"Untuk apa kita ke rumah tuan besar?" Harsha merasakan tubuhnya mulai meremang ketika mobil yang dikendarai oleh Ron perlahan masuk dan parkir di halaman rumah vila. Perasaan Harsha mulai gundah, apalagi dia datang bersama Ron Kyle! Brigitta dan Alex pasti curiga bila melihat mereka datang berdua. "Ayo." Ron melepas seatbelt dan lebih dulu meloncat turun dari mobil tanpa memperhatikan mimik wajah istri mudanya yang mulai pias. Dengan santainya, Ron berjalan memutari kap mobil dan membukakan pintu untuk Harsha. "Untuk apa kita ke sini, Tuan?" tanya Harsha gugup ketika Ron sudah mengulurkan tangan untuk membantunya turun. "Nanti kamu akan tahu. Sekarang ayo kita temui orang tuaku dulu di dalam," bujuk Ron dengan senyuman manisnya. Tak ada pilihan lain bagi Harsha selain setuju dan mengikuti Ron yang lebih dulu masuk ke dalam rumah orang tuanya. Dengan langkah kaki perlahan, Harsha terus membuntuti suaminya hingga tampaklah Brigitta dari kejauhan. Entah sudah berapa doa yang Harsha
"Kamu serius?" Sekali lagi, Ron mencoba memastikan telinganya tidak salah mendengar. Dan, ketika Harsha menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyuman, saat itu juga Ron merasa ada sedikit nyeri yang menusuk di relung hatinya. "Kamu yakin dengan perkataanmu, Harsha?" Brigitta seakan paham luka itu dari tatapan putranya. "Kamu rela menyerahkan bayi yang kamu kandung susah payah selama sembilan bulan untuk diasuh oleh perempuan lain?" "Nyonya, kehadiran bayi ini sudah ditunggu selama bertahun-tahun oleh Tuan Ron dan nyonya Bela. Saya yakin nyonya Bela pasti akan memperlakukannya dengan baik, toh papanya akan selalu di samping bayi kami. Ya kan, Tuan?" "Tidak."Harsha mengernyit bingung. "Tidak?" ulangnya heran."Kamu akan tetap di sini bersama kami. Kita tidak akan bercerai, Harsha. Kita akan membesarkan bayi ini bersama-sama!" jelas Ron dalam sekali helaan napas. Usai mengutarakan isi hatinya itu, Ron lantas bangkit dan beringsut keluar dari ruangan kerja papinya. Suasana ha
"Bagaimana kabarmu, Devan?" Ron menelisik penampilan sahabat dari istrinya itu dengan teliti. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka bertemu dan bertikai malam itu, kini Devan terlihat semakin kurus dengan bola mata cekung ke dalam dan menghitam. "Baik." Devan menjawab singkat seraya membuang muka. Ia tahu jika Ron sedang mengamati perubahan di tubuhnya. "Bagaimana kabar Harsha? Apa dia baik-baik saja?" Ron sudah mengira jika Devan akan bertanya tentang Harsha, jadi ia tak begitu terkejut mendengar pertanyaan itu. "Baik. Harsha semakin chubby dan menggemaskan." Entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Ron Kyle. Selama beberapa detik, suasana kembali hening. Kebekuan yang terjadi diantara keduanya seolah masih menyisakan dendam atas perseteruan terakhir yang terjadi. "Aku kemari untuk berpamitan. Besok lusa aku akan ke Amerika untuk berobat." Feeling Ron tak keliru, Devan memang sedang tidak baik-baik saja. Pantas saja penampilannya tidak lagi setampan du
Di mana ada Harsha, disitu juga pasti ada Devan. Berteman sejak kanak-kanak hingga dewasa, telah mengikat batin keduanya sedemikian erat. Kedekatan yang bisa dibilang lebih dari sekedar sahabat itu, rupanya telah membuat Devan lupa diri. Dia menganggap Harsha adalah miliknya, tak boleh ada siapapun yang menganggu atau mengusik ketenangannya. Devan bahkan tak segan membantu apapun yang ia bisa lakukan meskipun terkadang terlalu berlebihan sebagai seorang sahabat. Sejak Harsha mengaku bila ia mencintai Ron Kyle, sejak itu pula Devan belajar untuk mundur perlahan dari kehidupan sahabatnya itu. Berat, sangat sulit, karena Devan telah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan Harsha setiap waktu. Namun, demi kebahagiaan perempuan yang ia sayangi melebihi apapun, Devan memutuskan mundur dan menjaga jarak. Hingga akhirnya, semesta ternyata masih belum puas memisahkan keduanya. Penyakit serius yang diderita oleh Devan, pada akhirnya akan membuatnya melupakan segalanya tentang Harsha, tentang
Ron tidak benar-benar pergi, dia bersembunyi di balik tembok dan masih bisa mendengar dengan sangat jelas apa saja yang diperbincangkan oleh istrinya dan Devan. Ketika Devan meminta Harsha berjanji, Ron bukannya tak sakit hati dan cemburu, dia lebih dari sekedar itu. Hanya saja, Ron menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Kali ini saja, Ron akan berlagak tuli dan masa bodoh dengan semuanya. "Aku nggak bisa, Dev. Di kehidupan sekarang ataupun di kehidupan selanjutnya, aku akan tetap memilih tuan Ron sebagai pasanganku. Maafkan aku." Tatapan nanar yang beberapa detik yang lalu tergambar, sontak berubah menjadi binar yang melegakan. Tanpa ia sadari, Ron mengulas senyuman. Jawaban Harsha seakan menjadi oase di tandusnya hati seorang Ron Kyle. "Tapi, kamu akan tetap menjadi seseorang yang sangat penting di hidupku. Entah sebagai sahabat, saudara atau siapapun nantinya." "Janji?" "Iya. Aku janji." Harsha menautkan jari kelingkingnya di jemari Devan dengan cepat. "Kalo kamu melupakan ja
Di sebuah cafe yang tenang dan sepi, Harsha memilih untuk duduk di ruangan indoor karena ia tak betah terlalu lama berada di ruang terbuka yang panas. Selain karena belakangan ini ia mudah gerah, Harsha ingin lebih fokus mengobrol dengan seseorang yang sudah ia ajak bertemu sejak semalam. "Tolong ajak Bela bertemu di luar agar aku bisa pulang ke mansion dan mengecek sesuatu. Tahan dia selama mungkin sampai aku menghubungimu kalo sudah mendapatkan apa yang aku butuhkan." Permintaan Ron kemarin siang kembali terngiang ketika Harsha tengah melamun memandangi langit di luar jendela. Demi Ron, Harsha rela menepikan egonya untuk menemui Bela, karena hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membantu suaminya itu mendapatkan bukti yang ia butuhkan. Setengah jam menunggu, akhirnya Bela datang dan beringsut duduk setelah menyapa Harsha. Penampilannya masih sangat anggun seperti biasanya, bahkan style rambutnya tetap cetar meskipun hari sudah beranjak sore. "Bagaimana kabarmu, Harsha? Lama kita
"Tuan, apa kamu baik-baik saja?" Harsha memandangi sosok sang suami yang tak banyak bicara sejak pulang dengan membawa paspor milik Bela. Ron lebih banyak menghela napas tanpa mengucapkan sepatah kata pun selama di meja makan hingga berakhir duduk santai di sofa ruang tengah. "Tuan, katakan sesuatu. Jangan membuatku takut!" rengek Harsha cemas seraya menarik lengan Ron yang terkulai lemah. Harsha belum pernah bepergian ke luar negeri, ia tak paham bagaimana paspor itu bisa membuat Ron jadi linglung begini. Sejak berkata jujur tentang Bela, hal inilah yang paling Harsha takutkan. Ia khawatir pada kondisi kejiwaan Ron yang pasti akan sangat terguncang. "Harsha." Hanya sepatah kata itu yang sanggup Ron ucapkan, karena setelah itu ia malah menangis sesenggukan. Ini kali pertama Harsha melihat Ron yang begitu lemah dan rapuh. Dengan ragu, Harsha meraih Ron ke dalam dekapannya dan menepuk punggung bidang itu dengan lembut.Ron bukan hanya hancur, ia lebih dari itu setelah mengetahui p
"Apa maksudmu tidak mau datang ke acara itu?" Pagi-pagi sekali, Ron sudah dibuat berang oleh Harsha yang menolak untuk hadir di acara ulang tahun perusahaan suaminya sekaligus ulang tahun mertuanya. Alasannya sangat klise, Harsha tidak mau membuat Bela marah. "Aku cuma...""Kamu harus datang! Tidak boleh menolak," tegas Ron bersungguh-sungguh. Sambil menghela napasnya singkat, Harsha kembali melahap sarapannya yang sudah tersaji di meja. Ia hanya tak mau melihat Ron bermesraan dengan Bela di sana, rasanya pasti akan sangat aneh dan... sedikit menyakiti hatinya. "Nanti aku akan meminta Vick untuk menjemput MUA yang terakhir kali meriasmu di acara wisuda. Aku juga akan meminta mami mengantarmu ke butik langganan mami agar kalian bisa mencari gaun pesta." Ron mengucapkan perintah itu seakan-akan Harsha pasti menurut dan patuh. "Aku nggak mau, Tuan. Kenapa sih maksa banget!" Harsha mulai merengut kesal. "Mending aku di rumah aja daripada lihat kalian mesra-mesraan!" Ron mengernyit.
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange