Aku dikagetkan dengan pertanyaan Arya yang menunggu jawaban dariku, tapi aku tak ingin menyakitinya ....
"Jawab, Kia."
Arya memandangku lekat, membuatku tanpa sadar menggigit bibir bawah. Aku menghela napas perlahan.
"Arya, kita ini temenan dari kelas X kan? Aku udah nyaman seperti ini," ucapku pelan, takut melukai perasaannya.
"Tapi, Kia. Aku mencintaimu bukan sebagai teman. Pokoknya aku akan selalu menunggumu."
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Arya itu memang baik, perhatian, ganteng juga, tapi aku menganggapnya hanya sebagai teman. Tidak lebih dari itu.
Akan tetapi, nggak tahu juga kedepannya bagaimana. Mungkin hatiku akan berubah, tapi sepertinya ... enggak deh!
"Jangan seperti itu. Aku tak ingin kamu terluka karena berharap lebih," ucapku.
Aku menghembuskan napas lega saat gerbang tinggi sekolah kami terbuka, karena ada mobil yang masuk. Jadi aku tak perlu terjebak dengan situasi canggung bersama Arya.
Kami berdua pun segera berjalan setengah berlari, menyusul masuk takut gerbang kembali tertutup.
"Kalian dari mana saja!" gertak pak satpam.
Aku bergeming. Sementara Arya hanya cengengesan menjawab pertanyaan itu, sambil berlalu pergi ke arah kelas kami. Diam-diam aku memperhatikan Arya, aku bersyukur karena Arya sepertinya baik-baik saja.
Untung hari ini pelajaran Bu Eka. Dia guru yang baik, jadi aku tak perlu khawatir akan dimarahi.
"Pagi, Bu," Aku membuka pintu.
"Ck! Dari mana kalian?" Bu Eka menggelengkan kepala melihat kami.
"Maaf, Bu," jawab Arya, tanpa menjelaskan alasan kami terlambat.
"Ya sudah ... kalian boleh duduk, besok-besok jangan sampai diulangi lagi, ya?"
Benerkan, dia memang baik.
"Ya, Bu," jawab kami barengan, lalu berjalan menuju meja masing-masing.
Bu Eka itu guru Bahasa Indonesia. Dia memang baik, terbaik malah, anggun, cantik pula the best pokoknya.
"Kamu kok bisa kesiangan, Lin?" tanya Linda, sahabatku.
"Aku habis shalat subuh tidur lagi, jadi bablas deh."
"Oh gitu," Linda tersenyum.
"Karena semalam kamu ganggu aku," ucapku sedikit kesal.
"Maaf," kata Linda sambil nyengir kuda.
"Ya, aku maafin."
Ahirnya kegiatan belajar mengajar pun berlangsung ....
Tak terasa waktu pun berlalu begitu cepat hingga ahirnya selesai juga pelajaran Bu Eka.
"Anak-anak untuk pelajaran hari ini sampai di sini dulu, jangan sampai lupa tugasnya minggu depan, ya?" ucap Bu Eka. Bel pun berbunyi tanda berganti pelajaran baru.
"Ya, Bu," jawab kami dengan serempak.
Selang beberapa menit guru lain masuk untuk mengisi jam pelajaran lagi di kelasku. Kegiatan belajar mengajar pun kembali berlangsung dengan baik. Sampai tiba waktunya bel berbunyi dan pelajaran pun berahir untuk istirahat.
"Guys ke kantin, yuk!" ajak temenku yang lain, Jenny namanya.
"Ya duluan, Jen. Aku ada yang mau diomongin dulu sama Linda," ucapku menjelaskan.
"Okay kalo gitu," ucap temanku sambil berlalu menyusul yang lain.
Kini, di kelas hanya ada aku berdua dengan Linda.
"Lin, kirain aku semalam Gilang nembak kamu," ucapku memulai percakapan.
"Nggak, masa langsung nembak ... baru juga semalam kan aku berkenalan dengannya," ucap Linda.
"Ya, ngerti," aku mengangguk pelan.
"Ngerti apa?" tanya Linda.
"Nggak apa-apa."
Aku tertawa membuat Linda memukul lenganku.
"Idih nggak jelas. Ke kantin, yu, aku lapar," Linda menarik tanganku seraya berdiri.
Kami pun pergi ke kantin belakang sekolah menyusul teman-teman yang lain.
"Lin, kamu pesenin, ya. Aku menunggu di pojok sana. samain aja pesanannya!" ucapku.
"Okay sip."
Beberapa menit kemudian, Linda membawa makanan yang dipesan. Kami pun menikmati makanan tersebut. Sampai ahirnya bel pun berbunyi tanda berahirnya jam istirahat. Kami pun pergi ke kelas lagi dan kegiatan belajar pun dimulai.
Setelah beres kegiatan belajar mengajar, bel pun berbunyi dan berahirlah kegiatan belajar hari ini....
"Kia, jadi kan kita pergi? Antar aku belanja. Semalam kan dah ngomong sama kamu di telepon," ucap Linda sambil tersenyum dan sesekali memainkan alisnya ke atas.
Sebenarnya aku malas hari ini untuk pergi, kepala sakit karena kurang tidur. Kuharap Linda mengerti.
"Lin, minggu depan aja, ya? Pas hari minggu. Aku ngerasa nggak enak badan nih, kepalaku pusing. Aku mau istirahat seharian," ucapku sambil memasang wajah mengiba.
"Oke aku ngerti. Mending minggu depan saja kita jalannya pas hari minggu. Biar leluasa, ya?"
"Nah iya betul," kataku.
Lalu Arya pun menghampiri kami berdua.
"Kia, bareng pulang aku yuk?" ajak Arya.
"Nggak Ar. Aku ... bareng ama Linda."
"Ya udah, aku duluan ya," ucap Arya dengan wajah sedikit kecewa.
Aku hanya mengangguk pada Arya. Ahirnya kami pun tidak jadi untuk bepergian setelah pulang sekolah. Kemudian kami pun pergi meninggalkan kelas dan pulang. Linda dan aku kebetulan searah jalan pulangnya. Kami naik angkot bareng.
Di dalam perjalanan aku melihat Gilang dengan jelas karena angkotnya dikemudikan dengan pelan.
"Lin, itu Gilang 'kan?" tanyaku.
"Ya, Kia. Dia Gilang! Lalu siapa yang dibonceng sama dia, ya?" Kening Linda mengkerut. Seperti sedang berpikir keras.
Aku dan Linda saling bertatapan, dalam hati bertanya-tanya. Siapa wanita yang dibonceng Gilang? Apalagi Linda pasti lebih keheranan daripada aku, kasian juga sama Linda sebenarnya.
Ahirnya angkot yang kami tumpangi pun diberhentikan oleh Linda, karena sudah sampai tepat di depan pintu gerbang rumah Linda.
"Kia, nanti aku akan menelponmu, ya?" ucap Linda dengan wajah sayu dan dengan senyum yang dipaksakan.
Terlihat sekali raut wajah kesedihan di muka Linda. Aku memahami perasaannya.
"Ya, Lin, aku tunggu," ucapku sambil membalas senyumannya.
Sepuluh menit berlalu kemudian. Aku pun menghentikan angkot yang kutumpangi tepat di depan rumah lalu memberikan uang pada supir. Kubuka gerbang rumah kemudian setengah berlari aku menuju pintu rumah dan membuka sepatu.
"Assalamualaikum. Aku pulang, Ma," ucapku sambil berjalan ke arah Mama yang sedang berada di ruang keluarga. Kemudian mencium takzim punggung tangannya.
"Waalaikumsalam. Ya sayang, makan siang udah Mama siapin di meja makan," ucapnya sambil tersenyum.
"Kia nggak lapar, Ma."
Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Sebelumnya aku melaksanakan kewajiban dulu, lalu kemudian berbaring merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Kepala pusing rasanya, aku ingin istirahat dan mencoba memejamkan mata kemudian terlelap.
Terdengar samar suara Mama tetiba membangunkanku.
"Kia, sayang kamu kenapa?" ucap Mama sambil meraba keningku.
"Kepala Kia tadi sakit, Ma."
"Gimana sekarang, masih sakit?"
"Udah enggak, Ma. Setelah Kia istirahat," kataku setelah merubah posisiku menjadi duduk.
"Ya udah, sekarang kamu mandi sana," ucap Mama sambil beranjak pergi dari kamarku.
Aku pun segera beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi. Untung di rumah ada water heater jadi aku bisa mandi air hangat sore-sore gini.
Setelah selesai mandi, kemudian aku melakukan kewajibanku untuk melaksanakan shalat ashar. Lalu aku turun ke bawah dan menghampiri Mama yang sedang nonton TV.
"Sayang, makan dulu," Mama melihat ke arahku.
"Ya, Ma."
Aku pun berjalan menuju meja makan. Rasanya lapar sekali perut ini. Kubuka tutup saji di atas meja begitu banyak makanan kesukaanku. Aku pun duduk di kursi dan menikmati makanan tersebut. Setelah makan, kemudian aku menghampiri Mama dan duduk di sampingnya.
"Anak Mama cantik kalo udah mandi," ucap Mama sambil satu tangannya memelukku.
"Emang kalo Kia nggak mandi, nggak cantik?" ucapku sambil mengerucutkan bibir.
Mama malah mencubit hidungku dan ketawa. Aku membalasnya dengan mendelikan mata manja, lalu kusandarkan kepalaku di bahu Mama. Kami berdua menikmati acara di TV.
***
Malam pun tiba dan Om Aldi sudah berada di rumah sekarang. Kami bertiga berkumpul di ruang keluarga sambil nonton TV.
"Mama, boleh nggak Kia hari minggu keluar sama Linda?" pintaku.
"Mau ke mana, Kia?" Malah Om Aldi yang balik nanya.
"Mau main sama Linda. Nganter dia belanja, tapi nanti hari minggu. Om mau ikut?" ucapku sambil nyengir kuda.
"Kagak ... ngapain ikut. Cewek kalau belanja muter-muter, ih ... malas," ucapnya sambil tertawa.
"Ih biarin," ucapku sambil menjulurkan lidah.
"Kia, nggak boleh gitu sama Om."
"Ya, Ma, maaf."
"Maafnya sama Om bukan sama Mamamu," ucap Omku sambil tertawa dan mengulurkan tangannya.
"Maafin, Kia ... ya, Om," ucapku sambil menjabat tangannya dan tersenyum manja.
"Kamu udah makan, Al?" tanya Mama.
"Udah, Kak. Tadi di kantor. Aku tinggal dulu ya, Kak ... cape mau istirahat."
"Kia pun mau ke kamar, udah ngantuk ya, Ma," kataku.
Mama hanya tersenyum sambil mengangguk.
***
Tiba saatnya aku ada janji sama Linda dan hari ini adalah hari minggu. Waktu seakan begitu cepat berlalu. Kemudian teleponku berdering. Pasti dari Linda. Kemudian kuambil segera ponsel itu.
"Hallo," Terdengar suara Arya di sana.
"Ya," ucapku sedikit kecewa.
"Kamu lagi ngapain? Kaya enggak seneng aku telepon?" tanya Arya, mungkin dia ngerti dengan nada bicaraku.
"Nggak ngapa-ngapain, Ar."
"Hari ini jalan, yuk? Mumpung hari libur," ajak Arya.
"Nggak bisa ... aku udah janji sama Linda hari ini mau jalan. Nggak marah kan? maaf ya, Ar."
"Oh gitu ... ya, nggak apa-apa."
Terdengar nada kecewa dari ujung telepon sana. Aku mengerti Arya.
"Ar, udah dulu ya. Ada panggilan masuk nih, kayaknya dari Linda."
Aku sedikit lega karena ada alasan untuk mengahiri percakapan dengan Arya. Kemudian obrolan pun berahir. Dan aku mengklik panggilan masuk tadi. Benar saja ini Linda.
"Hallo."
"Ya, Lin. Hari ini jadi kan kita jalan?" kataku.
"Ya. Kia, menurutmu siapa ya yang waktu itu dibonceng Gilang?" tanya Linda.
Aku mengerti perasaannya. Dia menyukai Gilang, tetapi lelaki itu dekat dengan cewek lain.
"
"Hallo, Kia. Kamu masih di sana?" terdengar suara Linda di ujung telepon sana mengagetkan dan memutus lamunanku."Ya, Lin ... oh ya, aku nggak tau siapa yang dibonceng Gilang waktu itu. Mungkin dia adiknya atau sepupunya. Kita nggak tau kan," ucapku menjelaskan supaya Linda tidak berlarut dalam tanda tanya besar."Kia, mana mungkin itu adiknya, orang sama-sama pakai seragam SMA 'kan? kalau sepupunya bisa jadi ...," ucapnya terhenti.''Udah aah jangan ngomongin Gilang terus, kebagusan tuh anak," kataku sambil ketawa lepas.Terdengar dari ujung telepon sana suara Linda pun tampak bahagia. Berhasil aku membuatnya terkekeh."Hari ini jam berapa mau ke rumahku?""Nanti aku telepon lagi, ya, aku mau siap-siap," jawab Linda.Ahirnya kami pun mengahiri obrol
Mungkinkah Pak Yuda?Apakah dia sudah mempunyai istri atau mungkin dia tunangannya? Hatiku sakit melihat mereka berduaan. Dada ini sesak memikirkannya.Aku tidak mau berpikiran buruk. Kuharap ini hanya pikiran jelek saja. Aku mengalihkan perasaan yang tidak menentu ini dengan bertanya pada sahabatku."Lin, coba perhatikan meja Pak Yuda di sana?" Linda kaget melihat ke arah meja sana."Kia, di sana ada seorang cewek duduk dengan Pak Yuda, kayanya anak kuliahan deh," ucap Linda, mungkin karena melihat penampilannya."Ya, benar ... kenapa kita nggak tau yah kapan datangnya?" kataku sambil mengeryitkan dahi penuh keheranan."Iyalah ... karena kita sibuk menikmati makanan tadi," ujarnya lagi."Aku kok merasa sedih ya, Lin." Mataku berkaca-kaca. Aku memalingkan wajahku ke ara
"Maafkan Bapak, Kia. Saya sudah punya pasangan dan kami sebentar lagi akan segera menikah," ucap Pak Yuda tersenyum seraya menepuk bahuku. Seiring langkah beliau, tersimpan rasa nyeri di hati ini.Bagai tertusuk panah tajam yang menghujam jantung mendengar perkataanya itu. Tubuhku lunglai seperti tanpa tulang, kakiku lemas seakan tak berpijak, pertahananku runtuh.Kumenyandarkan tubuh ini ke dinding sebelum diri ini terjatuh. Kutangkup kedua tangan ke wajah dan kubiarkan telapakku ikut basah oleh lelehan air mata."Kia, kamu kenapa?" Terdengar lirih suara Linda bertanya dan dia sudah ada di hadapanku.Aku langsung memeluk dan menangis sesenggukan di pundak Linda, tanpa menghiraukan pertanyaannya."Sudah ... ayo kita masuk ke kelas. Sebentar lagi pelajaran dimulai."Linda memapahku menuju ke
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Aku bahagia sekali malam ini. Ternyata Pak Yuda juga mencintaiku. Temanku harus tahu tentang semua ini, kucoba menelpon Linda."Hallo, Lin.""Ya ada apa, Kia?""Malam ini aku habis jalan sama Pak Yuda," kataku."Wah ... selamat ya, Kia. Terus, ceritain lagi dong!" ujar Linda penasaran."Ternyata Pak Yuda selama ini menaruh hati padaku, Lin. Aku bahagia sekali. Dia bertanya padaku. Apakah cinta yang dulu masih ada untuknya?""Aaah so sweet," ucap Linda di ujung telepon sana."Dan aku pun mengangguk. Dia tidak tau kalau cintaku padanya tak akan hilang ... walaupun aku sempat berhubungan dengan Arya, tapi sekarang aku lega karena sudah putus dengan Arya. Tidak ada lagi penghalang," kataku panjang lebar mengutarakan isi hatiku pada Linda."Sekali lagi selamat ya, Kia. Ahirnya apa yang kamu inginkan ahirnya tercapai ... menjadi kekasihnya Pak Yuda.""Ya, Lin. Makasih, ya. Berkat kamu juga aku bisa melewati semua ini. Aku kuat karena kamu selalu nyemangatin. Dan selalu memberikan yang terba
Dua minggu berlalu setelah putus dengan Arya. Aku semakin mencintai Pak Yuda, hubunganku dengannya semakin dekat karena Pak Yuda sering main ke rumahku menemui Om Aldi dua Minggu terahir ini. Namun, Pak Yuda belum mengungkapkan cintanya padaku.Aku yakin pak Yuda juga menyukaiku dan aku belum menembaknya lagi. Setidaknya dia sudah tahu perasaanku padanya. Rasa cinta ini semakin dalam dan semakin bertambah seiring waktu.Mamaku pun sudah mengetahui kalau aku mencintai pak Yuda. Awalnya Mamaku tidak menyuakainya, tapi setelah kujelaskan panjang lebar Mama ahirnya mengerti. Ia memberiku semangat untuk mendapatkan cinta Pak Yuda. Mama bilang jika itu membuatku bahagia maka ia akan mendukungku sepenuhnya.Hubungan Om Aldi dengan Syahira pun semakin serius. Dan malam ini rencananya kita mau keluar untuk dinner bersama. Pak Yuda manjemputku ke rumah bersama Syahira--ponakannya, ja
Seminggu berlalu, UTS pun berahir. Dan selama seminggu pula Pak Yuda tidak kelihatan ke sekolah, aku mengerti karena masih dalam masa berkabung.Aku pikir Omku tidak tahu dengan yang menimpa Pak Yuda saat itu, akan tetapi ternyata omku lah yang membantu saat kecelakaan terjadi yang menimpa tunangan Pak Yuda.Omku terbaik deh, benar-benar sahabat sejati. Support moril memang sangat dibutuhkan oleh Pak Yuda. Dan aku senang banget, kata omku pak Yuda sudah mengetahui kalau aku ini adalah keponakan Om Aldi, temannya.Aku jadi kepikiran Pak Yuda lagi. Andaikan aku bisa menghiburnya saat itu, pasti bahagia sekali.Hari ini adalah hari pertama libur setelah UTS. Di rumah aku hanya rebahan saja dan berdua bersama omku karena mama lagi keluar sama Bu Wati untuk membeli keperluan dapur.
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta