"Honey, apa aku boleh ijin untuk menginap di rumah papa hari ini?"
Ron melirik istrinya sekilas dengan mulut penuh remahan roti. Ia menunggu Bela melanjutkan perkataannya. "Nanti malam ada acara reuni SMA-ku, sudah dua kali aku absen ikut reuni, bolehkah reuni kali ini aku datang?" rayu Bela memohon. "Boleh. Aku akan ikut denganmu." "Tidak, tidak perlu! Aku tidak mau teman-temanku bertemu dan berkenalan dengan suamiku!" Ron menghembuskan napasnya dengan malas. Alasan itu selalu menjadi penghalang bagi Ron untuk kenal lebih dekat dengan lingkungan istrinya. Bela tidak suka teman-temannya yang genit bertemu dengan suaminya. "Boleh kan, Honey? Please ..." Bela mengatupkan kedua tangannya di dada sembari memasang wajah sok imut, berharap Ron akan mengijinkan dia datang. "Baiklah. Jam berapa kamu berangkat?" Ron bertanya sembari meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan asap. "Siang ini, karena aku masih mau ke salon dan membeli baju. Besok pagi aku sudah pulang kok!" Ron mengangguk dan mulai bersiap untuk untuk berangkat bekerja. Seperti biasa, Bela melayangkan kecupan singkat di pipi sang suami sebelum akhirnya mereka berpisah. Ron adalah CEO di perusahaan properti yang dimiliki keluarganya secara turun temurun. Benedict Realty memiliki banyak hotel dan vila yang tersebar di beberapa kota. Dan, Ron adalah anak tunggal, itulah mengapa orangtuanya ingin ia memiliki anak agar bisa menjadi penerus perusahaan keluarga. Dari pagi sampai siang, biasanya Ron akan standby di kantor untuk meeting dengan para stafnya. Menjelang sore, barulah ia akan keluar dan bertemu dengan klien-kliennya dari berbagai vendor. Karena Bela sedang berada di luar kota, Ron akhirnya memilih untuk menyibukkan diri hingga malam. Ia baru pulang setelah Vick, sekretarisnya, mengingatkan Ron untuk beristirahat. Tiba di mansion-nya yang mewah, tadinya Ron ingin langsung mandi dan tidur. Namun, sebotol minuman yang teronggok di meja makan, lantas membuat langkah Ron terhenti karena penasaran. Apakah Bela membeli minuman baru? Mengapa ia meletakkan botol itu di meja makan? "Bik!" panggil Ron pada salah satu pelayan yang baru saja melewatinya. Pelayan itu berhenti dan berbalik dengan sopan. "Ya, Tuan?" "Apa istriku yang membeli minuman itu?" Ron menunjuk botol di meja makan sembari mendekat ke sana. "Iya, Tuan. Tadi nyonya bilang taruh saja botolnya di situ biar Tuan bisa mencobanya kalo sudah pulang." Ron mengernyit heran. Tumben sekali Bela membiarkannya minum? Biasanya Bela sangat benci ketika Ron mabuk. Merasa mendapat lampu hijau untuk melakukan salah satu hobinya di saat lelah dan suntuk, Ron akhirnya mendekat ke meja dan membawa botol berwarna hijau itu ke ruang kerjanya. Baiknya ia meneguk minuman memabukkan itu di tempat yang sunyi. "Ahhh, kau nikmat sekali!" puji Ron ketika se-sloki sampanye itu masuk ke dalam kerongkongannya dengan mulus. Sensasi manis, asam dengan aroma yang tajam berpadu dan meleleh di dalam mulutnya, hingga Ron semakin kalap meneguknya beberapa sloki. Toh, Bela sedang tidak ada bersamanya, jadi Ron akan memuaskan diri meminum sampanye itu sampai mabuk! Entah pukul berapa, saat Ron sudah tak kuat menyangga kepalanya dengan tubuh yang terasa panas membara, ia akhirnya bangkit untuk kembali ke kamarnya sendiri. "Kenapa panas sekali!" keluh Ron sembari mengusap dadanya yang seakan terbakar sambil berjalan menuju kamar. "Memangnya apa merk minuman itu!?" dengusnya sambil membuka pintu. Pening. Seluruh benda yang berada di kamar ini seakan berputar-putar tiada henti. Belum lagi sensasi panas yang menggelenyar di dalam tubuhnya, membuat Ron berulang kali harus merenggangkan tali dasinya dan berakhir melempar benda itu ke sembarang arah. Karena tak sanggup menahannya lagi, Ron bergegas masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. "Bela, di mana handukku!" teriak Ron ketika ia tak menemukan satupun handuk atau bathrobe di kabinet kecil di atas wastafel. "Bela!" Hening. Tak ada respon dari seseorang yang ia panggil sehingga akhirnya Ron memutuskan untuk keluar dari kamar mandi dengan basah kuyup dan bertelanjang badan. "Ke mana saja orang-orang ini!" Ron mendengus marah karena ia tak mendapati siapapun di mansion. Karena mabuk, Ron lupa jika tadi pagi Bela sudah izin untuk pergi keluar kota dan akan pulang besok. Sambil terus mendumel, Ron membuka pintu lemari di mana Bela biasanya meletakkan handuk-handuk mereka. "Tuan." Deg. Tangan Ron mendadak melayang di udara dan tak jadi menarik selembar handuk yang hampir ia tarik dari lemari. Bukankah itu suara Harsha? "Tuan, tolong saya ..." Suara merintih dan sedikit mendesah itu kembali memanggil Ron dengan mesra. "Harsha, apa yang kamu lakukan di kamarku?" hardik Ron marah karena gadis itu melihatnya dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun. "Tuan, tolong saya. Rasanya sangat panas di sini." Jemari mungil Harsha menyentuh bagian inti tubuhnya dan membuat Ron semakin terbelalak. Di antara akal sehatnya yang masih tersisa, Ron menggeleng cepat untuk menepis gelora nafsunya yang mulai terpancing. Sayangnya, Ron hanya lelaki normal yang baru saja meneguk minuman beralkohol dengan obat perangsang di dalamnya. "Tidak. Jangan begini!" Ron masih mengelak sementara miliknya sudah mengacung tegak dibawah sana tanpa bisa ia kontrol lagi. "Pergi, Harsha! Cepat keluar dari kamar ini!" "Nggak mau, Tuan. Tolonglah. Saya sudah nggak tahan lagi." Harsha bangkit, melepas blouse berkancing yang ia kenakan dan melangkah mendekat ke tempat Ron mematung kaku. "Saya nggak bisa menahannya lagi! Rasanya mau mati!" "Harsha, sadarlah!" Ron meremas kuat pundak gadis yang nampak sangat menggiurkan itu dengan kesadarannya yang mulai terkikis. "Kita tidak boleh hmppp--" Harsha lebih dulu membungkam Ron dengan ciuman. Terlebih saat benda besar dan panjang itu seakan merespon permintaan Harsha meskipun empunya terus saja mengelak. Suhu dingin dari hembusan AC seakan tak mempan mendinginkan dua anak manusia yang sama-sama mabuk dan berada dibawah kendali obat perangsang itu. Harsha melompat ke atas tubuh Ron yang lebih tinggi darinya, dan dengan sigap Ron menahan kedua paha mulus itu dengan bibir keduanya yang masih berpagut. Saat kemudian nafsu itu sudah tak dapat ditahan lagi, Ron membimbing Harsha ke atas ranjang dan menghujani setiap jengkal tubuhnya yang molek dengan ciuman. "Kamu indah sekali, Sha," bisik Ron setelah ia puas menyisir setiap lekuk tubuh gadis yang kini berada dibawah kungkungan tubuhnya. "Aku akan memuaskanmu." . . "Arrrggghhh! Kau! Apa yang kau lakukan di kamarku!" Teriakan Ron terdengar membahana di dalam kamar yang kini telah terang benderang oleh sinar matahari. "Tuan, kenapa saya ada di sini!!" Harsha menarik selimut putih itu untuk menutupi tubuhnya, tetapi hal itu justru memamerkan tubuh Ron yang tengah telanjang bulat dengan benda besar yang berdiri tegak di bawah sana. "Arg!" Harsha ikut berteriak histeris ketika tatapannya tertuju pada senjata panjang dan besar itu. "Tuan, apa yang kamu lakukan!" "Diam! Jangan berteriak dan tutup matamu!" bentak Ron dengan mata membeliak. Saat Harsha benar-benar menutup matanya, Ron segera melompat dari atas ranjang dan mencari pakaiannya di dalam lemari. Sebelum kembali ke ranjang, Ron memungut pakaian Harsha yang tercecer di lantai dan melemparnya pada gadis itu. "Cepat, kenakan pakaianmu!" perintahnya sembari berbalik badan. Matahari di luar sudah semakin terik, Ron melirik jam dinding dan mendelik tak percaya saat jarum pendek di sana menunjukkan angka 10. Ron pasti sudah gila!! "Sudah?" tanya Ron tak sabar. "Sebentar, ini masih memasang braku!" suara Harsha yang sangat ketus membuat darah Ron kembali mendidih. "Jelaskan padaku, apa yang sudah kamu lakukan padaku semalam!" "Kenapa malah bertanya sama aku? Justru aku yang harusnya bertanya, kenapa Tuan memperkosaku?" "What!?" Ron berbalik dengan cepat tapi matanya justru menangkap gundukan pink itu menyapa dengan ramah di matanya. "Shit!! Cepat kenakan pakaianmu, Harsha!" "Ish, cerewet sekali! Makanya jangan ngintip!" omel Harsha jengkel karena Ron terus saja membentaknya. Setelah beberapa menit berlalu dan Harsha sudah mengenakan pakaiannya secara utuh, gadis itu menghempaskan pantatnya di ranjang dengan keras. "Cepat jelaskan, kenapa Tuan tega memperkosaku di saat nyonya Bela sedang berada diluar kota!" "Aku tidak memperkosamu! Kamu sendiri yang masuk ke kamarku." "Aku?? Mana mungkin!" sangkal Harsha terheran-heran. Melihat sikap menyebalkan gadis itu, Ron sontak menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut pusing karena tak percaya pada kesalahan yang baru saja ia perbuat. Sangat memalukan dan konyol! "Lalu apa yang kamu lakukan di mansion ini, huh? Bukankah seharusnya kamu berada di rumahmu sendiri!" Ron bersedekap dan menatap Harsha dengan dingin. "Kau sengaja menggodaku?" "Cih! Mana mungkin. Aku nggak selera dengan pria tua dan emosian sepertimu, Tuan!" "Apa katamu!?" "Honey, I'm home!"Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari penuh kesialan ini akan terjadi. Sejak pagi, Harsha yang sudah bersiap untuk sidang seminar mendadak batal karena dosennya kecelakaan. Pun ketika ia hendak membeli makan siang di kantin, rupanya dompetnya ketinggalan di laci rumah sakit. Alhasil, Harsha harus menahan lapar dan terpaksa pulang ke rumah sakit. Namun, baru saja turun dari motor bututnya, suara dering ponsel lantas membuat langkah Harsha terhenti. Gadis berambut panjang itu merogoh isi tasnya dan meraih gawai pipih berwarna putih itu. Ia membaca barisan nama yang muncul di layar dengan kening berkerut. Nyonya Bela? Tumben dia menelepon siang-siang begini, Harsha membatin sembari bersiap untuk mengangkat telepon itu."Halo, Nyonya.""Harsha, apa hari ini kamu sibuk?" Pertanyaan Bela membuat Harsha berpikir sejenak. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Bela setelah kegagalan kehamilan terakhir. Dan, telepon kali ini membuatnya sedikit trauma, mungkinkah Bela akan memintanya mela
"Sha, kok melamun." Harsha tersentak dan menoleh cepat ke arah sang ibu yang sedang duduk mengawasinya. "Beberapa hari ini Ibu lihat kamu sering melamun. Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" "Nggak ada, Bu. Harsha cuma lagi mikirin jadwal seminar yang nggak ada kabar. Padahal semua sudah siap.""Sabar, Nak. Kamu pasti lulus, Ibu pasti bisa dateng ke acara wisuda kamu," hibur Ranti dengan senyuman khasnya, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Oh iya, aku baru ingat, minggu depan Ibu sudah boleh pulang. Ibu seneng, kan?" Senyuman Ranti mendadak pudar setelah putrinya mengucapkan kalimat yang harusnya membahagiakan itu. Ia kembali teringat pada penjelasan suster Silvi yang selalu menjaganya saat Harsha sedang sibuk. Nominal yang harus dibayar sangatlah besar, bahkan harga rumah mereka saja tak sebanding dengan biaya yang harus dibayarkan Harsha ke rumah sakit. "Kok Ibu malah sedih, Ibu masih ingin di sini, ya?" tanya Harsha sembari mendekat ke ranjang dan duduk di tepianny
"Dev, jangan marah. Aku nggak punya pilihan lain selain meminjam uang sama nyonya Bela." Harsha mulai panik karena Devan terlihat sangat geram. "Dan sebagai gantinya, dia menjualmu. Benar begitu?" Tuduhan Devan sontak membuat Harsha terperanjat. Bibirnya seketika kelu untuk menyangkal perkataan sahabat baiknya itu. "Benar begitu?" ulang Devan dengan mimik wajah kecewa. "Jadi benar rumor yang beredar kalo kamu sekarang jadi wanita panggilan?" Air mata yang menetes dari pelupuk mata Harsha seakan menjadi jawaban atas pertanyaan Devan yang bertubi-tubi. Sementara pria itu hanya bisa menatap Harsha dengan nanar. "A-aku bukan wanita panggilan. Aku hanya di sewa untuk jadi ibu pengganti," jelas Harsha dengan suara lirih diantara isak tangisnya. "Ibu pengganti!?" Devan semakin mendelik syok, kedua tangannya semakin terkepal erat. "Sha, apa kamu sudah gila!""Iya! Aku memang sudah gila! Tapi aku akan lebih gila lagi kalo sampai kehilangan ibuku, Dev! Aku akan melakukan apapun asal bisa
Ron baru saja duduk di meja makan ketika ponsel isterinya berdering dan dibiarkan begitu saja. Bela tetap tenang menyantap makan malamnya sementara ponsel itu terus-terusan menyala dan membuat berisik seisi ruangan. "Kenapa tidak diangkat?" dengus Ron mulai terganggu karena Bela seakan tuli pada suara nyaring itu. Sekilas, Bela melirik suaminya dan tersenyum simpul. "Dia menghubungiku karena membutuhkan uangku. Jadi aku harus membuatnya mengemis lebih dulu." Dari cara bela mengucapkan kata 'dia', Ron tahu siapa yang sedang istrinya itu maksud. Pria itu menghembuskan napas panjang dan menatap Bela dengan tajam. "Kamu belum membayar sisa uangnya?" tebak Ron kecewa, ia pikir semua urusan dengan Harsha sudah selesai dan tidak perlu lagi berhubungan dengan gadis itu. "What for? Toh, dia nggak jadi hamil, kan? Rugi kalo aku membayar tiga ratus juta untuk hal yang sia-sia!" "Bela, dia membutuhkan uang itu untuk biaya bu Ranti!" tukas Ron cepat. "Bagaimana mungkin kamu sepicik ini untu
Sambil berlari tergesa-gesa, Harsha masuk ke dalam toilet umum di lantai satu rumah sakit dan mengeluarkan seluruh isi perutnya di closet. Sepertinya ia masuk angin karena jadwal makannya kacau beberapa hari ini, ditambah lagi ia stress karena memikirkan banyak hal.Setelah beberapa menit berlalu dan dirasa perutnya cukup lega, tangan mungil Harsha lantas menggapai flush closet dan bergerak bangkit dengan lemah. Ia harus cepat istirahat karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah harus pergi dari rumah sakit. Sambil berjalan pelan, Harsha akhirnya sampai di kamar rawat inap Ranti di lantai tiga. Saat ia masuk, Ranti sudah terlelap dibawah selimut putih berlogo palang merah. Setiap kali memperhatikan wanita yang semakin kurus itu, sudut mata Harsha selalu saja basah. Banyak sekali dosa yang ia perbuat pada ibunya, dan Harsha bersumpah akan menebus dosa-dosa itu dengan membahagiakan ibunya sampai akhir hayat. "Ibu, besok kita pulang," bisik Harsha seraya beringsut duduk dan membelai l
Selama berhari-hari, Harsha terpuruk oleh kepergian Ranti yang sangat tiba-tiba. Tiada waktu sedetikpun yang Harsha habiskan tanpa menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ibu. Devan sampai angkat tangan untuk membujuk dan menghibur sahabatnya itu. Harsha tetap menangis seperti bayi setiap kali ingat pada ibunya. Hingga kemudian, suara ketukan pintu di sore hari itu, mau tak mau membuat Harsha bangkit dari ranjang mungilnya dan melangkah gontai menuju ruang tamu. Seraut wajah yang terlihat lelah tetapi tetap menyunggingkan senyum itu membuat Harsha berpaling dengan segera. Ron Kyle. "Aku menemukan ini di depan pintu." Ron mengangsurkan selembar amplop putih dengan logo universitas tempat Harsha menimba ilmu. Hening. Harsha tak memungut ataupun melirik amplop itu dengan antusias."Boleh aku masuk?" "Kalo Tuan kemari untuk membahas tentang bayi lagi, lebih baik Tuan pergi," usir Harsha dingin, bersiap untuk menutup kembali daun pintu yang terbuka itu. Namun, dengan gesit Ron
--- **SURAT PEMBERITAHUAN KELULUSAN SIDANG SKRIPSI** Nomor: 189/UPJ/290624 Kepada Yth, Harsha Luvena NIM : 3829392 Program Studi Psikologi Universitas Panca Juanda Dengan hormat, Berdasarkan hasil sidang skripsi yang telah dilaksanakan pada 29 Juni 2024, kami dengan ini memberitahukan bahwa Anda dinyatakan **LULUS** dalam sidang skripsi dengan judul "Pengaruh Gadget Terhadap Daya Konsentrasi Pada Anak Usia Dini". Kami mengucapkan selamat atas keberhasilan Anda dan semoga hasil kerja keras ini dapat menjadi langkah awal yang baik dalam meraih masa depan yang gemilang. Demikian surat pemberitahuan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasama Anda, kami ucapkan terima kasih. Hormat kami. --- Harsha meluruhkan tubuhnya di lantai seiring dengan berakhirnya ia membaca kata terakhir di surat itu. Yang pertama kali terlintas di pikirannya adalah Ranti. Air mata Harsha menetes deras bak air terjun ketika para dosen tersenyum dan memberikan ucapan selamat. "Aku berhasil, Ibu
Pernikahan Ron dan Bela memang terkesan terburu-buru kala itu. Mereka dijodohkan oleh orang tua masing-masing dan bodohnya, Ron yang belum pernah berpacaran sebelumnya, langsung setuju ketika melihat sosok Bela yang cantik jelita. Sayang, masa pendekatan yang singkat itu menjadi boomerang bagi Ron ketika akhirnya ia tahu jika Bela adalah seorang penganut child free. Terbiasa hidup di luar negeri, membuat Bela condong meniru gaya hidup di sana. Free sex, drugs bahkan pakaian yang serba minim adalah masa lalu Bela yang sempat membuat Ron mengelus dada. Pelan-pelan, Ron membujuk Bela untuk menyukai anak kecil, dan butuh bertahun-tahun untuk membuat istrinya itu akhirnya setuju untuk memiliki seorang anak, dengan syarat bukan dirinya yang hamil dan melahirkan! Ketika akhirnya pilihan untuk mencari ibu pengganti itu jatuh pada Harsha, Ron tak punya pilihan lain untuk menolak. Apalagi, Bela selalu menjelaskan jika Harsha bisa tetap perawan karena nantinya bayi itu akan dilahirkan secara c