"Pak, anda tidak tidur?" Vick memandang bosnya dengan tatapan prihatin. Tadi, Ron tiba-tiba datang ke apartemennya dalam kondisi wajah penuh luka bekas cakaran. Vick lebih terkejut lagi ketika Ron melepas jas hitamnya, kemeja putih di balik jas mahal itu sudah koyak di beberapa bagian. Setelah membantu mengoleskan obat antiseptik dan salep, Vick pun membiarkan Ron meminjam pakaiannya untuk sementara waktu. Vick tak tahu, apa yang terjadi dengan bosnya sebelum pria itu memutuskan datang ke apartemennya. Ron tak sekalipun berbicara kecuali mengucapkan kata 'maaf sudah merepotkanmu' dan 'terimakasih'. Saat ini, jam sudah menunjuk angka sebelas malam, tetapi Ron masih belum jua bisa memejamkan mata barang sedetik. Ia memilih tidur di sofa ruang tamu karena apartemen Vick hanya memiliki satu kamar. Meskipun sekretarisnya itu sudah memaksa Ron untuk beristirahat di dalam kamar, tetapi Ron bersikeras menolak dan tak ingin semakin merepotkan sekretarisnya itu. Ketika Vick hendak mengamb
Harsha termenung dengan pandangan kosong setelah Devan menjelaskan panjang lebar tentang segala resiko dan sanksi sosial yang akan ia dapatkan seandainya tetap bersikeras dengan perasaannya pada Ron Kyle. Harsha terlalu buta akan cinta, apalagi ini merupakan cinta pertamanya. Tak dipungkiri, ada rasa tak rela dan penyangkalan yang ingin ia sampaikan pada Devan, tetapi Harsha memilih untuk merendamnya sendiri. "Kamu perempuan cerdas, Sha. Masa gini aja kamu nggak bisa milih mana yang terbaik dan mana yang harus dibuang!" Devan menyesap teh tarik pesanannya dengan perlahan sembari memandang sahabatnya dengan iba. "Udahlah, jangan dipikirin! Sekarang kamu fokus aja dulu sama kandungan kamu, lahirin bayi itu dengan selamat dan segera pergi dari kota kecil ini!" "Apa aku bisa, Dev?""Bisa, Sha! Kamu pasti bisa. Kamu sudah pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidup kamu. Kehilangan Ron nggak akan sesakit itu, kok! Percaya deh!" Devan semakin berapi-api. "Apalagi kamu lulusan
Hening. Hanya suara detik jarum jam yang mendominasi kamar tamu bernuansa putih dan biru itu. Di ranjang berukuran king, Ron masih belum sadar dari pingsannya. Dan, tepat di sebelahnya, di pinggiran ranjang, Harsha menangis sesenggukan sembari menggenggam telapak tangan Ron yang mulai hangat setelah tadi sempat sedingin es."Kenapa Kak Vick nggak bilang sebelumnya kalo badan tuan Ron penuh luka-luka kaya gini!" keluh Harsha sembari menyeka air matanya dengan hati pedih. "Kalo tahu tuan Ron sakit, aku--""Saya saja tidak tahu kenapa tuan Ron datang ke apartemen saya dengan tubuh penuh luka seperti itu, Nyonya. Maafkan saya." Vick membungkuk penuh sesal. "Saya memang tidak berguna."Harsha menyentuh luka di wajah Ron yang memanjang dari pelipis ke bagian rahang, juga di lengan dan lehernya. Belum lagi, mata dan bibirnya mulai lebam dan membengkak pasca bertikai dengan Devan beberapa menit yang lalu. "Apa kita perlu membawa dia ke rumah sakit?" "Tuan Ron tidak mau, Nyonya. Kemarin saya
Harsha menahan langkahnya yang hampir saja terayun, sentuhan tangan Ron di lengannya seakan memaksa Harsha untuk bergeming. "Aku akan melakukan apapun, selama kamu tidak meminta bercerai." Ron mulai bersuara ketika Harsha tak kunjung berbalik untuk sekedar menatapnya. "Aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Harsha."Diantara rasa sakit yang menderanya, Ron masih memaksakan diri untuk turun dari ranjang dan bangkit perlahan-lahan. Ia menarik istrinya agar mau berbalik. Di mata Harsha saat ini, wajah Ron bukan hanya menyeramkan, tapi juga menyedihkan. Bentuk wajahnya sudah tak beraturan dengan luka di beberapa bagian. Meskipun begitu, Ron selalu memaksakan diri untuk tersenyum dan berlagak seolah ia baik-baik saja. "Setidaknya sampai anak kita lahir, jangan dulu berpikir untuk bercerai."Anak kita?Harsha tergemap mendengar dua kata asing itu. Selama ini, Harsha selalu menganggap bayi ini bukanlah miliknya. Sel telur dan rahimnya adalah sesuatu yang ia tukar dengan uang. Pun kepera
"Halo, Mi?" "Happy anniversary, Ronney!!" Teriakan di seberang sana yang berbarengan dengan suara tiupan terompet membuat kantuk Ron Kyle lenyap seketika. Ia mengangkat sebagian tubuhnya ke atas untuk bersandar di bantalan ranjang, masih terasa ngilu di beberapa bagian tubuhnya tetapi Ron memilih untuk tetap bangkit. Otaknya spontan bekerja untuk mengingat-ingat tanggal berapa hari ini! Ketika akhirnya Ron ingat jika di tanggal dan bulan ini adalah anniversary pernikahannya, Ron lantas berkata, "Thanks, Mi." "Di mana Bela? Kalian tidak pergi liburan? Sudah sepuluh tahun, Ron! Ayolah, segera buatkan cucu untuk kami!""Mi, please. Bukankah aku sudah bilang jangan membahas tentang anak lagi!" Ron memijat keningnya yang berdenyut pening, Briggita mulai lagi! "Ups! Sorry, Ronney. Btw, apa rencana kalian hari ini? Mau merayakan di mana? Mami dan Papi berencana akan ikut merayakan hari spesial kalian karena ini perayaan yang ke sepuluh, Nak! Tidakkah itu keren? Rumah tangga kalian awet
"Halo, Vick. Tolong bantu aku melacak nomor ponsel Bela dan mencari tahu posisi dia sekarang!"Ron langsung memutuskan sambungan telepon itu sebelum Vick sempat menjawab. Langkah kakinya yang lebar lantas terayun menuju kamar, barangkali ia bisa mendapat petunjuk di mana istrinya sekarang berada. Baru juga tangannya hendak menekan handle pintu, ponsel di genggaman tangan kiri Ron lantas bergetar. Ada panggilan masuk. Dari Brigitta. "Ya, Mi?" Ron menerima telepon itu seraya meringsek masuk ke dalam kamar tidurnya. "Ronney, Mami bertemu Bela di toko kue. Tapi dia buru-buru pergi sebelum Mami sempat menyapanya!" "Di toko mana itu?" Ron yang tadinya hendak mencuci muka, sontak menghentikan langkah dan berbalik badan."Di toko kue dekat bank Zurish. Rencana Mami akan membelikan cake untuk kalian, tapi rupanya Bela sudah membeli cake yang sama menurut pelayan di toko itu." Ron menghela napasnya panjang. "Baiklah, Mi. Tidak usah membeli kue. Bela sudah mempersiapkan semuanya.""Benarka
"Apa maksudmu dengan menyingkirkan dia?" Ron bertanya dengan napas tertahan. "Bela, how could you--""Pilihannya hanya dua, Ron. Aku dan bayi itu, atau dia.""Bel--""Sejak awal tujuanmu menikahinya karena bayi itu, kan? Dia juga sudah setuju dengan kesepakatan itu. Lalu apa yang membuatmu ragu untuk menyingkirkan Harsha?" tukas Bela berusaha menjabarkan tujuan awal pernikahan Ron dan Harsha kala itu. "Jangan bilang kalo kamu mulai mencintai dia? Ron, kamu sudah berjanji untuk tidak tergoda padanya!""No. Aku tidak pernah bilang kalo aku mencintai dia, you know how much i love you, Bela! Aku menikahinya karena bayi itu akan menjadi pelengkap rumah tangga kita.""Good. Baguslah kalo pikiranmu sudah terbuka sekarang." Bela menyunggingkan senyuman dan membelai pipi suaminya dengan lembut. "Is it hurt? I'm sorry, Honey," bisiknya penuh sesal ketika jemarinya menyentuh luka yang berasal dari cakaran kukunya. "Aku minta maaf karena sudah kalap waktu itu. Aku menyesal." Ron menahan tangan B
Napas yang semula sempat tertahan karena merasakan nikmat yang tiada tara, juga kelopak mata yang tadinya terpejam ketika bibir itu mulai memberikan sensasi yang luar biasa di bawah sana, sontak terbuka dan terbelalak ketika nama itu tiba-tiba disebut. Bela menurunkan salah satu kakinya yang ditahan keatas oleh Ron dan mendorong suaminya itu dengan perasaan terhina. Bisa-bisanya Ron menyebut nama wanita lain ketika sedang menjamahnya! Merasa ditolak untuk melakukan aktifitas foreplay itu, Ron lantas bangkit dan memandang Bela dengan bingung. Kesadarannya masih belum sepenuhnya pulih pasca menenggak minuman alkohol tadi. Nafsunya sudah di ubun-ubun, teganya Bela menghentikan semuanya disaat permainan mereka baru dimulai! "Kamu bilang kita bisa memulainya setelah orangtuaku pergi?" Ron memandangi istrinya yang beringsut pergi dari hadapannya. "Aku mau tidur, aku capek!" sahut Bela dingin seraya mengganti bathrobe-nya dengan piyama tidur. "Bela, kenapa?" Ron memprotes seraya menarik
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange