Home / Romansa / I'm Sorry Laras / Damar terpuruk

Share

Damar terpuruk

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2024-12-23 19:59:25
Laras menatap Ratna dengan mata penuh tekad, meski cengkeraman itu membuat rahangnya terasa sakit. “Aku tidak akan menyerah,” balasnya, suaranya tegas meski bergetar oleh emosi. “Aku akan tetap bertahan di sini.”

Ratna melepaskan dagu Laras dengan gerakan kasar, lalu tertawa kecil, suara itu penuh ejekan yang menusuk. “Kita lihat saja nanti, Laras,” ucapnya, matanya menyipit penuh keyakinan. “Siapa yang akan menyerah terlebih dulu, kau atau aku.”

Sofia, yang berdiri di samping Ratna, melangkah maju dengan senyum licik menghiasi wajahnya. “Sebaiknya kau ikuti saja apa kata Tante, Laras, sebelum kau menyesali keputusanmu,” ucapnya, suaranya manis namun penuh racun. “Aku pastikan Mas Damar akan jatuh ke pelukanku. Dan saat itu tiba, aku pastikan kau ditendang dari rumah ini, lalu aku akan menggantikan posisimu sebagai ratu di rumah ini.”

Laras menatap Sofia dengan mata berkilat, api perlawanan membakar di dadanya. “Tidak semudah itu menyingkirkanku, Sofia,” balasnya, suaranya penuh keyaki
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • I'm Sorry Laras   Damar terluka

    Pelayan itu terdiam sejenak, matanya memandang Damar dengan simpati. Namun, Damar tak peduli. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya yang gemetar menunjuk ke arah pelayan. “Sekarang kamu pergi dari sini dan bawakan aku satu botol lagi minuman!” bentaknya, suaranya keras meski terdengar goyah oleh pengaruh alkohol.“Maaf, Pak, tidak bisa,” jawab pelayan itu dengan nada ramah namun tegas. “Kami tidak diperbolehkan memberi minuman lagi kepada tamu yang sudah sangat mabuk.”Damar mengerutkan kening, amarah tiba-tiba membakar di dadanya. Ia menatap pelayan itu dengan mata menyala, wajahnya memerah oleh campuran alkohol dan kemarahan. “Jangan kurang ajar, kamu!” bentaknya, suaranya menggema di tengah kebisingan diskotik. “Kau hanya pelayan di diskotik ini! Jadi sekarang cepat bawakan aku minumannya!” Selama ini, Damar tak pernah berkata kasar pada orang lain—ia dikenal sebagai pria yang tenang dan penuh kendali. Tapi malam ini, dalam kondisi mabuk, ia hilang kendali sepenuhnya, emosin

    Last Updated : 2024-12-24
  • I'm Sorry Laras   Jebakan Sofia

    “Mas Damar, ayo kita pulang sekarang,” ucap suara wanita itu, lembut namun tegas, sambil memapah tubuhnya yang limbung. Damar mencoba menggeleng, namun gerakan itu hanya membuatnya semakin pusing. Wanita itu dengan hati-hati menyangga pundaknya, menuntunnya menuju sebuah mobil yang sudah diparkir di dekat sana, pintunya terbuka lebar menunggu kedatangan mereka.Di dalam mobil, seorang laki-laki duduk di kursi pengemudi, menatap ke depan dengan ekspresi datar. “Mas Raka, kenapa kamu diam? Cepat bantu aku memasukkan Mas Damar ke dalam mobil! Berat, tahu!” bentak wanita itu, yang ternyata adalah Sofia, suaranya penuh kejengkelan tapi tetap terkontrol.Raka tersentak, lalu buru-buru membuka pintu sisi pengemudi. “Maaf, Sofia, aku lupa,” ucapnya cepat, melangkah keluar untuk membantu. Ia meraih lengan Damar yang satunya, dan bersama Sofia, mereka mengangkat tubuh Damar yang nyaris tak sadarkan diri ke dalam jok belakang. Damar menggumam tak jelas, kepalanya terkulai ke samping, dan bau alko

    Last Updated : 2024-12-25
  • I'm Sorry Laras   Desakan Ratna

    Keesokan harinya, seluruh penghuni rumah dikejutkan oleh suara teriakan Sofia yang menggema memecah keheningan pagi. Teriakan itu penuh kepanikan dan tangis, membuat jantungan semua orang berdegup kencang. Langkah-langkah tergesa segera terdengar di lorong, menuju kamar Sofia yang terletak di lantai bawah. Ratna adalah yang pertama sampai, mendorong pintu kamar itu dengan cepat, disusul oleh Laras yang berlari dengan wajah pucat penuh kekhawatiran. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat pemandangan di dalam—Sofia meringkuk di atas tempat tidur, hanya mengenakan pakaian dalam, tubuhnya gemetar seolah ketakutan. Di sampingnya, Damar berbaring pulas, tubuh telanjangnya hanya ditutupi selimut tipis yang terselip hingga pinggang.“Sofia, apa yang terjadi?” tanya Ratna, suaranya pura-pura terkejut, meski matanya berkilat penuh kepuasan tersembunyi.Sofia masih tersedu-sedu, tangannya gemetar menunjuk ke arah Damar yang tak bergerak. “Mas… Mas Damar, Bu… Mas Damar sudah memaksaku untuk tidu

    Last Updated : 2024-12-25
  • I'm Sorry Laras   Laras terusir

    Damar terdiam, tubuhnya kaku di atas ranjang, matanya menatap kosong ke arah selimut yang menutupi tubuhnya. Pikirannya berputar liar, bingung mengambil keputusan yang tepat di tengah tekanan yang kian menderanya. Ratna, yang melihat keraguan anaknya, tak bisa lagi menahan kesabaran. “Jangan jadi lelaki pengecut!” bentaknya, suaranya nyaring menggema di kamar yang sempit itu. “Cepat putuskan! Apa yang akan kau lakukan untuk bertanggung jawab pada Sofia?” Desakan dalam nada suaranya seperti cambuk yang memaksa Damar keluar dari kebimbangannya.Damar menarik napas panjang, tangannya mencengkeram selimut erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pikirannya menimbang-nimbang, kembali pada luka yang ia rasakan—pengkhianatan Laras yang ia percaya, kebohongan tentang Indira yang ternyata bukan anaknya. Setiap ingatan itu seperti menambah beban di pundaknya, menghapus sisa keraguan yang sempat membuatnya ragu. Akhirnya, setelah hening yang terasa abadi, ia mengangguk pelan. “Baiklah, Bu,” uc

    Last Updated : 2024-12-26
  • I'm Sorry Laras   Kenyataan yang pahit

    Setelah Laras pergi, ruangan itu kembali hening, hanya suara langkahnya yang perlahan menghilang di lorong meninggalkan gema samar yang terasa menyakitkan. Damar duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih setengah telanjang, selimut menutupi pinggangnya. Ia menunduk, tangannya mencengkeram tepi selimut dengan erat, jari-jarinya memutih karena tekanan. Tiba-tiba, ia bergumam lirih, suaranya serak dan penuh kebingungan, seolah kesadaran mulai merayap kembali ke dalam pikirannya yang masih kacau oleh sisa mabuk. “Laras…” ucapnya pelan, nama itu terlepas dari bibirnya tanpa disadari, seperti panggilan dari hati yang tak bisa ia kendalikan.Damar sendiri bingung dengan sikapnya. Satu sisi, ia membenci Laras—setiap kali mengingat pengkhianatan yang ia percaya telah dilakukan istrinya, amarah membakar dadanya, membuatnya ingin menghapus semua kenangan tentang wanita itu. Namun di sisi lain, ada cinta yang masih bersemayam di sudut hatinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia matikan meski ia berusaha

    Last Updated : 2024-12-27
  • I'm Sorry Laras   Panti yang terbakar

    Laras segera masuk, kakinya melangkah cepat menyusuri puing-puing itu, hatinya berdebar kencang penuh harapan bercampur ketakutan. “Indira… Indira… di mana kamu, Nak?” teriaknya pilu, suaranya menggema di antara kehancuran itu. “Ini Ibu, sudah datang ingin menjemputmu!” Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat, menandakan kesedihan yang teramat dalam. Ia terus berjalan, sandal yang ia kenakan tersangkut di pecahan kayu dan batu bata, namun ia tak peduli—ia hanya ingin menemukan tanda kehidupan, tanda bahwa Indira masih ada di sana.Tak ada jawaban, hanya suara angin yang bersiul pelan di antara sisa-sisa bangunan yang hancur. Laras tak menyerah, meski keheningan itu menusuk hatinya. Ia masuk ke salah satu bagian bangunan yang masih berdiri separuh, berharap menemukan seseorang yang bisa menjelaskan keberadaan anaknya, meski di sudut pikirannya ia tahu itu hampir tak mungkin. Di dalam, ia melihat sisa-sisa meja kayu yang hangus, ranjang besi yang bengkok dan meleleh, se

    Last Updated : 2024-12-28
  • I'm Sorry Laras   Hasil yang nihil

    Laras mendongak mendengar perkataan itu, matanya yang basah perlahan menyala kembali oleh secercah semangat. Wanita itu benar—ia tak boleh menyerah. Ia akan mencari Indira, tak peduli seberapa sulit jalannya. Ia mengusap air matanya dengan kasar, mencoba mengumpulkan kekuatan yang tersisa. “Terima kasih, Bu,” ucapnya, suaranya masih bergetar namun penuh tekad baru. “Saya akan coba cari ke dinas sosial dan kantor polisi sekarang juga.”“Iya, sama-sama, Bu,” balas wanita itu, tersenyum kecil penuh harapan. “Saya doakan Ibu mendapatkan kabar baik. Semoga anak Ibu selamat.”Laras mengangguk, lalu memberikan senyum tipis yang penuh luka namun penuh tekad. “Terima kasih, Bu,” ucapnya lagi, sebelum berbalik dan melangkah pergi dari halaman panti yang hancur itu. Wanita itu hanya memandang kepergian Laras dengan tatapan penuh simpati, lalu berbalik meninggalkan tempat itu.Laras berdiri di pinggir jalan, matanya memandang ke arah kota kecil Sukamulya yang kini terasa asing baginya. Ia menarik

    Last Updated : 2024-12-29
  • I'm Sorry Laras   Laras dikhianati

    Laras mengerutkan kening, tak percaya mendengar tuduhan itu. “Apa maksud Bibi? Saya tidak pernah sombong,” balasnya, suaranya meninggi penuh pembelaan. “Bahkan saya memberikan izin Bibi dan keluarga Bibi tinggal di rumah peninggalan orang tua saya!”“Laras, apa kamu lupa?” Bu Maryam memotong dengan nada penuh amarah. “Saat Bibi pernah mau meminjam uang padamu, kamu tidak memberikannya! Padahal kamu itu mampu saat itu!”“Ya Tuhan, Bi…” Laras menghela napas, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. “Cuma sekali saya tidak membantu Bibi, karena alasan Bibi meminjam uang sebanyak dua puluh juta hanya untuk acara ulang tahun Desi, anak Bibi. Sedangkan sebelumnya, Bibi sudah sering pinjam tanpa mengembalikan, dan saya tidak masalah dengan itu!”“Iya, tapi gara-gara kamu tidak meminjamkan Bibi uang, Desi jadi malu sama temen-temannya!” bentak Bu Maryam, wajahnya memerah oleh kemarahan. “Dia sudah terlanjur bilang ke temen-temannya akan bikin pesta ulang tahun besar, tapi karena kamu tidak

    Last Updated : 2024-12-30

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   rencana terakhir

    Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam

  • I'm Sorry Laras   kemarahan sofia

    Tanpa basa-basi, Sofia berhenti di sisi ranjang, tangannya terlipat di dada. “Mas, sekarang katakan kepadaku, siapa wanita yang meneleponku tadi, mengatakan kalau kamu sedang berada di Rumah Sakit ini?” Suaranya tajam, penuh tuduhan, seperti anak panah yang ditembakkan untuk melukai. Damar mengerutkan kening, wajah pucatnya menegang. Tubuhnya masih rapuh, namun sikap Sofia membangkitkan percikan kemarahan di dadanya. “Apa maksudmu berbicara seperti itu, Sofia?” balasnya, suaranya rendah namun bergetar kesal. “Aku baru saja pingsan, nyaris kehilangan nyawa. Kamu datang bukannya menanyakan kabarku, malah menuduhku yang tidak-tidak? Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?” Sofia tak bergeming. Ia melangkah lebih dekat, matanya menatap Damar dengan kecurigaan yang membakar. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Mas!” bentaknya, suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. “Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku dengar suara wanita itu di telepon tadi—dan jangan bilang

  • I'm Sorry Laras   Kebimbangan Damar

    “Tidak semudah itu,” ucap Dika dengan tegas. “Anda tidak tahu apa yang telah dilakukan keluarga Anda kepada ibu saya selama ini. Memfitnahnya dan memisahkannya dari orang yang dicintainya, benar-benar membuat hidup ibu saya seperti di neraka. Sedangkan Anda, apa yang Anda lakukan? Tidak ada. Anda tidak melakukan apa pun untuk mencari ibu saya atau berusaha mendengar penjelasannya. Yang Anda lakukan hanyalah tidak peduli kepadanya, dan sekarang dengan mudahnya Anda minta untuk dimaafkan? Jangan bermimpi, Pak Damar,” ucap Dika, suaranya penuh kekesalan dan amarah yang membara. Damar menatap anak yang baru ia ketahui itu, matanya penuh penyesalan. “Ayah memang salah, Dika,” ucapnya, suaranya serak oleh rasa bersalah. “Ayah tahu dosa Ayah sangat besar kepada kalian. Tapi tolong mengerti, saat itu keadaan Ayah sangat terpukul ketika melihat dengan mata kepala sendiri ibu kalian tidur bersama laki-laki lain di kamar kami. Ayah akui, saat itu Ayah dibutakan oleh rasa cemburu dan terluka seh

  • I'm Sorry Laras   Penyesalan yang terlambat

    Saat Laras hendak melanjutkan penjelasannya, tiba-tiba pintu kamar rawat Damar terbuka perlahan. Indira dan Dika masuk, wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ekspresi yang tidak bersahabat. Laras menoleh ke arah pintu, senyum tipis muncul di bibirnya meskipun matanya masih basah oleh air mata. Ia telah mengabari kedua anaknya tentang kondisi Damar. Awalnya, Indira menolak keras untuk datang, tetapi Laras memaksa mereka, dan kini keduanya berdiri di hadapannya.Damar terkejut melihat Indira dan Dika. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyambungkan potongan informasi yang baru ia dengar. Laras tadi menyebut anaknya bernama Dika—dan adik Indira juga bernama Dika. Lalu ada Indira, nama yang begitu akrab di hatinya. Ia teringat anak kecil yang dulu pernah memanggilnya “Ayah” dengan penuh kasih, sebelum tes DNA menyatakan bahwa Indira bukan darah dagingnya dan menghancurkan segalanya. Jantungnya berdetak kencang, firasat buruk bercampur harapan menguasai benaknya.“Indira, Dika… akhirnya

  • I'm Sorry Laras   cerita di rumah sakit

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram. Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima Damar kembali, meski rindu dan sayang itu masih hidup, membakar se

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status