Selama hampir seminggu lebih pasca penyuntikan embrio itu, kondisi Harsha terus dipantau oleh Bela. Dilarang naik motor, dilarang naik turun tangga, dilarang berlari dan terlalu lelah, adalah peraturan mutlak yang wajib dipatuhi oleh Harsha.
Berbagai macam vitamin juga harus diminum setiap hari, pun susu dan makanan yang bergizi. Bela benar-benar menjaga calon bayinya dengan sangat protektif. "Kapan Ibu boleh pulang, Sha?" Ranti, ibu Harsha, memperhatikan putrinya yang sibuk berkutat dengan laptop di meja. "Ibu sudah jenuh di rumah sakit terus. Ibu kangen rumah." "Dokter bilang kondisi Ibu masih harus terus dipantau." Harsha beralasan demikian karena ia khawatir kondisi ibunya drop lagi jika terlampau lelah, apalagi Harsha masih sibuk wira-wiri untuk proses inseminasi itu. "Tapi Ibu, kan, sudah sehat. Perawat juga bilang kondisi jantung Ibu sudah semakin membaik." "Bu..." Harsha menutup laptopnya dan bangkit, ia lalu menghampiri ranjang ibunya dan duduk di tepian ranjang pasien itu. "Aku lebih tenang kalo Ibu di rumah sakit. Banyak yang jagain dan banyak yang ngawasin Ibu. Aku lagi sibuk sama ujian akhir, dan aku takut nggak bisa full jagain Ibu." Wajah tua yang mulai segar kembali itu tersenyum menatap putrinya. Tangan keriputnya lantas terulur untuk membelai pipi Harsha dengan lembut. "Ibu tahu kamu cemas. Tapi semakin lama di sini, biayanya akan semakin banyak, Nak." "Jangan khawatirkan uang, Bu. Harsha ada tabungan kok, kan kita sudah pernah bahas hal ini," tukas Harsha berdusta. Padahal, selama ini yang membiayai ibunya adalah Bela Zurishmo. "Simpan saja tabunganmu untuk hal yang lebih penting." "Ibu penting. Buat Harsha, Ibu adalah segalanya dan lebih penting dari apapun! Jadi jangan banyak pikiran lagi, oke? Nikmati saja waktu Ibu di sini dan anggap aja lagi staycation!" "Staycation?" Ranti menatap putrinya dengan bingung karena tak paham pada arti kata itu. "Semacam liburan di hotel kalo kata orang-orang kaya!" jelas Harsha terkekeh sembari berdiri dan bersiap untuk kembali mengerjakan tugasnya lagi. "Sha, kamu mens, ya?" Pertanyaan Ranti tak pelak membuat jantung Harsha seakan berhenti berdetak. Ia meraba bagian belakang tubuhnya yang sudah basah dan lengket. Karena panik dan tak tahu harus berbuat apa, Harsha segera menelepon Bela untuk mengabari kondisinya. Tentu saja Bela terkejut dan meminta Harsha untuk datang ke rumahnya segera. [Itu berarti siklus pertama gagal berkembang di rahim Nona Harsha.] Isi pesan dari dokter Hendri membuat Bela dan Harsha mendesah kecewa. "Maafin saya, Nyonya," ujar Harsha sedih sembari mengusap perutnya dengan tatapan tak terbaca. Mau bagaimana lagi, Bela akhirnya hanya bisa memaklumi kegagalan yang pertama ini dengan tetap berpikir positif. "Kita masih bisa mencobanya lagi, Sha. Jangan khawatir. Masih ada 5 stok embrio sehat di laboratorium dokter Hendri." Lima?! Harsha mendelik tak percaya. Lalu apakah dia akan disuntik dan mengangkang di depan dokter Hendri sampai lima kali?? "Kita bisa mencobanya lagi bulan depan atau dua bulan lagi. Jangan khawatir." Bela mencoba menghibur Harsha yang ia pikir sedang sedih karena kehilangan calon bayi mereka. Dan, setelah mencoba sekali lagi di dua bulan berikutnya, embrio itu nyatanya tetap tak bisa bertahan lama di rahim Harsha. Dokter Hendri sampai heran, padahal tes yang dilakukan pada Harsha menunjukkan bahwa gadis itu sehat dan kondisi rahimnya bagus. Tak ada kelainan apapun yang mencurigakan. "Kita hanya punya dua stok embrio terakhir. Mari kita berusaha berpikir positif semoga yang kali ini dua-duanya berhasil tumbuh dan berkembang dengan baik." Pesan dokter Hendri waktu penyuntikan terakhir itu, membuat Bela semakin overprotektif pada Harsha. Demi pengawasan yang optimal, Bela sampai meminta Harsha untuk tinggal di rumahnya agar setiap gerik-gerik Harsha bisa diawasi. Tinggal seatap dengan Ron yang galak dan dingin, tentu membuat Harsha tak nyaman. Ia selalu menghindar setiap kali mereka bertemu tanpa sengaja. Sejak kejadian di rumah sakit beberapa bulan yang lalu, Harsha selalu merinding setiap bertemu dengan Ron. Meskipun Ron baik, tapi tetap saja jantung Harsha selalu berpacu saat berada di dekatnya. "Sha, ada telepon penting dari rumah sakit." Harsha yang sedang mencicil materi skripsinya, menoleh cepat ke arah Bela yang sedang memegang ponsel di tangannya. Ia berdiri perlahan dan menerima ponsel milik majikannya itu. "Ya, halo?""Mba Harsha, kondisi Ibu drop dan sekarang dipindah ke ICU." Bagai tersengat listrik ribuan volt, Harsha merasa tubuhnya membeku seketika. Ponsel milik Bela perlahan jatuh dari tangannya, seiring dengan air mata yang menetes deras. "Ibu!!" Ditemani oleh Bela dan supir, Harsha akhirnya diantar menuju rumah sakit. Kondisinya psikisnya yang drop, membuat Bela khawatir jika membiarkan Harsha berangkat seorang diri. Dan yang paling penting, Bela tak mau calon bayinya juga terkena dampak. Di rumah sakit, karena dilarang berlari atau berjalan cepat, akhirnya Harsha harus menahan diri untuk tidak banyak bergerak. Sampai di depan ruang ICU dengan jendela kaca yang membatasi ruangan itu, Harsha menatap ibunya dari luar dengan pilu. "Ibu, jangan tinggalin Harsha, Bu," tangis Harsha sedih sembari mengusap kaca itu seakan membelai wajah ibunya. "Maafin Harsha, jangan pergi dulu, Bu." "Sha, bu Ranti pasti segera pulih," hibur Bela. "Saya banyak dosa sama ibu saya, Nyonya. Saya ba
"Honey, apa aku boleh ijin untuk menginap di rumah papa hari ini?" Ron melirik istrinya sekilas dengan mulut penuh remahan roti. Ia menunggu Bela melanjutkan perkataannya. "Nanti malam ada acara reuni SMA-ku, sudah dua kali aku absen ikut reuni, bolehkah reuni kali ini aku datang?" rayu Bela memohon. "Boleh. Aku akan ikut denganmu.""Tidak, tidak perlu! Aku tidak mau teman-temanku bertemu dan berkenalan dengan suamiku!" Ron menghembuskan napasnya dengan malas. Alasan itu selalu menjadi penghalang bagi Ron untuk kenal lebih dekat dengan lingkungan istrinya. Bela tidak suka teman-temannya yang genit bertemu dengan suaminya. "Boleh kan, Honey? Please ..." Bela mengatupkan kedua tangannya di dada sembari memasang wajah sok imut, berharap Ron akan mengijinkan dia datang. "Baiklah. Jam berapa kamu berangkat?" Ron bertanya sembari meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan asap. "Siang ini, karena aku masih mau ke salon dan membeli baju. Besok pagi aku sudah pulang kok!" Ron mengang
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari penuh kesialan ini akan terjadi. Sejak pagi, Harsha yang sudah bersiap untuk sidang seminar mendadak batal karena dosennya kecelakaan. Pun ketika ia hendak membeli makan siang di kantin, rupanya dompetnya ketinggalan di laci rumah sakit. Alhasil, Harsha harus menahan lapar dan terpaksa pulang ke rumah sakit. Namun, baru saja turun dari motor bututnya, suara dering ponsel lantas membuat langkah Harsha terhenti. Gadis berambut panjang itu merogoh isi tasnya dan meraih gawai pipih berwarna putih itu. Ia membaca barisan nama yang muncul di layar dengan kening berkerut. Nyonya Bela? Tumben dia menelepon siang-siang begini, Harsha membatin sembari bersiap untuk mengangkat telepon itu."Halo, Nyonya.""Harsha, apa hari ini kamu sibuk?" Pertanyaan Bela membuat Harsha berpikir sejenak. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Bela setelah kegagalan kehamilan terakhir. Dan, telepon kali ini membuatnya sedikit trauma, mungkinkah Bela akan memintanya mela
"Sha, kok melamun." Harsha tersentak dan menoleh cepat ke arah sang ibu yang sedang duduk mengawasinya. "Beberapa hari ini Ibu lihat kamu sering melamun. Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" "Nggak ada, Bu. Harsha cuma lagi mikirin jadwal seminar yang nggak ada kabar. Padahal semua sudah siap.""Sabar, Nak. Kamu pasti lulus, Ibu pasti bisa dateng ke acara wisuda kamu," hibur Ranti dengan senyuman khasnya, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Oh iya, aku baru ingat, minggu depan Ibu sudah boleh pulang. Ibu seneng, kan?" Senyuman Ranti mendadak pudar setelah putrinya mengucapkan kalimat yang harusnya membahagiakan itu. Ia kembali teringat pada penjelasan suster Silvi yang selalu menjaganya saat Harsha sedang sibuk. Nominal yang harus dibayar sangatlah besar, bahkan harga rumah mereka saja tak sebanding dengan biaya yang harus dibayarkan Harsha ke rumah sakit. "Kok Ibu malah sedih, Ibu masih ingin di sini, ya?" tanya Harsha sembari mendekat ke ranjang dan duduk di tepianny
"Dev, jangan marah. Aku nggak punya pilihan lain selain meminjam uang sama nyonya Bela." Harsha mulai panik karena Devan terlihat sangat geram. "Dan sebagai gantinya, dia menjualmu. Benar begitu?" Tuduhan Devan sontak membuat Harsha terperanjat. Bibirnya seketika kelu untuk menyangkal perkataan sahabat baiknya itu. "Benar begitu?" ulang Devan dengan mimik wajah kecewa. "Jadi benar rumor yang beredar kalo kamu sekarang jadi wanita panggilan?" Air mata yang menetes dari pelupuk mata Harsha seakan menjadi jawaban atas pertanyaan Devan yang bertubi-tubi. Sementara pria itu hanya bisa menatap Harsha dengan nanar. "A-aku bukan wanita panggilan. Aku hanya di sewa untuk jadi ibu pengganti," jelas Harsha dengan suara lirih diantara isak tangisnya. "Ibu pengganti!?" Devan semakin mendelik syok, kedua tangannya semakin terkepal erat. "Sha, apa kamu sudah gila!""Iya! Aku memang sudah gila! Tapi aku akan lebih gila lagi kalo sampai kehilangan ibuku, Dev! Aku akan melakukan apapun asal bisa
Ron baru saja duduk di meja makan ketika ponsel isterinya berdering dan dibiarkan begitu saja. Bela tetap tenang menyantap makan malamnya sementara ponsel itu terus-terusan menyala dan membuat berisik seisi ruangan. "Kenapa tidak diangkat?" dengus Ron mulai terganggu karena Bela seakan tuli pada suara nyaring itu. Sekilas, Bela melirik suaminya dan tersenyum simpul. "Dia menghubungiku karena membutuhkan uangku. Jadi aku harus membuatnya mengemis lebih dulu." Dari cara bela mengucapkan kata 'dia', Ron tahu siapa yang sedang istrinya itu maksud. Pria itu menghembuskan napas panjang dan menatap Bela dengan tajam. "Kamu belum membayar sisa uangnya?" tebak Ron kecewa, ia pikir semua urusan dengan Harsha sudah selesai dan tidak perlu lagi berhubungan dengan gadis itu. "What for? Toh, dia nggak jadi hamil, kan? Rugi kalo aku membayar tiga ratus juta untuk hal yang sia-sia!" "Bela, dia membutuhkan uang itu untuk biaya bu Ranti!" tukas Ron cepat. "Bagaimana mungkin kamu sepicik ini untu
Sambil berlari tergesa-gesa, Harsha masuk ke dalam toilet umum di lantai satu rumah sakit dan mengeluarkan seluruh isi perutnya di closet. Sepertinya ia masuk angin karena jadwal makannya kacau beberapa hari ini, ditambah lagi ia stress karena memikirkan banyak hal.Setelah beberapa menit berlalu dan dirasa perutnya cukup lega, tangan mungil Harsha lantas menggapai flush closet dan bergerak bangkit dengan lemah. Ia harus cepat istirahat karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah harus pergi dari rumah sakit. Sambil berjalan pelan, Harsha akhirnya sampai di kamar rawat inap Ranti di lantai tiga. Saat ia masuk, Ranti sudah terlelap dibawah selimut putih berlogo palang merah. Setiap kali memperhatikan wanita yang semakin kurus itu, sudut mata Harsha selalu saja basah. Banyak sekali dosa yang ia perbuat pada ibunya, dan Harsha bersumpah akan menebus dosa-dosa itu dengan membahagiakan ibunya sampai akhir hayat. "Ibu, besok kita pulang," bisik Harsha seraya beringsut duduk dan membelai l
Selama berhari-hari, Harsha terpuruk oleh kepergian Ranti yang sangat tiba-tiba. Tiada waktu sedetikpun yang Harsha habiskan tanpa menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ibu. Devan sampai angkat tangan untuk membujuk dan menghibur sahabatnya itu. Harsha tetap menangis seperti bayi setiap kali ingat pada ibunya. Hingga kemudian, suara ketukan pintu di sore hari itu, mau tak mau membuat Harsha bangkit dari ranjang mungilnya dan melangkah gontai menuju ruang tamu. Seraut wajah yang terlihat lelah tetapi tetap menyunggingkan senyum itu membuat Harsha berpaling dengan segera. Ron Kyle. "Aku menemukan ini di depan pintu." Ron mengangsurkan selembar amplop putih dengan logo universitas tempat Harsha menimba ilmu. Hening. Harsha tak memungut ataupun melirik amplop itu dengan antusias."Boleh aku masuk?" "Kalo Tuan kemari untuk membahas tentang bayi lagi, lebih baik Tuan pergi," usir Harsha dingin, bersiap untuk menutup kembali daun pintu yang terbuka itu. Namun, dengan gesit Ron