Deon tersentak kaget oleh tindakan Rendra yang menodongkan pistol padanya. Ia merasa bahwa pertarungan ini tidak fair jika harus mengandalkan senjata api.
“Jangan main-main sama senjata api,” ucap Deon. Dia berusaha tetap tenang, meskipun Rendra benar-benar mengancam akan menarik pelatuk pistol berwarna hitam tersebut.
Jaya Kusuma yang melihat tindakan anak buahnya pun terlihat geram.
“Rendra! Apa yang mau kamu lakukan?!” tanya Jaya Kusuma dengan nada tegas.
“Gue nggak akan biarin orang bego kayak dia jadi ketua Bruno. Bos, harusnya lo sadar kalau gue sangat peduli sama Bruno. Akan jadi apa kalau Bruno diketuai sama orang bego kayak dia?!”
Dengan mobil Limosin berwarna hitam mengilap yang di kap depannya terdapat simbol sebuah singa mengaum, Deon dibawa ke sebuah bangunan tinggi menjulang oleh Jaya Kusuma.Di dalam mobil memanjang tersebut juga ada Anggraini yang sebelumnya ingin terus mengikuti ke mana Deon pergi. Beberapa menit mengendarai dengan Roki sebagai sopirnya, mereka tiba di gedung yang berdiri di pinggir jalan utama.“Aku akan memperkenalkan kamu dengan semua karyawan di Bruno Group, Deon. Kita sudah sampai.”Jaya Kusuma membuka pintu mobil, begitu juga dengan Anggraini dan Deon yang kemudian mengikuti langkah Jaya Kusuma untuk masuk ke gedung tinggi tersebut. Di luar pintu kaca gedung, mereka telah disambut oleh beberapa anggota lainnya. Mereka tertunduk memberikan hormat kepada Jaya K
Semua orang yang berada di pusat keramaian ini menatap ke arah Limosin yang ditumpangi Deon. Di kap depan timbul asap yang menandakan ada komponen mesin yang terbakar.Posisi mobil terbalik, tetapi Deon dan Roki tampak baik-baik saja karena kendaraan mewah itu langsung mengeluarkan parasut pelindung agar kepala mereka tidak membentur bodi besi mobil.“Anggraini!”Deon berusaha memastikan perempuan yang berusaha ia lindungi ini baik-baik saja. Perempuan berbibir tipis itu pun membuka kedua matanya, lalu melihat bahwa Deon tengah mendekapnya. Dia langsung melirikkan bola matanya ke sembarang arah.“G-gue nggak kenapa-kenapa,” ucap Anggraini.
Tangan Deon terluka akibat lesatan timah panas. Untungnya, peluru tersebut tidak menancap di kepalanya. Timah panas itu terjatuh di lantai dan menggelinding akibat membentur badan pistol.Deon dengan cepat mengangkat kepalanya, lalu melihat seorang perempuan mengenakan jaket dan topi bucket hitam tengah mengacungkan pistol hitam. Pria berjas buru-buru lari ke arah wanita tersebut.“Sialan! Siapa kamu?!” tanya Deon dengan tatapan penuh intimidasi.Perempuan dengan bibir seksi dan hidung yang lancip itu menyeringai, lalu menjawab, “Coba tebak.”Deon menyipitkan kedua matanya. Sudah jelas bahwa sang perempuan merupakan salah satu rekan pria berjas tadi.
“Ternyata lo biang keroknya! Rendra!”Deon melihat bahwa Roki telah terbawa emosi yang memuncak. Oleh karena itu, segera ia menghalangi Roki untuk bertindak gegabah.“Tenang dulu, Roki. Kita dengerin penjelasannya. Itu pun kalau dia punya penjelasan yang logis.”Deon tersenyum miring sambil menatap ke arah Rendra dan tiga rekannya.Rendra lantas tertawa terbahak-bahak, lalu menunjuk Deon, menatapnya dengan penuh dendam.“Yah, aku udah tahu, sih, kalau kamu emang dendam sama aku. Tapi, kayak yang aku duga, kamu emang pengecut, Rendra.”“Diem lo! Gue belum ka
“Oh, jadi kamu?” Deon menatap perempuan bernama Melinda yang berdiri di sebelah Rendra. Sejenak, ia menatap tangannya yang masih luka lecet akibat lesatan peluru Melinda beberapa waktu lalu.“Deon, sebaiknya lo nyerah. Lo tahu kenapa gue nyuruh lo buat nyerah?” Rendra tersenyum kecut. “Itu karena lo nggak akan bisa menang lawan Melinda. Dia salah satu senjata pembunuh dari Tyrex.”Deon Lesmana tertawa renyah mendengar penjelasan Rendra yang lebih terdengar seperti sebuah ancaman.“Sialan! Kenapa lo ketawa, Deon sialan!”“Yang bikin aku ketawa itu, ya, kamu, Rendra! Kamu tahu? Meskipun dia senjata pembunuh kayak yang kamu bilang, tapi aku nggak ngerasa takut sedik
Rendra tertawa terbahak-bahak setelah beberapa kali menghantam Deon menggunakan balok yang terlihat sangat paten.“Mampus lo! Hari ini, lo bakalan mati di sini!”Sementara itu, Deon menggeliat kesakitan. Padahal, baru saja pertarungannya dengan Melinda berlangsung seru, tetapi sepertinya Rendra tidak ingin toleransi dalam hal ini. Yah, Deon sadar kalau lelaki mantan anggota Bruno ini sudah sangat dendam padanya.Deon meletakkan tangan kanan di kepalanya, lalu dilihatnya darah yang bergelimang. Tentu saja, lelaki ini sekarang sangat pusing dan dunia ia rasakan seperti berputar-putar.“Rendra sialan,” lirih Deon dengan napas sesak.&ld
Melinda mendorong Rendra hingga menjauh dari Deon.“Apa yang lo lakuin, Melinda?! Sialan!” jerit Rendra dengan tatapan bengis.Melinda justru menarik napas panjang, lalu bergantian menatap Deon yang juga menatapnya dengan rasa tak percaya. Selang beberapa saat, Deon tersenyum miring.Melinda menggelengkan kepalanya ke arah Rendra. “Sebaiknya bertarung dengan adil.”“Apa maksud lo bertarung dengan adil?! Persetan dengan pertarungan yang adil! Yang penting si Deon keparat ini mati!”“Nggak baik. Gimanapun juga, pertarungan yang adil jauh lebih baik daripada harus menggunakan cara licik dan curang.”
Deon menepuk-nepuk tangannya sebagai tanda bahwa pekerjaannya telah selesai hari ini. Ditatapnya Melinda yang sedari tadi menganga karena melihat aksinya.“Jadi, apa sekarang kamu mau melawanku?” tanya Deon sembari meregangkan beberapa bagian tubuhnya yang terasa pegal setelah melawan Rendra.Melinda menatap ke arah tubuh Rendra yang terkulai tanpa nyawa, lalu kembali menatap Deon.“Itu cuma pekerjaan ringan,” ucap Deon sambil tersenyum lebar.Lama Melinda terdiam sampai akhirnya dia memutuskan berbalik badan. Deon mengerutkan dahinya.“Kali ini, gue akan membiarkan lo lolos.”
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m
Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”