"Halo?" sapa Harsha sekali lagi ketika si penelepon itu tak kunjung bersuara. Namun, hingga beberapa detik berlalu, tak ada siapapun yang menjawab sapaannya. Merasa dikerjai oleh seseorang, Harsha akhirnya memutuskan sambungan telepon itu dan memilih fokus pada kegiatannya beberapa saat lalu. Berbincang dengan Ron melalui pesan. [Kamu mau juga? Baiklah, aku akan meminta Vick memesankan makanan ini juga untukmu. Btw, bisakah kamu melambaikan tangan ke arah vas bunga di meja kabinet. Aku sedang mengawasimu dari sini.] Nah, kan! Harsha menarik napasnya panjang. Benar dugaannya jika Ron meletakkan CCTV di balik vas bunga itu. Entah secanggih apa kameranya sampai-sampai Harsha tak melihat penampakan benda apapun di sana selain seonggok vas dan beberapa tangkai bunga. Dengan ragu, meskipun merasa konyol, Harsha menuruti kemauan Ron dan melambaikan tangan seperti orang gila pada vas bunga itu. Setelahnya, ia membalas pesan Ron dan bertanya apakah pria itu juga meletakkan kamera di dalam
"Mbak Harsha?" "Suster silvy!" Secara reflek, Harsha bangkit dan berhambur memeluk suster baik hati yang telah banyak berjasa dalam membantunya menjaga Ranti semasa di rumah sakit. Menyadari jika ada yang membesar di bagian perut Harsha, suster muda itupun mengernyitkan kening. "Mbak Harsha hamil?" tanyanya dengan mata membeliak. Meskipun setelah ini Harsha yakin jika nama baiknya akan tercoreng, tetapi Harsha memilih untuk jujur dan menganggukkan kepalanya. "Iya. Saya hamil, Sus," jawabnya di iringi senyuman samar. "Suster kaget, ya?" "I-iya. Udah berapa bulan, Mbak?" "Mau masuk tiga bulan."Bibir Silvy reflek membulat sembari mengangguk. "Suster sendirian? Yuk, duduk dulu sini. Udah lama banget kita nggak ngobrol!" Harsha menawarkan bangku kosong di depannya agar Silvy mau duduk barang sebentar. Sekalian, dia ingin mengonfirmasi perihal gosip yang dulu sempat santer berhembus. Dengan patuh, Silvy menarik bangku itu dan meletakkan pantatnya dengan perlahan. Usai Harsha meme
"Pak, anda tidak tidur?" Vick memandang bosnya dengan tatapan prihatin. Tadi, Ron tiba-tiba datang ke apartemennya dalam kondisi wajah penuh luka bekas cakaran. Vick lebih terkejut lagi ketika Ron melepas jas hitamnya, kemeja putih di balik jas mahal itu sudah koyak di beberapa bagian. Setelah membantu mengoleskan obat antiseptik dan salep, Vick pun membiarkan Ron meminjam pakaiannya untuk sementara waktu. Vick tak tahu, apa yang terjadi dengan bosnya sebelum pria itu memutuskan datang ke apartemennya. Ron tak sekalipun berbicara kecuali mengucapkan kata 'maaf sudah merepotkanmu' dan 'terimakasih'. Saat ini, jam sudah menunjuk angka sebelas malam, tetapi Ron masih belum jua bisa memejamkan mata barang sedetik. Ia memilih tidur di sofa ruang tamu karena apartemen Vick hanya memiliki satu kamar. Meskipun sekretarisnya itu sudah memaksa Ron untuk beristirahat di dalam kamar, tetapi Ron bersikeras menolak dan tak ingin semakin merepotkan sekretarisnya itu. Ketika Vick hendak mengamb
Harsha termenung dengan pandangan kosong setelah Devan menjelaskan panjang lebar tentang segala resiko dan sanksi sosial yang akan ia dapatkan seandainya tetap bersikeras dengan perasaannya pada Ron Kyle. Harsha terlalu buta akan cinta, apalagi ini merupakan cinta pertamanya. Tak dipungkiri, ada rasa tak rela dan penyangkalan yang ingin ia sampaikan pada Devan, tetapi Harsha memilih untuk merendamnya sendiri. "Kamu perempuan cerdas, Sha. Masa gini aja kamu nggak bisa milih mana yang terbaik dan mana yang harus dibuang!" Devan menyesap teh tarik pesanannya dengan perlahan sembari memandang sahabatnya dengan iba. "Udahlah, jangan dipikirin! Sekarang kamu fokus aja dulu sama kandungan kamu, lahirin bayi itu dengan selamat dan segera pergi dari kota kecil ini!" "Apa aku bisa, Dev?""Bisa, Sha! Kamu pasti bisa. Kamu sudah pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidup kamu. Kehilangan Ron nggak akan sesakit itu, kok! Percaya deh!" Devan semakin berapi-api. "Apalagi kamu lulusan
Hening. Hanya suara detik jarum jam yang mendominasi kamar tamu bernuansa putih dan biru itu. Di ranjang berukuran king, Ron masih belum sadar dari pingsannya. Dan, tepat di sebelahnya, di pinggiran ranjang, Harsha menangis sesenggukan sembari menggenggam telapak tangan Ron yang mulai hangat setelah tadi sempat sedingin es."Kenapa Kak Vick nggak bilang sebelumnya kalo badan tuan Ron penuh luka-luka kaya gini!" keluh Harsha sembari menyeka air matanya dengan hati pedih. "Kalo tahu tuan Ron sakit, aku--""Saya saja tidak tahu kenapa tuan Ron datang ke apartemen saya dengan tubuh penuh luka seperti itu, Nyonya. Maafkan saya." Vick membungkuk penuh sesal. "Saya memang tidak berguna."Harsha menyentuh luka di wajah Ron yang memanjang dari pelipis ke bagian rahang, juga di lengan dan lehernya. Belum lagi, mata dan bibirnya mulai lebam dan membengkak pasca bertikai dengan Devan beberapa menit yang lalu. "Apa kita perlu membawa dia ke rumah sakit?" "Tuan Ron tidak mau, Nyonya. Kemarin saya
Harsha menahan langkahnya yang hampir saja terayun, sentuhan tangan Ron di lengannya seakan memaksa Harsha untuk bergeming. "Aku akan melakukan apapun, selama kamu tidak meminta bercerai." Ron mulai bersuara ketika Harsha tak kunjung berbalik untuk sekedar menatapnya. "Aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Harsha."Diantara rasa sakit yang menderanya, Ron masih memaksakan diri untuk turun dari ranjang dan bangkit perlahan-lahan. Ia menarik istrinya agar mau berbalik. Di mata Harsha saat ini, wajah Ron bukan hanya menyeramkan, tapi juga menyedihkan. Bentuk wajahnya sudah tak beraturan dengan luka di beberapa bagian. Meskipun begitu, Ron selalu memaksakan diri untuk tersenyum dan berlagak seolah ia baik-baik saja. "Setidaknya sampai anak kita lahir, jangan dulu berpikir untuk bercerai."Anak kita?Harsha tergemap mendengar dua kata asing itu. Selama ini, Harsha selalu menganggap bayi ini bukanlah miliknya. Sel telur dan rahimnya adalah sesuatu yang ia tukar dengan uang. Pun kepera
"Halo, Mi?" "Happy anniversary, Ronney!!" Teriakan di seberang sana yang berbarengan dengan suara tiupan terompet membuat kantuk Ron Kyle lenyap seketika. Ia mengangkat sebagian tubuhnya ke atas untuk bersandar di bantalan ranjang, masih terasa ngilu di beberapa bagian tubuhnya tetapi Ron memilih untuk tetap bangkit. Otaknya spontan bekerja untuk mengingat-ingat tanggal berapa hari ini! Ketika akhirnya Ron ingat jika di tanggal dan bulan ini adalah anniversary pernikahannya, Ron lantas berkata, "Thanks, Mi." "Di mana Bela? Kalian tidak pergi liburan? Sudah sepuluh tahun, Ron! Ayolah, segera buatkan cucu untuk kami!""Mi, please. Bukankah aku sudah bilang jangan membahas tentang anak lagi!" Ron memijat keningnya yang berdenyut pening, Briggita mulai lagi! "Ups! Sorry, Ronney. Btw, apa rencana kalian hari ini? Mau merayakan di mana? Mami dan Papi berencana akan ikut merayakan hari spesial kalian karena ini perayaan yang ke sepuluh, Nak! Tidakkah itu keren? Rumah tangga kalian awet
"Halo, Vick. Tolong bantu aku melacak nomor ponsel Bela dan mencari tahu posisi dia sekarang!"Ron langsung memutuskan sambungan telepon itu sebelum Vick sempat menjawab. Langkah kakinya yang lebar lantas terayun menuju kamar, barangkali ia bisa mendapat petunjuk di mana istrinya sekarang berada. Baru juga tangannya hendak menekan handle pintu, ponsel di genggaman tangan kiri Ron lantas bergetar. Ada panggilan masuk. Dari Brigitta. "Ya, Mi?" Ron menerima telepon itu seraya meringsek masuk ke dalam kamar tidurnya. "Ronney, Mami bertemu Bela di toko kue. Tapi dia buru-buru pergi sebelum Mami sempat menyapanya!" "Di toko mana itu?" Ron yang tadinya hendak mencuci muka, sontak menghentikan langkah dan berbalik badan."Di toko kue dekat bank Zurish. Rencana Mami akan membelikan cake untuk kalian, tapi rupanya Bela sudah membeli cake yang sama menurut pelayan di toko itu." Ron menghela napasnya panjang. "Baiklah, Mi. Tidak usah membeli kue. Bela sudah mempersiapkan semuanya.""Benarka