Haiii, jangan lupa tinggalkan komentar positif kalian jika menyukai cerita ini. Lovi sangat menghargai feedback dari kalian semua. Terimakasih ;)
Pernikahan Ron dan Bela memang terkesan terburu-buru kala itu. Mereka dijodohkan oleh orang tua masing-masing dan bodohnya, Ron yang belum pernah berpacaran sebelumnya, langsung setuju ketika melihat sosok Bela yang cantik jelita. Sayang, masa pendekatan yang singkat itu menjadi boomerang bagi Ron ketika akhirnya ia tahu jika Bela adalah seorang penganut child free. Terbiasa hidup di luar negeri, membuat Bela condong meniru gaya hidup di sana. Free sex, drugs bahkan pakaian yang serba minim adalah masa lalu Bela yang sempat membuat Ron mengelus dada. Pelan-pelan, Ron membujuk Bela untuk menyukai anak kecil, dan butuh bertahun-tahun untuk membuat istrinya itu akhirnya setuju untuk memiliki seorang anak, dengan syarat bukan dirinya yang hamil dan melahirkan! Ketika akhirnya pilihan untuk mencari ibu pengganti itu jatuh pada Harsha, Ron tak punya pilihan lain untuk menolak. Apalagi, Bela selalu menjelaskan jika Harsha bisa tetap perawan karena nantinya bayi itu akan dilahirkan secara c
Seandainya jarak usianya dan Harsha tak terlampau jauh, mungkin Ron akan mempertimbangkan untuk memacari gadis itu semasa mereka remaja dulu. Ya, sejak Harsha tumbuh menjadi gadis belia, Ron sering diam-diam memperhatikannya dari jauh. Sayangnya, saat Harsha sedang ranum-ranumnya, Ron baru saja serius menapaki dunia kerja dan terlampau matang bagi gadis yang baru saja lulus SD. "Tuan, jangan bercanda!" jerit Harsha tertahan sembari berpegangan pada tali sabuk pengaman. "Anterin aku pulang dulu!" "Sudah terlalu jauh, Sha. Harusnya kamu menyadarinya sejak mobil ini melewati gang rumahmu!" ledek Ron masih dengan tawa renyahnya. "Salah sendiri melamun!" "Ya sudah, turunin aku di sini!" "Oke!" Ron menyalakan lampu sein secara tiba-tiba dan memutar setir ke kiri hingga Harsha terpelanting dan membentur pintu. Ketika akhirnya mobil berhenti, Ron mematikan headlamp sehingga suasana seketika menjadi gelap gulita. "Silahkan turun." Ron membuka kunci pintu dan melirik Harsha dengan mengul
"Huek! Uhuk-uhuk! Huek!"Belum jua menyantap apapun, Harsha sudah lebih dulu menumpahkan seluruh isi di dalam perutnya. Sudah tahu punya asam lambung, Harsha malah memperburuk keadaan dengan sering telat makan. Seharian ini hanya teh hangat yang sempat ia teguk ketika di cafe tadi, alhasil hanya lendir pahit yang akhirnya sanggup ia keluarkan di detik-detik terakhir. Sambil menyandarkan kepalanya di dinding dengan lemas, Harsha masih menunggu apakah gejolak selanjutnya akan datang atau tidak. Ketika akhirnya sesuatu di dalam perutnya kembali menghentak, kepala Harsha kembali menjulur ke bibir closet. "Huek!" Di luar, Alexander Birnandi baru datang dan hendak memeluk putranya ketika pelayan tiba-tiba mendekat dengan wajah panik. "Tuan Ron, nona tadi pingsan di--""Harsha!" Bak roket melesat ke udara, Ron seketika bangkit dan berlari, mengacuhkan sang ayah yang sudah merentangkan kedua tangannya, hingga pria tua itu akhirnya menoleh pada sang istri. "Nona who? Dia membawa gadis s
"Ber- berhubungan?" Harsha tertegun oleh pertanyaan dokter Eva yang seolah menginterogasinya. Berhubungan dengan kekasih katanya? Harsha bahkan belum pernah pacaran sebelumnya! "Iya. Berhubungan badan alias berhubungan seksual. Penyatuan kelamin antara pria dan wanita. Si pria mengeluarkan spermanya di dalam...."Penjelasan dokter Eva terhenti ketika bola mata Harsha semakin melebar bahkan hampir meloncat dari tempatnya. Dokter cantik itu kemudian tersadar jika pembahasan ini mungkin membuat Harsha malu dan canggung. "Apakah ini pertama kalinya bagimu melakukan hubungan badan?" tebak dokter Eva to the point, dan dengan gesit Harsha mengangguk sambil menundukkan kepala. "Dengarkan aku, Sayang, ada kemungkinan jika kamu saat ini tengah mengandung. Tapi, aku tidak bisa serta merta mendiagnosa demikian selama belum tahu hasil dari tes urinmu. Maukah kamu mencoba mengetesnya sekarang?" Harsha bergeming. Seluruh sendi di tubuhnya nyaris mati. Ia tak sanggup untuk merespon apapun. Mungki
Semalam suntuk, Ron tak bisa memejamkan mata barang sejenak. Rencana kepergian Harsha sepertinya sudah bulat, gadis itu bahkan balik bertanya pada Ron, ketika ia mencercanya dengan pernyataan jika Ron tak akan mengizinkan Harsha pergi. "Memangnya apa hak Tuan buat melarangku pergi?"Damn! Sepertinya Ron mulai gila usai berbagi peluh dengan gadis labil itu! Dia merasa memiliki Harsha, padahal Ron masih terikat pernikahan bersama Bela. Getaran gawai yang terus menerus berdengung di meja nakas, pada akhirnya mengalihkan perhatian Ron di subuh itu. Ia meraih ponsel canggihnya dan memicingkan mata dengan heran ketika sebaris nama muncul di layar. "Halo, Mi?" sapa Ron cepat. "Ada apa?""Ronney, apa kamu tadi malam sempat mengobrol dengan dokter Eva?" selidik Brigitta di ujung sana. Sejenak Ron mencoba mengingat-ingat pada momen beberapa jam yang lalu di rumah orang tuanya. "Tidak. Aku hanya mengobrol sebentar soal Harsha. Kenapa memangnya?" "Kamu tahu apa yang ditemukan oleh pelayan p
"Syarat lainnya akan aku pikirkan nanti. Sekarang Tuan bisa pergi dan tinggalkan aku," usir Harsha tegas. Semburat lega bercampur cemas dan bahagia tergambar jelas di wajah Ron pagi ini. "Tapi kamu janji tidak akan menggugurkan anakku, kan? Kalo kamu butuh sesuatu segera kabari aku, oke?""Pergilah." Sekali lagi Harsha mengusir Ron dengan membukakan pintu rumahnya lebih lebar. Setelah akhirnya Ron keluar dari rumah kontrakan kecil itu, Harsha segera menutup pintu dan menguncinya sambil menangis. Apa Harsha sudah gila? Dia belum menikah, tapi sudah mengandung seperti ini, lantas apa kata para tetangganya nanti?Belum jua pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, pintu rumah Harsha kembali diketuk oleh seseorang. Ron kembali lagi dan urung pergi. "Apa lagi?" tanya Harsha ketus setelah lebih dulu menghapus air matanya. "Aku akan menikah denganmu." "Apa?" "Aku akan menikahimu, Harsha. Kamu juga harus pindah dari rumah kecil ini. Setidaknya, kamu hamil dengan status sebagai istriku agar
Karena Devan setuju untuk makan siang bersama usai mereka berdua menyelesaikan tujuan masing-masing, akhirnya Harsha memaksa pak Udin untuk pulang tanpa menunggunya. Meskipun tadinya Udin memaksa untuk mengantarkan majikan perempuannya itu, tetapi Harsha menolak dengan tegas. Ia butuh privasi setelah sebulanan ini selalu diawasi oleh Ron. "Mau makan di mana kita?" tanya Devan sembari membuka kaca helmnya. "Terserah!" Harsha menyahut dengan santai, tetapi kemudian dia ingat jika Ron sangat membenci kata terserah, buru-buru Harsha meralat, "tapi aku pengen makan di mall," sambungnya cepat. Segala sesuatu yang tidak Ron sukai, juga peraturan tak tertulis yang Ron berikan, entah mengapa membuat Harsha wajib mematuhinya meskipun sedang tidak berhadapan dengan suaminya itu. Alam bawah sadarnya seakan memaksa Harsha untuk menjauhi larangan Ron dan melaksanakan perintahnya. Namun, khusus hari ini dia ingin menjadi istri yang bandel. "Oke. Berarti kita ke kota?" tanya Devan memastikan. H
Sejak menikah dengan Harsha, keharmonisan Ron dan Bela kembali seperti semula. Mereka bercinta setiap malam, bahkan lebih panas dari sebelum-sebelumnya. Tak ada yang berubah pada sikap Ron terhadap Bela meskipun ia telah menikahi Harsha. Keinginan mereka berdua untuk memiliki anak akan segera terwujud, bahkan kandungan Harsha bertahan lebih lama daripada proses inseminasi dulu. "Honey, hari ini aku menginap di rumah papa." "Ke kota lagi?" Ron menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengancing kemeja putih. "Bukannya minggu lalu kamu sudah menginap di rumah papa?" "Papa semakin tua, Honey. Aku harus sering-sering mengunjunginya atau dia akan melupakan aku sebagai anaknya!" Bela bangkit dari ranjang, membenarkan tali lingerie-nya yang melorot lantas membantu Ron mengancing kemeja putih itu. "Lalu malam ini aku tidur sendirian lagi?" keluh Ron sedih, menunduk dan mencium pipi sang istri. "Teganya kamu, Honey!" "Hanya semalam Ron, jangan berlebihan!" Bela mendorong tubuh suaminya
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange