Part 38"Siapa?" tanyaku, tanpa keluar suara. Hanya gerakan bibir saja. Yang penting Mas Firman faham."Uti," jawab Mas Firman. Aku mengulas senyum bahagia tentunya.Uti adalah sebutan Nenek untuk Ibuku. Membahasakan Dika. Kalau sebutan Nenek, itu untuk Ibu kandung Mas Firman. Biar ada bedanya.Jadi kalau Dika manggil Nenek, berarti ibu dari ayahnya, kalau Dika manggil Uti, berarti ibu dari mamanya.Aku segera menerima gawai yang diulurkan Mas Firman. Yang mana Mas Firman sudah mengangkat telpon itu terlebih dahulu."Haloo, Uti? Apa kabar?" tanyaku memulai percakapan. Sudah terbiasa memanggil Uti. "Alhamdulillah, Uti sehat. Dika gimana kabarnya? Uti kangen," jawab dan tanya Uti."Dika juga alhamdulillah sehat, Uti," jawabku. "Dika, Uti telpon ini," ucapku seraya menoleh ke arah Dika. Dika yang matanya sudah liyer-liyer mau tidur, akhirnya mata itu bening lagi."Uti, Dika kangen," balas Dika. Nada suaranya terdengar sangat semangat.Akhirnya, seperti biasa, gawai di kuasai oleh Dika.
Part 39"Heh, Eka! Gimana mau tahu nggak? Malah melongo ...." ucap Mak Giyem lagi, seraya menepuk lenganku lagi."Eh, iya, anu ...." aku malah gelagapan di buatnya.Bukannya apa, aku belum menjawab pertanyaan Mak Giyem, karena masih mikir, Mak Giyem dapat Info tentang Mas Andra dan Mbak Niken dari mana? Takutnya salah info lagi.Ok. Kali ini akan aku tanggap saja ini Mak Giyem. Siapa tahu memang beneran, mendapatkan info tentang mereka. Dan bisa tahu di mana keberadaan mereka. Setidaknya sedikit mengurangi rasa penasaran."Kamu itu kenapa?" tanya Mak Giyem, seraya gantian melongo melihatku. Kali ini aku garuk-garuk kepala."Nggak, Mak. Masih mencerna saja," balasku. Mak Giyem nampak mencebik. Seolah menahan tawa. Aku yang bingung dengan ekspresinya."Halaaah .... apa yang kamu cerna? Tenang saja, info yang aku dapat ini paten dan sesuai," balas Mak Giyem balik. Aku semakin nyengir. Yah, semoga saja memang info yang dia dapatkan real."Mencerna, dari mana Mak Giyem dapat info tentang M
Part 40"Mak, serius nggak sih, kasih kabarnya?" tanyaku memastikan. Hati ini sedikit jengkel melihat tingkah Mak Giyem, yang tertawa lepas diatas kebingunganku."Hua ha ha ha," Mak Giyem semakin melepas tawa. Seolah dia puaskan sepuas-puasnya. Aku makin puas merasakan bingungnya.Aku semakin bingung dan melongo di buatnya. Nampaknya Mak Giyem menikmati suasana ini. Tertawa puas melihat kebingunganku.Kalau umurkan kami seumuran, ingin aku sentak rasanya. Tapi, aku masih sadar, kalau umur kami jauh berbeda."Mak, serius nggak sih?" tanyaku. Mak Giyem akhirnya meredakan tawanya."Maaf, maaf," ucap Mak Giyem, hampir saja tersedak, karena saking renyahnya tertawa.Maaf? Hah, jadi cuma bercandaan? Awas saja kalau cuma bualan."Jadi hanya omong kosong, ya, Mak, yang Mak katakan itu? Nggak bener?" tanyaku. Mak Giyem kemudian menggeleng. Setelah tawanya benar-benar reda."Nggak, Eka! Aku serius. Apa yang aku sampaikan tadi benar adanya. Dan memang seperti itulah kondisi iparmu. Kasihan! Aku
PART 41POV NIKEN"Hueekkkk ...."Pagi ini aku muntah lagi. Semenjak tinggal di rumah kontrakan yang mengenaskan ini, aku sering mual dan muntah. Aku pikir aku hamil. Tapi, sempat aku testpack, hasilnya aku negatif.Banyak sekali yang bilang aku kurus sekarang. Itu membuat hati ini sesak. Walau aku sendiri sadar, memang badanku makin kurus. Tapi, tak terima saja jika ada orang yang bilang aku kurus.Setelah muntah aku berkumur. Mengusap bibirku. Menarik handuk untuk membersihkan mulut. Sesak sangat sesak sekali. Badan seketika merasa lemas. Ingin segera bebaring. Karena tak kuat menyangga tubuh.Mas Andra sudah pergi kerja. Ya, jadi tukang muat pasir sekarang. Pekerjaan yang sama sekali tidak membuatku bangga. Gimana aku akan bangga? Kalau Eka tahu, pasti dia akan mengejekku. Hidup yang sangat memprihatinkan. Jangan sampai teman-teman sosialitaku tahu tentang keadaanku sebenarnya. Mau di taruh mana muka ini?Beruntung sekali nasib Eka. Kali ini, aku benar-benar iri melihat hidupnya.
PART 42Dengan langkah lemas dan dibantu Mas Andra aku melangkah ke ruang tamu. Kemudian duduk di atas tikar. Kepala masih terasa berat. Mata pun enggan sebenarnya melihat wajah hitam Wito. Aku lihat Wito sedang meneguk air meneral. Tak ada kopi yang tersuguhkan. Ya Allah ... menyuguhkan kopi saja, diri ini tak mampu. Ada apa denganku? Semoga tak ada penyakit lain yang bersarang di badan ini. Selain liver yang sudah aku ketehui."To, sampaikan saja, apa yang ini kamu sampaikan?!" ucap Mas Andra. Wito menatapku, seolah sedang menilai. Tapi, lama-lama aku risih."Kenapa?" tanyaku. Karena tak enak sekali, di pandang seperti itu.Wito terlihat mengusap wajah pelan. Kemudian menghela napas sejenakAku semakin bingung dan penasaram juga tentunya. Ada apa sebenarnya? Apa yang dia lihat atau apa yang dia nilai tentang aku? Entahlah."Mbak Niken, penyakitmu itu bukan hanya sekedar sakit fisik," ucap Wito memulai berbicara. Seketika aku mengerutkan kening. Kemudian memandang ke arah Mas Andra
Part 43POV ANDRA"Hooeekkkk ...."Setiap pagi aku mendengar Niken muntah. Badannya semakin habis. Tulang yang ada di dalam tubuhnya, sudah terlihat sekarang.Muntah karena penyakit. Bukan karena hamil. Ya Allah ... kasihan sebenarnya. Tapi, Niken seolah tak bisa dikasihani.Mata indah yang dulu dia miliki, sekarang berubah menjadi sayu. Bahkan terlihat membesar. Karena pipi yang kempot itu. 'Mendelo'.Pipi tembem yang dulu dia miliki, sekarang berubah menjadi kempot.Badan semok yang dia sandang dulu, sekarang berubah menjadi perempuan berbadan kurus. Seolah terkena busung lapar.Aku mendekat, dan memijit tengkuk lehernya. Berharap dia dengan mudah mengeluarkan muntahnya itu."Hooooekkk ...."Benar saja, muntah itu semakin menjadi. Biarlah! Setidaknya nanti akan enakan. Dari pada tak bisa muntah, akan menjadi tak enak badan.Setelah puas muntah, Niken terlihat berkumur dan membilas bibirnya dengan air. Kemudian meraih handuk untuk mengeringkan bibirnya.Niken beranjak keluar dari kam
Part 44"Kok berhenti, Mas? Apa?" tanyaku kepada Mas Firman. Karena dia menghentikan ucapannya. Mas Firman terlihat menghela napas sejenak. Kemudian mengusap pelan wajahnya.Lelaki berkulit sawo matang ini, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang dia pikirkan, sehingga menghentikan, ucapannya."Susah, sih, Dek. Masalah yang Mas Andra hadapi ini memang berat. Kalau dia menghilang terus seperti ini, kita yang susah. Tapi, kalau dia kembali, keadaan semakin memanas. Keadaan akan tenang, jika Mas Andra pulang dan membawa uang, untuk menutup semuanya. Ya, hanya uang yang menghentikan semuanya. Tapi, masalahnya uangnya masih entah di mana?" lanjut Mas Firman.Aku meneguk ludah sejenak. Memang susah. Di posisi mereka, memang serba susah. Karena ini masalah uang. Uang adalah masalah yang sangat sensitif.Semua orang akan nampak aslinya, jika berurusan dengan uang."Jelas mereka tak ada duit, Mas. Kalau ada duit, mereka tak akan kabur seperti ini," balasku. Mas Firman terlihat mangg
Part 45Dreet ... dreet ... dreet ...Gawaiku bergetar lagi. Sudah tiga kali ini. Aku lihat masih dengan nomor yang sama. Entah nomor areal mana ini.Aku memandang ke arah Zaki. Dia sedang menyedot pop ice. Ya, tadi dia meminta di belikan pop ice rasa durian.Setelah makan lontong kami, memilih untuk duduk di pinggiran jalan. Memilih pohon yang rindang. Karena matahari lagi menyengat."Hallo," akhirnya aku mengangkat telpon itu. Walau hati terasa sangat kacau. Deg degan, takut kalau orang menagih hutang. Hutang yang jumlahnya lumayan banyak. "Mas Andra?" terdengar suara perempuan dari seberang sana. Nada suara itu seolah bertanya untuk memastikan. Aku melipat kening, mencoba mengenali nada suara itu."Iya. Maaf ini siapa?" tanyaku balik. Karena rasa penasaran yang menggebu. Walau tak menutup kemungkinan itu suara orang yang aku hutangi. "Lupakah dengan suaraku yang cempreng ini?" tanyanya balik. Aku semakin mengerutkan kening."Nggak usah basa basi. Ini siapa? Lagi tak banyak waktu
Part 66POV ANDRAApa yang aku bilang, kedatangan Mertua semakin membuat hati ini sesak. Gimana nggak sesak? Dia itu sudah minjam dua juta, aku di suruh ganti katanya, tapi travel nggak mau bayar.Itu artinya, dia menyayangkan uang dua juta itu. Semua dia bebankan ke aku. Ya Allah ... mungkin Ibu terlalu di 'lulu' sama Niken dulu itu. Berapapun jumlah nominal yang ibunya mau, selalu Niken turuti, bagaimanapun caranya.Ingin pecah rasanya kepala ini. Emosi luar biasa. Ingin aku terkam perempuan paruh baya bergelar mertuaku itu.Dulu, saat aku masih berduit, tak seperti inilah, rasa kesalku padanya. Karena Niken sendiri juga selalu menutupi sifat yang kurang pas ibunya itu. Sehingga aku gampang juga di perdaya."Ibu bayar saja! Andra nggak ada uang!" ucapku. Ibu terlihat nyengir tak suka."Kok gitu, sih, Ndra? Ibu ini udah jauh-jauh datang ke sini! Cuma ongkos travel saja kamu masalahin? Kalau Ibu punya uang, Ibu nggak minta kamu bayari. Ibu ini memang punya uang, tapi kan uang pinjama
Part 65POV ANDRA"Bu, Bapak," sapaku, saat aku sampai rumah sakit. Mata ini telah melihat kedatangan Bapak dan Ibu. Eka dan Dika juga.Mereka sering mendapatkan perlakuan tak enak dari Niken. Tapi, mereka tetap saja perhatian. Sedangkan keluarga Niken? Seolah menganggap penyakit Niken hanya penyakit sepele. Dan segera sembuh dengan sekali berobat."Ndra," balas Bapak. Aku lihat Ibu diam. Seolah terpaksa datang ke sini. Mungkin Bapak atau Eka yang memaksa. Aku mengulas senyum. Kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. Aku merasakan ada yang berbeda dengan Ibu. Ibu seolah bersikap dingin denganku. Kutarik napas ini. Menghembuskannya perlahan. Menata hati yang terasa bergemuruh hebat.Ibu biasanya orang yang paling care denganku. Tapi semenjak kejadian Niken secara halus mengusir itu, kurasakan Ibu berbeda.Bapak pun juga berbeda. Tapi seolah masih ia tutupi. Eka pun sama. Tapi, seolah mereka masih menutupi. Mungkin tak enak hati denganku. "Ibu ke sini hanya untuk Zaki! Bukan u
PART 64POV ANDRAAku lihat kening Adista melipat, saat aku mengutarakan isi hati untuk meminjam uang. Apakah aku tidak malu? Sungguh aku malu luar biasa. Tapi di tempat yang baru seperti ini, aku mau minjam ke siapa? Hanya Adista dalam pikiranku. Dan menahan rasa malu.Wito? Ah, aku juga tahu kondisi dia. Mau minjam ke toke pasir pun aku tak berani. Karena belum lama kenal juga.Mau minjam Firman, aku juga tak berani. Karena uang dia dulu pernah aku pinjam, dan sampai sekarang belum aku kembalikan.Dulu aku memang punya uang, tapi setiap aku berpikir untuk mengembalikan, selalu didahului Niken untuk belanja baju dan lain sebagainya.Sungguh, entah kenapa aku dulu terlalu nurut dengan Niken. Selalu menuruti keinginannya walau diluar batas mampuku. Kini aku menyesal. Penyesalan memang selalu datang diakhir cerita. Kalau tahu akan seperti ini, tak akan aku mau menuruti, semua keinginan Niken kala itu.Aku lihat Adista masih terdiam. Kemudian merebahkan badannya di sandaran sofa. Entah
PART 63POV EKAKami segera berangkat ke tempat Mas Andra. Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mbak Niken memang menyebalkan. Tapi, kami masih punya hati nurani. Walau hati kesal luar biasa karena tingkah lakunya kala itu, tapi hati ini tak menaruh rasa dendam.Ibu akhirnya juga ikut menuju ke rumah Mas Andra. Karena aku yakin, mulut bisa berkata kasar dan tega, tapi isi hati berbeda. Tak ada orang tua yang tega kepada anaknya. Termasuk Ibu mertuaku."Ibu ke sana demi Andra dan Zaki dan Firman pun sudah terlanjur di sana. Juga karena paksaan kalian. Bukan karena Niken." ucap Ibu akhirnya. Walau nada suara itu terdengar berat dan terpaksa. Tapi, aku yakin Ibu memang ingin menemui anak dan menantunya.Pesan singkat yang dikirimkan Mas Firman, mengirimkan foto yang mana keadaan Mbak Niken semakin sekarat. Bahkan terlihat Mbak Niken dibawa ke rumah sakit sudah ditusuk infus. Mungkin Mas Firman yang memaksa membawa Mbak Niken ke rumah sakit. Ya Allah ... Engkau Maha Kaya. Aku yakin
PART 62POV EKAKeadaan Mbak Niken dan Mas Andra benar adanya. Yang dikatakan Mak Giyem tak bohong. Aku telah telponan dengan Mas Firman. Dan sudah mendengar dari Mas Firman bagaimana keadaan mereka sekarang.Dan sekarang, kata Mas Firman kondisi Mbak Niken semakin kritis. Dia pingsan lagi.Jujur saja, ini membuat hatiku tak tenang. Bagaimana mau tenang, mendengar ceritanya saja, hati ini terasa tersayat. Walau aku tahu, dulu Mbak Niken memang sangat menyebalkan.Walau Mbak Niken dulu menyebalkan, tapi tak ada dendam didalam sini. Karena sejatinya Mbak Niken sudah di balas oleh Allah. Mbak Niken sudah mendapatkan karmanya. Ya, tak perlu dibalas, tapi karma memang nyata adanya. Cepat atau lambat.Aku mondar mandir layaknya setrikaan. Karena aku bingung sendiri. Sumpah aku bingung. Mau ke rumah Mertua, aku malas jalan kaki. Karena motor dibawa Mas Firman.Astaga ... kenapa aku tak menelpon Ibu saja? Dalam keadaan bingung, rasanya memang tak bisa berpikir tenang. Tak bisa berpikir jerni
Part 61POV ANDRANiken sudah aku letakan didalam kamar. Kondisinya masih pingsan. Zaki menangis seolah ketakutan. Dalam kondisi seperti ini aku sangat amat kebingungan.Kuraih gawai. Kuutak atik dan sebenarnya tak tahu mau menelpon siapa. Karena pikiran terasa sangat amat kacau.Gawai terus aku scroll, sambil mikir pada siapa aku harus meminta tolong. Akhirnya mata ini tertuju pada nomor kontak Firman.Ya, reflek saja langsung menekan nomor Firman. Dan terhubung.Ya, dalam kondisi seperti ini, tetap lari ke saudara. Malu tak malu. Lebih tepatnya menahan malu.***********Akhirnya Firman bersedia untuk datang. Dan pagi ini, katanya dia sudah berangkat. Firman memang adik yang baik. Aku jadi menyesal dulu aku sering memperlakukan dia hal yang tak pantas antara kakak ke adik.Ya Allah ... karmaMu nyata adanya. Bahkan tak sampai ke anak cucu. Seolah langsung di balas tunai kepada diriku sendiri. Sungguh aku malu dengan perlakuanku dulu. Firman maafkan aku!Niken sudah sadar. Dia pingsan
Part 60POV ANDRA"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Aku malu sama Ibu dan Eka!" ucapku kesal dengan Niken.Mumpung Zaki nggak di rumah, ingin aku luapkan semua emosiku. Karena kali ini Niken benar-benar keterlaluan.Zaki keluar sama Adista. Entahlah, semenjak kenal Adista, Zaki lengket dengannya. Mungkin karena Adista sabar dan keibuan. Dan aku tahu, Adista memang suka dan sayang dengan anak kecil. Yang menurutnya, anak kecil itu sangat polos dan jujur."Kamu itu berubah sekarang, Mas. Udah keuangan berubah, sifat juga berubah!" balasnya. Cukup membuatku sangat terkejut.Emosiku semakin naik ke ubun-ubun. Karena ucapan Niken cukup memancing emosiku."Aku berubah? Aku memang selalu salah di matamu! Saat aku masih berjaya pun, aku tak pernah benar di matamu! Tapi, kamu sadar nggak? Kamu intropeksi dirimu nggak? Apakah kamu tak pernah melakukan kesalahan? Harusnya kamu mikir, kalau aku memang berubah, aku berubah karena apa? Kenapa suamimu yang dulu sangat nurut denganmu, sekarang bisa berubah
Part 59POV EKAAku masih sabar menunggu Mak Giyem, yang masih mengatur napasnya, yang terlihat ngos-ngosan. Terlihat seolah sesak napas."Mau aku ambilin minum lagi, Mak?" tanyaku karena kasihan melihatnya. Mak Giyem terlihat menggeleng."Nggak usah. Udah plempoken," jawabnya. Aku mengangguk pelan. Aku biarkan dia yang sedang menata napasnya. Takut malah kebablasan tak bisa napas nanti. Eh,"Firman kerja?" tanya Mak Giyem. "Nggak, dia ijin libur kerja. Sekarang dia menemui Mas Andra," jawabku. Mak Giyem terlihat membulatkan mata."Serius, Firman nemui Andra?" tanya Mak Giyem, seolah memastikan ucapanku."Seriuslah, Mak. Emang kapan aku pernah bohong sama Emak?" tanyaku balik. Mak Giyem terlihat menggigit bibir bawahnya sejenak."Kenapa kamu nggak ikut?" tanya Mak Giyem. Gantian aku yang melipat kening. Kayaknya dia lagi kumat, jiwa keponya. Tapi it's ok. Karena aku juga sudah mulai tumbuh jiwa penasaranku."Aku baru pulang pagi tadi, Mak. Bareng sama mertua. Dan sekarang gantian Mas
PART 58POV EKA"Nggak sudi jenguk Niken lagi! Terserah!" ucap Ibu dengan nada suara tak suka. Ya, selepas subuh kami datang ke rumah Ibu. Mas Firman yang meminta. Kami menyampaikan telpon dari Mas Andra."Kasihan Mas Andra, Bu!" rayu Mas Firman. Ibu terlihat menyeringai kecut. Kemudian membuang muka."Suruh aja mereka menelpon saudara yang dari Niken! Atau suruh orang tua Niken datang! Kenapa minta tolong sini. Jelas-jelas kami udah sampai saja di usir!" sungut Ibu. Masih kekeuh tak mau menemui mereka lagi. Nampakanya ucapa Mbak Niken kemarin, cukup menggores luka dalam di hati Ibu.Kutarik napasku kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Badan ini belum ilang capeknya. Bahkan aku belum istirahat. Hanya tidur di dalam mobil saja. Namanya tidur di dalam mobil, saat perjalanan pulang, sama saja bohong. Karena nggak mungkin bisa tidur nyenyak. Hanya tidur-tidur ayam. Sering kebangun, dan hanya meninggalkan rasa pusing saja.Aku lihat Bapak masih sering menguap. Memang masih terlalu pagi dat