Part 25"Jangan di bakar!" pintaku. Lelaki yang baru datang jugalah penagih hutang. Entahlah. Pusing kepalaku jika mendengar hutang-hutang Mas Andra dan Mbak Niken.Alamak ... masih berapa orang lagi, yang diutangi Mbak Niken dan Mas Andra. Pusing kepala, mual perut, sakit hati, sakit pikir dan sesak napas dengar tiap orang datang nagih hutang. Walau bukan aku yang berhutang.Allahu Akbar! "Kalau rumah ini nggak boleh di bakar, setidaknya kembalikan uangku! Kamukan saudaranya!" balas Lelaki itu. Entahlah, aku nggak tahu siapa namanya."Aku suruh balikin? Emang aku yang utang? Aku duit dari mana? Aku hanya adik ipar. Lagian rumah ini sudah di sita Bank. Makanya tadi aku bilang jangan di bakar. Jadi kalau kalian mau membakar rumah ini, silahkan! Tapi siap-siap berurusan dengan Bank!" jelasku.Mereka terlihat mendengkus tanda tak suka. Juga terlihat menganga mungkin shok atau terkejut. Sama aku sendiri, juga tak suka dengan keadaan ini. Tapi, suka tak suka, mau tak mau, harus aku lalui
PART 26"Kamu itu bisa nggak, sih, Mas, cari duit?" sungutku kepada suami. Mas Andra.Entahlah, geram sekali aku. Gara-gara dia nggak bisa bayar hutang, mau tak mau kami harus keluar dari rumah. Bahkan keluar kota. Karena pusing mikiri tagihan yang membengkak.Laki-laki kok nggak bisa nyari duit. Bikin pusing saja. "Kok, nyalahin aku? Harusnya kamu mikir, rubah gaya hidup kamu!" balasnya.What? Rubah gaya hidup? Busyet ... nggak bener ini laki. Harusnya dia yang rubah gaya hidup. Karena dia yang nggak becus cari duit."Gaya hidupku suruh ngerubah gimana? Memang seperti ini. Bahkan sebelum nikah kamu juga tahu! Tak ada yang aku tutup-tutupi. Dan kamu tahu itu! Aku nggak mau berubah. Karena memang seperti inilah aku. Menjadi diri sendiri," sahutku dengan nada lantang.Tak perduli jika tetangga mendengar tengkar kami tiap hari. Kami sekarang ngontrak di rumah sempit. Sudah sempit, jelek lagi. Kalau Eka tahu, pasti dia akan menertawakan aku habis-habisan.Eka itu adik ipar. Orangnya sok
PART 27Rasanya, gumpalan yang memenuhi rongga dada, terasa mau membuncah. Masalah yang aku hadapi, layaknya udun. Aku tak kuasa lagi menahannya. Hingga pada akhirnya udun itu pecah dan mengeluarlan nanah.Emosi luar biasa menghadapi Niken. Aku tahu, cara dia salah. Tapi, aku sangat mencintainya. Bisa dibilang aku bucin abis dengan Niken. Tak bisa aku jelaskan, kenapa aku seperti itu.Ya, aku juga nggak tahu. Sadar juga, kalau tingkah Niken itu membuat hancur ekonomi keluarga. Membuat hancur semuanya. Tapi, disisi lain, aku juga senang saat melihat dia tersenyum bahagia, saat sesuatu yang dia inginkan, dapat aku penuhi. Walau uang hasil hutang untuk memenuhi keinginannya. Kala itu aku tak perduli.Tapi, saat ini, sudah sampai di mana batas mampuku. Tak kuasa lagi memenuhi semua keinginannya, yang selalu ingin membeli, apapun yang teman, saudara ataupun tetangga punya. Terutama Eka, adik iparku.Ya, kali ini bisa dibilang aku angkat tangan. Tak kuasa lagi memenuhi keinginan dia, yang
PART 28POV 3"Mama kenapa?" tanyaku kepada Zaki. Tapi, yang aku tanya semakin menggebu tangisnya.Dengan sangat pelan, aku melepas pelukan Zaki. Kemudian mengusap pelan kepalanya. Agar tangisnya terasa sedikit tenang."Mama di mana?" tanyaku lagi. Zaki hanya menunjuk ke arah kamar. Ku tarik napas sejenak. Kemudian segera melangkah menuju ke kamar. Memastikan ada apa dengan ucapan anak lanang. Ada apa dengan Niken?Zaki terlihat membuntutiku. Masih dengan suara sesenggukannya.Kreeekkk ....Suara pintu kamar kontrakan terdengar, saat aku membuka kamar. Terlihat Niken sedang menggigil, di dalam selimut tipis yang kami bawa.Ya, hanya selimut tipis yang bisa kami bawa. Selimut tebal kesayanganku, tak bisa kami bawa. Karena ribet dan hati yang berkecamuk."Astaga!!! Kamu sakit?" tanyaku kepada Niken. Kemudian segera mendekat. Memegang keningnya."Ya Allah ... panas sekali," ucapku. Zaki malah semakin terdengar keras tangisnya."Mama!!!" ucap Zaki, seolah sangat takut mamanya kenapa-napa.
Part 29"Ibu kok cemas dengan keadaan masmu! Kepikiran terus. Gimanalah keadaan mereka. Kasihan Zaki juga!" ucap Ibu malam ini.Ya, selepas magrib, Ibu dan Bapak sudah main ke rumah. Sudah aku suguhkan kopi hitam diatas meja. Agar mereka bisa ngobrol dengan enak dan pikiran dingin. Seperti itulah pemekiranku."Mas Andra sudah besar, Bu. Sudah bisa berpikir mana yang baik, mana yang nggak. Mas Andra juga pandai cari duit," balas Mas Firman. Ibu terlihat menghela napas sejenak. Aku sedang duduk santai di depan TV. Sambil memainkan remote TV bersama anak lanang."Ibu tahu. Tapi tetap saja Ibu cemas. Kasihan Andra. Mana rumahnya sudah di tarik Bank," ucap Ibu. Ya, memang di depan rumah Mas Andra, sudah di kasih plakat, rumah ini telah di segel Bank. Dan rencana kami yang meneruskan Bank itu tetap berlanjut. Di sini hanya aku dan Mas Firman yang tahu.Karena kalau semua tahu, bisa jadi semua yang punya sangkutan dengan Mas Andra, larinya ke aku dan Mas Firman. Miris. Dan aku tak bisa memb
Part 30Mulai bulan depan, aku dan Mas Firman resmi menanggung hutang Bank yang di buat oleh Mas Andra dan Mbak Niken sebelumnya. Untuk pertama kalinya kami berurusan dengan Bank. Bismillah ... semoga bisa sampai lunas. Demi menjaga nama baik.Semoga kami bisa menuntaskan. Terkadang takut, tapi yakin bisa. Demi memiliki tabungan untuk masa depan Dika. Setidaknya, rumah dan pekarangan milik Mas Andra sebelumnya, bisa aku wariskan ke Dika kelak.Ya, kalau sudah lunas, rumah beserta tanah akan menjadi milik kami. Bisa kami berikan untuk Dika kelak. Aamiin.Pagi ini, rutinitas biasa aku jalani. Membersihkan pelataran rumah. Terkadang pelataran rumah Mas Andra juga aku bersihkan walau tak setiap hari. Kalau setiap hari takut mencurigakan dan ujung-ujungnya ketahuan.Mas Firman sudah berangkat kerja. Dika sedang asyik dengan mobil-mobilannya. "Ka, kira-kira si Niken kemana, ya?" tanya Mak Giyem tiba-tiba udah ada di belakangku."Astagfirullah ... Mak ... bikin kaget aja! huuuhhhh ...." bal
PART 31POV NIKEN"Mbak, saya perhatikan badannya makin hari, kok, makin kurus?" tanya Bu Wiwit, tetangga sebelah kontrakan. Baru kenal dia beberapa hari yang lalu.Aku memasang wajah nyengir. Kemudian memegang leherku sendiri. Mengusap-usap sejenak. Memang terasa kurus ini badan. Telapak tangan juga merasakan memegang tulang. Meneguk ludah sejenak.Kalau dulu badan ini sangat semox. Nggak tahu kenapa, makin hari, makin menyusut. Sedot lemak? Sama sekali tidak. Hanya untuk ingin diakui hidup berkecukupan dan mewah saja."Saya memang diet, Bu!" jawabku asal. Aku lihat kening Bu Wiwit mengerut. Seolah merasa tabu."Diet?" Bu Wiwit mengulang kata itu. Aku mengangguk penuh percaya diri, agar dia percaya. Dia malah menghela napas sejenak. Seolah tatapan mata itu, menunjukan kebingungan."Jangan diet, Mbak Niken! Badannya udah kurus gitu, dilihat nggak enak. Nggak sedap. Kalau masih gadis memang bagus kurus. Tapi kalau udah nikah, menurut saya bagusan gemuk semok gitu. Soalnya kalau udah ni
PART 32POV ANDRATerpuruk. Ya, itu kata yang tepat untuk kodisiku saat ini. Tak punya tempat tinggal, tak punya kendaraan, bahkan tak punya pekerjaan. Masih di tambah lagi, terlilit hutang yang sangat luar biasa banyak jumlahnya. Miris sekali dan tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Istriku Niken, seolah tak mau tahu. Dia selalu menekanku untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tanpa memikirkan dari mana aku mendapatkan uang. Tanpa memikirkan juga, uang yang dia pakai, adalah uang hasil hutang. Yang mana sekarang, kami harus bertanggung jawab atas semua kesalahan itu. Tapi, aku tak mampu bertanggung jawab. Aku memutuskan untuk kabur. Walau kabur sebenarnya bukan suatu solusi.Hari ini aku pulang hanya memberikan satu lembar uang kertas berwarna merah. Mendapatkan uang itu dengan jerih payah yang tak mudah. Tapi, bagi Niken itu hal yang memalukan. Tapi bagiku sekarang, lebih memalukan lagi, jika terjadi kelaparan karena tak mampu membeli makan. Biarlah sebagai tukang muat pasir. Setidakny