Selama hampir seminggu lebih pasca penyuntikan embrio itu, kondisi Harsha terus dipantau oleh Bela. Dilarang naik motor, dilarang naik turun tangga, dilarang berlari dan terlalu lelah, adalah peraturan mutlak yang wajib dipatuhi oleh Harsha.
Berbagai macam vitamin juga harus diminum setiap hari, pun susu dan makanan yang bergizi. Bela benar-benar menjaga calon bayinya dengan sangat protektif. "Kapan Ibu boleh pulang, Sha?" Ranti, ibu Harsha, memperhatikan putrinya yang sibuk berkutat dengan laptop di meja. "Ibu sudah jenuh di rumah sakit terus. Ibu kangen rumah." "Dokter bilang kondisi Ibu masih harus terus dipantau." Harsha beralasan demikian karena ia khawatir kondisi ibunya drop lagi jika terlampau lelah, apalagi Harsha masih sibuk wira-wiri untuk proses inseminasi itu. "Tapi Ibu, kan, sudah sehat. Perawat juga bilang kondisi jantung Ibu sudah semakin membaik." "Bu..." Harsha menutup laptopnya dan bangkit, ia lalu menghampiri ranjang ibunya dan duduk di tepian ranjang pasien itu. "Aku lebih tenang kalo Ibu di rumah sakit. Banyak yang jagain dan banyak yang ngawasin Ibu. Aku lagi sibuk sama ujian akhir, dan aku takut nggak bisa full jagain Ibu." Wajah tua yang mulai segar kembali itu tersenyum menatap putrinya. Tangan keriputnya lantas terulur untuk membelai pipi Harsha dengan lembut. "Ibu tahu kamu cemas. Tapi semakin lama di sini, biayanya akan semakin banyak, Nak." "Jangan khawatirkan uang, Bu. Harsha ada tabungan kok, kan kita sudah pernah bahas hal ini," tukas Harsha berdusta. Padahal, selama ini yang membiayai ibunya adalah Bela Zurishmo. "Simpan saja tabunganmu untuk hal yang lebih penting." "Ibu penting. Buat Harsha, Ibu adalah segalanya dan lebih penting dari apapun! Jadi jangan banyak pikiran lagi, oke? Nikmati saja waktu Ibu di sini dan anggap aja lagi staycation!" "Staycation?" Ranti menatap putrinya dengan bingung karena tak paham pada arti kata itu. "Semacam liburan di hotel kalo kata orang-orang kaya!" jelas Harsha terkekeh sembari berdiri dan bersiap untuk kembali mengerjakan tugasnya lagi. "Sha, kamu mens, ya?" Pertanyaan Ranti tak pelak membuat jantung Harsha seakan berhenti berdetak. Ia meraba bagian belakang tubuhnya yang sudah basah dan lengket. Karena panik dan tak tahu harus berbuat apa, Harsha segera menelepon Bela untuk mengabari kondisinya. Tentu saja Bela terkejut dan meminta Harsha untuk datang ke rumahnya segera. [Itu berarti siklus pertama gagal berkembang di rahim Nona Harsha.] Isi pesan dari dokter Hendri membuat Bela dan Harsha mendesah kecewa. "Maafin saya, Nyonya," ujar Harsha sedih sembari mengusap perutnya dengan tatapan tak terbaca. Mau bagaimana lagi, Bela akhirnya hanya bisa memaklumi kegagalan yang pertama ini dengan tetap berpikir positif. "Kita masih bisa mencobanya lagi, Sha. Jangan khawatir. Masih ada 5 stok embrio sehat di laboratorium dokter Hendri." Lima?! Harsha mendelik tak percaya. Lalu apakah dia akan disuntik dan mengangkang di depan dokter Hendri sampai lima kali?? "Kita bisa mencobanya lagi bulan depan atau dua bulan lagi. Jangan khawatir." Bela mencoba menghibur Harsha yang ia pikir sedang sedih karena kehilangan calon bayi mereka. Dan, setelah mencoba sekali lagi di dua bulan berikutnya, embrio itu nyatanya tetap tak bisa bertahan lama di rahim Harsha. Dokter Hendri sampai heran, padahal tes yang dilakukan pada Harsha menunjukkan bahwa gadis itu sehat dan kondisi rahimnya bagus. Tak ada kelainan apapun yang mencurigakan. "Kita hanya punya dua stok embrio terakhir. Mari kita berusaha berpikir positif semoga yang kali ini dua-duanya berhasil tumbuh dan berkembang dengan baik." Pesan dokter Hendri waktu penyuntikan terakhir itu, membuat Bela semakin overprotektif pada Harsha. Demi pengawasan yang optimal, Bela sampai meminta Harsha untuk tinggal di rumahnya agar setiap gerik-gerik Harsha bisa diawasi. Tinggal seatap dengan Ron yang galak dan dingin, tentu membuat Harsha tak nyaman. Ia selalu menghindar setiap kali mereka bertemu tanpa sengaja. Sejak kejadian di rumah sakit beberapa bulan yang lalu, Harsha selalu merinding setiap bertemu dengan Ron. Meskipun Ron baik, tapi tetap saja jantung Harsha selalu berpacu saat berada di dekatnya. "Sha, ada telepon penting dari rumah sakit." Harsha yang sedang mencicil materi skripsinya, menoleh cepat ke arah Bela yang sedang memegang ponsel di tangannya. Ia berdiri perlahan dan menerima ponsel milik majikannya itu. "Ya, halo?""Mba Harsha, kondisi Ibu drop dan sekarang dipindah ke ICU." Bagai tersengat listrik ribuan volt, Harsha merasa tubuhnya membeku seketika. Ponsel milik Bela perlahan jatuh dari tangannya, seiring dengan air mata yang menetes deras. "Ibu!!" Ditemani oleh Bela dan supir, Harsha akhirnya diantar menuju rumah sakit. Kondisinya psikisnya yang drop, membuat Bela khawatir jika membiarkan Harsha berangkat seorang diri. Dan yang paling penting, Bela tak mau calon bayinya juga terkena dampak. Di rumah sakit, karena dilarang berlari atau berjalan cepat, akhirnya Harsha harus menahan diri untuk tidak banyak bergerak. Sampai di depan ruang ICU dengan jendela kaca yang membatasi ruangan itu, Harsha menatap ibunya dari luar dengan pilu. "Ibu, jangan tinggalin Harsha, Bu," tangis Harsha sedih sembari mengusap kaca itu seakan membelai wajah ibunya. "Maafin Harsha, jangan pergi dulu, Bu." "Sha, bu Ranti pasti segera pulih," hibur Bela. "Saya banyak dosa sama ibu saya, Nyonya. Saya ba
"Honey, apa aku boleh ijin untuk menginap di rumah papa hari ini?" Ron melirik istrinya sekilas dengan mulut penuh remahan roti. Ia menunggu Bela melanjutkan perkataannya. "Nanti malam ada acara reuni SMA-ku, sudah dua kali aku absen ikut reuni, bolehkah reuni kali ini aku datang?" rayu Bela memohon. "Boleh. Aku akan ikut denganmu.""Tidak, tidak perlu! Aku tidak mau teman-temanku bertemu dan berkenalan dengan suamiku!" Ron menghembuskan napasnya dengan malas. Alasan itu selalu menjadi penghalang bagi Ron untuk kenal lebih dekat dengan lingkungan istrinya. Bela tidak suka teman-temannya yang genit bertemu dengan suaminya. "Boleh kan, Honey? Please ..." Bela mengatupkan kedua tangannya di dada sembari memasang wajah sok imut, berharap Ron akan mengijinkan dia datang. "Baiklah. Jam berapa kamu berangkat?" Ron bertanya sembari meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan asap. "Siang ini, karena aku masih mau ke salon dan membeli baju. Besok pagi aku sudah pulang kok!" Ron mengang
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari penuh kesialan ini akan terjadi. Sejak pagi, Harsha yang sudah bersiap untuk sidang seminar mendadak batal karena dosennya kecelakaan. Pun ketika ia hendak membeli makan siang di kantin, rupanya dompetnya ketinggalan di laci rumah sakit. Alhasil, Harsha harus menahan lapar dan terpaksa pulang ke rumah sakit. Namun, baru saja turun dari motor bututnya, suara dering ponsel lantas membuat langkah Harsha terhenti. Gadis berambut panjang itu merogoh isi tasnya dan meraih gawai pipih berwarna putih itu. Ia membaca barisan nama yang muncul di layar dengan kening berkerut. Nyonya Bela? Tumben dia menelepon siang-siang begini, Harsha membatin sembari bersiap untuk mengangkat telepon itu."Halo, Nyonya.""Harsha, apa hari ini kamu sibuk?" Pertanyaan Bela membuat Harsha berpikir sejenak. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Bela setelah kegagalan kehamilan terakhir. Dan, telepon kali ini membuatnya sedikit trauma, mungkinkah Bela akan memintanya mela
"Sha, kok melamun." Harsha tersentak dan menoleh cepat ke arah sang ibu yang sedang duduk mengawasinya. "Beberapa hari ini Ibu lihat kamu sering melamun. Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" "Nggak ada, Bu. Harsha cuma lagi mikirin jadwal seminar yang nggak ada kabar. Padahal semua sudah siap.""Sabar, Nak. Kamu pasti lulus, Ibu pasti bisa dateng ke acara wisuda kamu," hibur Ranti dengan senyuman khasnya, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Oh iya, aku baru ingat, minggu depan Ibu sudah boleh pulang. Ibu seneng, kan?" Senyuman Ranti mendadak pudar setelah putrinya mengucapkan kalimat yang harusnya membahagiakan itu. Ia kembali teringat pada penjelasan suster Silvi yang selalu menjaganya saat Harsha sedang sibuk. Nominal yang harus dibayar sangatlah besar, bahkan harga rumah mereka saja tak sebanding dengan biaya yang harus dibayarkan Harsha ke rumah sakit. "Kok Ibu malah sedih, Ibu masih ingin di sini, ya?" tanya Harsha sembari mendekat ke ranjang dan duduk di tepianny
"Dev, jangan marah. Aku nggak punya pilihan lain selain meminjam uang sama nyonya Bela." Harsha mulai panik karena Devan terlihat sangat geram. "Dan sebagai gantinya, dia menjualmu. Benar begitu?" Tuduhan Devan sontak membuat Harsha terperanjat. Bibirnya seketika kelu untuk menyangkal perkataan sahabat baiknya itu. "Benar begitu?" ulang Devan dengan mimik wajah kecewa. "Jadi benar rumor yang beredar kalo kamu sekarang jadi wanita panggilan?" Air mata yang menetes dari pelupuk mata Harsha seakan menjadi jawaban atas pertanyaan Devan yang bertubi-tubi. Sementara pria itu hanya bisa menatap Harsha dengan nanar. "A-aku bukan wanita panggilan. Aku hanya di sewa untuk jadi ibu pengganti," jelas Harsha dengan suara lirih diantara isak tangisnya. "Ibu pengganti!?" Devan semakin mendelik syok, kedua tangannya semakin terkepal erat. "Sha, apa kamu sudah gila!""Iya! Aku memang sudah gila! Tapi aku akan lebih gila lagi kalo sampai kehilangan ibuku, Dev! Aku akan melakukan apapun asal bisa
Ron baru saja duduk di meja makan ketika ponsel isterinya berdering dan dibiarkan begitu saja. Bela tetap tenang menyantap makan malamnya sementara ponsel itu terus-terusan menyala dan membuat berisik seisi ruangan. "Kenapa tidak diangkat?" dengus Ron mulai terganggu karena Bela seakan tuli pada suara nyaring itu. Sekilas, Bela melirik suaminya dan tersenyum simpul. "Dia menghubungiku karena membutuhkan uangku. Jadi aku harus membuatnya mengemis lebih dulu." Dari cara bela mengucapkan kata 'dia', Ron tahu siapa yang sedang istrinya itu maksud. Pria itu menghembuskan napas panjang dan menatap Bela dengan tajam. "Kamu belum membayar sisa uangnya?" tebak Ron kecewa, ia pikir semua urusan dengan Harsha sudah selesai dan tidak perlu lagi berhubungan dengan gadis itu. "What for? Toh, dia nggak jadi hamil, kan? Rugi kalo aku membayar tiga ratus juta untuk hal yang sia-sia!" "Bela, dia membutuhkan uang itu untuk biaya bu Ranti!" tukas Ron cepat. "Bagaimana mungkin kamu sepicik ini untu
Sambil berlari tergesa-gesa, Harsha masuk ke dalam toilet umum di lantai satu rumah sakit dan mengeluarkan seluruh isi perutnya di closet. Sepertinya ia masuk angin karena jadwal makannya kacau beberapa hari ini, ditambah lagi ia stress karena memikirkan banyak hal.Setelah beberapa menit berlalu dan dirasa perutnya cukup lega, tangan mungil Harsha lantas menggapai flush closet dan bergerak bangkit dengan lemah. Ia harus cepat istirahat karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah harus pergi dari rumah sakit. Sambil berjalan pelan, Harsha akhirnya sampai di kamar rawat inap Ranti di lantai tiga. Saat ia masuk, Ranti sudah terlelap dibawah selimut putih berlogo palang merah. Setiap kali memperhatikan wanita yang semakin kurus itu, sudut mata Harsha selalu saja basah. Banyak sekali dosa yang ia perbuat pada ibunya, dan Harsha bersumpah akan menebus dosa-dosa itu dengan membahagiakan ibunya sampai akhir hayat. "Ibu, besok kita pulang," bisik Harsha seraya beringsut duduk dan membelai l
Selama berhari-hari, Harsha terpuruk oleh kepergian Ranti yang sangat tiba-tiba. Tiada waktu sedetikpun yang Harsha habiskan tanpa menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ibu. Devan sampai angkat tangan untuk membujuk dan menghibur sahabatnya itu. Harsha tetap menangis seperti bayi setiap kali ingat pada ibunya. Hingga kemudian, suara ketukan pintu di sore hari itu, mau tak mau membuat Harsha bangkit dari ranjang mungilnya dan melangkah gontai menuju ruang tamu. Seraut wajah yang terlihat lelah tetapi tetap menyunggingkan senyum itu membuat Harsha berpaling dengan segera. Ron Kyle. "Aku menemukan ini di depan pintu." Ron mengangsurkan selembar amplop putih dengan logo universitas tempat Harsha menimba ilmu. Hening. Harsha tak memungut ataupun melirik amplop itu dengan antusias."Boleh aku masuk?" "Kalo Tuan kemari untuk membahas tentang bayi lagi, lebih baik Tuan pergi," usir Harsha dingin, bersiap untuk menutup kembali daun pintu yang terbuka itu. Namun, dengan gesit Ron
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange