"Mba Harsha, kondisi Ibu drop dan sekarang dipindah ke ICU."
Bagai tersengat listrik ribuan volt, Harsha merasa tubuhnya membeku seketika. Ponsel milik Bela perlahan jatuh dari tangannya, seiring dengan air mata yang menetes deras. "Ibu!!" Ditemani oleh Bela dan supir, Harsha akhirnya diantar menuju rumah sakit. Kondisinya psikisnya yang drop, membuat Bela khawatir jika membiarkan Harsha berangkat seorang diri. Dan yang paling penting, Bela tak mau calon bayinya juga terkena dampak. Di rumah sakit, karena dilarang berlari atau berjalan cepat, akhirnya Harsha harus menahan diri untuk tidak banyak bergerak. Sampai di depan ruang ICU dengan jendela kaca yang membatasi ruangan itu, Harsha menatap ibunya dari luar dengan pilu. "Ibu, jangan tinggalin Harsha, Bu," tangis Harsha sedih sembari mengusap kaca itu seakan membelai wajah ibunya. "Maafin Harsha, jangan pergi dulu, Bu." "Sha, bu Ranti pasti segera pulih," hibur Bela. "Saya banyak dosa sama ibu saya, Nyonya. Saya bahkan belum minta maaf karena sudah membohongi ibu beberapa bulan ini," ratap Harsha dengan perasaan sesal yang menyesakkan dada. "Kalo ibu sampai pergi, saya nggak akan pernah maafin diri saya sendiri." "Bu Ranti pasti sembuh, Sha. Beliau pasti bangun. Jangan ngomong yang buruk, beliau bisa nendengarmu!" Bela menasihati gadis muda di sampingnya ini dengan tegas. "Berdoalah, semoga ibumu cepat sadar. Jangan nangis lagi." Tak tahu harus meluapkan kesedihannya dengan cara apa, akhirnya Harsha memeluk Bela untuk meredakan sedikit rasa hancurnya. Tentu saja Bela sempat terkejut dengan tingkah Harsha yang dinilainya terlampau berani, tetapi beberapa detik berikutnya ia malah membiarkan Harsha menangis di bahunya. Menjelang sore, saat dokter visit. Harsha mendapat kabar jika kondisi ibunya drop secara tiba-tiba. Bahkan pagi sebelumnya, Ranti masih sempat makan dengan lahap dan bercanda dengan suster yang menjaganya. "Apa boleh malam ini saya menginap di rumah sakit untuk menemani ibu saya, Nyonya?" tanya Harsha meminta ijin ketika Bela mengajaknya pulang. "Besok saja kita kembali ke sini lagi, Sha. Kamu harus istirahat." "Tapi saya--" "Kesehatan janin kami lebih penting, Sha. Kamu paham, kan?" Meskipun tak rela meninggalkan ibunya, pada akhirnya Harsha patuh pada perintah Bela. Ia memang tak memiliki hak atas tubuhnya sendiri sejak ia menandatangani surat perjanjian itu. Bahkan Harsha tak lebih berharga dari patung yang bisa diperlakukan semaunya. Hingga malam, Harsha belum jua bisa tidur dan memejamkan mata. Alam bawah sadarnya seakan memaksa Harsha untuk tetap terjaga meskipun badannya sangat lelah. Sudah empat minggu janin ini aman di rahim Harsha, setelah sebelum-sebelumnya hanya bertahan selama dua minggu. Jadi pantaslah jika Bela sangat berharap jika janinnya akan tumbuh sehat dan berkembang. Merasa lelah hanya dengan berbalik ke kanan dan kiri di atas ranjang, akhirnya Harsha memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di taman. Jam sudah menunjukkan angka satu dinihari dan Harsha tak sekalipun gentar untuk menikmati udara malam. Halaman rumah yang luas dengan beraneka macam tanaman dan bunga menghiasi setiap sudutnya, juga air mancur dengan kolam ikan dibawahnya. Harsha kecil sangat suka bermain di kolam ikan itu, bahkan pernah jatuh di sana dan mandi bersama ikan-ikan itu. "Belum tidur?" Suara bariton yang serak dan tiba-tiba menyapa, membuat Harsha berjengit kaget. Ia menoleh cepat ke asal suara di belakangnya dan membeliakkan mata ketika sosok Ron tertangkap oleh indranya. "T-tuan Ron?" "Bela bisa marah kalo melihatmu masih kelayapan malam-malam begini." Harsha merapatkan jaket sweater-nya dengan gelisah. "Tolong jangan beritahu nyonya Bela. Saya hanya nggak bisa tidur karena kepikiran sama ibu." Ron mengangkat sebelah alisnya dengan bingung. "Bu Ranti? Memangnya ada apa dengannya?" "Tadi siang saya ditelepon rumah sakit, kondisi ibu drop dan harus dirawat di ICU lagi," terang Harsha sembari menyeka air mata yang menetes di pipinya. Membahas ibunya selalu membuat perasaan Harsha menjadi mellow. Ranti adalah melemahkan Harsha. Ron hanya menyimak, ia memperhatikan air mata di pipi Harsha yang berkilau saat terbias sinar. "Tuan," panggil Harsha ketika ia teringat sesuatu. "Ya?" "Apakah keperawanan wanita itu sangat penting untuk kaum pria?" Pertanyaan itu membuat Ron seketika bungkam. Ia mengalihkan tatapannya dari sorot tajam netra Harsha yang menelisiknya. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" Ron akhirnya membalik pertanyaan karena ia tak bisa menjawab. "Karena dulu ibu saya pernah bilang, keperawanan perempuan itu ibarat mahkotanya seorang ratu yang harus dijaga. Saya merasa sangat berdosa karena sudah membohongi ibu saya dengan cara seperti ini." "Sha, kamu masih tetap perawan! Bahkan dokter menjamin itu." "Tapi saya takut pandangan orang diluar tentang saya, Tuan." "Mereka tidak punya andil apa-apa atas hidupmu. Jangan pedulikan omongan orang. Jangan buang-buang waktumu dengan memikirkan pendapat mereka!" Ron mulai terpancing. "Masuklah ke kamarmu dan tidurlah!" Ron menggertak Harsha seperti seorang ayah yang memerintah putrinya untuk segera tidur. Dan anehnya, Harsha sangat penurut meskipun ia sebenarnya masih ingin diluar dan menikmati udara segar. "Sha, tunggu." Langkah kaki Harsha terhenti dengan ragu, ia menoleh dan memperhatikan Ron yang sedang memandangi tubuhnya sembari menggeleng dengan raut wajah tak terbaca. Seakan semesta dan Tuhan tak mendukung usaha keras Bela, malam itu Harsha kembali pendarahan hebat. Ron sampai harus membantu Harsha kembali ke kamar dengan membopongnya karena darah mengucur deras setiap kali Harsha melangkah. "Maafkan saya, Tuan," pinta Harsha penuh sesal karena telah gagal mewujudkan impian Ron dan Bela untuk menjadi orang tua. Ron bergeming, ia fokus menggendong Harsha kembali ke kamar dengan jantung berdetak tak karuan. Bahkan, bagian bawah tubuhnya sudah bereaksi sejak mengendus aroma strawberry dari rambut gadis itu. "Diamlah, jangan menangis!" Ron membuka pintu kamar dengan susah payah lantas membaringkan Harsha di ranjang. "Tunggu sebentar, aku akan membangunkan Bela." Dengan sigap, Harsha menarik lengan Ron sebelum pria itu berbalik pergi. "Besok saja, Tuan. Biar malam ini nyonya Bela tidur dengan nyenyak. Saya tidak sampai hati melihatnya kecewa." Langkah Ron tertahan, ia melirik tangan mungil yang mencekal lengannya. "Saya akan membersihkan diri dulu. Tuan kembalilah istirahat." "Apa kamu yakin bisa melakukannya sendiri?" tanya Ron cemas ketika dilihatnya rok putih itu sudah berlumuran darah. Dengan senyuman diantara air mata itu, Harsha mengangguk pelan. "Iya. Saya sudah dua kali mengalami momen ini," pungkasnya sedih. Pada akhirnya, Ron keluar dari kamar Harsha dan membiarkan gadis itu membersihkan diri tanpa bantuan siapapun. Meskipun sangat cemas, tetapi Ron tak bisa berbuat banyak untuk membantunya. Keesokan pagi, kabar kegagalan itu tentu saja membuat Bela menangis sedih. Kehamilan itu adalah embrio terakhir yang tersisa, dan nyatanya tak bisa bertahan lama di rahim Harsha. "Maafkan saya, Nyonya." Harsha sekali lagi mengucapkan kalimat singkat itu dengan penuh penyesalan. "Saya berjanji akan mencicil uang yang sudah Tuan dan Nyonya berikan. Saya tetap berhutang karena saya gagal membantu anda." "Jangan pikirkan uang itu." Ron memotong dengan ketus, ia menatap Harsha yang terus menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya sedikitpun. "Fokuslah sama kesembuhan bu Ranti dulu." "Bagaimana bisa seperti itu, Honey? Kita juga butuh keturunan!" Bela menatap suaminya dengan kesal. "Bukankah aku sudah bilang sama kamu, jangan terlalu capek dan banyak pikiran! Kalo seperti ini, kamu justru merugikan kami, Sha!" cerca Bela tanpa ampun. Harsha hanya bisa menangis dari kursinya, ia merasa tak berdaya dan merasa sangat bersalah. Bela benar, harusnya Harsha lebih bisa mengontrol perasaannya. "Cukup, Bela. Berhenti menyalahkan Harsha," bela Ron geram. "Apapun yang terjadi padanya, kamu tidak berhak untuk mengaturnya." "Aku berhak, Ron! Aku membayarnya sebagai ibu pengganti. Aku membiayai rumah sakit dan operasi ibunya! Tentu aku punya hak untuk mengendalikan dia!" "Enough!" bentak Ron keras dengan sebuah pukulan tinju di meja. Harsha sampai tersentak kaget mendengar teriakan itu. Bela pun tak kuasa menahan rasa terkejutnya. Ini kali pertama Ron terlihat sangat marah. "Aku lelah mendengar pembahasan ini selama berbulan-bulan. Aku lelah melihat ambisimu konyolmu itu, Bela. Sudah. Cukup. Hentikan semua ini!" Ron bangkit dari kursinya dan berlalu pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Beberapa saat setelah semua kembali sunyi, Bela kembali fokus pada Harsha dan menatapnya dengan bengis. "Kamu harus tetap hamil, Sha. Bagaimana pun caranya! Kamu harus melahirkan anak untuk kami." Belum sempat Harsha menyela, Bela lebih dulu bangkit dari kursinya dan berlalu dengan langkah lebar. Sambil terisak, Harsha hanya bisa mengawasi majikannya itu masuk ke dalam mobil mewahnya dan pergi. Harsha tak tahu, jika Bela sudah memiliki senjata pamungkas yang akan ia eksekusikan segera setelah Harsha selesai menstruasi. Bagaimanapun caranya, Bela harus punya anak yang akan melanjutkan kerajaan bisnis Bernandi."Honey, apa aku boleh ijin untuk menginap di rumah papa hari ini?" Ron melirik istrinya sekilas dengan mulut penuh remahan roti. Ia menunggu Bela melanjutkan perkataannya. "Nanti malam ada acara reuni SMA-ku, sudah dua kali aku absen ikut reuni, bolehkah reuni kali ini aku datang?" rayu Bela memohon. "Boleh. Aku akan ikut denganmu.""Tidak, tidak perlu! Aku tidak mau teman-temanku bertemu dan berkenalan dengan suamiku!" Ron menghembuskan napasnya dengan malas. Alasan itu selalu menjadi penghalang bagi Ron untuk kenal lebih dekat dengan lingkungan istrinya. Bela tidak suka teman-temannya yang genit bertemu dengan suaminya. "Boleh kan, Honey? Please ..." Bela mengatupkan kedua tangannya di dada sembari memasang wajah sok imut, berharap Ron akan mengijinkan dia datang. "Baiklah. Jam berapa kamu berangkat?" Ron bertanya sembari meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan asap. "Siang ini, karena aku masih mau ke salon dan membeli baju. Besok pagi aku sudah pulang kok!" Ron mengang
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari penuh kesialan ini akan terjadi. Sejak pagi, Harsha yang sudah bersiap untuk sidang seminar mendadak batal karena dosennya kecelakaan. Pun ketika ia hendak membeli makan siang di kantin, rupanya dompetnya ketinggalan di laci rumah sakit. Alhasil, Harsha harus menahan lapar dan terpaksa pulang ke rumah sakit. Namun, baru saja turun dari motor bututnya, suara dering ponsel lantas membuat langkah Harsha terhenti. Gadis berambut panjang itu merogoh isi tasnya dan meraih gawai pipih berwarna putih itu. Ia membaca barisan nama yang muncul di layar dengan kening berkerut. Nyonya Bela? Tumben dia menelepon siang-siang begini, Harsha membatin sembari bersiap untuk mengangkat telepon itu."Halo, Nyonya.""Harsha, apa hari ini kamu sibuk?" Pertanyaan Bela membuat Harsha berpikir sejenak. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Bela setelah kegagalan kehamilan terakhir. Dan, telepon kali ini membuatnya sedikit trauma, mungkinkah Bela akan memintanya mela
"Sha, kok melamun." Harsha tersentak dan menoleh cepat ke arah sang ibu yang sedang duduk mengawasinya. "Beberapa hari ini Ibu lihat kamu sering melamun. Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" "Nggak ada, Bu. Harsha cuma lagi mikirin jadwal seminar yang nggak ada kabar. Padahal semua sudah siap.""Sabar, Nak. Kamu pasti lulus, Ibu pasti bisa dateng ke acara wisuda kamu," hibur Ranti dengan senyuman khasnya, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Oh iya, aku baru ingat, minggu depan Ibu sudah boleh pulang. Ibu seneng, kan?" Senyuman Ranti mendadak pudar setelah putrinya mengucapkan kalimat yang harusnya membahagiakan itu. Ia kembali teringat pada penjelasan suster Silvi yang selalu menjaganya saat Harsha sedang sibuk. Nominal yang harus dibayar sangatlah besar, bahkan harga rumah mereka saja tak sebanding dengan biaya yang harus dibayarkan Harsha ke rumah sakit. "Kok Ibu malah sedih, Ibu masih ingin di sini, ya?" tanya Harsha sembari mendekat ke ranjang dan duduk di tepianny
"Dev, jangan marah. Aku nggak punya pilihan lain selain meminjam uang sama nyonya Bela." Harsha mulai panik karena Devan terlihat sangat geram. "Dan sebagai gantinya, dia menjualmu. Benar begitu?" Tuduhan Devan sontak membuat Harsha terperanjat. Bibirnya seketika kelu untuk menyangkal perkataan sahabat baiknya itu. "Benar begitu?" ulang Devan dengan mimik wajah kecewa. "Jadi benar rumor yang beredar kalo kamu sekarang jadi wanita panggilan?" Air mata yang menetes dari pelupuk mata Harsha seakan menjadi jawaban atas pertanyaan Devan yang bertubi-tubi. Sementara pria itu hanya bisa menatap Harsha dengan nanar. "A-aku bukan wanita panggilan. Aku hanya di sewa untuk jadi ibu pengganti," jelas Harsha dengan suara lirih diantara isak tangisnya. "Ibu pengganti!?" Devan semakin mendelik syok, kedua tangannya semakin terkepal erat. "Sha, apa kamu sudah gila!""Iya! Aku memang sudah gila! Tapi aku akan lebih gila lagi kalo sampai kehilangan ibuku, Dev! Aku akan melakukan apapun asal bisa
Ron baru saja duduk di meja makan ketika ponsel isterinya berdering dan dibiarkan begitu saja. Bela tetap tenang menyantap makan malamnya sementara ponsel itu terus-terusan menyala dan membuat berisik seisi ruangan. "Kenapa tidak diangkat?" dengus Ron mulai terganggu karena Bela seakan tuli pada suara nyaring itu. Sekilas, Bela melirik suaminya dan tersenyum simpul. "Dia menghubungiku karena membutuhkan uangku. Jadi aku harus membuatnya mengemis lebih dulu." Dari cara bela mengucapkan kata 'dia', Ron tahu siapa yang sedang istrinya itu maksud. Pria itu menghembuskan napas panjang dan menatap Bela dengan tajam. "Kamu belum membayar sisa uangnya?" tebak Ron kecewa, ia pikir semua urusan dengan Harsha sudah selesai dan tidak perlu lagi berhubungan dengan gadis itu. "What for? Toh, dia nggak jadi hamil, kan? Rugi kalo aku membayar tiga ratus juta untuk hal yang sia-sia!" "Bela, dia membutuhkan uang itu untuk biaya bu Ranti!" tukas Ron cepat. "Bagaimana mungkin kamu sepicik ini untu
Sambil berlari tergesa-gesa, Harsha masuk ke dalam toilet umum di lantai satu rumah sakit dan mengeluarkan seluruh isi perutnya di closet. Sepertinya ia masuk angin karena jadwal makannya kacau beberapa hari ini, ditambah lagi ia stress karena memikirkan banyak hal.Setelah beberapa menit berlalu dan dirasa perutnya cukup lega, tangan mungil Harsha lantas menggapai flush closet dan bergerak bangkit dengan lemah. Ia harus cepat istirahat karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah harus pergi dari rumah sakit. Sambil berjalan pelan, Harsha akhirnya sampai di kamar rawat inap Ranti di lantai tiga. Saat ia masuk, Ranti sudah terlelap dibawah selimut putih berlogo palang merah. Setiap kali memperhatikan wanita yang semakin kurus itu, sudut mata Harsha selalu saja basah. Banyak sekali dosa yang ia perbuat pada ibunya, dan Harsha bersumpah akan menebus dosa-dosa itu dengan membahagiakan ibunya sampai akhir hayat. "Ibu, besok kita pulang," bisik Harsha seraya beringsut duduk dan membelai l
Selama berhari-hari, Harsha terpuruk oleh kepergian Ranti yang sangat tiba-tiba. Tiada waktu sedetikpun yang Harsha habiskan tanpa menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ibu. Devan sampai angkat tangan untuk membujuk dan menghibur sahabatnya itu. Harsha tetap menangis seperti bayi setiap kali ingat pada ibunya. Hingga kemudian, suara ketukan pintu di sore hari itu, mau tak mau membuat Harsha bangkit dari ranjang mungilnya dan melangkah gontai menuju ruang tamu. Seraut wajah yang terlihat lelah tetapi tetap menyunggingkan senyum itu membuat Harsha berpaling dengan segera. Ron Kyle. "Aku menemukan ini di depan pintu." Ron mengangsurkan selembar amplop putih dengan logo universitas tempat Harsha menimba ilmu. Hening. Harsha tak memungut ataupun melirik amplop itu dengan antusias."Boleh aku masuk?" "Kalo Tuan kemari untuk membahas tentang bayi lagi, lebih baik Tuan pergi," usir Harsha dingin, bersiap untuk menutup kembali daun pintu yang terbuka itu. Namun, dengan gesit Ron
--- **SURAT PEMBERITAHUAN KELULUSAN SIDANG SKRIPSI** Nomor: 189/UPJ/290624 Kepada Yth, Harsha Luvena NIM : 3829392 Program Studi Psikologi Universitas Panca Juanda Dengan hormat, Berdasarkan hasil sidang skripsi yang telah dilaksanakan pada 29 Juni 2024, kami dengan ini memberitahukan bahwa Anda dinyatakan **LULUS** dalam sidang skripsi dengan judul "Pengaruh Gadget Terhadap Daya Konsentrasi Pada Anak Usia Dini". Kami mengucapkan selamat atas keberhasilan Anda dan semoga hasil kerja keras ini dapat menjadi langkah awal yang baik dalam meraih masa depan yang gemilang. Demikian surat pemberitahuan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasama Anda, kami ucapkan terima kasih. Hormat kami. --- Harsha meluruhkan tubuhnya di lantai seiring dengan berakhirnya ia membaca kata terakhir di surat itu. Yang pertama kali terlintas di pikirannya adalah Ranti. Air mata Harsha menetes deras bak air terjun ketika para dosen tersenyum dan memberikan ucapan selamat. "Aku berhasil, Ibu
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange