"Linda, Arya! Kalian di sini?"
Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu.
"Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran.
"Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.
Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku.
"Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang.
"Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah."
"Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
"Nggak kok," kata Mama sambil berjalan keluar kamar.
Bahagia rasanya hari ini karena temanku Linda datang kemari menjengukku.
"Kalian bolos, ya? Kok jam segini udah pada pulang?" tanyaku penasaran.
"Jam terahir nggak ada guru, jadi kami ke sini," ucap Arya.
"Oh pantesan."
Kemudian Mamaku datang dengan membawa makanan ringan dan minuman, laluh menyimpannya.
"Tante kami jadi ngerepotin nih ... jadi nggak enak. Oh ya, emang Bi Wati ke mana, Tan?"
"Bi Wati lagi pulang kampung, udah lumayan lama si. Katanya ada keluarga yang sakit, tetapi besok juga pulang," kata Mamaku menjelaskan.
Ya, Bi wati adalah pembantu di rumah kami. Dia sudah dianggap keluarga. Jadi mau pulang kapan pun Mama pasti izinin.
"Kia sayang, Mama tinggal dulu ya? Hari ini Mama ada arisan. Om Aldi juga ada di rumah, dia nggak ke kantor."
"Ya, Ma."
Tak terasa kami bertiga ngobrolnya sudah satu jam, lalu terdengar suara omku, mungkin karena suara kami berisik karena pintu kamarku terbuka.
"Kalian lagi pada ngapain?"
"Lagi menghibur Kia ... berisik ya, Om," ucap Arya.
"Nggak. Bagus kalau gitu, sering-sering aja kalian main ke sini."
Kemudian omku pun keluar dari kamarku.
"Kia, aku numpang ke kamar mandi, ya? Perutku sakit," ucap Linda sambil nyengir.
"Ya, tuh di sana."
Tinggalah aku dan Arya di kamar ini. Dia menatapku sambil kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Aku merasa ada yang aneh dengan Arya.
Ada apa dengan jantungku? Kenapa berdebar setelah Arya mendekat duduknya ke sampingku. Aku menatapnya, ahirnya mata kami pun beradu pandang.
"Kia, ada hal penting yang ingin kubicarakan," ucapnya.
Degg.
"Ya, ada apa, Ar."
Ada apa dengan Arya? Kenapa dia begini. Dan kenapa dengan jantungku? Rasa apa ini?
"Sebelum aku selesai bicara, tolong nanti kamu jangan menyelanya."
Aku mengangguk pelan, meski sejujurnya aku agak deg-degan melihat raut serius Arya. Kira-kira apa yang akan dia bicarakan? Kuharap ....
"Kia ... kamu mau jadi pacarku. Aku me--"
"Arya aku nggak bisa," selaku sebelum Arya menyelesaikan kalimatnya.
"Aku belum selesai. Kamu dah janji nggak akan menyelanya kan."
Mau tak mau aku menuruti permintaan Arya. aku pun mengangguk.
"Aku sayang kamu, tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan ketulusan perasasaanku padamu."
Mata Arya memandangku penuh harap. Aku bingung ... di satu sisi aku belum punya perasaan padanya, tapi di sisi lain aku tak tega kali ini untuk menolaknya.
"Ar...," ucapku terhenti.
"Kia, tolong beri aku kesempatan," pintanya lagi sambil memegang kedua tanganku.
Aku bingung harus jawab apa. Terima cinta Arya atau menolaknya?
Di tengah kekalutan yang aku rasakan. Ahirnya aku menerimanya dengan anggukan pelan. Toh tidak ada salahnya untuk mencoba menjalin hubungan dengan Arya.
Semoga saja seiring berjalan waktu perasaanku akan tumbuh pada Arya.u Bukankah kata orang cinta tumbuh karena terbiasa?
Aku juga berharap dengan menerima Arya perasaanku pada Pak Yuda akan segera menghilang tak berbekas.
Ahirnya, senyum bahagia tersungging di bibir Arya. Aku menerimanya karena hatiku terluka oleh lelaki lain. Ada rasa yang aneh di hatiku, terasa sakit tapi tidak berdarah.
"Makasih, Kia," ucap Arya.
Kemudian aku melepaskan genggaman tangannya yang sedari tadi nggak dilepaskannya.
Linda ahirnya keluar juga dari kamar mandi. Dari wajahnya terlihat keheranan. Matanya tak berhenti menatap Arya, lalu kemudian masuklah Om ke kamarku lagi.
"Arya, ayo main catur."
"Boleh, Om."
Arya tersenyum seraya meninggalkan kami berdua. Mereka berdua keluar dari kamarku, kini aku hanya berdua di kamar bersama Linda.
"Kia, ada apa dengan Arya? Aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya tadi."
Linda merasa keheranan dengan sikap Arya. Apakah aku harus jujur padanya tentang Arya? Aku takut dia marah, tapi dia sahabatku. Dia harus tau semuanya.
"A-arya nembak aku, Lin," terbata-bata aku menjawabnya.
"Apa! Menembakmu? Tapi kamu pasti menolaknya, ya 'kan?" kata Linda dengan tatapan tajam.
Aku menggeleng.
"Aku menerimanya," lirihku.
"Hah! Apa nggak salah denger? Pak Yuda mau dikemanain? Bukannya kamu sangat mencintainya," ucap Linda sambil mengeryitkan dahi.
"Dia tetep ada di hatiku, Lin. Tak akan tergantikan," kataku menatapnya.
"Terus kenapa kamu menerima Arya? Dia mau dijadikan pelampiasan kamu, gitu?"
Linda menatap tajam mataku. Aku sampai takut melihat netranya. Dia benar-benar marah kali ini.
"Bukan gitu, aku kasian sama Arya, Lin."
"Jadi kamu menerima dia karena kasian?" ucap Linda sambil kesal, lalu menggelengkan kepala pelan.
Aku hanya diam tertunduk tidak bisa menjawab apa yang Linda tanyakan, karena ini memang benar adanya. Aku menerima Arya di saat hatiku sedang terluka. Aku memang egois.
"Ini salah Kia ... Arya akan terluka hatinya kalau dia sampai tau." Linda menatapku.
"Makanya kamu jangan bilang sama dia, ya Lin?"
Linda mengerti apa yang kupinta, dia menganggukan kepalanya pelan sambil duduk. Dan sekarang aku merasa tenang, kuhela napas berat.
Aku berharap setelah menerima Arya bisa melupakan Pak Yuda sepenuhnya.
Tak lama setelah itu kami berdua keluar menyusul ke balkon, sambil membawa cemilan yang dibikin Mama tadi ke Om Aldi dan Arya yang sedang main catur.
"Seru ya, kalian," ucap Linda menggangu mereka.
"Ngapain kalian pada ke mari?" ucap Om Aldi merasa tak senang.
Siapa yang tak senang, lagi main catur digangguin. Konsentrasinya buyarlah semua.
Aku dan Linda hanya nyengir kuda melihat mereka pada kesal.
"Skak mat."
"Ya, aku kalah ... kalian sih pada kemari," ucap Arya sedikit kesal.
"Idiih kenapa nyalahin kita, kalah mah kalah aja," ucap Linda tertawa jahat.
"Om dilawan," kataku. "Udah Ar, minum dulu nih."
Aku memberikan gelas yang sudah diisi minuman segar ke Arya. Tatapan bahagia terlihat dari matanya dan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, karena aku perhatian padanya. Aku pun membalas senyumnya.
"Makasih," ucap Arya sambil mengambil gelas di tanganku.
"Cie cie, ada yang perhatian nih," ucap Linda.
Dia menggodaku. Aku kan jadi malu, mungkin pipiku merona saat ini. Tak lama setelah bermain catur, kemudian mereka berdua pamit pulang karena sudah sore.
"Kayanya Arya suka sama kamu," kata Omku setelah mereka berdua pergi.
Apakah aku harus jujur padanya bahwa aku sudah menerima cinta Arya? Aku harus jawab apa?
"Mungkin hanya perasaan Om saja," kataku sambil menunduk memainkan ujung baju.
Aku berbohong pada Om Aldi. Aku bingung harus berkata apa. Mungkin ini yang terbaik untuk saat ini.
"Oh ... tapi menurut Om bagus kalau Arya suka kamu. Biar kalian lebih deket dan kamu nggak kesepian lagi. Dan juga bisa melupakan Yuda," katanya sambil mengusap kepalaku dan berlalu pergi meninggalkan tempat ini.
Aku menganggukan kepala pelan dan tersenyum mendengar perkataan Om Aldi. Apa yang dikatakannya memang benar. Aku harus bisa melupakan pak Yuda. Karena mengikhlaskan adalah salah satu cara untuk bisa bahagia. Semoga rasa ini bisa memudar seiring waktu. Aku menghela napas lega.
Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku menuruni anak tangga ke bawah untuk membuka pintu karena di rumah hanya ada kami berdua. Ketika pintu dibuka ternyata Bi Wati yang baru pulang dari kampung halamannya.
"Assalamualaikum, Non."
"Waalaikumsalam ... Bibi, ahirnya ke sini, ayo masuk, Mama lagi nggak di rumah."
Aku mencium takjim tangannya. Kemudian Bi Wati masuk ke dalam dan pergi ke kamarnya. Aku pun kembali ke atas.
Aku berbaring di tempat tidur dan menerawang langit kamarku. Apa salah yang kulakukan ini?
Menerima Arya walau aku tak mencintainya. Menerima cintanya walau hatiku tak menginginkannya.
Semakin ke sini semakin sakit yang kurasa. Apa aku bisa? Apa aku sanggup untuk berhenti mencintai pak Yuda? Bulir bening pun kembali menetes dikedua pipiku.
Semakin berusaha keras untuk melupakannya. Hatiku semakin sakit. Dengan langkah gontai kuberjalan menuju kamar mandi, setelah itu lalu melaksanakan kewajibanku.
Aku melangkah turun menuruni anak tangga sambil memainkan ponsel di tangan. Ternyata tidak ada chat yang masuk. Lalu kududuk di sofa dan menyalakan Televisi.
"Bi, mama belum pulang?"
"Udah, Non," kata Bi Wati sambil berlalu pergi lagi ke dapur.
Ahirnya Mama pun datang dan menghampiriku.
"Ada apa?"
Aku tersenyum bahagia melihat Mamaku, "Kirain Kia belum pulang, Ma."
Kemudian Mama duduk di sampingku dan menikmati tontonan Televisi kesukaan kami.
***
Hari ini adalah hari jumat, tiga hari sudah aku nggak sekolah. Aku langsung bergegas turun ke bawah untuk sarapan. Mereka ternyata sudah pada ngumpul di meja makan untuk sarapan.
"Mama nungguin Kia, ya?"
"Ya, sini sayang."
Ahirnya kami bertiga sarapan bersama.
"Kia, Om ada kejutan buat kamu."
Hah! Om mau ngasih kejutan? Apa ya? apa dia memberitahukan Pak Yuda, kalau aku suka padanya?
Jantungku berdegup kencang. Om mau nyomblangin aku mungkin? Tapi aku udah nerima Arya. Gimana ini? Tenang Kia jangan GeEr.
"A-a-pa, Om?"
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Seminggu berlalu, UTS pun berahir. Dan selama seminggu pula Pak Yuda tidak kelihatan ke sekolah, aku mengerti karena masih dalam masa berkabung.Aku pikir Omku tidak tahu dengan yang menimpa Pak Yuda saat itu, akan tetapi ternyata omku lah yang membantu saat kecelakaan terjadi yang menimpa tunangan Pak Yuda.Omku terbaik deh, benar-benar sahabat sejati. Support moril memang sangat dibutuhkan oleh Pak Yuda. Dan aku senang banget, kata omku pak Yuda sudah mengetahui kalau aku ini adalah keponakan Om Aldi, temannya.Aku jadi kepikiran Pak Yuda lagi. Andaikan aku bisa menghiburnya saat itu, pasti bahagia sekali.Hari ini adalah hari pertama libur setelah UTS. Di rumah aku hanya rebahan saja dan berdua bersama omku karena mama lagi keluar sama Bu Wati untuk membeli keperluan dapur.
Dua minggu berlalu setelah putus dengan Arya. Aku semakin mencintai Pak Yuda, hubunganku dengannya semakin dekat karena Pak Yuda sering main ke rumahku menemui Om Aldi dua Minggu terahir ini. Namun, Pak Yuda belum mengungkapkan cintanya padaku.Aku yakin pak Yuda juga menyukaiku dan aku belum menembaknya lagi. Setidaknya dia sudah tahu perasaanku padanya. Rasa cinta ini semakin dalam dan semakin bertambah seiring waktu.Mamaku pun sudah mengetahui kalau aku mencintai pak Yuda. Awalnya Mamaku tidak menyuakainya, tapi setelah kujelaskan panjang lebar Mama ahirnya mengerti. Ia memberiku semangat untuk mendapatkan cinta Pak Yuda. Mama bilang jika itu membuatku bahagia maka ia akan mendukungku sepenuhnya.Hubungan Om Aldi dengan Syahira pun semakin serius. Dan malam ini rencananya kita mau keluar untuk dinner bersama. Pak Yuda manjemputku ke rumah bersama Syahira--ponakannya, ja
Aku bahagia sekali malam ini. Ternyata Pak Yuda juga mencintaiku. Temanku harus tahu tentang semua ini, kucoba menelpon Linda."Hallo, Lin.""Ya ada apa, Kia?""Malam ini aku habis jalan sama Pak Yuda," kataku."Wah ... selamat ya, Kia. Terus, ceritain lagi dong!" ujar Linda penasaran."Ternyata Pak Yuda selama ini menaruh hati padaku, Lin. Aku bahagia sekali. Dia bertanya padaku. Apakah cinta yang dulu masih ada untuknya?""Aaah so sweet," ucap Linda di ujung telepon sana."Dan aku pun mengangguk. Dia tidak tau kalau cintaku padanya tak akan hilang ... walaupun aku sempat berhubungan dengan Arya, tapi sekarang aku lega karena sudah putus dengan Arya. Tidak ada lagi penghalang," kataku panjang lebar mengutarakan isi hatiku pada Linda."Sekali lagi selamat ya, Kia. Ahirnya apa yang kamu inginkan ahirnya tercapai ... menjadi kekasihnya Pak Yuda.""Ya, Lin. Makasih, ya. Berkat kamu juga aku bisa melewati semua ini. Aku kuat karena kamu selalu nyemangatin. Dan selalu memberikan yang terba
Terdengar suara ponsel di atas nakas. Aku meraba untuk mengambilnya, dengan mata yang masih merasakan ngantuk.Ternyata itu dari temanku Linda."Hallo.""Ya Lin, Ada apa?"Aku berpikir sejenak ... kenapa Linda malam-malam begini menelponku? Aku mengucek mata. Terdengar suara cengengesan Linda karena telah berhasil menggangguku."Kamu sudah tidur?" tanya Linda."Ya, tapi kebangun karena kamu!" ucapku sedikit kesal sambil bangun dan menyandarkan punggungku dengan bantal."Jam segini udah tidur. Biasanya kan cinderella tidurnya malam 'kan?"Aku tertawa kecil mendengar perkataan Linda. Ahirnya ngantukku pun hilang seketika, dia berhasil menggodaku.Oh ya ... namaku Rizkia Ramadhani. Aku anak tunggal dari Dewi Kirana dan
Aku bahagia sekali malam ini. Ternyata Pak Yuda juga mencintaiku. Temanku harus tahu tentang semua ini, kucoba menelpon Linda."Hallo, Lin.""Ya ada apa, Kia?""Malam ini aku habis jalan sama Pak Yuda," kataku."Wah ... selamat ya, Kia. Terus, ceritain lagi dong!" ujar Linda penasaran."Ternyata Pak Yuda selama ini menaruh hati padaku, Lin. Aku bahagia sekali. Dia bertanya padaku. Apakah cinta yang dulu masih ada untuknya?""Aaah so sweet," ucap Linda di ujung telepon sana."Dan aku pun mengangguk. Dia tidak tau kalau cintaku padanya tak akan hilang ... walaupun aku sempat berhubungan dengan Arya, tapi sekarang aku lega karena sudah putus dengan Arya. Tidak ada lagi penghalang," kataku panjang lebar mengutarakan isi hatiku pada Linda."Sekali lagi selamat ya, Kia. Ahirnya apa yang kamu inginkan ahirnya tercapai ... menjadi kekasihnya Pak Yuda.""Ya, Lin. Makasih, ya. Berkat kamu juga aku bisa melewati semua ini. Aku kuat karena kamu selalu nyemangatin. Dan selalu memberikan yang terba
Dua minggu berlalu setelah putus dengan Arya. Aku semakin mencintai Pak Yuda, hubunganku dengannya semakin dekat karena Pak Yuda sering main ke rumahku menemui Om Aldi dua Minggu terahir ini. Namun, Pak Yuda belum mengungkapkan cintanya padaku.Aku yakin pak Yuda juga menyukaiku dan aku belum menembaknya lagi. Setidaknya dia sudah tahu perasaanku padanya. Rasa cinta ini semakin dalam dan semakin bertambah seiring waktu.Mamaku pun sudah mengetahui kalau aku mencintai pak Yuda. Awalnya Mamaku tidak menyuakainya, tapi setelah kujelaskan panjang lebar Mama ahirnya mengerti. Ia memberiku semangat untuk mendapatkan cinta Pak Yuda. Mama bilang jika itu membuatku bahagia maka ia akan mendukungku sepenuhnya.Hubungan Om Aldi dengan Syahira pun semakin serius. Dan malam ini rencananya kita mau keluar untuk dinner bersama. Pak Yuda manjemputku ke rumah bersama Syahira--ponakannya, ja
Seminggu berlalu, UTS pun berahir. Dan selama seminggu pula Pak Yuda tidak kelihatan ke sekolah, aku mengerti karena masih dalam masa berkabung.Aku pikir Omku tidak tahu dengan yang menimpa Pak Yuda saat itu, akan tetapi ternyata omku lah yang membantu saat kecelakaan terjadi yang menimpa tunangan Pak Yuda.Omku terbaik deh, benar-benar sahabat sejati. Support moril memang sangat dibutuhkan oleh Pak Yuda. Dan aku senang banget, kata omku pak Yuda sudah mengetahui kalau aku ini adalah keponakan Om Aldi, temannya.Aku jadi kepikiran Pak Yuda lagi. Andaikan aku bisa menghiburnya saat itu, pasti bahagia sekali.Hari ini adalah hari pertama libur setelah UTS. Di rumah aku hanya rebahan saja dan berdua bersama omku karena mama lagi keluar sama Bu Wati untuk membeli keperluan dapur.
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta