"Honey, apa aku boleh ijin untuk menginap di rumah papa hari ini?"
Ron melirik istrinya sekilas dengan mulut penuh remahan roti. Ia menunggu Bela melanjutkan perkataannya. "Nanti malam ada acara reuni SMA-ku, sudah dua kali aku absen ikut reuni, bolehkah reuni kali ini aku datang?" rayu Bela memohon. "Boleh. Aku akan ikut denganmu." "Tidak, tidak perlu! Aku tidak mau teman-temanku bertemu dan berkenalan dengan suamiku!" Ron menghembuskan napasnya dengan malas. Alasan itu selalu menjadi penghalang bagi Ron untuk kenal lebih dekat dengan lingkungan istrinya. Bela tidak suka teman-temannya yang genit bertemu dengan suaminya. "Boleh kan, Honey? Please ..." Bela mengatupkan kedua tangannya di dada sembari memasang wajah sok imut, berharap Ron akan mengijinkan dia datang. "Baiklah. Jam berapa kamu berangkat?" Ron bertanya sembari meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan asap. "Siang ini, karena aku masih mau ke salon dan membeli baju. Besok pagi aku sudah pulang kok!" Ron mengangguk dan mulai bersiap untuk untuk berangkat bekerja. Seperti biasa, Bela melayangkan kecupan singkat di pipi sang suami sebelum akhirnya mereka berpisah. Ron adalah CEO di perusahaan properti yang dimiliki keluarganya secara turun temurun. Benedict Realty memiliki banyak hotel dan vila yang tersebar di beberapa kota. Dan, Ron adalah anak tunggal, itulah mengapa orangtuanya ingin ia memiliki anak agar bisa menjadi penerus perusahaan keluarga. Dari pagi sampai siang, biasanya Ron akan standby di kantor untuk meeting dengan para stafnya. Menjelang sore, barulah ia akan keluar dan bertemu dengan klien-kliennya dari berbagai vendor. Karena Bela sedang berada di luar kota, Ron akhirnya memilih untuk menyibukkan diri hingga malam. Ia baru pulang setelah Vick, sekretarisnya, mengingatkan Ron untuk beristirahat. Tiba di mansion-nya yang mewah, tadinya Ron ingin langsung mandi dan tidur. Namun, sebotol minuman yang teronggok di meja makan, lantas membuat langkah Ron terhenti karena penasaran. Apakah Bela membeli minuman baru? Mengapa ia meletakkan botol itu di meja makan? "Bik!" panggil Ron pada salah satu pelayan yang baru saja melewatinya. Pelayan itu berhenti dan berbalik dengan sopan. "Ya, Tuan?" "Apa istriku yang membeli minuman itu?" Ron menunjuk botol di meja makan sembari mendekat ke sana. "Iya, Tuan. Tadi nyonya bilang taruh saja botolnya di situ biar Tuan bisa mencobanya kalo sudah pulang." Ron mengernyit heran. Tumben sekali Bela membiarkannya minum? Biasanya Bela sangat benci ketika Ron mabuk. Merasa mendapat lampu hijau untuk melakukan salah satu hobinya di saat lelah dan suntuk, Ron akhirnya mendekat ke meja dan membawa botol berwarna hijau itu ke ruang kerjanya. Baiknya ia meneguk minuman memabukkan itu di tempat yang sunyi. "Ahhh, kau nikmat sekali!" puji Ron ketika se-sloki sampanye itu masuk ke dalam kerongkongannya dengan mulus. Sensasi manis, asam dengan aroma yang tajam berpadu dan meleleh di dalam mulutnya, hingga Ron semakin kalap meneguknya beberapa sloki. Toh, Bela sedang tidak ada bersamanya, jadi Ron akan memuaskan diri meminum sampanye itu sampai mabuk! Entah pukul berapa, saat Ron sudah tak kuat menyangga kepalanya dengan tubuh yang terasa panas membara, ia akhirnya bangkit untuk kembali ke kamarnya sendiri. "Kenapa panas sekali!" keluh Ron sembari mengusap dadanya yang seakan terbakar sambil berjalan menuju kamar. "Memangnya apa merk minuman itu!?" dengusnya sambil membuka pintu. Pening. Seluruh benda yang berada di kamar ini seakan berputar-putar tiada henti. Belum lagi sensasi panas yang menggelenyar di dalam tubuhnya, membuat Ron berulang kali harus merenggangkan tali dasinya dan berakhir melempar benda itu ke sembarang arah. Karena tak sanggup menahannya lagi, Ron bergegas masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. "Bela, di mana handukku!" teriak Ron ketika ia tak menemukan satupun handuk atau bathrobe di kabinet kecil di atas wastafel. "Bela!" Hening. Tak ada respon dari seseorang yang ia panggil sehingga akhirnya Ron memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dengan basah kuyup dan bertelanjang badan. "Ke mana saja orang-orang ini!" Ron mendengus marah karena ia tak mendapati siapapun di mansion. Karena mabuk, Ron lupa jika tadi pagi Bela sudah izin untuk pergi keluar kota dan akan pulang besok. Sambil terus mendumel, Ron membuka pintu lemari di mana Bela biasanya meletakkan handuk-handuk mereka. "Tuan." Deg. Tangan Ron mendadak melayang di udara dan tak jadi menarik selembar handuk yang hampir ia tarik dari lemari. Bukankah itu suara Harsha? "Tuan, tolong saya ..." Suara merintih dan sedikit mendesah itu kembali memanggil Ron dengan mesra. "Harsha, apa yang kamu lakukan di kamarku?" hardik Ron marah karena gadis itu melihatnya dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun. "Tuan, tolong saya. Rasanya sangat panas di sini." Jemari mungil Harsha menyentuh bagian inti tubuhnya dan membuat Ron semakin terbelalak. Di antara akal sehatnya yang masih tersisa, Ron menggeleng cepat untuk menepis gelora nafsunya yang mulai terpancing. Sayangnya, Ron hanya lelaki normal yang baru saja meneguk minuman beralkohol dengan obat perangsang di dalamnya. "Tidak. Jangan begini!" Ron masih mengelak sementara miliknya sudah mengacung tegak dibawah sana tanpa bisa ia kontrol lagi. "Pergi, Harsha! Cepat keluar dari kamar ini!" "Nggak mau, Tuan. Tolonglah. Saya sudah nggak tahan lagi." Harsha bangkit, melepas blouse berkancing yang ia kenakan dan melangkah mendekat ke tempat Ron mematung kaku. "Saya nggak bisa menahannya lagi! Rasanya mau mati!" "Harsha, sadarlah!" Ron meremas kuat pundak gadis yang nampak sangat menggiurkan itu dengan kesadarannya yang mulai terkikis. "Kita tidak boleh hmppp--" Harsha lebih dulu membungkam Ron dengan ciuman. Terlebih saat benda besar dan panjang itu seakan merespon permintaan Harsha meskipun empunya terus saja mengelak. Suhu dingin dari hembusan AC seakan tak mempan mendinginkan dua anak manusia yang sama-sama mabuk dan berada dibawah kendali obat perangsang itu. Harsha melompat ke atas tubuh Ron yang lebih tinggi darinya, dan dengan sigap Ron menahan kedua paha mulus itu dengan bibir keduanya yang masih berpagut. Saat kemudian nafsu itu sudah tak dapat ditahan lagi, Ron membimbing Harsha ke atas ranjang dan menghujani setiap jengkal tubuhnya yang molek dengan ciuman. "Kamu indah sekali, Sha," bisik Ron setelah ia puas menyisir setiap lekuk tubuh gadis yang kini berada dibawah kungkungan tubuhnya. "Aku akan memuaskanmu." . . "Arrrggghhh! Kau! Apa yang kau lakukan di kamarku!" Teriakan Ron terdengar membahana di dalam kamar yang kini telah terang benderang oleh sinar matahari. "Tuan, kenapa saya ada di sini!!" Harsha menarik selimut putih itu untuk menutupi tubuhnya, tetapi hal itu justru memamerkan tubuh Ron yang tengah telanjang bulat dengan benda besar yang berdiri tegak di bawah sana. "Arg!" Harsha ikut berteriak histeris ketika tatapannya tertuju pada senjata panjang dan besar itu. "Tuan, apa yang kamu lakukan!" "Diam! Jangan berteriak dan tutup matamu!" bentak Ron dengan mata membeliak. Saat Harsha benar-benar menutup matanya, Ron segera melompat dari atas ranjang dan mencari pakaiannya di dalam lemari. Sebelum kembali ke ranjang, Ron memungut pakaian Harsha yang tercecer di lantai dan melemparnya pada gadis itu. "Cepat, kenakan pakaianmu!" perintahnya sembari berbalik badan. Matahari di luar sudah semakin terik, Ron melirik jam dinding dan mendelik tak percaya saat jarum pendek di sana menunjukkan angka 10. Ron pasti sudah gila!! "Sudah?" tanya Ron tak sabar. "Sebentar, ini masih memasang braku!" suara Harsha yang sangat ketus membuat darah Ron kembali mendidih. "Jelaskan padaku, apa yang sudah kamu lakukan padaku semalam!" "Kenapa malah bertanya sama aku? Justru aku yang harusnya bertanya, kenapa Tuan memperkosaku?" "What!?" Ron berbalik dengan cepat tapi matanya justru menangkap gundukan pink itu menyapa dengan ramah di matanya. "Shit!! Cepat kenakan pakaianmu, Harsha!" "Ish, cerewet sekali! Makanya jangan ngintip!" omel Harsha jengkel karena Ron terus saja membentaknya. Setelah beberapa menit berlalu dan Harsha sudah mengenakan pakaiannya secara utuh, gadis itu menghempaskan pantatnya di ranjang dengan keras. "Cepat jelaskan, kenapa Tuan tega memperkosaku di saat nyonya Bela sedang berada diluar kota!" "Aku tidak memperkosamu! Kamu sendiri yang masuk ke kamarku." "Aku?? Mana mungkin!" sangkal Harsha terheran-heran. Melihat sikap menyebalkan gadis itu, Ron sontak menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut pusing karena tak percaya pada kesalahan yang baru saja ia perbuat. Sangat memalukan dan konyol! "Lalu apa yang kamu lakukan di mansion ini, huh? Bukankah seharusnya kamu berada di rumahmu sendiri!" Ron bersedekap dan menatap Harsha dengan dingin. "Kau sengaja menggodaku?" "Cih! Mana mungkin. Aku nggak selera dengan pria tua dan emosian sepertimu, Tuan!" "Apa katamu!?" "Honey, I'm home!"Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari penuh kesialan ini akan terjadi. Sejak pagi, Harsha yang sudah bersiap untuk sidang seminar mendadak batal karena dosennya kecelakaan. Pun ketika ia hendak membeli makan siang di kantin, rupanya dompetnya ketinggalan di laci rumah sakit. Alhasil, Harsha harus menahan lapar dan terpaksa pulang ke rumah sakit. Namun, baru saja turun dari motor bututnya, suara dering ponsel lantas membuat langkah Harsha terhenti. Gadis berambut panjang itu merogoh isi tasnya dan meraih gawai pipih berwarna putih itu. Ia membaca barisan nama yang muncul di layar dengan kening berkerut. Nyonya Bela? Tumben dia menelepon siang-siang begini, Harsha membatin sembari bersiap untuk mengangkat telepon itu."Halo, Nyonya.""Harsha, apa hari ini kamu sibuk?" Pertanyaan Bela membuat Harsha berpikir sejenak. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Bela setelah kegagalan kehamilan terakhir. Dan, telepon kali ini membuatnya sedikit trauma, mungkinkah Bela akan memintanya mela
"Sha, kok melamun." Harsha tersentak dan menoleh cepat ke arah sang ibu yang sedang duduk mengawasinya. "Beberapa hari ini Ibu lihat kamu sering melamun. Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" "Nggak ada, Bu. Harsha cuma lagi mikirin jadwal seminar yang nggak ada kabar. Padahal semua sudah siap.""Sabar, Nak. Kamu pasti lulus, Ibu pasti bisa dateng ke acara wisuda kamu," hibur Ranti dengan senyuman khasnya, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Oh iya, aku baru ingat, minggu depan Ibu sudah boleh pulang. Ibu seneng, kan?" Senyuman Ranti mendadak pudar setelah putrinya mengucapkan kalimat yang harusnya membahagiakan itu. Ia kembali teringat pada penjelasan suster Silvi yang selalu menjaganya saat Harsha sedang sibuk. Nominal yang harus dibayar sangatlah besar, bahkan harga rumah mereka saja tak sebanding dengan biaya yang harus dibayarkan Harsha ke rumah sakit. "Kok Ibu malah sedih, Ibu masih ingin di sini, ya?" tanya Harsha sembari mendekat ke ranjang dan duduk di tepianny
"Dev, jangan marah. Aku nggak punya pilihan lain selain meminjam uang sama nyonya Bela." Harsha mulai panik karena Devan terlihat sangat geram. "Dan sebagai gantinya, dia menjualmu. Benar begitu?" Tuduhan Devan sontak membuat Harsha terperanjat. Bibirnya seketika kelu untuk menyangkal perkataan sahabat baiknya itu. "Benar begitu?" ulang Devan dengan mimik wajah kecewa. "Jadi benar rumor yang beredar kalo kamu sekarang jadi wanita panggilan?" Air mata yang menetes dari pelupuk mata Harsha seakan menjadi jawaban atas pertanyaan Devan yang bertubi-tubi. Sementara pria itu hanya bisa menatap Harsha dengan nanar. "A-aku bukan wanita panggilan. Aku hanya di sewa untuk jadi ibu pengganti," jelas Harsha dengan suara lirih diantara isak tangisnya. "Ibu pengganti!?" Devan semakin mendelik syok, kedua tangannya semakin terkepal erat. "Sha, apa kamu sudah gila!""Iya! Aku memang sudah gila! Tapi aku akan lebih gila lagi kalo sampai kehilangan ibuku, Dev! Aku akan melakukan apapun asal bisa
Ron baru saja duduk di meja makan ketika ponsel isterinya berdering dan dibiarkan begitu saja. Bela tetap tenang menyantap makan malamnya sementara ponsel itu terus-terusan menyala dan membuat berisik seisi ruangan. "Kenapa tidak diangkat?" dengus Ron mulai terganggu karena Bela seakan tuli pada suara nyaring itu. Sekilas, Bela melirik suaminya dan tersenyum simpul. "Dia menghubungiku karena membutuhkan uangku. Jadi aku harus membuatnya mengemis lebih dulu." Dari cara bela mengucapkan kata 'dia', Ron tahu siapa yang sedang istrinya itu maksud. Pria itu menghembuskan napas panjang dan menatap Bela dengan tajam. "Kamu belum membayar sisa uangnya?" tebak Ron kecewa, ia pikir semua urusan dengan Harsha sudah selesai dan tidak perlu lagi berhubungan dengan gadis itu. "What for? Toh, dia nggak jadi hamil, kan? Rugi kalo aku membayar tiga ratus juta untuk hal yang sia-sia!" "Bela, dia membutuhkan uang itu untuk biaya bu Ranti!" tukas Ron cepat. "Bagaimana mungkin kamu sepicik ini untu
Sambil berlari tergesa-gesa, Harsha masuk ke dalam toilet umum di lantai satu rumah sakit dan mengeluarkan seluruh isi perutnya di closet. Sepertinya ia masuk angin karena jadwal makannya kacau beberapa hari ini, ditambah lagi ia stress karena memikirkan banyak hal.Setelah beberapa menit berlalu dan dirasa perutnya cukup lega, tangan mungil Harsha lantas menggapai flush closet dan bergerak bangkit dengan lemah. Ia harus cepat istirahat karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah harus pergi dari rumah sakit. Sambil berjalan pelan, Harsha akhirnya sampai di kamar rawat inap Ranti di lantai tiga. Saat ia masuk, Ranti sudah terlelap dibawah selimut putih berlogo palang merah. Setiap kali memperhatikan wanita yang semakin kurus itu, sudut mata Harsha selalu saja basah. Banyak sekali dosa yang ia perbuat pada ibunya, dan Harsha bersumpah akan menebus dosa-dosa itu dengan membahagiakan ibunya sampai akhir hayat. "Ibu, besok kita pulang," bisik Harsha seraya beringsut duduk dan membelai l
Selama berhari-hari, Harsha terpuruk oleh kepergian Ranti yang sangat tiba-tiba. Tiada waktu sedetikpun yang Harsha habiskan tanpa menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ibu. Devan sampai angkat tangan untuk membujuk dan menghibur sahabatnya itu. Harsha tetap menangis seperti bayi setiap kali ingat pada ibunya. Hingga kemudian, suara ketukan pintu di sore hari itu, mau tak mau membuat Harsha bangkit dari ranjang mungilnya dan melangkah gontai menuju ruang tamu. Seraut wajah yang terlihat lelah tetapi tetap menyunggingkan senyum itu membuat Harsha berpaling dengan segera. Ron Kyle. "Aku menemukan ini di depan pintu." Ron mengangsurkan selembar amplop putih dengan logo universitas tempat Harsha menimba ilmu. Hening. Harsha tak memungut ataupun melirik amplop itu dengan antusias."Boleh aku masuk?" "Kalo Tuan kemari untuk membahas tentang bayi lagi, lebih baik Tuan pergi," usir Harsha dingin, bersiap untuk menutup kembali daun pintu yang terbuka itu. Namun, dengan gesit Ron
--- **SURAT PEMBERITAHUAN KELULUSAN SIDANG SKRIPSI** Nomor: 189/UPJ/290624 Kepada Yth, Harsha Luvena NIM : 3829392 Program Studi Psikologi Universitas Panca Juanda Dengan hormat, Berdasarkan hasil sidang skripsi yang telah dilaksanakan pada 29 Juni 2024, kami dengan ini memberitahukan bahwa Anda dinyatakan **LULUS** dalam sidang skripsi dengan judul "Pengaruh Gadget Terhadap Daya Konsentrasi Pada Anak Usia Dini". Kami mengucapkan selamat atas keberhasilan Anda dan semoga hasil kerja keras ini dapat menjadi langkah awal yang baik dalam meraih masa depan yang gemilang. Demikian surat pemberitahuan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasama Anda, kami ucapkan terima kasih. Hormat kami. --- Harsha meluruhkan tubuhnya di lantai seiring dengan berakhirnya ia membaca kata terakhir di surat itu. Yang pertama kali terlintas di pikirannya adalah Ranti. Air mata Harsha menetes deras bak air terjun ketika para dosen tersenyum dan memberikan ucapan selamat. "Aku berhasil, Ibu
Pernikahan Ron dan Bela memang terkesan terburu-buru kala itu. Mereka dijodohkan oleh orang tua masing-masing dan bodohnya, Ron yang belum pernah berpacaran sebelumnya, langsung setuju ketika melihat sosok Bela yang cantik jelita. Sayang, masa pendekatan yang singkat itu menjadi boomerang bagi Ron ketika akhirnya ia tahu jika Bela adalah seorang penganut child free. Terbiasa hidup di luar negeri, membuat Bela condong meniru gaya hidup di sana. Free sex, drugs bahkan pakaian yang serba minim adalah masa lalu Bela yang sempat membuat Ron mengelus dada. Pelan-pelan, Ron membujuk Bela untuk menyukai anak kecil, dan butuh bertahun-tahun untuk membuat istrinya itu akhirnya setuju untuk memiliki seorang anak, dengan syarat bukan dirinya yang hamil dan melahirkan! Ketika akhirnya pilihan untuk mencari ibu pengganti itu jatuh pada Harsha, Ron tak punya pilihan lain untuk menolak. Apalagi, Bela selalu menjelaskan jika Harsha bisa tetap perawan karena nantinya bayi itu akan dilahirkan secara c
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange