Setelah Laras pergi, ruangan itu kembali hening, hanya suara langkahnya yang perlahan menghilang di lorong meninggalkan gema samar yang terasa menyakitkan. Damar duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih setengah telanjang, selimut menutupi pinggangnya. Ia menunduk, tangannya mencengkeram tepi selimut dengan erat, jari-jarinya memutih karena tekanan. Tiba-tiba, ia bergumam lirih, suaranya serak dan penuh kebingungan, seolah kesadaran mulai merayap kembali ke dalam pikirannya yang masih kacau oleh sisa mabuk. “Laras…” ucapnya pelan, nama itu terlepas dari bibirnya tanpa disadari, seperti panggilan dari hati yang tak bisa ia kendalikan.Damar sendiri bingung dengan sikapnya. Satu sisi, ia membenci Laras—setiap kali mengingat pengkhianatan yang ia percaya telah dilakukan istrinya, amarah membakar dadanya, membuatnya ingin menghapus semua kenangan tentang wanita itu. Namun di sisi lain, ada cinta yang masih bersemayam di sudut hatinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia matikan meski ia berusaha
Laras segera masuk, kakinya melangkah cepat menyusuri puing-puing itu, hatinya berdebar kencang penuh harapan bercampur ketakutan. “Indira… Indira… di mana kamu, Nak?” teriaknya pilu, suaranya menggema di antara kehancuran itu. “Ini Ibu, sudah datang ingin menjemputmu!” Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat, menandakan kesedihan yang teramat dalam. Ia terus berjalan, sandal yang ia kenakan tersangkut di pecahan kayu dan batu bata, namun ia tak peduli—ia hanya ingin menemukan tanda kehidupan, tanda bahwa Indira masih ada di sana.Tak ada jawaban, hanya suara angin yang bersiul pelan di antara sisa-sisa bangunan yang hancur. Laras tak menyerah, meski keheningan itu menusuk hatinya. Ia masuk ke salah satu bagian bangunan yang masih berdiri separuh, berharap menemukan seseorang yang bisa menjelaskan keberadaan anaknya, meski di sudut pikirannya ia tahu itu hampir tak mungkin. Di dalam, ia melihat sisa-sisa meja kayu yang hangus, ranjang besi yang bengkok dan meleleh, se
Laras mendongak mendengar perkataan itu, matanya yang basah perlahan menyala kembali oleh secercah semangat. Wanita itu benar—ia tak boleh menyerah. Ia akan mencari Indira, tak peduli seberapa sulit jalannya. Ia mengusap air matanya dengan kasar, mencoba mengumpulkan kekuatan yang tersisa. “Terima kasih, Bu,” ucapnya, suaranya masih bergetar namun penuh tekad baru. “Saya akan coba cari ke dinas sosial dan kantor polisi sekarang juga.”“Iya, sama-sama, Bu,” balas wanita itu, tersenyum kecil penuh harapan. “Saya doakan Ibu mendapatkan kabar baik. Semoga anak Ibu selamat.”Laras mengangguk, lalu memberikan senyum tipis yang penuh luka namun penuh tekad. “Terima kasih, Bu,” ucapnya lagi, sebelum berbalik dan melangkah pergi dari halaman panti yang hancur itu. Wanita itu hanya memandang kepergian Laras dengan tatapan penuh simpati, lalu berbalik meninggalkan tempat itu.Laras berdiri di pinggir jalan, matanya memandang ke arah kota kecil Sukamulya yang kini terasa asing baginya. Ia menarik
Laras mengerutkan kening, tak percaya mendengar tuduhan itu. “Apa maksud Bibi? Saya tidak pernah sombong,” balasnya, suaranya meninggi penuh pembelaan. “Bahkan saya memberikan izin Bibi dan keluarga Bibi tinggal di rumah peninggalan orang tua saya!”“Laras, apa kamu lupa?” Bu Maryam memotong dengan nada penuh amarah. “Saat Bibi pernah mau meminjam uang padamu, kamu tidak memberikannya! Padahal kamu itu mampu saat itu!”“Ya Tuhan, Bi…” Laras menghela napas, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. “Cuma sekali saya tidak membantu Bibi, karena alasan Bibi meminjam uang sebanyak dua puluh juta hanya untuk acara ulang tahun Desi, anak Bibi. Sedangkan sebelumnya, Bibi sudah sering pinjam tanpa mengembalikan, dan saya tidak masalah dengan itu!”“Iya, tapi gara-gara kamu tidak meminjamkan Bibi uang, Desi jadi malu sama temen-temannya!” bentak Bu Maryam, wajahnya memerah oleh kemarahan. “Dia sudah terlanjur bilang ke temen-temannya akan bikin pesta ulang tahun besar, tapi karena kamu tidak
Laras mendongak, menatap pintu pagar rumah yang kini tertutup rapat di depannya. Rumah itu, yang pernah penuh kenangan manis bersama orang tuanya, kini terasa seperti simbol pengkhianatan dan keputusasaan yang menyesakkan dadanya. Cahaya lampu teras yang redup memantulkan bayangan pagar besi yang berkarat, seolah mencerminkan hidupnya yang kini hancur berkeping-keping. Ke mana lagi ia harus pergi? Ke mana ia harus mencari Indira? Pertanyaan itu berputar di kepalanya tanpa jawaban, meninggalkan rasa kosong yang semakin dalam.Ia mencoba bangkit, tangannya menahan trotoar yang dingin dan kasar untuk menyangga tubuhnya yang lelet. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk oleh jarum halus. Matanya berkunang-kunang, titik-titik cahaya kecil menari-nari di pandangannya, membuat dunia di sekitarnya berputar perlahan. “Ya Tuhan, kenapa lagi ini? Kenapa kepalaku terasa sakit?” gumamnya dalam hati, suaranya hanya bergema di kepalanya yang kini terasa berat.Tiba-tiba, sebua
Laras terdiam, matanya berkaca-kaca, menatap kosong ke arah dinding rumah sakit yang pudar. Ia mencoba mencerna kata-kata Bu Yuni, tetapi pikirannya penuh dengan kebingungan dan keharuan yang bercampur menjadi satu. "Ya Tuhan... Saya hamil..." bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar, tangannya refleks memegang perutnya yang masih rata. Sentuhan itu lembut, seolah ia mencari tanda kehidupan baru yang kini bersemayam di dalam dirinya. Namun, kebingungan segera menyelimuti hatinya. Masalah datang bertubi-tubi, dan kini ia dihadapkan pada kenyataan baru yang terasa terlalu berat untuk dipikul sendirian.Bagaimana ia akan menghidupi anaknya? Ia tak bekerja, tak punya tempat tinggal, bahkan tak punya apa-apa selain tas kecil berisi pakaian yang kini tergeletak di samping ranjang. Bagaimana ia bisa bertahan dengan memiliki seorang bayi dalam kondisi seperti ini? Pikirannya melayang ke Damar—jika ia memberitahu suaminya bahwa ia hamil anaknya, apakah Damar akan percaya? Se
Laras mendongak tiba-tiba, matanya membelalak penuh kejutan. “Ya Tuhan, kenapa saya bisa lupa, Bu, dengan rumah masa kecil saya?” ucapnya, suaranya penuh keheranan pada dirinya sendiri. “Saya terlalu fokus dengan masalah saya hingga melupakannya.” Pikirannya melayang ke rumah kecil itu—rumah sederhana dengan dinding kayu dan atap genteng yang penuh kenangan masa kecilnya bersama orang tua. Rumah itu memang tak pernah dijual, tapi setelah menikah dengan Damar, ia jarang kembali ke sana, bahkan hampir melupakannya sepenuhnya.“Ibu benar,” lanjut Laras, suaranya mulai bersemangat meski masih lemah. “Sejak saya menikah, saya tidak lagi pernah ke sana.”Bu Yuni tersenyum kecil, lega melihat sedikit semangat kembali di wajah Laras. “Itu karena kamu sudah tidak pernah ke sana, Laras. Mungkin karena itu kamu sedikit lupa,” ucapnya lembut. “Ya sudah, kamu istirahat dulu sekarang, biar bisa cepat sembuh. Setelah itu, kamu bisa langsung ke sana.”Laras mengangguk pelan, matanya yang basah kini me
Damar duduk sendirian, rokok di tangannya kini hanya menyisakan abu yang jatuh ke lantai. Ia menatap gelas kosong di depannya, pikirannya penuh dengan bayangan Laras—wanita yang ia cintai selama delapan tahun, yang kini pergi entah ke mana. “Laras…” gumamnya lagi, suaranya nyaris hilang, penuh penyesalan yang tak bisa ia ungkapkan. Di dalam hatinya, ia tahu keputusan ini terasa salah, namun tekanan dari ibunya dan rasa bersalah atas Sofia membuatnya terjebak dalam pilihan yang tak ia inginkan. Malam itu, ia terus meratapi kepergian Laras, tenggelam dalam hampa dan penyesalan, sementara rencana Ratna terus berjalan, meninggalkan Damar di persimpangan antara cinta yang hilang dan tanggung jawab yang memaksanya melangkah ke arah yang tak ia yakini.Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya diizinkan keluar dari rumah sakit. Tubuhnya masih terasa lemah, namun semangatnya perlahan kembali menyala berkat kebaikan Bu Yuni yang tak henti mendampinginya. Dengan bantuan Bu Yuni, yang menyangga leng
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika
“Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete
Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s
Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa
Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek