6
"Apa?" Mata wanita semampai terbelalak lebar, mulutnya menganga. "Ibu sambung Alister?""Ya, kenapa?" Alexander bertanya dengan santainya. Tak menghiraukan dua wanita hampir loncat bola mata dan jantungnya. Kembali wanita itu mendekati Alexander yang masih duduk di tempatnya. "Apa kau masih waras, Alex? Bagaimana bisa kau mencari ibu sambung untuk Alister? Sementara aku ini masih istrimu!""Tidak lagi semenjak kau keluar dari rumahku, Vallery! Aku sudah menceraikanmu!" Alexander menjawab sambil memukulkan kedua tangannya ke meja. Kedua bola mata wanita bernama Vallery semakin melebar. Wajahnya memucat. Ia meraih lengan Alexander. "Tidak! Kau tidak pernah menceraikanku, Alexander! Kau masih suamiku. Kita tidak akan pernah bercerai. Aku hanya minta waktu dua tahun saja untuk mewujudkan mimpi yang tertunda, lalu kita melanjutkan pernikahan ini. Aku akan mengurus Alister nanti!" Vallery memekik seraya mengguncang lengan Alexander. Namun, lelaki itu mendengkus sebelum menepis tangan jenjang sang wanita dengan kasar. Alexander berdiri kemudian berlalu, meninggalkan ruang makan. Namun, sebelumnya ia berucap ke arah Aira. "Habiskan makananmu, Aira! Lalu segera susui Alister!"Setelah mengucapkan itu, Alexander berjalan cepat meninggalkan ruang makan. Wanita semampai bernama Vallery mengekorinya dengan terus mengoceh. Sementara Aira menarik napas panjang, sebelum lanjut menghabiskan makanan di atas piringnya. ***"Alex, apa kau masih waras mau menggantikan aku dengan wanita seperti itu?" Kembali Vallery berteriak. Wanita itu tidak terima posisinya digantikan dengan seseorang yang menurutnya tidak sepadan. "Dia lebih baik darimu dalam segala hal." Alexander balas dengan santai. Kini mereka berada di ruang kerja lelaki itu. "Hanya pria buta dan bodoh yang mengatakan itu! Bahkan hanya dengan sebelah mata pun, dapat terlihat betapa dia tak ada seujung kuku tanganku." Vallery masih berteriak. "Kau hanya menang secara fisik. Selebihnya, dia jauh lebih baik darimu. Dia mau menyusui anaknya dan tidak takut tubuhnya menjadi kendur seperti yang selalu kau katakan. Dia juga mau menyusui anak orang lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Itu kelebihan dia. Kalau menurutmu dia tidak secantik dirimu, aku bisa membuatnya menjadi wanita paling cantik di dunia.""Stop Alex! Kau mengatakan itu hanya untuk menyakitiku, kan?" Vallery menatap tajam Alexander. "Kau hanya kecewa denganku karena aku harus meninggalkan kalian dua tahun ini, kan? Sesungguhnya kau masih sangat mencintaiku, kan?" Suara Vallery melemah, ia berjalan mendekati Alexander yang berdiri menatap keluar jendela. "Tidak Vallery! Semua sudah berakhir sejak sebulan lalu, sejak kau meninggalkan rumah ini. Meninggalkan Alister yang membutuhkanmu!" Alexander melangkah menjauh saat Vallery mendekatinya. "Please, Lex! Aku hanya minta waktu dua tahun saja. Tidak lama. Kau tahu, kan, kalau ini cita-citaku sejak lama? Aku tidak mungkin melepaskan kesempatan emas ini begitu saja. Aku sudah memperjuangkan ini puluhan tahun." Vallery mulai mengiba. "Setelah kontrak ini selesai dalam dua tahun, aku akan berhenti. Aku janji akan tinggal di rumah mengurusi kau dan Alister.""Dan saat itu Alister sudah tidak mengenalimu sebagai ibunya. Dua tahun bukan waktu sebentar Vallery. Dua tahun itulah masa emas pertumbuhan bayi. Selama dua tahun itu dia membutuhkan ASI dan kasih sayang dirimu! Aku tidak mau Alister tumbuh sepertiku….""Sudahlah, jangan lebay, Lex! Bukankah nanti kalian bisa mengunjungiku di sana?" Vallery memotong. "Ah, kenapa juga Alister harus lahir di saat aku mendapat kontrak itu. Andai aku tidak lupa memakai kontrasepsi, pasti Alister ….""Kau menyesali kelahirannya?" Alexander menatap tajam wanita yang tingginya hampir sama dengan dirinya. "Bukan menyesal, Lex. Hanya saja Alister lahir di waktu yang tidak tepat! Harusnya kita merencanakan kehamilanku dulu saat kita menikah! Kita tidak perlu memperdebatkan ini kalau saja kehamilan Alister bisa ditunda!""Sudahlah, kita tidak perlu membahas masalah ini lagi. Percuma Vall, toh tidak pernah menemukan titik temu, bukan? Kejarlah cita-citamu setinggi langit. Aku dan Alister tidak akan menghalangi. Kami sudah melepaskanmu. Oh ya, ada apa kau datang? Kalau untuk menanyakan surat cerai, baru akan keluar beberapa minggu lagi. Jangan khawatir….""Lex, sudah berapa kali kukatakan, kalau aku tidak mau bercerai. Aku hanya butuh tanda tanganmu sebagai suami sebagai bukti kalau kau mengizinkan aku menerima pekerjaan itu." Vallery membuka tas branded yang sejak tadi tersampir di pundaknya. Lalu menyodorkan beberapa lembar kertas yang ia ambil dari sana. Alexander menatap sekilas kertas-kertas itu sebelum berucap, "kau tidak membutuhkan tanda tanganku lagi karena aku bukan lagi suamimu, Vallery. Kau hanya butuh akta cerai untuk bukti kalau kau wanita bebas, dan surat itu akan keluar sebentar lagi. Bersabarlah!""Alex, sudah kukatakan aku tidak mau bercerai! Bagaimana mungkin terjadi perceraian kalau aku tidak setuju? Jangan gila kamu!" Kembali Vallery berteriak. Wajahnya memerah. Alexander mendengkus seraya tersenyum sinis. "Sayangnya aku sudah mendaftarkan perceraian kita, sejak kau keluar dari rumahku!" Alexander balas dengan suara tinggi. "Bagaimana bisa itu terjadi? Aku tidak pernah ….""Apa yang tidak bisa dilakukan Alexander Ferdinand? Proses cerai kita sudah berjalan, dan akan segera selesai. Jadi, sekarang silahkan tinggalkan rumah ini, dan tunggulah hingga surat cerai selesai, lalu kau bebas melakukan apa pun yang kau suka!"Vallery menatap nanar Alexander yang menatapnya tajam. Sungguh, wanita itu masih sangat mencintai lelaki di hadapannya, tidak pernah terbersit untuk bercerai. Ia hanya minta waktu sebentar saja untuk meraih cita-citanya, tetapi Alexander rupanya tidak mau memberi kesempatan. Vallery terus menatap dalam mata dingin Alexander. Mencari pancaran cinta yang dulu selalu tercipta setiap kali mereka bertatapan seperti ini. Sayangnya, pancaran cinta itu perlahan menghilang dari mata sang lelaki sejak dirinya selalu mengeluh menjalani kehamilan Alister hingga hari ini. Berganti dengan kekecewaan besar, hingga menjadikan lelaki menawan itu berubah sedingin es. Sepasang mata indah milik Vallery berkedip lemah, sebelum wanita tinggi semampai itu berjalan pelan mendekati Alexander. Wanita itu sangat tahu kelemahan sang lelaki, dan sangat mengerti cara menghiburnya. Ia tersenyum manis sebelum mengangkat kedua tangan jenjangnya, lalu dikalungkan di leher sang lelaki. Didekatkan tubuhnya hingga mereka saling menempel, kemudian berbisik mesra di dekat wajah Alexander yang menegang. "Kita bisa saling melepaskan rindu malam ini, Sayang. Aku yakin kau sangat merindukanku. Kau bisa melepaskan rindu sesuka hatimu," bisik Vallery mesra dengan terus menebar pesonanya lewat tatapan mesra. Wanita itu mendekatkan wajahnya. Alexander terbuai, pesona seorang Vallery memang tidak dapat ditolak. Lelaki itu memejamkan mata dengan perlahan, saat merasakan wajah mereka semakin dekat. Namun, ia segera menarik dirinya saat suara pintu ruangan diketuk dari luar. "Siapa?" teriak Alexander hingga membuat Vallery kesal karena telinganya berdengung. "Saya Tuan. Saya sudah menyusui Tuan Muda." Seseorang berteriak dari balik pintu. Alexander melepaskan diri dari pelukan Vallery yang menghentakkan kakinya dengan kesal. Lelaki itu berjalan menuju pintu, lalu membukanya. Sosok Aira dengan gaun malam warna hitam hasil make over pegawainya berdiri di ambang pintu. Wanita itu mengangguk hormat. "Masuklah! Kita harus membicarakan hal penting!" ucap Alexander dengan nada tidak sedingin biasanya. Lelaki itu menyingkir dari pintu untuk memberi Aira jalanMelihat Aira masuk, Vallery gegas menghampiri. Dengan sengaja menghadang langkah wanita itu, lalu memperhatikan Aira dari ujung rambut hingga kakinya. "Kita sudah selesai Vall, keluarlah! Aku mau bicara dengan Aira." Alexander memecah ketegangan yang tiba-tiba tercipta. "Aku akan tetap di sini. Aku ingin tahu apa yang akan kau bicarakan dengan wanita ini." Vallery menjawab ringan dengan terus menatap Aira yang salah tingkah. "Tidak! Pembicaraan kami ini rahasia, siapa pun tidak boleh mendengar. Keluarlah sebelum penjaga….""Ok ok, kalau aku tidak boleh mendengar. Tapi aku akan menunggu di kamar saja, ya!" potong Vallery jengah. Namun, senyum sinis ia lempar ke arah Aira. Lalu mendekatkan wajah ke dekat telinga wanita yang tingginya hanya sebatas pundaknya itu. "Kamu, jangan mimpi terlalu tinggi! Ngaca!!" ucap Vallery pelan tapi penuh penekanan. Aira refleks memundurkan kepala. Terlebih melihat mata wanita semampai itu berkilat-kilat.7"Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan!" perintah Alex setelah Vallery keluar ruangan. Lelaki berwajah sedingin es itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Maaf, Tuan. Apa maksud Anda mengatakan kalau saya calon ibu sambung Tuan muda Alister?" tanya Aira tidak sabar. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya tadi. Aira tidak nyaman dengan ucapan Alexander yang satu itu. Terlebih wanita cantik tadi jadi menebarkan kebencian karenanya. Alexander yang sudah duduk lebih dulu, mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri kaku. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum berucap lagi. "Duduklah dulu, biar kujelaskan ….""Tidak, sebelum Anda menjelaskan apa maksudnya. Saya ….""Memangnya apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir ucapanku itu serius?" potong Alex dengan kesal. Lelaki itu sampai bangkit dari duduknya. "Kau pikir aku serius mengatakan itu?" ulang Alex menatap tajam Aira yang terhenyak. "Percaya dirimu terlalu tinggi, Perempuan. Aku sarankan jangan terlalu banyak
8Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak
9Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. "Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. "Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. Dada yang tiba-tiba sesak mendorong a
10Alexander membuang pandangan setelah keduanya terlibat saling tatap nyalang. Lelaki itu memutuskan kontak mata lebih dulu. "Hanya saja sayang, kalau pegawai salon tidak ada kerjanya. Padahal aku juga sudah membayar mereka," ujarnya dengan suara tidak setinggi tadi. Pandangannya tertuju keluar jendela. Ya, ia memang memiliki salon pribadi di rumah. Pekerja salon yang dulu ia pekerjakan atas permintaan Vallery. Aira tidak menjawab. Ia sudah terlanjur kesal dengan pria dingin dan menyebalkan itu. Tangannya terulur hendak meraih kertas kontrak yang tadi diletakkan di atas meja. Niatnya membatalkan saja pekerjaan itu sekalian, daripada terus berada dalam tekanan lelaki aneh seperti Alexander. Namun, sedetik saja tangannya berhasil meraih kertas-kertas itu, tangan lain dengan cepat mendahului. Tangan kekar mengambil kertas kontrak dan menggenggamnya erat, hingga Aira tak dapat meraihnya. Tangan Alexander. "Mulai hari ini kau resmi jadi ibu susu Alister. Masa kerjamu selama dua tahun
11"Ai," panggil Randi dengan bibir bergetar, setelah beberapa saat lalu terpaku melihat Aira dan penampilannya. "Mas Randi?" Kening Aira berkerut. Ia sedikit mundur saat tangan lelaki itu nyaris menyentuhnya. Wanita itu berdiri agak jauh. Sempat menarik napas panjang setelah memperhatikan dengan seksama sosok lelaki yang masih berstatus suaminya. Heran melanda, melihat Randi yang sekarang jauh berbeda dengan Randi yang ia tinggal sebulan lalu. Tubuh kurus, rambut sedikit gondrong, wajah layu, pipi tirus, dan lingkar mata yang menghitam. Lelaki itu terlihat lebih tua dari usianya. Padahal usia Randi baru dua puluh enam tahun. Selisih empat tahun saja dengannya yang baru dua puluh dua tahun. Apa yang terjadi dengan lelaki itu sepeninggal dirinya? Bukankah dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya? "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya Aira pada akhirnya setelah mereka hanya saling memperhatikan penampilan masing-masing. "Kamu cantik sekali, Ai," ucap Randi dengan tatapan ka
12Alexander berdiri kaku di tempatnya. Menatap wanita yang berjalan menuju jendela dengan terus berusaha menenangkan bayi Alister yang nangis kejer, akibat kaget, juga karena tidurnya terganggu. Alexander masih berdiri kaku di sana tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Sekilas ia melihat kilat kemarahan di mata Aira. Namun, sepertinya bagi wanita itu menenangkan Alister lebih penting daripada mengurus kemarahannya. Alexander sendiri kaget bukan kepalang. Ia tidak tahu kalau Aira sedang berpenampilan seperti itu di dalam. Gara-gara tak sengaja melihat foto-foto Vallery, sakit hatinya kembali menyeruak. Tak percaya rasanya wanita yang begitu ia cintai tega meninggalkan dirinya, juga buah cinta mereka yang masih bayi hanya demi mengejar cita-cita masa mudanya menjadi model internasional. Untuk mengusir rasa sakit hati dari luka yang menganga akibat kepergian sang mantan istri, Alexander berniat menemui Alister yang ia kira sudah tidur. Ia ingin memeluk dan mencium bayinya itu sebelum
13"Tidak, Tuan! Tetap harus dimasukkan ke dalam kontrak, untuk melindungi hakku sebagai wanita!" Aira menyambar dengan cepat, lalu bicara tegas penuh penekanan seraya melemparkan tatapan tajam ke arah wajah dingin yang juga menatapnya. Alexander memutuskan kontak mata lebih dulu, dengan kembali menatap lurus ke depan. Membuang napas kasar berkali-kali. "Baik, besok tanda tangani lagi suratnya di ruang kerjaku!" jawabnya dengan sedikit getar kesal dalam suaranya. Hening. Tak ada yang bicara lagi setelah itu. Baik Alex ataupun Aira hanya diam memperhatikan hamparan kerlap-kerlip di kejauhan sana. Aira merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sementara Alex tidak tahu harus berkata apa. Hanya desau angin malam yang semakin dingin menerpa tubuh keduanya. "Hampir setiap malam kau berdiri di sini menatap bintang. Kau suka sekali berdiri di sini malam-malam, ya? " tanya Alex pada akhirnya. Membuat Aira menoleh heran. Keningnya berkerut dalam. Dari mana Alexander tahu kalau ia serin
14Hampir saja Aira membanting ponsel yang sejak tadi diremasnya kuat. Marah? Tentu saja. Bagaimana ada manusia seperti Randi? Setelah apa yang dilakukan kepada dirinya, dengan tidak tahu malu laki-laki itu datang lagi menceritakan semua kesusahannya. Memohon bantuan. Memaksa lebih tepatnya. Sungguh laki-laki tidak tahu diri. Apa ia lupa bagaimana perlakuannya? Apa Randi pikir, dirinya manusia tanpa hati, yang walaupun sudah disakiti masih bisa dimanfaatkan? Sayangnya, Aira sudah tak peduli lagi apa yang terjadi dengan laki-laki itu. Ingin Aira mematikan ponsel agar Randi tak bisa menghubunginya lagi. Namun, ia ingat masih ada urusan yang belum selesai dengan laki-laki itu. Mereka belum bercerai resmi. Aira takut Randi menyerangnya dengan alasan itu. Ia takut Randi nekat dan berbuat ulah. Aira menarik napas panjang. Sepertinya ia harus bersabar untuk saat ini. Jangan terpancing emosi. Jangan gegabah. Ikuti dulu arusnya. Sampai mereka benar-benar bercerai. Ia harus mulai menyusu
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber