Mungkinkah Pak Yuda?
Apakah dia sudah mempunyai istri atau mungkin dia tunangannya? Hatiku sakit melihat mereka berduaan. Dada ini sesak memikirkannya.
Aku tidak mau berpikiran buruk. Kuharap ini hanya pikiran jelek saja. Aku mengalihkan perasaan yang tidak menentu ini dengan bertanya pada sahabatku.
"Lin, coba perhatikan meja Pak Yuda di sana?" Linda kaget melihat ke arah meja sana.
"Kia, di sana ada seorang cewek duduk dengan Pak Yuda, kayanya anak kuliahan deh," ucap Linda, mungkin karena melihat penampilannya.
"Ya, benar ... kenapa kita nggak tau yah kapan datangnya?" kataku sambil mengeryitkan dahi penuh keheranan.
"Iyalah ... karena kita sibuk menikmati makanan tadi," ujarnya lagi.
"Aku kok merasa sedih ya, Lin." Mataku berkaca-kaca. Aku memalingkan wajahku ke arah lain.
Bulir-bulir bening pun ahirnya membasahi pipi. Kuusap dengan kasar karena malu dilihat orang banyak. Aku nggak sanggup melihat mereka berdua.
"Kamu kok baper sih, jangan negative dulu," ujar Linda sambil memegang tanganku.
Aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku nggak mau menyaksikan mereka. Omku kenapa lama? Kenapa belum ke sini.
"Kia, kayanya mereka mau pergi ... lihatlah? Tapi wajah cewek itu tidak kelihatan." Linda memaksaku untuk melihat.
"Nggak," kataku sedikit kesal ke Linda.
"Ya, mereka keluar deh."
"Biarin!" kataku sambil melihat jam di tangan.
"Om masih di mana sih, lama banget."
Aku mengangkat tangan pada waiter untuk membayar semua yang kami makan tadi. Kemudian waiter itu menghampiri meja kami dan dia memberikan tagihannya.
"Kia, yang bayar aku karena yang ngajak aku kan." Linda mengambil dompet di tasnya.
"Ih nggak usah ... biar aku aja yang bayarnya."
Tiba-tiba pundakku ada yang menyentuh dan terdengar suara yang tak asing di telingaku, sepertinya aku kenal.
"Biar saya yang bayar." Suara itu begitu menyejukkan.
Aku melihat Linda yang senyum-senyum sendiri. Aku memainkan alis padanya. Aku menengok ke arah suara tadi, ternyata dia Omku. Aku pun senang bahagia.
"Om sudah di sini. Kok tau meja kita?"
"Ya lah karena kalian berdua paling berbeda di antara para pengunjung lain," uncapnya sambil tertawa terkekeh.
"Paling cantik, ya," Linda tertawa menutup mulutnya mendengar perkataanku.
Kemudian Omku mengambil dompet di sakunya dan membayar makanan yang kami makan tadi pada waiter. Kami bertiga pun pergi meninggalkan tempat ini.
Kami berdua mengekor di belakang Omku untuk menuju parkiran. Lalu kami sampai ke tempat parkiran dan masuk ke dalam mobil. Aku duduk di belakang bersama Linda, lalu mobil pun melaju.
"Om, kenapa lama tadi?"
"Om tadi ketemu teman pas mau masuk Restoran, terus ngobrol sebentar dan tukeran nomor Handphone," ucapnya.
Aku dan Linda saling beradu pandang. Kami saling mengeryitkan dahi dan menyimpan sejuta tanya. Mungkinkah teman Omku adalah Pak Yuda?
"Ada apa dengan kalian? Kok kelihatan kaget gitu," tanya Omku.
Kelihatannya Omku kaget dan kebingungan melihat ekspresi wajah kami.
"Temannya siapa namanya, Om?" tanyaku penasaran.
"Yuda Irawan. Dia tadi bersama adiknya."
Hah! Adiknya. Aku terkesiap kaget sambil beralih menatap Linda. Aku sudah salah sangka pada Pak Yuda, sampai aku baper dibuatnya, tapi aku bahagia mendengarnya. Jadi, Omku dan Pak Yuda, mereka temenan. Ada rasa bahagia di hati ini.
Aku dan Linda saling menatap lagi, lalu tak lama kemudian kami tertawa bersama.
"Kalian ini pada kenapa, sih?" Omku penasaran dengan ulah kami berdua.
"Nanti Kia cerita deh sama Om, janji."
Linda memegang tanganku. Aku pun mengerti ... dia mendukungku. Dia sahabat terbaikku. Aku semakin ingin mengutarakan semua perasaanku pada Pak Yuda secepatnya.
Ahirnya mobil pun berhenti di depan gerbang rumah Linda. Dia lalu turun dari mobil kemudian mengucapkan salam perpisahan. Aku pun pindah duduknya ke depan. Kemudian mobil pun melaju lagi. Dan ahirnya sampai pula di rumah.
***
Malam pun tiba. Aku menerawang ke langit kamar. Aku teringat lagi Pak Yuda dengan cewek berkerudung tadi yang ternyata adalah adiknya. Aku tersenyum sendiri mengingatnya sambil memeluk bantal guling kemudian ponsel di sampingku berdering.
"Hallo." Terdengar suara Linda di ujung sana.
"Lin, untung kamu nelpon ... ada yang mau diomongin."
"Apa? Tentang Pak Yuda, ya?"
Linda langsung mengerti apa yang akan kubicarakan.
"Ya ... besok aku mau nembak dia di sekolah. Menurutmu bagaimana?"
Aku udah nggak kuat lagi memendam rasa ini terlalu lama lagi. Aku harus segera mengungkapkan perasaan ini pada Pak Yuda.
"Bagaimana, Lin?" Aku menungu pendapat Linda tentang semua ini.
"Kia, aku mendukung apapun keputusanmu. Menurutku ini yang terbaik, dari pada kamu tersiksa menahan rasa selamanya tanpa diungkapkan."
"Benar juga, makasih, Lin."
Obrolan di telepon pun berahir. Perkataan Linda membuatku mengerti dan menambah keyakinanku untuk segera mengutarakan isi hati ini pada Pak Yuda.
Aku menaruh kembali ponsel. Tiba-tiba benda itu berdering lagi. Kenapa Linda menelpon lagi? Kuambil ponsel itu dan ternyata dari Arya.
"Hallo."
"Ya."
"Kia, kamu belum tidur?"
"Tadinya sih mau tidur, tapi kamu nelpon. Ada apa, Ar?"
"Ngomongnya kok gitu." Arya kayanya tersinggung dengan ucapanku tadi.
"Canda, Ar," kataku menghiburnya. Terdengar suara ketawa Arya dari ujung telepon sana.
"Gimana?"
"Apanya?" kataku pura-pura nggak mengerti.
Aku tahu Arya ingin sebuah kepastian dariku. Aku nggak mungkin menyakiti perasaannya dengan bilang bahwa aku menyukai orang lain.
"Pura-pura lupa atau beneran nggak tau nih," ucapnya menggodaku.
"Ar ... banyak 'kan cewek yang lain ngejar kamu. Apa satu pun nggak ada yang membuatmu tertarik?" ujarku.
"Tapi aku sukanya sama kamu, Kia." Lagi-lagi kata itu yang kudengar dari Arya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Haruskah kukatakan pada Arya bahwa aku mencintai Pak Yuda seorang. Rasanya egois sekali.
"Kia, kamu masih di sana?" Suara Arya membuyarkan lamunanku.
"Ya, udah ya, aku ngantuk," kataku memberi alasan, padahal sebenarnya aku bingung.
"Oh ya udah ... mimpiin aku di tidur indahmu, ya," ucap Arya. Sipat aslinya keluar. Gombal.
"Iih apaan."
Aku tersenyum dibuatnya sampai geleng-geleng kepala. Ahirnya obrolan pun berahir. Aku tidak ingin persahabatanku dengan Arya hancur gara-gara mencintai Pak Yuda. Kucoba pejamkan mata ini, tapi tak kunjung terlelap.
Hati dan pikiranku nggak sejalan. perasaan nggak enak. Menyesal aku tadi berhenti ngobrol dengan Arya. Aku ingin malam ini cepat berahir, agar besok aku segera mengungkapkan perasaan ini. Dan ahirnya ngantuk pun datang hingga membuatku terlelap.
***
Pagi pun tiba. Jam menunjukan pukul 6.30 Sehabis mandi kukeringkan rambut dengan hairdrayer, setelah itu bergegas bersiap-siap. Pasti terlambat lagi nih. Aku lalu turun ke bawah untuk sarapan.
"Eh, anak Mama udah cantik, sarapan dulu sayang ... Mama udah siapin di meja makan."
"Ya, ma. Om Aldi udah berangkat?' kataku sambil berjalan ke arah meja makan.
"Sudah. Katanya buru-buru."
"Lagi!" kataku kesal.
"Mama anterin, gimana? Mau?"
"Nggak, makanya Ma ... Kia bolehin pakai mobil sendiri."
"Belum saatnya sayang. Mama masih khawatir dan merasa takut. Mau dianterin Mama malah nggak mau."
Aku pun tersenyum mendengar Mama bicara seperti itu. Sarapan pun selesai. Aku pamitan sama Mama dan mencium takzim punggung tangannya. Mama menciumku lama sambil memeluk dan membelai rambutku.
Sepertinya aku akan terlambat ke sekolah hari ini .... Dan ahirnya sampai juga di sekolah dan benar saja aku kesiangan. Mana upacara pasti nunggunya lama. Aku berjalan ke arah kantin lalu duduk di kursi yang kosong tanpa melihat ke sekeliling, aku menunduk fokus berjalan lalu duduk.
.
Apakah salah bila aku menyukai guruku sendiri? Jangan tanyakan kenapa? Karena aku pun nggak tahu. Padahal aku nggak begitu menyukai pelajarannya, mungkin karena guruku itu ganteng. Dia juga wali kelasku.
Tubuhnya yang atletis, tinggi, putih, hidungnya mancung dan juga baik. Sempurna 'kan? Rasa ini sudah lama terpendam.
Pertama kali aku kenal dekat dengannya, saat kesiangan masuk sekolah pertengahan semester kelas XI. Pintu gerbang saat itu sudah ditutup. Kami mengobrol di kantin luar sekolah.
Aku mengembuskan napas kasar, lalu melirik ke samping ... betapa kagetnya aku. Pak Yuda ada di sini juga. Bersamaku. Jantungku berdegup kencang seakan mau copot. Aku harus kendalikan diri. Mungkin Tuhan memberiku jalan, ini saatnya untukku mengungkapkan semua perasaan yang ada di hati ini.
"Bapak kesiangan juga?" tanyaku. Pak Yuda hanya tersenyum. "Sama kalau gitu dengan saya," kataku lagi.
"Bapak cuma mau ngopi dan ngabisin rokok ini," ucapnya sambil tersenyum.
Aku pun membalas senyumnya. Aku pikir dia kesiangan juga.
"Hari ini pelajaran pertama di kelasmu adalah saya, benar 'kan?" tanyanya sambil menatapku.
Saat menatap wajah tampannya, hatiku berdebar sementara tangan kukepalkan menahan rasa gugup yang luar biasa ini. Kakiku lunglai ketika sudah berada sedekat ini dengannya.
"I-i-ya, Pak," jawabku dengan terbata.
Jantungku berdetak sangat cepat serasa mau keluar sampai-sampai aku melupakan keinginanku untuk menembaknya.
Setengah jam sudah berlalu, ahirnya gerbang itu dibuka kembali tanda upacara selesai.
"Saya duluan ya, Pak," ucapku. Dia mengangguk dan tersenyum. Aku berlari menuju kelas. Linda sudah berada tepat di pintu kelas.
"Kia, kamu tadi ke mana? Nggak ikut upacara?" tanya Linda penasaran.
"Aku tadi di liuar sama Pak Yuda," ucapku sambil tersenyum malu-malu.
"Oh pantesan, kamu udah nembak tadi?" tanya Linda.
"Belum ... aku tadi gugup sekali sampai lupa mau ungkapin perasaan ini."
"Oh kirain udah."
"Lin, Diam ya ... jangan keras bicaranya ntar ada yang dengar," ujarku sambil menyentuh bibir dengan satu telunjuk.
Aku tersenyum malu-malu, lalu aku pun duduk karena terlihat di kaca Pak Yuda sedang menuju ke kelas kami.
"Assalamualaikum. Pagi anak-anak," ucap Pak Yuda.
Kami semua pun menjawab salamnya. Kemudian Pak Yuda duduk dan mulai memberikan materi. Satu jam setengah sudah, ahirnya selesai pelajarannya dan bel berbunyi tanda pelajaran berganti.
"Kerjakan tugasnya, ya anak-anak." Kami semua pun menjawab 'Ya' bersamaan.
"Lin, tunggu sebentar, ya. Aku mau menembak sekarang," ucapku.
"Bagaimana kalau dia udah ...." ucapan Linda terhenti. Aku mengerti, mungkin masih ada keraguan di hatinya.
Lalu Pak Yuda pun keluar kelas. Kemudian aku mengikutinya dari belakang.
"Pak ... boleh bicara sebentar?" kataku. lalu Pak Yuda pun berhenti dan berbalik melihat ke arahku.
"Ya, ada apa, Kia?"
Jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir karena gugup menguasaiku. Keringat dingin membasahi tangan. Aku menghela napas perlahan.
"A-a-ku menyukai Bapak," kataku sambil menatapnya menunggu sebuah kepastian darinya.
Tiba-tiba terdengar suara nada dering lagu dari ponsel Pak Yuda
"Hallo."
"Ya hallo."
"Jangan lupa nanti jemput ke rumah Mama, ya sayang."
"Ya, sayang," ucap Pak Yuda mengahiri percakapannya di ujung telepon tadi.
Hatiku bergemuruh. Terasa sesak dada ini mendengar kata sayang yang ke luar dari mulut Pak Yuda.
Apakah dia udah punya istri?
"Maafkan Bapak, Kia. Saya sudah punya pasangan dan kami sebentar lagi akan segera menikah," ucap Pak Yuda tersenyum seraya menepuk bahuku. Seiring langkah beliau, tersimpan rasa nyeri di hati ini.Bagai tertusuk panah tajam yang menghujam jantung mendengar perkataanya itu. Tubuhku lunglai seperti tanpa tulang, kakiku lemas seakan tak berpijak, pertahananku runtuh.Kumenyandarkan tubuh ini ke dinding sebelum diri ini terjatuh. Kutangkup kedua tangan ke wajah dan kubiarkan telapakku ikut basah oleh lelehan air mata."Kia, kamu kenapa?" Terdengar lirih suara Linda bertanya dan dia sudah ada di hadapanku.Aku langsung memeluk dan menangis sesenggukan di pundak Linda, tanpa menghiraukan pertanyaannya."Sudah ... ayo kita masuk ke kelas. Sebentar lagi pelajaran dimulai."Linda memapahku menuju ke
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Seminggu berlalu, UTS pun berahir. Dan selama seminggu pula Pak Yuda tidak kelihatan ke sekolah, aku mengerti karena masih dalam masa berkabung.Aku pikir Omku tidak tahu dengan yang menimpa Pak Yuda saat itu, akan tetapi ternyata omku lah yang membantu saat kecelakaan terjadi yang menimpa tunangan Pak Yuda.Omku terbaik deh, benar-benar sahabat sejati. Support moril memang sangat dibutuhkan oleh Pak Yuda. Dan aku senang banget, kata omku pak Yuda sudah mengetahui kalau aku ini adalah keponakan Om Aldi, temannya.Aku jadi kepikiran Pak Yuda lagi. Andaikan aku bisa menghiburnya saat itu, pasti bahagia sekali.Hari ini adalah hari pertama libur setelah UTS. Di rumah aku hanya rebahan saja dan berdua bersama omku karena mama lagi keluar sama Bu Wati untuk membeli keperluan dapur.
Aku bahagia sekali malam ini. Ternyata Pak Yuda juga mencintaiku. Temanku harus tahu tentang semua ini, kucoba menelpon Linda."Hallo, Lin.""Ya ada apa, Kia?""Malam ini aku habis jalan sama Pak Yuda," kataku."Wah ... selamat ya, Kia. Terus, ceritain lagi dong!" ujar Linda penasaran."Ternyata Pak Yuda selama ini menaruh hati padaku, Lin. Aku bahagia sekali. Dia bertanya padaku. Apakah cinta yang dulu masih ada untuknya?""Aaah so sweet," ucap Linda di ujung telepon sana."Dan aku pun mengangguk. Dia tidak tau kalau cintaku padanya tak akan hilang ... walaupun aku sempat berhubungan dengan Arya, tapi sekarang aku lega karena sudah putus dengan Arya. Tidak ada lagi penghalang," kataku panjang lebar mengutarakan isi hatiku pada Linda."Sekali lagi selamat ya, Kia. Ahirnya apa yang kamu inginkan ahirnya tercapai ... menjadi kekasihnya Pak Yuda.""Ya, Lin. Makasih, ya. Berkat kamu juga aku bisa melewati semua ini. Aku kuat karena kamu selalu nyemangatin. Dan selalu memberikan yang terba
Dua minggu berlalu setelah putus dengan Arya. Aku semakin mencintai Pak Yuda, hubunganku dengannya semakin dekat karena Pak Yuda sering main ke rumahku menemui Om Aldi dua Minggu terahir ini. Namun, Pak Yuda belum mengungkapkan cintanya padaku.Aku yakin pak Yuda juga menyukaiku dan aku belum menembaknya lagi. Setidaknya dia sudah tahu perasaanku padanya. Rasa cinta ini semakin dalam dan semakin bertambah seiring waktu.Mamaku pun sudah mengetahui kalau aku mencintai pak Yuda. Awalnya Mamaku tidak menyuakainya, tapi setelah kujelaskan panjang lebar Mama ahirnya mengerti. Ia memberiku semangat untuk mendapatkan cinta Pak Yuda. Mama bilang jika itu membuatku bahagia maka ia akan mendukungku sepenuhnya.Hubungan Om Aldi dengan Syahira pun semakin serius. Dan malam ini rencananya kita mau keluar untuk dinner bersama. Pak Yuda manjemputku ke rumah bersama Syahira--ponakannya, ja
Seminggu berlalu, UTS pun berahir. Dan selama seminggu pula Pak Yuda tidak kelihatan ke sekolah, aku mengerti karena masih dalam masa berkabung.Aku pikir Omku tidak tahu dengan yang menimpa Pak Yuda saat itu, akan tetapi ternyata omku lah yang membantu saat kecelakaan terjadi yang menimpa tunangan Pak Yuda.Omku terbaik deh, benar-benar sahabat sejati. Support moril memang sangat dibutuhkan oleh Pak Yuda. Dan aku senang banget, kata omku pak Yuda sudah mengetahui kalau aku ini adalah keponakan Om Aldi, temannya.Aku jadi kepikiran Pak Yuda lagi. Andaikan aku bisa menghiburnya saat itu, pasti bahagia sekali.Hari ini adalah hari pertama libur setelah UTS. Di rumah aku hanya rebahan saja dan berdua bersama omku karena mama lagi keluar sama Bu Wati untuk membeli keperluan dapur.
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta