3
Aira menatap bayangan dirinya di depan cermin. Ia bahkan tak mengenali dirinya sendiri. Seorang wanita muda cantik dengan tatanan rambut rapi, wajah dipoles make up, dan dress khusus menyusui dengan motif bunga-bunga, sedikit di bawah lutut. Hanya tubuhnya yang terlalu kurus yang membuat dress cantik itu kurang pas di tubuhnya. Sebenarnya, dirinya diterima bekerja sebagai apa di rumah itu? Kenapa hanya jadi seorang ibu susu harus didandani bak Cinderella yang berangkat pesta? Bahkan tadi seorang dokter sudah mengecek kesehatannya dengan detail. Pikiran Aira bertanya-tanya sejak tadi. "Jo, suruh dia membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui wanita berdebu dan bau keringat!"Kalimat pria berwajah dingin saat menyuruh orang kepercayaannya, sangat jelas. Ia memang tidak suka ibu susu anaknya dekil dan kotor. "Beri juga baju-baju yang layak. Jangan biarkan dia berkeliaran di dalam rumahku dengan baju lusuh seperti pengemis!"Aira menarik napas panjang. Ya, boss yang menerimanya bekerja di sana, tidak suka dirinya yang dekil dan lusuh. Maka, beberapa pegawai mendandani dirinya hingga seperti sekarang. "Aira!" Seorang wanita paruh baya berseragam menghampiri wanita itu. Semua pekerja di rumah ini memang berseragam, kecuali pria yang dipanggil dengan nama Jo. "Namamu Aira, kan?" lanjut wanita paruh baya. Aira hanya mengangguk. Pasti semua orang di rumah ini sudah tahu namanya. Tadi pria bernama Jo, meminta KTP-nya. "Ayo, tuan muda Alister sudah menunggu untuk disusui," ujar wanita itu setelah meneliti penampilan Aira yang sudah didandani pegawai khusus. Mata Aira terbelalak, kemudian menyilangkan kedua tangan di dada. Wajahnya memucat. "Jangan berpikiran kotor, Alister itu nama bayi Tuan Alexander. Usianya baru satu bulan." Wanita paruh baya itu seolah mengerti kekhawatiran Aira. "Oh, aku kira siapa tuan muda Alister itu. Lagian mau menyusui bayi saja, kenapa aku harus didandani seperti ini?" tanya Aira heran. Meminta penjelasan. "Sudahlah, tuan muda Al sudah sangat kelaparan, dari tadi terus menangis. Jangan membuat tuan Alex marah!" Bibir Aira mengerucut. Wanita paruh baya itu tidak mau menjelaskan apa-apa. Ia hanya bisa berjalan mengikuti langkah wanita di depannya. "Kamu harus belajar mengingat setiap sudut rumah ini, karena nanti tidak akan terus kutemani!" ujar wanita itu lagi sambil menyusuri lorong rumah yang berlekuk dan berbelok-belok. Bahkan rasanya, Aira tidak akan hafal hanya dalam satu kali. "Nama Anda siapa, Bu?" tanya Aira sambil menyamai langkah wanita berseragam dengan rambut sebagian memutih. "Panggil saja aku Hasna.""Oh, baik Bu Hasna. Sebenarnya bayi Alister itu ibunya ke mana? Kenapa tidak menyusui….""Sssttt!" Wanita bernama Hasna meletakkan telunjuk di bibirnya seraya menghentikan langkah. "Jangan pernah membahas hal itu di rumah ini, atau akan kena murka Tuan Alex!"Aira spontan menutup mulut dengan kelima jarinya. "Jadi Tuan Alex itu bos di sini, Bu?" Aira mulai mengulik informasi. "Kau pikir siapa?" Kening Hasna berkerut. "Aku pikir ia hanya anak pemilik rumah ini. Aku pikir bos besar di sini seorang….""Hasna! Apa yang kau lakukan di sana? Kau tahu anakku sudah kelaparan, tapi malah mengajak dia bergosip di lorong rumahku?" Tiba-tiba suara bariton dari depan pintu sebuah ruangan, mengagetkan keduanya. Refleks Aira dan Hasna menoleh ke arah sosok berwajah dingin yang menatap tajam mereka. Tubuh keduanya berkerut, sebelum kemudian Hasna menarik tangan Aira untuk memasuki sebuah ruangan. ***Aira duduk menyusui bayi satu bulan itu, entah sudah berapa lama. Bahkan pinggangnya sampai pegal. Bayi itu menyusu dengan sangat rakus, seolah tidak disusui dalam waktu yang sangat lama. Awalnya Aira merasa canggung untuk menyusui bayi yang bukan anaknya. Apalagi di dalam ruangan itu bukan hanya ada ia dan bayi Alister. Namun, ada bos berwajah dingin, wanita bernama Hasna, juga seorang babysitter. "Apa saya akan menyusui di bawah pengawasan Anda, Tuan?" tanya Aira ragu dan sedikit takut, melirik pria dingin yang akhirnya membuang muka. "Tentu saja tidak! Aku hanya ingin memastikan anakku mendapatkan makanannya dengan baik," ujarnya seraya menatap ke arah lain. "Setelah ini kau harus meningkatkan kualitas air susumu. Kau hanya boleh makan makanan yang sudah disiapkan ahli gizi di rumah ini," ucapnya lagi sebelum meninggalkan kamar bayi Alister yang luasnya bahkan dua kali lipat dari rumah Randi. Tempat tinggal Aira dulu. Mata Aira menatap lekat bayi dalam gendongannya. Bayi yang garis wajahnya sangat mirip dengan pria dingin yang belakangan ia tahu bernama Alexander. Kasihan bayi itu, ia menyusu begitu lahap. Bahkan setelah sebelah payudara terasa kosong, dan Aira mengganti dengan yang satunya, bayi itu masih menyusu dengan lahap. Kasihan memang. Namun, pikiran Aira tertuju Raka pada akhirnya. Jika air susunya habis untuk menyusui anak boss, lalu apa Raka masih bisa mendapatkan sisanya? Bahkan, sejak tadi Aira tidak melihat anaknya. Sejak seorang babysitter mengambil alih Raka yang tertidur pulas. Akhirnya setelah sekian lama, bayi Alister tertidur juga setelah puas menyusu. Aira bahkan merasakan tubuhnya mati rasa di beberapa bagian, saking lama ia terduduk dalam satu posisi. Satu pelajaran untuknya. Selanjutnya untuk menyusui bayi itu, ia lebih baik sambil berbaring. Seperti yang dilakukan saat menyusui Raka. Aira teringat kembali dengan sang anak yang pasti juga sudah lapar dan butuh susu. Wanita itu segera keluar ruang kamar, setelah membaringkan bayi Alister di box bayinya yang indah dan nyaman, dibantu seorang babysitter. "Mau ke mana?" Sebuah teguran membuat Aira menoleh ke asal suara. Hasna berdiri di depan pintu kamar itu. "Anak saya di mana, Bu? Ia pasti juga lapar," jawab Aira dengan menoleh ke sembarang arah. Mencari keberadaan Raka. "Anak kamu ada di kamarnya bersama babysitternya."Kening Aira berkerut heran. "Babysitternya?""Iya. Tuan Alex memberikan kamar dan pengasuh khusus untuk anakmu. Karena kamu harus fokus mengurus tuan muda Alister. Sekarang ikut aku! Kamu harus segera makan agar kualitas ASI-mu terjaga.""Tidak! Saya harus menemui dulu anak saya. Ia pasti juga sudah lapar. Saya harus menyusui dia dulu.""Tidak perlu Aira. Anakmu sudah diberi susu formula yang semula dibeli untuk tuan muda Alister….""Apa? Anakku diberi susu formula?" Mata Aira terbelalak. "Iya. Atas perintah tuan Alex."Aira semakin terperangah. Bagaimana bisa ini terjadi? Hati Aira tentu saja menolak keras. "Gila! Ini gila! Aku harus menyusui anak orang lain. Sementara anakku sendiri menyusu di botol?" Aira menatap tajam Hasna dengan dada bergemuruh. Ia rela menjual air susunya demi kelangsungan hidup Raka. Sementara Raka sendiri terabaikan? Aira memejamkan mata dengan perih sebelum berucap, "antar aku ke kamar Raka!"Dengan perasaan tidak enak, Hasna mengantar Aira ke sebuah ruangan agak jauh dari kamar bayi Alister. Aira langsung masuk begitu Hasna membuka pintunya. Wanita itu langsung mencari keberadaan sang anak. Setengah berlari ia menuju box bayi yang sangat mirip dengan milik Alister di kamarnya. Mata wanita itu terbelalak saat melihat seorang babysitter sedang menyusui Raka dengan botol besar di tangannya. Aira segera meraih tubuh Raka, dan membawa dalam dekapannya sambil menangis. Raka yang kaget ikut menangis. Pedih rasanya harus melihat sang anak menyusu dari dot, sedangkan air susunya ia berikan langsung kepada anak orang lain dengan penuh kasih sayang. "Di mana aku bisa menemui tuan besarmu?" tanya Aira menatap tajam Hasna yang merasa tak enak hati. "Maaf, Aira. Kami hanya menjalankan tugas sesuai perintah tuan….""Ya, aku tahu, makanya aku ingin bicara dengan tuanmu. Tunjukkan aku jalannya!" Aira memotong. Hasna menatap Aira beberapa saat sebelum menunduk sebentar, menarik napas panjang, lalu memberi kode agar Aira mengikuti langkahnya. Dengan Raka dalam gendongan dan mulai tenang, Aira mengikuti langkah Hasna menuju lantai bawah. Tempat baru yang semakin membuat kepala Aira pusing harus menghafal setiap lekuk rumah ini, hingga mereka sampai di depan sebuah pintu tinggi bercat putih. Hasna mengetuk pintu, hingga suara bariton dari dalam mempersilahkan masuk. Aira mengekori Hasna memasuki ruangan di mana pria berwajah dingin duduk gagah menekuri layar komputer di meja kebesarannya. "Maaf, Tuan. Aira mau bicara." Hasna langsung menyampaikan tujuannya setelah sebelumnya mengangguk hormat. Alexander menoleh, menatap Hasna dan Aira bergantian dengan ekspresi dingin seperti biasa. "Ada apa?" tanyanya datar. "Saya tidak jadi bekerja di sini, Tuan besar. Saat ini juga, saya mengundurkan diri!" ucap Aira lantang dengan dada terasa turun naik cepat.4Wajah dingin Alexander semakin merengut. Sepasang alis tebalnya saling bertaut. Rahang kokohnya mengeras, bahkan urat-urat halus di pelipisnya terlihat berkedut. Lelaki itu marah mendengar ucapan Aira. Aira sendiri tidak peduli, ia langsung meninggalkan ruangan yang disinyalir ruang kerja boss dengan urat-urat wajah kaku itu. "Apa yang kau inginkan, Aira Andriani? Apa kau ingin gajimu aku naikkan?"Langkah Aira terhenti di depan pintu. Ia urung membukanya karena mendengar pertanyaan Alexander bernada tinggi. Aira berbalik. Terlihat lelaki berwajah sedingin es itu berdiri di belakang mejanya. "Tidak Tuan, terima kasih," jawab Aira datar seraya meraih handle pintu. "Lalu kau mau apa, Perempuan?" Lagi, suara lelaki itu menahan langkahnya. Kembali Aira berbalik. "Sudah saya katakan, saya tidak mau apa-apa, Tuan. Saya hanya ingin mengundurkan diri dan pergi dari sini," ujar Aira sedikit kesal. "Kau pikir semudah itu pergi dari rumahku?" Alexander keluar dari belakang mejanya, kemu
5"Makan semua makanan itu agar tubuhmu sehat dan air susumu melimpah!" Perintah Alexander menunjuk berbagai makanan yang terhidang di atas meja. Aira kini duduk menghadap meja makan ukuran besar, dengan banyak makanan lezat menggugah selera. Semua makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Semua makanan yang ia tidak tahu apa namanya. "Apa semua ini halal?" tanya Aira menunjuk semua makanan itu. Kemudian menatap bos berwajah dingin yang duduk sangat jauh darinya. Alexander duduk di kursi paling ujung dari meja makan berbentuk oval itu, sedangkan dirinya duduk di ujung lainnya dalam satu garis lurus. Jarak mereka sekitar tiga meter dengan makanan lebih banyak berada di hadapannya daripada di depan lelaki itu. "Maksudmu apa?" Wajah Alexander merengut, alis tebalnya bahkan saling bertaut. "Apa aku harus menunjukkan KTP-ku agar kau tahu agama yang kuanut?"Aira membuang muka. Sepertinya lelaki es ini menganut agama yang sama dengan dirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nam
6"Apa?" Mata wanita semampai terbelalak lebar, mulutnya menganga. "Ibu sambung Alister?""Ya, kenapa?" Alexander bertanya dengan santainya. Tak menghiraukan dua wanita hampir loncat bola mata dan jantungnya. Kembali wanita itu mendekati Alexander yang masih duduk di tempatnya. "Apa kau masih waras, Alex? Bagaimana bisa kau mencari ibu sambung untuk Alister? Sementara aku ini masih istrimu!""Tidak lagi semenjak kau keluar dari rumahku, Vallery! Aku sudah menceraikanmu!" Alexander menjawab sambil memukulkan kedua tangannya ke meja. Kedua bola mata wanita bernama Vallery semakin melebar. Wajahnya memucat. Ia meraih lengan Alexander. "Tidak! Kau tidak pernah menceraikanku, Alexander! Kau masih suamiku. Kita tidak akan pernah bercerai. Aku hanya minta waktu dua tahun saja untuk mewujudkan mimpi yang tertunda, lalu kita melanjutkan pernikahan ini. Aku akan mengurus Alister nanti!" Vallery memekik seraya mengguncang lengan Alexander. Namun, lelaki itu mendengkus sebelum menepis tangan
7"Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan!" perintah Alex setelah Vallery keluar ruangan. Lelaki berwajah sedingin es itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Maaf, Tuan. Apa maksud Anda mengatakan kalau saya calon ibu sambung Tuan muda Alister?" tanya Aira tidak sabar. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya tadi. Aira tidak nyaman dengan ucapan Alexander yang satu itu. Terlebih wanita cantik tadi jadi menebarkan kebencian karenanya. Alexander yang sudah duduk lebih dulu, mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri kaku. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum berucap lagi. "Duduklah dulu, biar kujelaskan ….""Tidak, sebelum Anda menjelaskan apa maksudnya. Saya ….""Memangnya apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir ucapanku itu serius?" potong Alex dengan kesal. Lelaki itu sampai bangkit dari duduknya. "Kau pikir aku serius mengatakan itu?" ulang Alex menatap tajam Aira yang terhenyak. "Percaya dirimu terlalu tinggi, Perempuan. Aku sarankan jangan terlalu banyak
8Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak
9Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. "Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. "Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. Dada yang tiba-tiba sesak mendorong a
10Alexander membuang pandangan setelah keduanya terlibat saling tatap nyalang. Lelaki itu memutuskan kontak mata lebih dulu. "Hanya saja sayang, kalau pegawai salon tidak ada kerjanya. Padahal aku juga sudah membayar mereka," ujarnya dengan suara tidak setinggi tadi. Pandangannya tertuju keluar jendela. Ya, ia memang memiliki salon pribadi di rumah. Pekerja salon yang dulu ia pekerjakan atas permintaan Vallery. Aira tidak menjawab. Ia sudah terlanjur kesal dengan pria dingin dan menyebalkan itu. Tangannya terulur hendak meraih kertas kontrak yang tadi diletakkan di atas meja. Niatnya membatalkan saja pekerjaan itu sekalian, daripada terus berada dalam tekanan lelaki aneh seperti Alexander. Namun, sedetik saja tangannya berhasil meraih kertas-kertas itu, tangan lain dengan cepat mendahului. Tangan kekar mengambil kertas kontrak dan menggenggamnya erat, hingga Aira tak dapat meraihnya. Tangan Alexander. "Mulai hari ini kau resmi jadi ibu susu Alister. Masa kerjamu selama dua tahun
11"Ai," panggil Randi dengan bibir bergetar, setelah beberapa saat lalu terpaku melihat Aira dan penampilannya. "Mas Randi?" Kening Aira berkerut. Ia sedikit mundur saat tangan lelaki itu nyaris menyentuhnya. Wanita itu berdiri agak jauh. Sempat menarik napas panjang setelah memperhatikan dengan seksama sosok lelaki yang masih berstatus suaminya. Heran melanda, melihat Randi yang sekarang jauh berbeda dengan Randi yang ia tinggal sebulan lalu. Tubuh kurus, rambut sedikit gondrong, wajah layu, pipi tirus, dan lingkar mata yang menghitam. Lelaki itu terlihat lebih tua dari usianya. Padahal usia Randi baru dua puluh enam tahun. Selisih empat tahun saja dengannya yang baru dua puluh dua tahun. Apa yang terjadi dengan lelaki itu sepeninggal dirinya? Bukankah dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya? "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya Aira pada akhirnya setelah mereka hanya saling memperhatikan penampilan masing-masing. "Kamu cantik sekali, Ai," ucap Randi dengan tatapan ka
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber