Bunga sedang menutup tirai pintu kaca pada balkon kamarnya saat dilihatnya sebuah mobil sedan hitam memasuki pekarangan rumah orangtuanya. Dari pintu kemudi turunlah seorang pria gagah dengan setelan kemeja berwarna merah maron bercelana panjang kain berjalan dengan langkah lebar membukakan pintu penumpang. Terlihat sang saudara kembarnya Sekar turun dengan senyuman lebar dan ucapan terima kasih yang terihat jelas dari tempat Bunga berdiri.
Raut wajah keduanya sangat bahagia, Bunga ikut tersenyum melihat kebahagiaan keduanya. Itu adalah pemandangan yang dilihatnya selama dua bulan terakhir ketika ia kembali menginjakan kaki di tanah air lagi.
Merasa ada yang memperhatikan, Arya Mahendra sang pria gagah itu, menengadahkan kepalanya menatap ke arah balkon kamar Bunga. Bunga yang tahu sedang diperhatikan seketika menarik dirinya bersembunyi di balik tirai.
Bunga memegangi dadanya yang berdegup sangat kencang sampai terdengar di gendang telinganya.
Aku tahu semua ini salah. Hai hati jangan jatuh cinta pada jodoh saudaramu.
Suara ketukan di pintu menyadarkan Bunga dari lamunannya.
“Masuk,” serunya.
Juminah membuka pintunya sedikit, "Nona Cantik di panggil Tuan untuk makan malam bersama, Non Sekar dan Den Arya sudah berkumpul di meja makan juga,” ucap sang pembantu.
Bunga mengangguk dan menarik nafas dalam-dalam berharap hatinya sedikit tenang. Ia merasa tidak siap bertatap muka dengan Arya setelah kejadian satu bulan yang lalu. Saat itu ia tidak tahu jika Arya dan Sekar memang sudah di jodohkan oleh orangtuanya. Terlebih selama delapan tahun belakangan ini, Bunga hanya dua kali kembali ke tanah air.
Bunga hanya tahu jika selama ia berada di rumah ini, setiap hari Sekar dilihatnya di antar jemput oleh atasan sekaligus kekasihnya itu. Ya Arya adalah atasan Sekar di kantor tempat Sekar magang.
***
Suatu hari saat dilihatnya Arya duduk di teras samping, ditemani secangkir teh hangat sembari menunggu Sekar berdandan karena mereka akan pergi ke pesta. Bunga memberanikan diri mendekati Arya untuk menyatakan perasaan cintanya.
“Kak Arya,” sapa Bunga. Bunga tersenyum simpul malu-malu berdiri di ambang pintu penghubung.
Arya yang sedang asik mengutak atik ponselnya seketika menoleh ke sumber suara yang menyapanya.
“Ya ada yang bisa kubantu Bunga?” Arya memandang lekat-lekat wajah saudara kembar Sekar yang sedikit berbeda karena mereka bukan kembar identik.
Raut wajah Bunga lebih lembut, walaupun kecantikan keduanya tidak bisa dibandingkan mereka berdua sama-sama cantik.
Bunga melangkah mendekati Arya kemudian mendaratkan pinggulnya duduk berhadapan dengan Arya. Sedangkan raut wajah Arya sama sekali tak terbaca, cenderung dingin sepertinya.
“Emmm begini Kak, sebenarnya Bunga jatuh cinta sama Kakak,” ucap Bunga dengan berani kemudian meraih tangan kanan Arya merengkuhnya dalam genggamannya. Bunga seolah-olah sudah melupakan semua norma dan mengesampingkan rasa malunya, mungkin kehidupannya di luar negeri membuat pribadinya menjadi pemberani dan terbuka.
Namun seketika Arya menarik tangannya. Bahasa tubuh dan raut wajahnya masih tetap sama tak terbaca.
Perbuatan Arya yang menarik tangannya melepaskan diri dari genggaman tangan Bunga membuat hati gadis itu berdesir nyeri. Seketika rasa malu menghantam telak ke batinnya. Ia merasakan sesuatu yang lain dan hubungan sang saudara kembar dan Arya pasti lebih dari sekedar teman, walaupun saudaranya tersebut tidak pernah membahas Arya saat mereka bercakap-cakap bersama, malah Sekar selalu membahas sepupu sahabat mereka saat bersekolah dahulu kala.
Arya menatap wajah gadis di depannya lekat-lekat. “Bunga kau tahu aku mencintai Sekar. Memang kami di jodohkan tetapi dalam hati kecilku aku amat sangat mencintainya, maaf aku tidak bisa membalas cintamu.” Setelah berkata demikian Arya bangkit berdiri merapikan jasnya dan berlalu dari hadapan Bunga. Arya mengatakan semua itu dengan tenang dan tanpa perubahan yang berarti di wajahnya yang datar dan dingin itu. Tidak juga Arya mencoba menghibur Bunga yang pasti telah patah hati tersebut.
Bunga menatap kepergian Arya sampai punggung pria tersebut menghilang dari pandangan matanya. Air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Cinta pertamanya kandas bahkan belum sempat bersemi.
***
Sudut bibirnya terangkat ia tersenyum getir. Hari ini dirinya harus menyiapkan hati untuk bertemu dengan Arya lagi.
“Kenapa sih mereka harus makan malam di rumah? Biasanya juga mereka makan di luar,” gerutu Bunga.
Bunga mengayunkan langkah berat menuruni tangga lantai dua rumahnya menuju ruang makan. Jika saja bukan karena usaha baru yang dirintisnya mungkin saat ini ia tidak akan kembali ke tanah air. Sesungguhnya Bunga berencana kembali jika sang saudara kembar telah melaksanakan pernikahan dengan kekasihnya itu.
“Lama sekali sih Nak, Nak Arya sudah menunggu dari tadi. Tidak enakkan ada tamu harus menunggu begini,” tegur Lucy sang bunda.
Bunga duduk di samping sang bunda, yang mau tak mau posisi duduknta tepat berhadapan dengan Arya. Lagi pula memang hanya tempat itu yang tersisa. Para kakak lelakinya dan keluarganya kebetulan juga sudah berkumpul dengan mereka saat mengetahui kedatangannya kembali.
“Kak Arya bukan tamu Bunga jadi tak perlu menunggu,” balasnya datar. Kemudian Bunga sibuk mengambil nasi dan memilih lauk pauk untuk segera memenuhi piring di hadapannya.
Arya menaikkan satu alisnya mendengar jawaban Bunga. Gadis itu pun bicara tanpa menatap sang bunda atau semua orang yang ada di meja makan, Bunga malah asik dengan piringnya sendiri.
Gadis ini mulai menjaga jarak dengannya setelah pernyataan cintanya waktu ini. Arya mendengus kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah Sekar yang mulai sibuk melayaninya makan.
“Makan yang banyak ya Sayang,” ujar Sekar lembut sembari mengusap lengan atas Arya.
Bunga yang mendengar ucapan Sekar berusaha tidak peduli. Kemudian perkataan sang ayah mengejutkannya, ia seketika menghentikan aktifitas makannya.
“Papa akan mencarikan Bunga pendamping jika kamu masih bersikukuh tidak ingin bekerja di perusahaan. Sayang Nak, gelar doktoral-mu jika hanya dipakai untung menganggur lebih baik kamu menikah,” ucapnya.
Bunga mendengkus dan menatap ke arah ayahnya, sedangkan sang bunda dan Sekar tersenyum ke arahnya. Arya sendiri memandang ke arahnya lekat-lekat raut wajah pria itu datar, seolah menunggu reaksinya.
“Papa tahukan apa yang Bunga mau dan sampai sekarang Bunga masih belum berubah pikiran.”
"Bunga, sudah selama delapan tahun kamu meninggalkan rumah, masa iya bunda dengan tatapan sendu.
“Mama tidak akan kesepian sekalipun tidak ada bunga di sini. Ada Kak Roby beserta istri dan anak-anaknya, Kak Jovan dengan istrinya dan sebentar lagi Sekar juga akan segera menikah. Yang pasti Bunga bukan pengangguran selama dua bulan ini. Bunga diam di rumah karena menikmati hari libur,” terangnya dengan ringan. Bunga juga hanya dengan sekilas menatap ke arah sang bunda dan masih tak mau menatap kepada Arya.
“Dan kamu akan tetap pergi,” ucap Sekar menimpali.
Bunga menatap saudara kembarnya. Dengan tegas ia menjawab, “Tentu, tidak ada yang bisa menahanku untuk tetap tinggal. Lagi pula aku harus mengajar dan mengurusi bisnisku yang lain,” balasnya.
"Mengajar dan bisnis?" tanya sang ayah dengan penasaran, karena setahunya putri bungsunya itu hanya mengajar sebagai dosen pengganti tidak tetap di sebuah kampus modern di Amsterdam sana..
Bunga menghentikan kegiatan makan malamnya, kemudian menatap sang ayah. “Walaupun Bunga tidak pernah kembali ke tanah air dalam waktu lama bukan berarti Bunga tidak punya usaha di sini. Bukan di Jakarta tepatnya,” ucapnya lagi. Membuat semua orang yang ada di meja makan itu ikut penasaran dibuatnya.
Robert Atmaja sang ayah mengerutkan dahinya, menatap lembut sang putri dan tidak menutup keterkejutannya.
“Apa maksudmu Nak?” tanya Robert. Dirinya sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin dia melupakan hal yang sepenting ini perihal sang anak. Terlebih anak gadisnya belum menikah dan tentu saja masih menjadi tanggungjawabnya.
“Papa lupa Bunga ini jenius. Tidak mungkin Bunga sekolah jauh-jauh di Den Haag hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan bersenang-senang. Bunga juga bermain saham Papa dan mengajar tentu saja menjadi dosen tamu di beberapa universitas, dengan hasil yang Bunga dapat. Bunga sudah bisa memiliki beberapa hektar perkebunan di Indonesia.”
Semua mata orang yang ada di meja makan terbelalak. Bunga menatap mereka satu persatu.
“Maka dari itu Bunga akan pergi mengunjungi perkebunan milik Bunga,” tambahnya santai.
“Di mana tepatnya? Dan perkebunan apa itu Nak?” tanya Lucy yang menjadi sangat antusias. Ada rasa bangga terdengar dari pertanyaannya. Tentu saja ia berharap dengan memiliki usaha di sini sang putri akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
"Hanya perkebunan biasa,” jawabnya santai sembari mengedikkan bahunya.
Nita yang duduk di sebelahnya meraih bahunya dan mengecup keningnya bangga. "Hebatnya adikku ini," ucapnya sembari memberikan beberapa kecupan di pipi kiri sang adik ipar.
Robert mendengkus. “Biasa seperti apa Nak, perkebunanmu pasti sangat luas. Siapa yang menjalankan selama ini, hm?” Robert tidak menyangka jika pemikiran putrinya sangat maju seperti ini. Bahkan lebih mandiri dari pada putra-putranya sekalipun. Serta sama sekali tidak meminta bantuannya, yang benar saja!
Bunga enggan memberikan keterangan kepada orang tuanya. “Ada deh pokoknya, Bunga memiliki orang kepercayaan kok. Papa dan semuanya tidak perlu khawatir.” Ia sungguh tidak mau mengumbar tentang urusan pribadinya saat ada orang asing bisa mendengar hal itu. Arya masih orang asing bukan? Paling tidak untuk dirinya.
“Sekalipun dengan kakakmu ini kamu tetap tidak mau bilang?” tanya Jovan. Dirinya yang selama ini paling dekat dengan Bunga. Namun sepertinya, belum terlalu dekat untuk diberi kepercayaan oleh adik cantiknya itu.
Bunga menggelengkan kepalanya polos sembari menatap kakak sulungnya itu. Mereka masih penasaran dengan pernyataan yang keluar dari bibir ranum Bunga. Lagi-lagi mereka dikejutkan oleh dering ponsel Bunga yang dibawakan oleh Juminah kehadapannya. “Maaf mengganggu, hp-nya bunyi terus,” Juminah mengulurkan ponsel ke arah Bunga.
“Kalian seru-seruan kok nggak ajak Mama sih?” protes Lucy.“Nanti Ma kalau rumah Bunga udah selesai. Lagi satu minggu ya Ma? Bunga baru cari perabotan untuk isi jadi Mama sama Papa bisa menginap di rumah Bunga nantinya.”
Yora menatap sang nona sedih, ia ingin agar pria pujaan nonanya mengetahui. Entah mengapa saat menatap Arya dirinya tahu jika lelaki itu juga memendam rasa dengan majikannya. Kenapa dirinya bisa tahu? Karena Bunga menyimpan banyak foto Arya yang tak sengaja pernah dilihatnya.Seluruh keluarganya sudah duduk semua di sofa. Yanuar juga ada di sana. Bunga melihat Yanuar memberi kode agar dia dud
“Jangan menghindariku,” desis Arya, terlihat jakunnya naik turun. Saat ini Bunga sungguh merasa terintimidasi.“Itu hakku, terserah apa yang ak
Keesokan harinya, setelah membersihkan diri dan bersiap-siap. Bunga membuka pintu kamar dan terperanjat saat mendapati Arya sudah berdiri bersandar di daun pintu kamarnya dengan melipat kedua tangannya di depan dadanya.Bunga mengerutkan dahinya, “Kenapa kamu belum turun?” tanya bunga.
Ponsel Bunga berdering, Yora mengulurkan ponsel pribadi milik Bunga. Bunga memeriksa id penelepon, senyum tersungging disudut bibirnya. Hatinya tergelitik menggoda Arya, apakah Arya akan merasa cemburu ataukah tidak? Padahal yang meneleponnya adalah Adyatama putra Almira dan Davka Alsaki.“Ya Sayang?” saya Bunga dengan halus.Diliriknya Arya melalui kaca tengah mobil. Raut wajah Ar
Bunga sedang disibukkan dengan pekerjaan di kantor barunya, saat sang bunda masuk dan membawakan bekal makan siangnya.“Sayang sepertinya kamu lebih berisi sekarang. Mama senang Nak, apalagi minggu depan ada pesta pertunangan Sekar. Bagaimana jika kamu juga segera menyusul?” ujar Lucy.
Arya semakin mengetatkan pelukannya, ia tak suka jika Bunga merasa Arya adalah milik Sekar. Sebelah tangannya yang lain sudah naik merengkuh tengkuk Bunga sembari mendongakkan wajah sang gadis kemudian melumat bibirnya, dengan ciuman dalam dan memabukkan.Bunga bisa merasakan sisa wine di lidah Arya yang masuk membelit lidahnya dan mengusap dengan lembut langit-langit mulutnya.
Cempaka Akshita Atmaja tiba di bengkel besarStromderdilmilik ayahnya Jovan Adhi Atmaja. Tadi ayahnya menyuruhnya singgah ke bengkel guna mengambil vitamin ayahnya yang tertinggal di kantor sedangkan bengkel yang sudah pasti tutup jam delapan seperti ini karena bengkel sudah tutup sejak jam lima sore.Cempaka memarkirkan mobilnya persis di sebelah mobil city car berwarna merah. Kemudian melangkah membuka pintu samping menggunakan kunci cadangan miliknya.
Yanuar berdiri di pinggir jalan tepat di seberang restoran tempat keluarga Bunga berada. Ia sedang menunggu seseorang untuk bergabung makan malam bersama. Ia kembali teringat saat dahulu ia mengamuk di rumah sakit tempat Bunga melahirkan kemudian ia yang terpaksa di masukkan ke rumah sakit jiwa.Di bulan ketiga ia berada di rumah sakit itu. Louis menyarankan agar ia pindah ke panti rehabilitasi.
“Mau apa kamu kemari?!” ketusnya suara Arya membuat si kembar merengsek mendekati bunda mereka.“Kak, sabar. Jaga emosi, anak-anak ketakutan nih,” bujuk Bunga.Arya yang tadinya sudah naik pitam, mencoba mengendalikan diri karena teringat dengan sang buah hati.
Bunga dan Sekar sibuk mengurusi anak-anak mereka yang akan pentas tutup tahun ajaran, tahun ini mereka bertiga akan masuk ke Sekolah Dasar. Sekar dan putranya Helmi Jayadi tetap meneruskan di sekolah Harapan Bangsa, sedangkan kedua anak kembar Bunga akan dibawa ke Amerika. Adalah berita bahwa Yanuar akan segera keluar dari rumah sakit jiwa. “Bunda, ajak anak-anak ke dalam deh. Ayah sama Papi yang bawain kuenya,” usul Arya setelah memastikan perlengkapan pentas anak-anak tidak ada yang tertinggal di mobil.
Di luar kamar dengan daun pintu yang sedikit terbuka, Yanuar mengintip kemesraan Bunga dengan Arya. Tangannya terkepal sampai buku tangannya memutih. Pancaran matanya yang memerah penuh amarah, sakit hati dan kecemburuan.“Bangs**! Kau Arya, segera Bunga akan menjadi milikku.”
Bunga menangis semakin kencang bukan karena sakitnya jalan lahir yang sedang dibersihkan dokter tetapi karena ungkapan Arya, seolah pria yang sudah menjadi suaminya ini amat sangat mencintainya. Sesak sekali rasa di hatinya. Rasa nyeri saat melahirkan sudah ia lupakan.Seluruh keluarga yang bersuka cita berhamburan mengelilingi keduanya. Saat Bunga sudah dipindahkan ke dalam ruang rawat inap.
Sekar menelepon Anton suaminya, supaya memberikan ijin untuknya ke rumah sakit menemani Bunga. Namun ternyata Anton pun tak memberikan ia ijin. Bahkan sekarang Anton yang tadi ada di kantor Arya ikut pergi ke rumah sakit. Jadi sekarang hanya tertinggal Sekar dengan para keponakannya.Suara deru mobil memasuki halaman rumah mereka. Narendra melihat keluar siapa gerangan yang datang.
Lea mengucapkan selamat kepada pengantin. Mata Bunga bertemu dengan mata sang pria pasangan Lea.“Louis Cruz, is that you?” tanya Bunga. Rupanya dia mengenali pasangan Lea.Arya y
Asti mengangguk pasti. “Kalau begitu aku hubungi orangtua Bunga dulu.”“Siapa?!” seru Bunga dari dalam kamar.“Cempaka nan cantik jelita hadir!” Suara merdu si gadis cilik membahana.