedihkan sekali Bude. "Duduk dulu!" perintah Mas Andra. Kami mengangguk. Kemudian duduk di atas karpet ruang tamunya. Mas Andra terlihat melangkah menuju kamarnya. Aku mengedarkan pandang. Walau bersebelahan, aku jarang masuk ke rumah Mbak Niken. Yang ada hampir tiap hari, Mbak Niken ke rumahku. Apalagi kalau ada barang baru. Hemmm, sehari bisa dua sampai tiga kali, datang ke rumah."Ka, kamu ikut antar ke rumah sakit, ya! Naik belakang. Mbakmu lemes," pinta Mas Andra."Iya, Mas!" balasku. Setelah Mas Firman mengangguk seraya menatapku."Yaudah. Bantu mbakmu ke
Bab 11Malam semakin dingin. Pulang dari rumah Mbak Niken, kami lansung berbaring di kamar. Dika sudah berada di kamarnya. Mas Firman aku lihat dia belum tidur. Matanya masih menatap langit-langit. "Mas.""Hemm.""Mikirin apa?""Mikirin Mas Andra," jawabnya, dengan sorot mata yang masih menatap langit-langit.Aku menggeserkan badan, mendekat. Mas Firman menyambutku, dia mengelus pelan kepalaku. "Nggak nyangka aku kalau Mbak Niken sakit," ucapku. Mas Firman mengangguk."Iya, Dek, sama!" balasnya. Aku menghela napas sejenak. "Semoga Mas Andra kuat," ucapku."Iya, aamiin. Kalau menurut, Mas, Mbak Niken itu memaksakan keadaan. Jadi seperti itulah jadinya," ucap Mas Firman."Entahlah, Mas. Aku juga nggak habis pikir," balasku."Iya, dan Mas Andra selalu menuruti keinginan istrinya. Bagus sih, tapi kalau nggak mikir keadaan dan kemampuannya, kan rusak sendiri," ucap Mas Firman. "Iya, Mas. Semoga saja setelah mendapat penyakit itu, Mbak Niken bisa intropeksi diri, dan bisa sedikit menge
Bab12Kopi untuk suami tercinta sudah tersedia. Mas Firman masih berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara guyuran air menyentuh lantai.Dika sudah aku panggil masuk. Karena sudah sore. Zaki sudah pulang juga. Masih ngantri dulu sama ayahnya. Karena Dika memang seperti itu. Kalau lagi susah di suruh mandi, maka payah juga nyuruh dia mandi.Tapi, kalau lagi senang mandi, tanpa di suruh, sebelum ayahnya pulang kerja, dia sudah bersih."Tuh, Ayah sudah selesai mandi. Sana buruan mandi!" titahku. Karena mata ini melihat Mas Firman, baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Ma!" balas Dika. Kemudian dia segera beranjak. Dan berlalu menuju ke kamar mandi."Bajunya sudah aku siapkan, Mas. Aku letakan diatas ranjang!" ucapku."Iya," balas Mas Firman seraya masuk ke dalam kamar. Aku sendiri juga belum mandi. Biarkan Dika dulu. Habis Dika barulah aku. Emak belakangan saja. Yang penting semuanya sudah beres semua.********"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Suara yang tak asing juga di
PART 13"Maaf, Mas, aku nggak sanggup jika harus mengambil alih masalah Mas Andra," ucapku, setelah Mertua pulang. Karena aku memang tahu betul, bagaimana perekonomian kami.Mas Firman terlihat mengangguk. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Iya, Dek. Mas juga merasa nggak sanggup," balas Mas Firman."Punya sangkutan sama Bank itu, hidup kita nggak akan tenang, Mas. Apalagi segitu banyak! Sebulan itu cepat, tahu-tahu udah jatuh tempo saja," ucapku yang mana dada ini masih terasa sesak. Tangan kanan berkali-kali menekan dada."Iya, dan kita selama ini nggak pernah berurusan sama Bank. Tapi, kasihan Bapak dan Ibu," jelas Mas Firman. Aku mengangguk pelan. Menyetujui ucapan yang bilang, kasihan dengan mertua."Aku juga kasihan sama Bapak dan Ibu. Tapi, kita bisa apa?" tanyaku balik. Mas Firman mengangguk."Iya, kita bisa apa? Dengan gaji Mas yang hanya segitu," balas Mas Firman. "Yaudahlah, kita istiahat dulu! Kita pikirkan lagi besok! Karena ini sudah waktunya tidur," pintaku. Mas Firman
Part 66POV ANDRAApa yang aku bilang, kedatangan Mertua semakin membuat hati ini sesak. Gimana nggak sesak? Dia itu sudah minjam dua juta, aku di suruh ganti katanya, tapi travel nggak mau bayar.Itu artinya, dia menyayangkan uang dua juta itu. Semua dia bebankan ke aku. Ya Allah ... mungkin Ibu terlalu di 'lulu' sama Niken dulu itu. Berapapun jumlah nominal yang ibunya mau, selalu Niken turuti, bagaimanapun caranya.Ingin pecah rasanya kepala ini. Emosi luar biasa. Ingin aku terkam perempuan paruh baya bergelar mertuaku itu.Dulu, saat aku masih berduit, tak seperti inilah, rasa kesalku padanya. Karena Niken sendiri juga selalu menutupi sifat yang kurang pas ibunya itu. Sehingga aku gampang juga di perdaya."Ibu bayar saja! Andra nggak ada uang!" ucapku. Ibu terlihat nyengir tak suka."Kok gitu, sih, Ndra? Ibu ini udah jauh-jauh datang ke sini! Cuma ongkos travel saja kamu masalahin? Kalau Ibu punya uang, Ibu nggak minta kamu bayari. Ibu ini memang punya uang, tapi kan uang pinjama
Part 65POV ANDRA"Bu, Bapak," sapaku, saat aku sampai rumah sakit. Mata ini telah melihat kedatangan Bapak dan Ibu. Eka dan Dika juga.Mereka sering mendapatkan perlakuan tak enak dari Niken. Tapi, mereka tetap saja perhatian. Sedangkan keluarga Niken? Seolah menganggap penyakit Niken hanya penyakit sepele. Dan segera sembuh dengan sekali berobat."Ndra," balas Bapak. Aku lihat Ibu diam. Seolah terpaksa datang ke sini. Mungkin Bapak atau Eka yang memaksa. Aku mengulas senyum. Kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. Aku merasakan ada yang berbeda dengan Ibu. Ibu seolah bersikap dingin denganku. Kutarik napas ini. Menghembuskannya perlahan. Menata hati yang terasa bergemuruh hebat.Ibu biasanya orang yang paling care denganku. Tapi semenjak kejadian Niken secara halus mengusir itu, kurasakan Ibu berbeda.Bapak pun juga berbeda. Tapi seolah masih ia tutupi. Eka pun sama. Tapi, seolah mereka masih menutupi. Mungkin tak enak hati denganku. "Ibu ke sini hanya untuk Zaki! Bukan u
PART 64POV ANDRAAku lihat kening Adista melipat, saat aku mengutarakan isi hati untuk meminjam uang. Apakah aku tidak malu? Sungguh aku malu luar biasa. Tapi di tempat yang baru seperti ini, aku mau minjam ke siapa? Hanya Adista dalam pikiranku. Dan menahan rasa malu.Wito? Ah, aku juga tahu kondisi dia. Mau minjam ke toke pasir pun aku tak berani. Karena belum lama kenal juga.Mau minjam Firman, aku juga tak berani. Karena uang dia dulu pernah aku pinjam, dan sampai sekarang belum aku kembalikan.Dulu aku memang punya uang, tapi setiap aku berpikir untuk mengembalikan, selalu didahului Niken untuk belanja baju dan lain sebagainya.Sungguh, entah kenapa aku dulu terlalu nurut dengan Niken. Selalu menuruti keinginannya walau diluar batas mampuku. Kini aku menyesal. Penyesalan memang selalu datang diakhir cerita. Kalau tahu akan seperti ini, tak akan aku mau menuruti, semua keinginan Niken kala itu.Aku lihat Adista masih terdiam. Kemudian merebahkan badannya di sandaran sofa. Entah
PART 63POV EKAKami segera berangkat ke tempat Mas Andra. Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mbak Niken memang menyebalkan. Tapi, kami masih punya hati nurani. Walau hati kesal luar biasa karena tingkah lakunya kala itu, tapi hati ini tak menaruh rasa dendam.Ibu akhirnya juga ikut menuju ke rumah Mas Andra. Karena aku yakin, mulut bisa berkata kasar dan tega, tapi isi hati berbeda. Tak ada orang tua yang tega kepada anaknya. Termasuk Ibu mertuaku."Ibu ke sana demi Andra dan Zaki dan Firman pun sudah terlanjur di sana. Juga karena paksaan kalian. Bukan karena Niken." ucap Ibu akhirnya. Walau nada suara itu terdengar berat dan terpaksa. Tapi, aku yakin Ibu memang ingin menemui anak dan menantunya.Pesan singkat yang dikirimkan Mas Firman, mengirimkan foto yang mana keadaan Mbak Niken semakin sekarat. Bahkan terlihat Mbak Niken dibawa ke rumah sakit sudah ditusuk infus. Mungkin Mas Firman yang memaksa membawa Mbak Niken ke rumah sakit. Ya Allah ... Engkau Maha Kaya. Aku yakin
PART 62POV EKAKeadaan Mbak Niken dan Mas Andra benar adanya. Yang dikatakan Mak Giyem tak bohong. Aku telah telponan dengan Mas Firman. Dan sudah mendengar dari Mas Firman bagaimana keadaan mereka sekarang.Dan sekarang, kata Mas Firman kondisi Mbak Niken semakin kritis. Dia pingsan lagi.Jujur saja, ini membuat hatiku tak tenang. Bagaimana mau tenang, mendengar ceritanya saja, hati ini terasa tersayat. Walau aku tahu, dulu Mbak Niken memang sangat menyebalkan.Walau Mbak Niken dulu menyebalkan, tapi tak ada dendam didalam sini. Karena sejatinya Mbak Niken sudah di balas oleh Allah. Mbak Niken sudah mendapatkan karmanya. Ya, tak perlu dibalas, tapi karma memang nyata adanya. Cepat atau lambat.Aku mondar mandir layaknya setrikaan. Karena aku bingung sendiri. Sumpah aku bingung. Mau ke rumah Mertua, aku malas jalan kaki. Karena motor dibawa Mas Firman.Astaga ... kenapa aku tak menelpon Ibu saja? Dalam keadaan bingung, rasanya memang tak bisa berpikir tenang. Tak bisa berpikir jerni
Part 61POV ANDRANiken sudah aku letakan didalam kamar. Kondisinya masih pingsan. Zaki menangis seolah ketakutan. Dalam kondisi seperti ini aku sangat amat kebingungan.Kuraih gawai. Kuutak atik dan sebenarnya tak tahu mau menelpon siapa. Karena pikiran terasa sangat amat kacau.Gawai terus aku scroll, sambil mikir pada siapa aku harus meminta tolong. Akhirnya mata ini tertuju pada nomor kontak Firman.Ya, reflek saja langsung menekan nomor Firman. Dan terhubung.Ya, dalam kondisi seperti ini, tetap lari ke saudara. Malu tak malu. Lebih tepatnya menahan malu.***********Akhirnya Firman bersedia untuk datang. Dan pagi ini, katanya dia sudah berangkat. Firman memang adik yang baik. Aku jadi menyesal dulu aku sering memperlakukan dia hal yang tak pantas antara kakak ke adik.Ya Allah ... karmaMu nyata adanya. Bahkan tak sampai ke anak cucu. Seolah langsung di balas tunai kepada diriku sendiri. Sungguh aku malu dengan perlakuanku dulu. Firman maafkan aku!Niken sudah sadar. Dia pingsan
Part 60POV ANDRA"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Aku malu sama Ibu dan Eka!" ucapku kesal dengan Niken.Mumpung Zaki nggak di rumah, ingin aku luapkan semua emosiku. Karena kali ini Niken benar-benar keterlaluan.Zaki keluar sama Adista. Entahlah, semenjak kenal Adista, Zaki lengket dengannya. Mungkin karena Adista sabar dan keibuan. Dan aku tahu, Adista memang suka dan sayang dengan anak kecil. Yang menurutnya, anak kecil itu sangat polos dan jujur."Kamu itu berubah sekarang, Mas. Udah keuangan berubah, sifat juga berubah!" balasnya. Cukup membuatku sangat terkejut.Emosiku semakin naik ke ubun-ubun. Karena ucapan Niken cukup memancing emosiku."Aku berubah? Aku memang selalu salah di matamu! Saat aku masih berjaya pun, aku tak pernah benar di matamu! Tapi, kamu sadar nggak? Kamu intropeksi dirimu nggak? Apakah kamu tak pernah melakukan kesalahan? Harusnya kamu mikir, kalau aku memang berubah, aku berubah karena apa? Kenapa suamimu yang dulu sangat nurut denganmu, sekarang bisa berubah
Part 59POV EKAAku masih sabar menunggu Mak Giyem, yang masih mengatur napasnya, yang terlihat ngos-ngosan. Terlihat seolah sesak napas."Mau aku ambilin minum lagi, Mak?" tanyaku karena kasihan melihatnya. Mak Giyem terlihat menggeleng."Nggak usah. Udah plempoken," jawabnya. Aku mengangguk pelan. Aku biarkan dia yang sedang menata napasnya. Takut malah kebablasan tak bisa napas nanti. Eh,"Firman kerja?" tanya Mak Giyem. "Nggak, dia ijin libur kerja. Sekarang dia menemui Mas Andra," jawabku. Mak Giyem terlihat membulatkan mata."Serius, Firman nemui Andra?" tanya Mak Giyem, seolah memastikan ucapanku."Seriuslah, Mak. Emang kapan aku pernah bohong sama Emak?" tanyaku balik. Mak Giyem terlihat menggigit bibir bawahnya sejenak."Kenapa kamu nggak ikut?" tanya Mak Giyem. Gantian aku yang melipat kening. Kayaknya dia lagi kumat, jiwa keponya. Tapi it's ok. Karena aku juga sudah mulai tumbuh jiwa penasaranku."Aku baru pulang pagi tadi, Mak. Bareng sama mertua. Dan sekarang gantian Mas
PART 58POV EKA"Nggak sudi jenguk Niken lagi! Terserah!" ucap Ibu dengan nada suara tak suka. Ya, selepas subuh kami datang ke rumah Ibu. Mas Firman yang meminta. Kami menyampaikan telpon dari Mas Andra."Kasihan Mas Andra, Bu!" rayu Mas Firman. Ibu terlihat menyeringai kecut. Kemudian membuang muka."Suruh aja mereka menelpon saudara yang dari Niken! Atau suruh orang tua Niken datang! Kenapa minta tolong sini. Jelas-jelas kami udah sampai saja di usir!" sungut Ibu. Masih kekeuh tak mau menemui mereka lagi. Nampakanya ucapa Mbak Niken kemarin, cukup menggores luka dalam di hati Ibu.Kutarik napasku kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Badan ini belum ilang capeknya. Bahkan aku belum istirahat. Hanya tidur di dalam mobil saja. Namanya tidur di dalam mobil, saat perjalanan pulang, sama saja bohong. Karena nggak mungkin bisa tidur nyenyak. Hanya tidur-tidur ayam. Sering kebangun, dan hanya meninggalkan rasa pusing saja.Aku lihat Bapak masih sering menguap. Memang masih terlalu pagi dat