Semua orang tercengang setelah Rendra berkata untuk menantang Deon dalam pertarungan satu lawan satu. Hal ini justru membuat Deon mengerutkan dahi.
“Menantangku?” tanya Deon, memastikan.
Rendra berjalan menyibak barisan para anggota, lalu berdiri di hadapan Deon.
“Ya, gue nantang lo kelahi satu lawan satu! Kalau lo bisa menang lawan gue, gue anggap lo udah pantes jadi ketua Bruno yang baru. Tapi, kalau lo kalah dari gue, gue akan keluar dari Bruno!”
Jaya Kusuma tercengang. “Rendra! Apa yang kamu katakan?!”
Rendra tersenyum kecut pada Jaya Kusuma. “Bos, gue nggak mau dipimpin sama orang yang kelihatan bodoh kayak dia
Deon masih dalam cengkeraman Rendra. Dia tahu bahwa Rendra tidak main-main dengan ucapannya barusan. Mata lelaki itu pun menunjukkan kesungguhan dan amarah yang bergejolak. Dapat Deon maklumi karena dia bukan siapa-siapa yang kemudian hadir dalam Bruno yang tiba-tiba langsung dinyatakan untuk menjadi seorang ketua.“Sialan orang ini. Dia bener-bener mau membunuhku. Kalau aku nggak ngelawan dan ngelepasin diri secepatnya, aku pasti akan mati konyol,” pikir Deon.Mau tak mau, dia harus mencari cara untuk bisa membebaskan diri dari cengkeraman tangan Rendra. Lagi pula, posisinya juga sedang tidak nyaman dan sama sekali tidak menguntungkan dirinya.Oleh sebab itu, Deon dengan tenaga yang jauh lebih besar, seketika itu meraih leher Rendra meskipun terpaksa memutar len
Deon tersentak kaget oleh tindakan Rendra yang menodongkan pistol padanya. Ia merasa bahwa pertarungan ini tidak fair jika harus mengandalkan senjata api.“Jangan main-main sama senjata api,” ucap Deon. Dia berusaha tetap tenang, meskipun Rendra benar-benar mengancam akan menarik pelatuk pistol berwarna hitam tersebut.Jaya Kusuma yang melihat tindakan anak buahnya pun terlihat geram.“Rendra! Apa yang mau kamu lakukan?!” tanya Jaya Kusuma dengan nada tegas.“Gue nggak akan biarin orang bego kayak dia jadi ketua Bruno. Bos, harusnya lo sadar kalau gue sangat peduli sama Bruno. Akan jadi apa kalau Bruno diketuai sama orang bego kayak dia?!”
Dengan mobil Limosin berwarna hitam mengilap yang di kap depannya terdapat simbol sebuah singa mengaum, Deon dibawa ke sebuah bangunan tinggi menjulang oleh Jaya Kusuma.Di dalam mobil memanjang tersebut juga ada Anggraini yang sebelumnya ingin terus mengikuti ke mana Deon pergi. Beberapa menit mengendarai dengan Roki sebagai sopirnya, mereka tiba di gedung yang berdiri di pinggir jalan utama.“Aku akan memperkenalkan kamu dengan semua karyawan di Bruno Group, Deon. Kita sudah sampai.”Jaya Kusuma membuka pintu mobil, begitu juga dengan Anggraini dan Deon yang kemudian mengikuti langkah Jaya Kusuma untuk masuk ke gedung tinggi tersebut. Di luar pintu kaca gedung, mereka telah disambut oleh beberapa anggota lainnya. Mereka tertunduk memberikan hormat kepada Jaya K
Semua orang yang berada di pusat keramaian ini menatap ke arah Limosin yang ditumpangi Deon. Di kap depan timbul asap yang menandakan ada komponen mesin yang terbakar.Posisi mobil terbalik, tetapi Deon dan Roki tampak baik-baik saja karena kendaraan mewah itu langsung mengeluarkan parasut pelindung agar kepala mereka tidak membentur bodi besi mobil.“Anggraini!”Deon berusaha memastikan perempuan yang berusaha ia lindungi ini baik-baik saja. Perempuan berbibir tipis itu pun membuka kedua matanya, lalu melihat bahwa Deon tengah mendekapnya. Dia langsung melirikkan bola matanya ke sembarang arah.“G-gue nggak kenapa-kenapa,” ucap Anggraini.
Tangan Deon terluka akibat lesatan timah panas. Untungnya, peluru tersebut tidak menancap di kepalanya. Timah panas itu terjatuh di lantai dan menggelinding akibat membentur badan pistol.Deon dengan cepat mengangkat kepalanya, lalu melihat seorang perempuan mengenakan jaket dan topi bucket hitam tengah mengacungkan pistol hitam. Pria berjas buru-buru lari ke arah wanita tersebut.“Sialan! Siapa kamu?!” tanya Deon dengan tatapan penuh intimidasi.Perempuan dengan bibir seksi dan hidung yang lancip itu menyeringai, lalu menjawab, “Coba tebak.”Deon menyipitkan kedua matanya. Sudah jelas bahwa sang perempuan merupakan salah satu rekan pria berjas tadi.
“Ternyata lo biang keroknya! Rendra!”Deon melihat bahwa Roki telah terbawa emosi yang memuncak. Oleh karena itu, segera ia menghalangi Roki untuk bertindak gegabah.“Tenang dulu, Roki. Kita dengerin penjelasannya. Itu pun kalau dia punya penjelasan yang logis.”Deon tersenyum miring sambil menatap ke arah Rendra dan tiga rekannya.Rendra lantas tertawa terbahak-bahak, lalu menunjuk Deon, menatapnya dengan penuh dendam.“Yah, aku udah tahu, sih, kalau kamu emang dendam sama aku. Tapi, kayak yang aku duga, kamu emang pengecut, Rendra.”“Diem lo! Gue belum ka
“Oh, jadi kamu?” Deon menatap perempuan bernama Melinda yang berdiri di sebelah Rendra. Sejenak, ia menatap tangannya yang masih luka lecet akibat lesatan peluru Melinda beberapa waktu lalu.“Deon, sebaiknya lo nyerah. Lo tahu kenapa gue nyuruh lo buat nyerah?” Rendra tersenyum kecut. “Itu karena lo nggak akan bisa menang lawan Melinda. Dia salah satu senjata pembunuh dari Tyrex.”Deon Lesmana tertawa renyah mendengar penjelasan Rendra yang lebih terdengar seperti sebuah ancaman.“Sialan! Kenapa lo ketawa, Deon sialan!”“Yang bikin aku ketawa itu, ya, kamu, Rendra! Kamu tahu? Meskipun dia senjata pembunuh kayak yang kamu bilang, tapi aku nggak ngerasa takut sedik
Rendra tertawa terbahak-bahak setelah beberapa kali menghantam Deon menggunakan balok yang terlihat sangat paten.“Mampus lo! Hari ini, lo bakalan mati di sini!”Sementara itu, Deon menggeliat kesakitan. Padahal, baru saja pertarungannya dengan Melinda berlangsung seru, tetapi sepertinya Rendra tidak ingin toleransi dalam hal ini. Yah, Deon sadar kalau lelaki mantan anggota Bruno ini sudah sangat dendam padanya.Deon meletakkan tangan kanan di kepalanya, lalu dilihatnya darah yang bergelimang. Tentu saja, lelaki ini sekarang sangat pusing dan dunia ia rasakan seperti berputar-putar.“Rendra sialan,” lirih Deon dengan napas sesak.&ld