**Bab 1: Tamu Tak Diundang**
Kerajaan Landbird berdiri megah di jantung benua Eropa, dikelilingi hamparan padang hijau yang membentang sejauh mata memandang. Selama bertahun-tahun, rakyatnya hidup dalam kemakmuran di bawah kepemimpinan Raja Flynn Landbird dan Ratu Elea Marre. Namun, di balik megahnya istana dan kebijaksanaan mereka, satu kelemahan menjadi bisikan di lorong-lorong istana: ratu belum juga memberikan seorang pewaris. Elea duduk di depan cermin besar berbingkai emas di kamarnya. Jemarinya dengan anggun mengoleskan bedak tipis ke wajahnya. Matanya yang biru cerah memantulkan ketegasan, meskipun hati kecilnya terasa hampa. Hari ini, ia akan menyambut Flynn, suaminya yang baru saja kembali dari perang. Namun, kegembiraan itu ternoda oleh kabar yang ia terima dari Daisy, pelayan setianya. “Jadi benar?” tanya Elea pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Raja membawa seorang wanita ke istana?” Daisy, yang berdiri di belakang Elea, menunduk hormat sebelum menjawab. “Benar, Yang Mulia. Wanita itu bernama Beatrice. Baginda menemukannya di hutan ketika perjalanan kembali dari medan perang.” Elea mengangguk kecil, menunjukkan bahwa ia memahami. Tanpa sepatah kata lagi, ia melanjutkan merias wajahnya. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya direncanakan Flynn. *** Sementara itu, Flynn berada di kamarnya bersama Beatrice. Wanita itu tampak kumuh, dengan pakaian lusuh dan rambut yang acak-acakan. Namun, di balik keadaan itu, kecantikan alaminya terpancar jelas. Flynn duduk di sampingnya, wajahnya menunjukkan campuran rasa iba dan kekaguman. “Apa yang terjadi padamu, Beatrice?” tanyanya dengan lembut. Beatrice menunduk, air mata menggantung di sudut matanya. “Saudara-saudara saya mengusir saya, Yang Mulia. Saya tidak punya tempat untuk pergi. Jika bukan karena Baginda, saya mungkin sudah mati di hutan.” Kisah itu menyentuh hati Flynn. Ia menggenggam tangan Beatrice dan berjanji akan melindunginya. Ia memutuskan untuk mengizinkan Beatrice tinggal di Istana Lily, tempat para selir raja tinggal. Namun, momen itu terganggu oleh ketukan pintu. “Masuk,” ujar Flynn. Pintu terbuka, dan Elea masuk dengan langkah anggun. Pandangannya jatuh pada Beatrice, yang masih duduk di sofa dengan pakaian kumuh dan tubuh kotor. Elea menatap wanita itu dengan pandangan datar sebelum berkata, “Bawa wanita ini ke Istana Lily. Bersihkan dia. Dia tidak pantas berada di kamar Raja dalam keadaan seperti ini.” Nada suara Elea terdengar dingin, namun tetap anggun. Flynn, yang merasa tersinggung, berdiri. “Jangan berbicara seperti itu, Elea. Tidak semua wanita terlahir sempurna sepertimu. Setidaknya, Beatrice memiliki hati yang lebih baik.” Ucapan itu seperti tamparan bagi Elea. Namun, ia menahan emosinya. Dengan anggun, ia menarik napas panjang dan meninggalkan kamar Flynn tanpa membalas ucapan itu. Namun, di balik ketenangannya, ada luka yang tak terlihat, menggores lebih dalam dari sekadar kata-kata. *** Di Istana Lily, Elea mengambil peran yang seharusnya tidak perlu ia emban. Ia mempersiapkan pakaian dan perhiasan untuk Beatrice. Pelayan setianya, Daisy, memandang Elea dengan bingung. “Yang Mulia, mengapa Anda melakukan semua ini? Wanita itu hanya—” Daisy menghentikan ucapannya, mencoba menjaga batas kesopanan. Elea menatap Daisy dengan senyum kecil. “Raja menyukainya, Daisy. Itu sudah cukup.” “Namun, jika Raja ingin memiliki selir, setidaknya ia harus mengikuti adat yang berlaku,” gumam Daisy dengan nada geram. Elea mengangkat tangannya, menghentikan Daisy sebelum pelayan itu melanjutkan keluhannya. “Hati-hati dengan ucapanmu. Tugas kita adalah melayani, bukan menghakimi.” Daisy menurut, meskipun hatinya masih dipenuhi amarah. *** Beatrice kini berdiri di hadapan Elea, rambut peraknya tergerai indah, dan gaun satin sederhana menghiasi tubuhnya. Ia tampak jauh lebih anggun setelah dibersihkan. Namun, polosnya ia memanggil Elea, “Kakak.” Daisy yang berdiri di samping Elea langsung bereaksi. “Berhati-hatilah dengan ucapanmu! Yang berdiri di hadapanmu adalah Ratu Landbird. Kau bahkan belum resmi menjadi selir!” Beatrice terisak mendengar teguran itu. Ia menunduk dan berkata dengan suara gemetar, “Aku hanya ingin lebih dekat dengan Ratu. Sebentar lagi aku akan menjadi bagian dari keluarga ini.” Elea menghembuskan napas panjang. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Daisy berhenti. “Daisy, kau tidak salah, tapi ucapanmu terlalu kasar. Beatrice, kau harus mengerti bahwa ada tata krama yang harus dijaga. Jangan lupa tempatmu.” Beatrice mengangguk pelan, menyeka air matanya. Melihat sikap polos itu, Elea merasa sedikit iba. Namun, jauh di dalam hatinya, ia juga merasakan sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Ketika Beatrice pergi, Daisy mendekat dan berbisik, “Yang Mulia, maafkan hamba. Tapi wanita itu... dia bukan sekadar gadis terlunta. Aura yang ia bawa bukan aura kebaikan.” Elea tersenyum kecil, mencoba menenangkan pelayannya. Namun, diam-diam ia berpikir, Apakah benar ada bayangan gelap yang mengintai di balik kecantikan Beatrice? Malam menjelma di Kerajaan Landbird, memeluk istana megah itu dengan selimut keheningan. Namun, di dalam hati Ratu Elea, tak ada keheningan. Ia berbaring di ranjangnya yang luas, menatap langit-langit kamar yang dihiasi ukiran emas. Ingatannya melayang pada sosok Beatrice—gadis dengan rambut perak yang kini tinggal di Istana Lily. Pikirannya terusik oleh sikap Flynn. Sebagai raja, Flynn memang memiliki hak untuk memiliki selir, tetapi cara ia membawa Beatrice ke istana terasa begitu... ceroboh. Flynn adalah pria bijaksana yang jarang bertindak impulsif. Namun kali ini, ia tampak seperti pria yang dibutakan oleh sesuatu yang lebih dari sekadar simpati. Elea memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, dalam bayangannya, ia melihat senyuman Beatrice yang tampak polos namun penuh teka-teki. ***Bab 2 bayang bayang di balik senyuman.Di sudut lain istana, Beatrice berdiri di balkon kamarnya. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, namun ia tampak tak terganggu. Tatapan matanya mengarah pada menara tempat Raja Flynn berada. Senyum kecil bermain di sudut bibirnya. “Bagaimana mungkin tempat ini begitu indah dan megah?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Namun, di balik senyum itu, ada kilatan ambisi yang tersembunyi. Ia menatap cincin berlian yang kini melingkar di jarinya, hadiah dari Raja Flynn. Dalam pikirannya, ia melihat gambaran dirinya sebagai ratu di istana ini, menggantikan Elea yang tampak sempurna namun rapuh. Beatrice memejamkan mata, mengingat kembali hari ketika Flynn menemukannya di hutan. Ia tidak sepenuhnya berbohong tentang masa lalunya, tetapi ia juga tidak mengatakan seluruh kebenaran. Ia tahu betul bahwa air matanya adalah senjata, dan kelemahannya adalah alat untuk membangkitkan simpati. “Flynn,” bisiknya pelan, “kau akan memberik
**Bab 3: Fitnah di Istana Lily** Malam yang tenang di Istana Landbird menjadi awal dari badai baru. Beatrice, dengan cermat menyusun rencananya, memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Ia tahu bahwa Flynn telah terpikat olehnya, namun untuk benar-benar mengamankan posisinya, ia harus melemahkan pengaruh Elea di mata sang raja. Setelah makan malam, Beatrice berpura-pura terlihat murung di kamarnya. Matanya memerah seolah habis menangis, sementara tangan gemetar memegang sapu tangan sutra pemberian Flynn. Saat salah satu pelayan lewat, Beatrice memanggilnya dengan suara lemah. “Bisakah kau menyampaikan pesan ini kepada Raja Flynn? Katakan... aku ingin berbicara dengannya. Ini penting,” ujar Beatrice dengan nada putus asa. Pelayan itu segera menyampaikan pesan kepada Flynn yang tengah berada di ruang kerjanya. Flynn, yang merasa khawatir, langsung menuju kamar Beatrice tanpa menunda. Ketika Flynn masuk, ia menemukan Beatrice duduk di tepi tempat tidur, menangis te
Bab 4: Dingin Seperti EsHari-hari di Istana Landbird berlalu dalam suasana yang dingin. Sejak kejadian fitnah Beatrice, Elea mulai menunjukkan sikap yang berbeda terhadap wanita itu. Tidak ada senyum ramah, tidak ada perhatian hangat seperti sebelumnya. Elea tetap menjalankan kewajibannya sebagai ratu dengan sempurna, tetapi setiap kali Beatrice hadir, aura dingin dan ketegasan Elea semakin terasa. Beatrice, di sisi lain, tidak tinggal diam. Ia terus memainkan perannya sebagai wanita lemah yang terzalimi, meraih simpati Flynn yang semakin dalam. Flynn, yang merasa bertanggung jawab atas Beatrice, memutuskan untuk mengambil langkah besar demi melindungi posisinya di istana. Pada suatu pagi, Flynn mengumumkan rencananya kepada Elea. “Elea, aku memutuskan untuk mengadakan acara resmi untuk mengangkat Beatrice sebagai *Selir Agung*.” Elea, yang sedang membaca laporan istana di ruang kerjanya, menghentikan gerakannya. Ia menatap Flynn dengan tatapan kosong, seolah tidak percaya deng
Bab 5-Rencana di balik tiraiHari-hari berlalu, dan hubungan antara Elea dan Beatrice semakin dingin. Elea menjalankan tugasnya sebagai ratu dengan sempurna, tetapi setiap kali ia berbicara dengan Beatrice, kata-katanya penuh dengan ketegasan yang nyaris seperti peringatan. Suatu hari, saat perjamuan istana, Beatrice mencoba memamerkan wewenangnya sebagai *Selir Tingkat Satu*. Ia memberikan perintah kepada pelayan untuk mengubah susunan meja makan tanpa berkonsultasi dengan Elea terlebih dahulu. Ketika Elea tiba di aula perjamuan, ia melihat perubahan itu dan langsung menyadari siapa dalangnya. Namun, alih-alih marah, Elea tersenyum tipis dan mendekati Beatrice. “Beatrice,” ujar Elea dengan nada datar, “aku melihat kau telah membuat beberapa perubahan. Aku harap kau paham bahwa meskipun kau memiliki wewenang, setiap keputusan besar tetap harus melalui persetujuanku.” Beatrice membalas dengan senyuman manis, tetapi suaranya penuh kepura-puraan. “Tentu, Yang Mulia. Saya hanya in
Bab 6: Malam Pesta yang Membawa Pertemuan Aula besar Istana Landbird dipenuhi dengan gemerlap cahaya lilin dan kilauan gaun para tamu undangan. Para bangsawan dari berbagai wilayah kerajaan, bahkan dari negara-negara tetangga, berkumpul untuk merayakan pengangkatan Beatrice sebagai *Selir Tingkat Satu*. Musik lembut dari para pemusik istana mengiringi percakapan yang bergemuruh di seluruh ruangan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Ratu Elea berdiri di sisi aula, mengenakan gaun biru tua yang menjuntai anggun. Mahkota kecil menghiasi kepalanya, membuat auranya begitu mempesona. Meskipun hatinya diselimuti kekecewaan, Elea tetap menjaga ekspresi tenangnya. Ia sadar bahwa malam ini adalah ujian besar bagi dirinya sebagai ratu. Di ujung aula, Beatrice berdiri di sisi Raja Flynn. Gaun putih bersulam emasnya memancarkan cahaya, mencerminkan status barunya. Ia tersenyum puas, menikmati setiap tatapan hormat yang diarahkan padanya. Flynn, yang berdiri di sampingnya, tampak bangga memperkenalka
Bab 7: Ketertarikan yang Berbalut Hormat Malam semakin larut, tetapi aula besar Istana Landbird tetap dipenuhi dengan cahaya dan suara musik. Para tamu terus bercakap-cakap, tetapi sebagian besar perhatian mereka sudah mulai beralih dari Beatrice yang baru saja diangkat menjadi *Selir Tingkat Satu* ke percakapan pribadi mereka masing-masing. Elea duduk di sudut ruangan, menikmati anggur di cawan kristal sembari memperhatikan jalannya pesta. Ia merasa sedikit lega karena sorotan sudah mulai menjauh darinya. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama ketika ia menyadari Raja Alaric mendekatinya sekali lagi, membawa dua cawan anggur. “Yang Mulia,” katanya dengan senyum hangat, menyerahkan satu cawan padanya. “Saya harap Anda tidak keberatan jika saya bergabung untuk sementara waktu.” Elea mengangguk sopan. “Tentu, Yang Mulia. Kehadiran Anda selalu diterima.” Alaric duduk di kursi di sampingnya, menyesap anggurnya dengan perlahan. Untuk beberapa saat, keduanya hanya diam, menikma
Bab 8: Bara Cemburu di Balik IstanaKeesokan harinya, suasana Istana Landbird terasa sedikit tegang. Raja Flynn duduk di ruang kerjanya dengan tatapan yang gelap. Pikirannya dipenuhi gambaran dari pesta semalam—Elea yang terlihat berbincang akrab dengan Raja Alaric. Flynn tidak bisa mengabaikan caranya tertawa kecil atau cara Alaric memandang Elea dengan penuh perhatian. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Beatrice masuk dengan senyuman manis, membawa nampan berisi secangkir teh dan beberapa kue kecil. "Yang Mulia," katanya lembut. "Anda tampak gelisah. Apa yang mengganggu pikiran Anda?" Flynn mendesah panjang. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Beatrice." Namun, Beatrice tetap meletakkan nampan itu di meja dan mendekati Flynn, duduk di kursi di sampingnya. "Maaf jika saya lancang, tetapi saya tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana Anda memandangi Ratu Elea dan Raja Alaric tadi malam." Flynn menatap Beatrice dengan tajam, seolah menantangnya untuk melanjutkan. "
Bab 9: Cerahnya Sang Raja TetanggaPagi itu, suasana di taman istana terasa lebih hangat dari biasanya, bukan karena matahari yang bersinar cerah, melainkan karena kehadiran Raja Alaric. Ia sedang duduk di bangku taman bersama Elea, yang menatapnya dengan pandangan datar, meskipun hatinya sedikit terusik oleh pembawaan pria itu. Alaric, dengan wajah penuh senyum dan tangan yang bergerak dramatis, sedang bercerita tentang salah satu perjalanan diplomatiknya yang berujung kacau karena salah memahami adat setempat. “Bayangkan, Yang Mulia,” kata Alaric dengan nada tawa yang ringan. “Saya mencoba menyapa kepala suku di sana dengan berjabat tangan, seperti kebiasaan kita. Ternyata, mereka menganggap itu penghinaan besar! Saya malah diminta menari di depan mereka sebagai permintaan maaf. Dan, oh, Anda pasti tidak ingin tahu seperti apa tarian saya.” Elea tidak bisa menahan tawa kecil yang akhirnya lolos dari bibirnya. Ia buru-buru menutup mulut, tetapi Alaric sudah melihatnya. “Aha!
Ruangan kerja Grand Duke Elvenhart dipenuhi dengan aroma kayu pinus dari perapian yang menyala. Di atas meja, setumpuk dokumen tersusun rapi, termasuk dokumen yang berisi keputusan penting mengenai daerah selatan. Grand Duke dengan tenang membaca setiap baris dokumen, menandatanganinya dengan ekspresi mantap. Saat pintu ruangan terbuka dengan kasar, Lady Aveline masuk dengan langkah cepat, wajahnya merah padam oleh amarah. "Ayah!" serunya, suaranya menggema di ruangan. Grand Duke mendongak dengan tenang, menatap putrinya. "Aveline, ada apa? Kau tampak marah sekali." Lady Aveline berjalan mendekat, menunjuk dokumen di meja. "Apa maksud semua ini? Aku mendengar kau berniat memberikan daerah selatan kepada Edith! Bagaimana mungkin kau memberikan wilayah penting kepada seorang pelayan rendahan?!" Grand Duke menghela napas, menutup dokumen di depannya dengan tenang. "Aveline, duduklah. Aku tidak akan membahas ini dengan nada
Keesokan harinya, Edith, Lionel, dan Kaelen mengadakan pertemuan di balai desa untuk mendengarkan keluhan para warga tentang pajak. Balai desa yang sederhana dipenuhi oleh para petani, pedagang, dan warga lainnya yang berharap suara mereka didengar.Edith berdiri di depan, didampingi oleh Lionel dan Kaelen. Wajahnya serius namun lembut, memberikan kesan bahwa ia benar-benar peduli pada masalah yang dihadapi rakyat.Seorang petani tua, Tuan Harlen, berdiri dari kursinya. “Nona Edith, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi cuaca yang tidak menentu telah merusak hasil panen kami. Pajak yang ditetapkan terlalu tinggi untuk kami bayar. Bahkan beberapa dari kami terpaksa menjual ternak hanya untuk memenuhi kewajiban pajak.”Seorang wanita lain ikut bersuara. “Kami tidak keberatan membayar pajak, Nona. Tapi sistemnya terlalu kaku. Tahun ini panen kami menurun, sementara pajak tetap sama seperti saat panen melimpah. Apakah tidak ada cara untuk men
Bab 71 - Bayang-bayang Ancaman di Selatan Pagi tiba dengan kabut tipis yang menyelimuti tempat peristirahatan mereka. Lionel sudah bangun lebih awal untuk memeriksa jalur perjalanan, sementara Edith masih tertidur di balok kayu dengan selimut yang disediakan Kaelen. Pemuda itu duduk tak jauh darinya, menjaganya dengan penuh perhatian. Lionel kembali dengan wajah serius, menyeka embun dari pelindung lengannya. "Ada sesuatu yang aneh di sepanjang jalan menuju daerah selatan. Jejak kaki terlalu banyak untuk ukuran desa kecil." Kaelen mengangkat alis. "Jejak kaki? Kau pikir itu kelompok perampok?" Lionel mengangguk pelan. "Kemungkinan besar. Tapi jumlah mereka lebih dari sekadar kelompok kecil. Kita harus berhati-hati." Kaelen menoleh pada Edith yang perlahan terbangun. Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi ia berusaha duduk tegak. "Ada apa?" tanyanya dengan suara lemah.
Edith memacu kudanya dengan semangat, angin menerpa wajahnya saat ia melaju bersama prajurit bernama Lionel, seorang prajurit setia Grand Duke yang dikenal akan kemampuannya melindungi orang-orang penting di mansion. "Kau tampak terburu-buru hari ini, Edith," ujar Lionel sambil memperlambat kudanya agar sejajar dengan Edith. "Aku hanya ingin sampai sebelum gelap," jawab Edith dengan senyum kecil. "Daerah selatan membutuhkan perhatian kita, dan aku tidak ingin membuat mereka menunggu lebih lama." Lionel tertawa kecil. "Kau terlalu berdedikasi untuk seseorang yang hanya dianggap pelayan, Edith. Terkadang aku heran bagaimana kau bisa mengurus begitu banyak hal." Edith hanya tersenyum, lalu kembali memusatkan perhatian pada jalan di depan. Namun, ketenangan mereka tiba-tiba terusik saat sebuah suara mendesing di udara. "Thwack!" Edith terkejut saat merasakan sakit yang luar biasa di kakinya. S
Pagi itu, Kaelen duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen. Fokusnya terbagi antara laporan internal istana dan surat diplomatik dari kerajaan tetangga. Meski terlihat tenang, pikirannya terus berpacu, memikirkan tanggung jawab besar yang kelak akan ia emban sebagai Raja Veridion. Ketukan pintu tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya. "Masuk," katanya tanpa mengangkat wajah dari dokumen.Pintu terbuka, dan suara langkah berat terdengar mendekat. Kaelen akhirnya mendongak dan melihat ayahnya, Alaric, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius."Kaelen," Alaric memulai, suaranya berat namun tegas, "Aku ingin bicara denganmu."Kaelen meletakkan penanya. "Tentu, Ayah. Ada apa?"Alaric melangkah lebih dekat, lalu duduk di kursi di depan meja kerja Kaelen. Ia menatap putranya dengan tajam, seperti hendak menilai setiap reaksi Kaelen. "Aku mendengar laporan bahwa kau cenderung mengabaikan Lad
Bab 68- Pertemuan SingkatKaelen berdiri dengan tenang di samping meja, matanya mengamati ruangan yang penuh dengan orang-orang terkemuka dari berbagai kalangan. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya mengenakan pakaian mewah, berbicara dengan suara rendah, namun cukup untuk menunjukkan status mereka yang luar biasa. Namun, perhatian Kaelen justru teralih saat seorang wanita muda dengan pakaian yang elegan, namun tidak mencolok, melangkah masuk ke ruangan bersama seorang gadis."Ini adalah putri dari Grand Duke, Lady Aveline," suara seorang pelayan perempuan terdengar pelan, memperkenalkan sosok yang baru saja memasuki ruangan.Lady Aveline melangkah anggun, kepalanya tegak dan wajahnya yang cantik dihiasi senyuman ramah. Di sebelahnya, seorang gadis berpenampilan sederhana namun cukup cantik berjalan mengikuti langkahnya, mengenakan gaun yang sedikit lebih sederhana dibandingkan orang-orang lainnya di ruangan itu. Namun, sesuatu di dalam diri Kaelen m
Season 2Bab 67: Pewaris Cahaya Veridion Embun pagi masih menggantung di taman kerajaan saat suara tangisan bayi pertama kali menggema di istana. Elea terbaring lelah di pembaringan, namun wajahnya bersinar penuh kebahagiaan. Di sisinya, Alaric memandangi putra mereka dengan tatapan haru yang tak mampu disembunyikan. Bayi itu kecil, namun kuat, seolah tak gentar menghadapi dunia yang menantinya. “Kaelen... Nama itu akan cocok untuknya,” bisik Alaric dengan suara serak, matanya tak lepas dari wajah mungil putra mereka. “Kaelen Alaric Veridion,” gumam Elea sambil tersenyum. “Harapan baru bagi kerajaan kita.” Berita kelahiran sang putra mahkota disambut suka cita oleh rakyat Veridion. Di setiap sudut kota, para petani, pedagang, hingga prajurit bersorak-sorai. Perayaan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Namun di balik kebahagiaan itu, Elea tahu perjalanan putranya baru saja dimulai—penuh ujian dan tant
**Bab 66: Kabar dari Landbird** Di taman istana Veridion yang dipenuhi bunga musim semi, Elea dan Alaric duduk di bawah naungan pohon besar. Meja kecil di depan mereka dipenuhi hidangan teh sore dan camilan ringan. Suasana tenang itu terganggu ketika seorang pelayan mendatangi mereka dengan membawa surat dari Landbird. "Yang Mulia, surat dari Grand Duke Marre baru saja tiba," ujar pelayan itu sambil membungkuk. Elea segera membuka surat tersebut dan membaca dengan seksama. Wajahnya yang semula tenang berubah menjadi ekspresi campuran antara lega dan prihatin. "Apa kabar dari Landbird?" tanya Alaric, menatap istrinya dengan penuh perhatian. Elea meletakkan surat itu di pangkuannya. "Grand Duke Marre telah mengambil alih takhta Landbird. Flynn secara resmi telah turun dari posisinya sebagai raja." Alaric mengangguk pelan, tidak tampak terkejut. "Itu langkah yang bijaksana. Flynn sudah kehil
Bab 65: Takhta yang Terguncang Di sebuah kastil terpencil di wilayah selatan Landbird, para bangsawan yang bersekongkol untuk menggulingkan Raja Flynn berkumpul di ruang pertemuan yang gelap dan beraroma lilin. Wajah mereka menunjukkan berbagai ekspresi ambisi, kebencian, dan determinasi. Baron Asher membuka diskusi dengan suara berat. "Kita tidak bisa lagi membiarkan Flynn duduk di atas takhta. Setiap keputusan yang dia buat adalah aib bagi kerajaan ini." Lady Elda, dengan gaun mewahnya yang berkilauan, mengangguk setuju. "Dia bahkan tidak bisa menghasilkan seorang pewaris yang sah. Bayangkan, kita semua pernah percaya pada kebohongan seorang wanita seperti Beatrice. Apa lagi yang akan menghancurkan Landbird setelah ini?" Duke Rowan, seorang pria berbadan besar dengan mata tajam, bersandar di kursinya. "Dan kini, Flynn membiarkan dirinya dihina dengan mengasingkan Beatrice alih-alih menghukumnya. Itu kelemahan yang tida