2
Aira turun dari ojek online yang membawanya ke alamat yang tertera dalam selebaran itu. Wanita itu terperangah menatap bangunan di depannya. Bangunan yang lebih pantas disebut istana daripada sebuah rumah. Dengan bayi dalam gendongan, Aira masih berdiri mematung mengagumi bangunan itu hingga suara klakson mobil mengagetkannya. Ia menyingkir saat sebuah Mercedes-Benz warna hitam mengkilap hendak masuk dan gerbang rumah terbuka otomatis. Menampilkan dengan jelas apa yang tak terlihat jika pintu kokoh itu tertutup. Mata Aira kembali terbelalak. Seumur hidupnya baru kali ini melihat bangunan megah langsung di depan mata. Hingga seorang berseragam sekuriti menghampiri. "Maaf, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" Bapak sekuriti bertanya heran seraya meneliti dengan seksama wanita dengan bayi tertidur dalam gendongan. "I-iya, Pak. Maaf saya mau bertanya. Apa alamat ini benar di sini?" tanya Aira sedikit gagap, menyadari dirinya sejak tadi berdiri mengagumi bangunan di hadapannya. Sekuriti memperhatikan kertas selebaran yang disodorkan Aira. Kemudian kembali memperhatikan penampilan wanita berambut sebahu itu. "Iya Mbak, benar.""Jadi benar ya, bos rumah ini sedang mencari pekerja yang mau menyusui bayinya?" Mata Aira berbinar. Secercah harapan hadir, ia akan mendapat pekerjaan agar hidupnya tak terlunta-lunta. "Iya, benar. Pak bos memang sedang mencari wanita yang mau menyusui bayinya. Tapi…." Sekuriti menggantung kalimat. "Tapi kenapa, Pak?" Kening Aira berkerut. "Mbak mau melamar kerja jadi ibu susu dengan membawa bayi?" Pria kekar dengan wajah legam karena matahari itu menunjuk bayi dalam gendongan Aira. "Memangnya tidak boleh, Pak?" tanya Aira seraya mengeratkan pelukan di tubuh mungil Raka. "Saya … ya, sudah saya hubungi dulu ke dalam," ujar pria itu tidak yakin. Kemudian berlalu ke dalam bangunan kecil di dalam gerbang, yang diyakini Aira adalah pos-nya. Tak lama berselang, sekuriti itu kembali menghampiri Aira yang hanya berdiri di luar gerbang, menunggu dengan harap-harap cemas. "Mbak, di dalam sudah ada tiga pelamar dan mereka tidak ada yang membawa bayi, kalau salah satu dari mereka Pak Bos terima jadi ibu susu tuan muda, maaf, berarti tidak ada kesempatan buat Mbak." Sekuriti menjelaskan. "Sekarang Mbak berteduh saja dulu di pos, di sini panas," lanjut pria usia empat puluhan itu. Aira mengangguk, kemudian berjalan menuju bangunan kecil di dekat gerbang. Duduk di terasnya dengan terus memeluk Raka. Berdoa meminta pada Yang Kuasa agar membukakan jalan rezekinya. Kalau benar ada rezekinya di rumah itu, pasti Allah akan membukakan jalannya. Setengah jam berlalu. Seorang wanita keluar dari sana diantar pekerja berseragam. Wajah wanita itu lesu. Sepertinya tidak mendapat apa yang ia inginkan. "Nah, Mbak lihat itu. Wanita itu tidak diterima Pak Bos. Padahal dilihat dari bodinya sepertinya air susunya subur. Dia juga tidak membawa bayi." Sekuriti yang dari name tag-nya terbaca Rudy, menunjuk wanita yang baru keluar. Dadanya memang terlihat besar. Lebih dari ukuran normalnya. Aira menarik napas panjang. Ia mencoba tenang. Mungkin memang bukan rezeki wanita itu, siapa tahu rezeki dirinya. Setengah jam kemudian wanita kedua keluar. Kali ini wanita dengan rok mini dan baju berbelahan dada rendah. Wajahnya tertutup make-up tebal. "Nah, yang itu juga tidak diterima. Padahal lihat sendiri kan, Mbak, penampilannya." Kembali sang sekuriti bicara, seolah-olah sengaja mengecilkan hati Aira yang sejatinya sudah kecil harapan. Mendengar cerita sekuriti bernama Rudy dengan satu temannya yang duduk di dalam pos, Aira bisa menyimpulkan kalau Bos rumah itu pastilah seorang yang perfeksionis. Terbayang wajah tua yang diktator, dan tanpa belas kasih dengan kening lebar dan licin karena sebagian rambutnya yang menipis. "Mbak, sudah pulang saja. Saya kasihan sama kamu, nanti sudah lama menunggu ternyata pelamar ketiga diterima. Seingat saya, pelamar ketiga ini wanita muda umur belasan tahun. Pasti air susunya masih sangat subur. Lalu Mbak sendiri, lihatlah! Tubuh kurus kering, masih menyusui bayi sendiri juga. Jadi, saran saya mendingan susui saja anaknya …." Kalimat Rudy tidak selesai karena telepon di pos satpam berbunyi, dan temannya mengabarkan kalau Aira suruh diantar ke dalam. Pria itu bungkam seketika. Apalagi tak lama wanita ketiga yang ia ceritakan, keluar dengan wajah ditekuk dan bibir tak henti mengomel. "Apa lihat-lihat? Mau aku susui, hah?" Wanita yang baru keluar itu melotot tajam ke arah Rudy. "Bos kaliankaliakp itu aneh banget. Lihat mukaku saja tidak mau. Apa aku ini mengerikan?"Wanita itu marah-marah di depan pos satpam. Hingga membuat Aira dan dua sekuriti menganga heran. ***Di sini Aira sekarang. Duduk menggigil di sebuah ruangan sambil mendekap erat Raka yang masih juga tertidur pulas. Tubuh yang tidak terbiasa diterpa pendingin ruangan, yang menjadikan wanita itu menggigil. Aira mengedarkan pandangan dengan takjub. Semua barang yang tertangkap indera penglihatannya membuat wanita itu berdecak kagum sejak tadi. Bahkan sejak seorang pegawai menyambutnya di pintu masuk dan mengantar ke ruangan tersebut. Semua properti yang sering ia lihat dalam sinetron televisi lokal, kini ia saksikan langsung di depan mata. Bahkan ia merasa kerdil berada di ruangan semewah itu. Ia yang menggunakan baju lusuh dan bau keringat, apa bisa diterima bekerja sebagai ibu susu dari anak pemilik rumah itu? Bahkan, tiga wanita sebelumnya yang penampilannya lebih baik dari dirinya, tertolak begitu saja. Sementara ia dengan percaya diri melamar pekerjaan itu. Aira terus berdoa dalam hati agar ada rezeki dirinya di sana. Kalaupun tidak menjadi ibu susu, pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan. Karena seandainya ditolak, ia tidak tahu harus pergi ke mana setelah ini. Pintu ruangan terbuka bersamaan Aira membuka mata. Seorang pria tinggi usia awal empat puluhan berjas rapi masuk, dan langsung menghampiri dirinya. "Sebentar lagi, Bos akan menemui kamu," ujar pria berwajah datar. Kemudian kembali ke depan pintu, membukakan benda persegi panjang itu untuk seseorang. Mata Aira tak berkedip, bahkan wanita itu sampai menahan napas, menunggu seseorang masuk dari sana. Bayangan pria tua botak, buncit, dengan gaya diktator langsung memenuhi imajinasinya. Namun, mata wanita itu melebar sempurna saat sesosok pria gagah dengan kemeja dan celana serba hitam usia awal tiga puluhan keluar dari sana dengan wajah dinginnya. Pupil mata Aira bergerak seiring langkah pria dengan garis wajah tegas, hidung bangir, alis mata tebal juga sepasang rahang yang kokoh dan sedikit berbulu itu, mendekat ke arahnya. Mata Aira terus menatap sosok yang bahkan sudah berhenti dan berdiri di depannya. Wanita itu seolah-olah sedang menikmati wajah seorang pria dalam sebuah lukisan klasik di museum. Tampan, tetapi sangat dingin. Aira bahkan yakin tak pernah ada lengkung senyum di wajah itu. "Ini pelamar berikutnya?" tanya pria dingin kepada pria yang masuk lebih dulu. "Iya, Bos. Hari ini dia yang terakhir." Pria yang masuk lebih dulu menjawab. Pria dingin yang dipanggil bos, memperhatikan Aira dan bayi dalam gendongannya dengan seksama beberapa saat, sebelum berkata dengan tegas. "Tunggu pelamar berikutnya, atau tunggu besok. Aku bahkan tidak yakin wanita ini memiliki air susu. Untuk anaknya saja belum tentu cukup, apalagi dibagi dengan putraku!" Pria dingin berkata bahkan dengan melangkah menuju pintu, tanpa melirik lagi Aira sama sekali. "Tapi, Bos….""Tapi apa Jo? Apa tidak ada lagi wanita menyusui yang sehat dan tergiur dengan uang sepuluh juta?" potong Pria dingin sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu. Pundak Aira pun meluruh, ia ditolak bahkan tidak lebih dari lima menit. Pantas saja semua wanita tadi keluar dengan kecewa. Ternyata dirinya pun sama. Aira berjalan dengan lunglai menuju pintu di mana pria dingin itu keluar. Seorang pelayan membersamainya. Pupus sudah harapan untuk mendapat pekerjaan di hari pertama ia keluar dari rumah Randi. Entah akan ke mana setelah ini. Menawarkan diri sebagai pembantu pun, rasanya tidak mungkin karena ia punya seorang bayi. Pria dingin itu tidak akan sudi mempekerjakan wanita dengan bayi selalu dalam gendongannya. Baru selangkah kaki Aira keluar ruangan itu, terdengar suara tangis bayi entah dari ruangan mana. Awalnya hanya samar, tetapi lama-kelamaan menjadi jelas. Suara tangis itu sangat nyaring, hingga mampu menggetarkan hati Aira. Namun, tak ada alasan untuk kasihan, toh ia sudah ditolak. Aira terus melangkahkan kaki sambil menunduk mengikuti pelayan yang akan mengantarkannya keluar. Hingga …."Jo, suruh wanita itu membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui dengan tubuh berdebu dan bau keringat!"Aira menoleh. Terlihat pria dingin itu menggendong bayi yang menggeliat dan nangis kejer. Pandangan pria dingin tertuju ke arahnya. Apa ini artinya dirinya diterima bekerja?3Aira menatap bayangan dirinya di depan cermin. Ia bahkan tak mengenali dirinya sendiri. Seorang wanita muda cantik dengan tatanan rambut rapi, wajah dipoles make up, dan dress khusus menyusui dengan motif bunga-bunga, sedikit di bawah lutut. Hanya tubuhnya yang terlalu kurus yang membuat dress cantik itu kurang pas di tubuhnya. Sebenarnya, dirinya diterima bekerja sebagai apa di rumah itu? Kenapa hanya jadi seorang ibu susu harus didandani bak Cinderella yang berangkat pesta? Bahkan tadi seorang dokter sudah mengecek kesehatannya dengan detail. Pikiran Aira bertanya-tanya sejak tadi. "Jo, suruh dia membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui wanita berdebu dan bau keringat!"Kalimat pria berwajah dingin saat menyuruh orang kepercayaannya, sangat jelas. Ia memang tidak suka ibu susu anaknya dekil dan kotor. "Beri juga baju-baju yang layak. Jangan biarkan dia berkeliaran di dalam rumahku dengan baju lusuh seperti pengemis!"Aira menarik napas panjang. Ya, boss yang menerimany
4Wajah dingin Alexander semakin merengut. Sepasang alis tebalnya saling bertaut. Rahang kokohnya mengeras, bahkan urat-urat halus di pelipisnya terlihat berkedut. Lelaki itu marah mendengar ucapan Aira. Aira sendiri tidak peduli, ia langsung meninggalkan ruangan yang disinyalir ruang kerja boss dengan urat-urat wajah kaku itu. "Apa yang kau inginkan, Aira Andriani? Apa kau ingin gajimu aku naikkan?"Langkah Aira terhenti di depan pintu. Ia urung membukanya karena mendengar pertanyaan Alexander bernada tinggi. Aira berbalik. Terlihat lelaki berwajah sedingin es itu berdiri di belakang mejanya. "Tidak Tuan, terima kasih," jawab Aira datar seraya meraih handle pintu. "Lalu kau mau apa, Perempuan?" Lagi, suara lelaki itu menahan langkahnya. Kembali Aira berbalik. "Sudah saya katakan, saya tidak mau apa-apa, Tuan. Saya hanya ingin mengundurkan diri dan pergi dari sini," ujar Aira sedikit kesal. "Kau pikir semudah itu pergi dari rumahku?" Alexander keluar dari belakang mejanya, kemu
5"Makan semua makanan itu agar tubuhmu sehat dan air susumu melimpah!" Perintah Alexander menunjuk berbagai makanan yang terhidang di atas meja. Aira kini duduk menghadap meja makan ukuran besar, dengan banyak makanan lezat menggugah selera. Semua makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Semua makanan yang ia tidak tahu apa namanya. "Apa semua ini halal?" tanya Aira menunjuk semua makanan itu. Kemudian menatap bos berwajah dingin yang duduk sangat jauh darinya. Alexander duduk di kursi paling ujung dari meja makan berbentuk oval itu, sedangkan dirinya duduk di ujung lainnya dalam satu garis lurus. Jarak mereka sekitar tiga meter dengan makanan lebih banyak berada di hadapannya daripada di depan lelaki itu. "Maksudmu apa?" Wajah Alexander merengut, alis tebalnya bahkan saling bertaut. "Apa aku harus menunjukkan KTP-ku agar kau tahu agama yang kuanut?"Aira membuang muka. Sepertinya lelaki es ini menganut agama yang sama dengan dirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nam
6"Apa?" Mata wanita semampai terbelalak lebar, mulutnya menganga. "Ibu sambung Alister?""Ya, kenapa?" Alexander bertanya dengan santainya. Tak menghiraukan dua wanita hampir loncat bola mata dan jantungnya. Kembali wanita itu mendekati Alexander yang masih duduk di tempatnya. "Apa kau masih waras, Alex? Bagaimana bisa kau mencari ibu sambung untuk Alister? Sementara aku ini masih istrimu!""Tidak lagi semenjak kau keluar dari rumahku, Vallery! Aku sudah menceraikanmu!" Alexander menjawab sambil memukulkan kedua tangannya ke meja. Kedua bola mata wanita bernama Vallery semakin melebar. Wajahnya memucat. Ia meraih lengan Alexander. "Tidak! Kau tidak pernah menceraikanku, Alexander! Kau masih suamiku. Kita tidak akan pernah bercerai. Aku hanya minta waktu dua tahun saja untuk mewujudkan mimpi yang tertunda, lalu kita melanjutkan pernikahan ini. Aku akan mengurus Alister nanti!" Vallery memekik seraya mengguncang lengan Alexander. Namun, lelaki itu mendengkus sebelum menepis tangan
7"Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan!" perintah Alex setelah Vallery keluar ruangan. Lelaki berwajah sedingin es itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Maaf, Tuan. Apa maksud Anda mengatakan kalau saya calon ibu sambung Tuan muda Alister?" tanya Aira tidak sabar. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya tadi. Aira tidak nyaman dengan ucapan Alexander yang satu itu. Terlebih wanita cantik tadi jadi menebarkan kebencian karenanya. Alexander yang sudah duduk lebih dulu, mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri kaku. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum berucap lagi. "Duduklah dulu, biar kujelaskan ….""Tidak, sebelum Anda menjelaskan apa maksudnya. Saya ….""Memangnya apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir ucapanku itu serius?" potong Alex dengan kesal. Lelaki itu sampai bangkit dari duduknya. "Kau pikir aku serius mengatakan itu?" ulang Alex menatap tajam Aira yang terhenyak. "Percaya dirimu terlalu tinggi, Perempuan. Aku sarankan jangan terlalu banyak
8Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak
9Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. "Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. "Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. Dada yang tiba-tiba sesak mendorong a
10Alexander membuang pandangan setelah keduanya terlibat saling tatap nyalang. Lelaki itu memutuskan kontak mata lebih dulu. "Hanya saja sayang, kalau pegawai salon tidak ada kerjanya. Padahal aku juga sudah membayar mereka," ujarnya dengan suara tidak setinggi tadi. Pandangannya tertuju keluar jendela. Ya, ia memang memiliki salon pribadi di rumah. Pekerja salon yang dulu ia pekerjakan atas permintaan Vallery. Aira tidak menjawab. Ia sudah terlanjur kesal dengan pria dingin dan menyebalkan itu. Tangannya terulur hendak meraih kertas kontrak yang tadi diletakkan di atas meja. Niatnya membatalkan saja pekerjaan itu sekalian, daripada terus berada dalam tekanan lelaki aneh seperti Alexander. Namun, sedetik saja tangannya berhasil meraih kertas-kertas itu, tangan lain dengan cepat mendahului. Tangan kekar mengambil kertas kontrak dan menggenggamnya erat, hingga Aira tak dapat meraihnya. Tangan Alexander. "Mulai hari ini kau resmi jadi ibu susu Alister. Masa kerjamu selama dua tahun
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber