Part 29"Ibu kok cemas dengan keadaan masmu! Kepikiran terus. Gimanalah keadaan mereka. Kasihan Zaki juga!" ucap Ibu malam ini.Ya, selepas magrib, Ibu dan Bapak sudah main ke rumah. Sudah aku suguhkan kopi hitam diatas meja. Agar mereka bisa ngobrol dengan enak dan pikiran dingin. Seperti itulah pemekiranku."Mas Andra sudah besar, Bu. Sudah bisa berpikir mana yang baik, mana yang nggak. Mas Andra juga pandai cari duit," balas Mas Firman. Ibu terlihat menghela napas sejenak. Aku sedang duduk santai di depan TV. Sambil memainkan remote TV bersama anak lanang."Ibu tahu. Tapi tetap saja Ibu cemas. Kasihan Andra. Mana rumahnya sudah di tarik Bank," ucap Ibu. Ya, memang di depan rumah Mas Andra, sudah di kasih plakat, rumah ini telah di segel Bank. Dan rencana kami yang meneruskan Bank itu tetap berlanjut. Di sini hanya aku dan Mas Firman yang tahu.Karena kalau semua tahu, bisa jadi semua yang punya sangkutan dengan Mas Andra, larinya ke aku dan Mas Firman. Miris. Dan aku tak bisa memb
Part 30Mulai bulan depan, aku dan Mas Firman resmi menanggung hutang Bank yang di buat oleh Mas Andra dan Mbak Niken sebelumnya. Untuk pertama kalinya kami berurusan dengan Bank. Bismillah ... semoga bisa sampai lunas. Demi menjaga nama baik.Semoga kami bisa menuntaskan. Terkadang takut, tapi yakin bisa. Demi memiliki tabungan untuk masa depan Dika. Setidaknya, rumah dan pekarangan milik Mas Andra sebelumnya, bisa aku wariskan ke Dika kelak.Ya, kalau sudah lunas, rumah beserta tanah akan menjadi milik kami. Bisa kami berikan untuk Dika kelak. Aamiin.Pagi ini, rutinitas biasa aku jalani. Membersihkan pelataran rumah. Terkadang pelataran rumah Mas Andra juga aku bersihkan walau tak setiap hari. Kalau setiap hari takut mencurigakan dan ujung-ujungnya ketahuan.Mas Firman sudah berangkat kerja. Dika sedang asyik dengan mobil-mobilannya. "Ka, kira-kira si Niken kemana, ya?" tanya Mak Giyem tiba-tiba udah ada di belakangku."Astagfirullah ... Mak ... bikin kaget aja! huuuhhhh ...." bal
PART 31POV NIKEN"Mbak, saya perhatikan badannya makin hari, kok, makin kurus?" tanya Bu Wiwit, tetangga sebelah kontrakan. Baru kenal dia beberapa hari yang lalu.Aku memasang wajah nyengir. Kemudian memegang leherku sendiri. Mengusap-usap sejenak. Memang terasa kurus ini badan. Telapak tangan juga merasakan memegang tulang. Meneguk ludah sejenak.Kalau dulu badan ini sangat semox. Nggak tahu kenapa, makin hari, makin menyusut. Sedot lemak? Sama sekali tidak. Hanya untuk ingin diakui hidup berkecukupan dan mewah saja."Saya memang diet, Bu!" jawabku asal. Aku lihat kening Bu Wiwit mengerut. Seolah merasa tabu."Diet?" Bu Wiwit mengulang kata itu. Aku mengangguk penuh percaya diri, agar dia percaya. Dia malah menghela napas sejenak. Seolah tatapan mata itu, menunjukan kebingungan."Jangan diet, Mbak Niken! Badannya udah kurus gitu, dilihat nggak enak. Nggak sedap. Kalau masih gadis memang bagus kurus. Tapi kalau udah nikah, menurut saya bagusan gemuk semok gitu. Soalnya kalau udah ni
PART 32POV ANDRATerpuruk. Ya, itu kata yang tepat untuk kodisiku saat ini. Tak punya tempat tinggal, tak punya kendaraan, bahkan tak punya pekerjaan. Masih di tambah lagi, terlilit hutang yang sangat luar biasa banyak jumlahnya. Miris sekali dan tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Istriku Niken, seolah tak mau tahu. Dia selalu menekanku untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tanpa memikirkan dari mana aku mendapatkan uang. Tanpa memikirkan juga, uang yang dia pakai, adalah uang hasil hutang. Yang mana sekarang, kami harus bertanggung jawab atas semua kesalahan itu. Tapi, aku tak mampu bertanggung jawab. Aku memutuskan untuk kabur. Walau kabur sebenarnya bukan suatu solusi.Hari ini aku pulang hanya memberikan satu lembar uang kertas berwarna merah. Mendapatkan uang itu dengan jerih payah yang tak mudah. Tapi, bagi Niken itu hal yang memalukan. Tapi bagiku sekarang, lebih memalukan lagi, jika terjadi kelaparan karena tak mampu membeli makan. Biarlah sebagai tukang muat pasir. Setidakny
Part 33POV IBU"Aku kok kepikiran Andra, ya, Pak? Gimana nasib cucu kita? Jadi kengen sama Zaki. Juga gimana nasib mantu kita," ucapku kepada suamiku. "Sudahlah, Bu. Andra sudah besar. Tak perlu terlalu di pikirkan. Lagian ini memang sudah jalan yang dia pilih. Bermain-main dengan Bank, ternyata dia tak sanggup. Ya, seperti ini kejadiannya," balas lelaki yang sudah puluhan tahun mendampingiku.Tak puas hati ini dengan jawaban Bapak. Ingin berkata kasar rasanya. Tapi, masih aku menahan amarah. Karena lelah jika berakhir dengan pertengkaran."Pak! Kok, kamu nampaknya tak peduli dengan anak sulung kita?! Andra lagi terpuruk, dia lagi kesusahan," sungutku. Kulihat lelaki yang sudah paruh baya itu, mematikan rokoknya di dalam asbak. Kemudian menatapku tajam."Yang tak peduli siapa? Selama dia berada di jalan yang lurus, Bapak selalu peduli dengan anak-anak. Tapi, kali ini Andra telah melenceng, berurusan dengan Bank sampai semua kesita. Sakit ... hati Bapak, Bu!" balas lelaki yang sudah
PART 34"Dek,""Ya?""Ke rumah Ibu, Yok!" ajak Mas Firman. Aku melipat kening. Ke rumah Ibu? "Ngapain?" tanyaku. "Main saja. Lama kita nggak main ke sana. Ibu dan Bapak yang sering main ke sini. Lagian ingin tahu jiga keadaan mereka," jawab Mas Firman. Aku kemudian mengangguk."Yaudah, ayok. Aku siap-siap dulu," balasku kurang bersemangat. Mas Firman terlihat mengulas senyum."Dika! Ikut ke rumah Nenek nggak?" tanya Mas Firman dengan nada suara berteriak. "Ikut!" jawab Dika dengan nada semangat. Jauh berbeda denganku. Entahlah, malas saja sebenarnya diajak main ke sana. Tapi nggak enak saja dengan suami.Ya, Dika memang suka jika diajak main ke rumah kakek dan neneknya. Selalu semangat jika diajak main ke sana. "Kalau ikut, cuci muka dulu sana! Dan ganti baju," perintah Mas Firman."Siap, Yah!" balas Dika. Terdengar langkah kaki berlari kecil menuju ke kamar mandi. Sesemangat itu dia, di ajak main ke rumah neneknya.Sebenarnya agak malas main ke rumah mertua. Bukan malas karena a
PART 35"Hu hu hu jangan laporkan anak saya ke Polisi!" lirih Ibu seraya menangis. Aku dan Mas Firman yang baru saja sampai, bingung melihat kejadian ini.Walau bingung, tapi faham apa maksunya. Apalagi kalau bukan hutang piutang Mas Andra. Hidup penuh dengan hutang. Miris sekali melihatnya.Aku lihat telpon sudah di matikan. Nggak tahu siapa yang mematikan. Bisa jadi Mas Andra. Karena dia tak bisa mengelak atau meluruskan.Aku dan Mas Firman sudah berada di ruang tamu milik Mertua. Ibu masih terus menangis dengan tangan menekan dada. Seolah sedang berada dalam zona menyedihkan.Bapak terlihat diam. Nampaknya tak ada niat untuk menenangkan istrinya yang lagi menangis. Pun Mas Firman, hanya melongo di tempat duduknya.Sedangkan Bu Tely, aku lihat raut wajahnya masih terlihat murka. Berkali-kali membenahi gelungan rambutnya."Kalau nggak mau aku laporkan ke Polisi, segera bayar hutang anakmu! Jangan hanya bisa menangis. Karena air matamu, tak bisa melunasi hutang Andra!" sungut Bu Tely.
Part 36POV AndraTit.Komunikasi lewat telpon, langsung aku matikan. Niat hati menelpon Ibu, karena ingin mendapatkan saran, ternyata aku nelpon di waktu yang tak tepat.Tak tepat? Ya, karena saat aku menelpon ada Bu Tely. Perempuan paruh baya yang terkenal dengan toko Emas berjalan.Aku memang meminjam uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Bu Tely. Itu pun atas saran dari Niken. Dan sekarang Niken malah tak mau tahu, dan terus menyalahkanku.Uang meminjam sepuluh juta itu, sudah habis entah kemana. Yang jelas untuk foya-foya nggak jelas. Bodoh! Ya, aku memang bodoh. Bodoh karena cinta.Niken terus menyalahkanku, karena aku tak becus mencari uang dan melunasi semua hutang-hutang itu. Padahal dia juga tahu, seberapa gajiku? Bagaimana aku bisa melunasi semua hutang-hutang itu, karena setiap uang yang aku dapat, selalu diminta penuh oleh Niken. Bahkan untuk beli bensin saja, aku seolah mengemis. Merayunya habis-habisan.Apalagi untuk beli rokok, uang makan dari kantor itulah, yang ta