"Bagaimana kabarmu, Devan?" Ron menelisik penampilan sahabat dari istrinya itu dengan teliti. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka bertemu dan bertikai malam itu, kini Devan terlihat semakin kurus dengan bola mata cekung ke dalam dan menghitam. "Baik." Devan menjawab singkat seraya membuang muka. Ia tahu jika Ron sedang mengamati perubahan di tubuhnya. "Bagaimana kabar Harsha? Apa dia baik-baik saja?" Ron sudah mengira jika Devan akan bertanya tentang Harsha, jadi ia tak begitu terkejut mendengar pertanyaan itu. "Baik. Harsha semakin chubby dan menggemaskan." Entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Ron Kyle. Selama beberapa detik, suasana kembali hening. Kebekuan yang terjadi diantara keduanya seolah masih menyisakan dendam atas perseteruan terakhir yang terjadi. "Aku kemari untuk berpamitan. Besok lusa aku akan ke Amerika untuk berobat." Feeling Ron tak keliru, Devan memang sedang tidak baik-baik saja. Pantas saja penampilannya tidak lagi setampan du
Di mana ada Harsha, disitu juga pasti ada Devan. Berteman sejak kanak-kanak hingga dewasa, telah mengikat batin keduanya sedemikian erat. Kedekatan yang bisa dibilang lebih dari sekedar sahabat itu, rupanya telah membuat Devan lupa diri. Dia menganggap Harsha adalah miliknya, tak boleh ada siapapun yang menganggu atau mengusik ketenangannya. Devan bahkan tak segan membantu apapun yang ia bisa lakukan meskipun terkadang terlalu berlebihan sebagai seorang sahabat. Sejak Harsha mengaku bila ia mencintai Ron Kyle, sejak itu pula Devan belajar untuk mundur perlahan dari kehidupan sahabatnya itu. Berat, sangat sulit, karena Devan telah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan Harsha setiap waktu. Namun, demi kebahagiaan perempuan yang ia sayangi melebihi apapun, Devan memutuskan mundur dan menjaga jarak. Hingga akhirnya, semesta ternyata masih belum puas memisahkan keduanya. Penyakit serius yang diderita oleh Devan, pada akhirnya akan membuatnya melupakan segalanya tentang Harsha, tentang
Ron tidak benar-benar pergi, dia bersembunyi di balik tembok dan masih bisa mendengar dengan sangat jelas apa saja yang diperbincangkan oleh istrinya dan Devan. Ketika Devan meminta Harsha berjanji, Ron bukannya tak sakit hati dan cemburu, dia lebih dari sekedar itu. Hanya saja, Ron menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Kali ini saja, Ron akan berlagak tuli dan masa bodoh dengan semuanya. "Aku nggak bisa, Dev. Di kehidupan sekarang ataupun di kehidupan selanjutnya, aku akan tetap memilih tuan Ron sebagai pasanganku. Maafkan aku." Tatapan nanar yang beberapa detik yang lalu tergambar, sontak berubah menjadi binar yang melegakan. Tanpa ia sadari, Ron mengulas senyuman. Jawaban Harsha seakan menjadi oase di tandusnya hati seorang Ron Kyle. "Tapi, kamu akan tetap menjadi seseorang yang sangat penting di hidupku. Entah sebagai sahabat, saudara atau siapapun nantinya." "Janji?" "Iya. Aku janji." Harsha menautkan jari kelingkingnya di jemari Devan dengan cepat. "Kalo kamu melupakan ja
Di sebuah cafe yang tenang dan sepi, Harsha memilih untuk duduk di ruangan indoor karena ia tak betah terlalu lama berada di ruang terbuka yang panas. Selain karena belakangan ini ia mudah gerah, Harsha ingin lebih fokus mengobrol dengan seseorang yang sudah ia ajak bertemu sejak semalam. "Tolong ajak Bela bertemu di luar agar aku bisa pulang ke mansion dan mengecek sesuatu. Tahan dia selama mungkin sampai aku menghubungimu kalo sudah mendapatkan apa yang aku butuhkan." Permintaan Ron kemarin siang kembali terngiang ketika Harsha tengah melamun memandangi langit di luar jendela. Demi Ron, Harsha rela menepikan egonya untuk menemui Bela, karena hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membantu suaminya itu mendapatkan bukti yang ia butuhkan. Setengah jam menunggu, akhirnya Bela datang dan beringsut duduk setelah menyapa Harsha. Penampilannya masih sangat anggun seperti biasanya, bahkan style rambutnya tetap cetar meskipun hari sudah beranjak sore. "Bagaimana kabarmu, Harsha? Lama kita
"Tuan, apa kamu baik-baik saja?" Harsha memandangi sosok sang suami yang tak banyak bicara sejak pulang dengan membawa paspor milik Bela. Ron lebih banyak menghela napas tanpa mengucapkan sepatah kata pun selama di meja makan hingga berakhir duduk santai di sofa ruang tengah. "Tuan, katakan sesuatu. Jangan membuatku takut!" rengek Harsha cemas seraya menarik lengan Ron yang terkulai lemah. Harsha belum pernah bepergian ke luar negeri, ia tak paham bagaimana paspor itu bisa membuat Ron jadi linglung begini. Sejak berkata jujur tentang Bela, hal inilah yang paling Harsha takutkan. Ia khawatir pada kondisi kejiwaan Ron yang pasti akan sangat terguncang. "Harsha." Hanya sepatah kata itu yang sanggup Ron ucapkan, karena setelah itu ia malah menangis sesenggukan. Ini kali pertama Harsha melihat Ron yang begitu lemah dan rapuh. Dengan ragu, Harsha meraih Ron ke dalam dekapannya dan menepuk punggung bidang itu dengan lembut.Ron bukan hanya hancur, ia lebih dari itu setelah mengetahui p
"Apa maksudmu tidak mau datang ke acara itu?" Pagi-pagi sekali, Ron sudah dibuat berang oleh Harsha yang menolak untuk hadir di acara ulang tahun perusahaan suaminya sekaligus ulang tahun mertuanya. Alasannya sangat klise, Harsha tidak mau membuat Bela marah. "Aku cuma...""Kamu harus datang! Tidak boleh menolak," tegas Ron bersungguh-sungguh. Sambil menghela napasnya singkat, Harsha kembali melahap sarapannya yang sudah tersaji di meja. Ia hanya tak mau melihat Ron bermesraan dengan Bela di sana, rasanya pasti akan sangat aneh dan... sedikit menyakiti hatinya. "Nanti aku akan meminta Vick untuk menjemput MUA yang terakhir kali meriasmu di acara wisuda. Aku juga akan meminta mami mengantarmu ke butik langganan mami agar kalian bisa mencari gaun pesta." Ron mengucapkan perintah itu seakan-akan Harsha pasti menurut dan patuh. "Aku nggak mau, Tuan. Kenapa sih maksa banget!" Harsha mulai merengut kesal. "Mending aku di rumah aja daripada lihat kalian mesra-mesraan!" Ron mengernyit.
"Ini vitamin stamina, kamu taburkan di makanan atau minuman yang akan dilahap sama Ronney. Kalo dia sudah makan vitamin ini, Ronney pasti akan cepet tidur dan istirahat. Kalo tidurnya pulas, besoknya mood Ronney pasti akan bagus. Dan kalo moodnya bagus, kamu pasti mudah merayu dia untuk pakai gaun yang sudah Mami pilihkan untuk kamu!" Harsha memperhatikan Ron yang melangkah masuk ke kamarnya dengan wajah penuh amarah. Bagus apanya! Ron malah gampang emosi setelah menelan vitamin yang Harsha taburkan di nasi dan minumannya. Dia malah jadi sangat sensitif dan gampang tersinggung. "Bik, minta tolong beresin saja mejanya ya. Saya mau istirahat." Harsha bangkit perlahan seraya menenteng gelasnya ke dalam kamar dan memberi perintah pada bik Sumi yang kebetulan berpapasan dengannya. "Baik, Nyonya." Bik Sumi membungkuk patuh dan berlalu dari hadapan majikannya. Di dalam kamar, Harsha mengamati pantulan tubuhnya di depan cermin dengan tatapan risih. Sesekali, ia menghela napas panjang samb
Ron terbangun ketika kepalanya tiba-tiba terantuk pinggiran bathtub yang terbuat dari porselen. Seluruh sendi di tubuhnya masih terasa lemas, bahkan Ron tak sanggup membuka mata seandainya ia tak menyadari ada selimut yang menutupi tubuhnya. Pasti Harsha yang telah menyelimutinya ketika Ron sudah terlelap. Karena tidur dengan posisi yang tidak nyaman, Ron merasa seluruh tulang belulangnya terasa kaku. Sambil meregangkan badan, ia pun bangkit dan meraih selimut itu untuk menutupi tubuhnya. Ron keluar dari kamar mandi dan memungut satu persatu pakaiannya yang tercecer di lantai lalu mengenakannya. Suasana hatinya masih buruk, Ron bahkan tak sekalipun menoleh pada Harsha yang terlelap pulas di atas ranjang itu. Setelah semua pakaiannya terpakai, Ron keluar sambil menenteng selimut yang semalam ia gunakan, lalu melemparnya ke tempat sampah. Ron masih murka atas penolakan Harsha yang telah melukai harga dirinya. Dan masih jadi misteri, siapa yang telah memberinya obat perangsang itu hing