"Hallo, Kia. Kamu masih di sana?" terdengar suara Linda di ujung telepon sana mengagetkan dan memutus lamunanku.
"Ya, Lin ... oh ya, aku nggak tau siapa yang dibonceng Gilang waktu itu. Mungkin dia adiknya atau sepupunya. Kita nggak tau kan," ucapku menjelaskan supaya Linda tidak berlarut dalam tanda tanya besar.
"Kia, mana mungkin itu adiknya, orang sama-sama pakai seragam SMA 'kan? kalau sepupunya bisa jadi ...," ucapnya terhenti.
''Udah aah jangan ngomongin Gilang terus, kebagusan tuh anak," kataku sambil ketawa lepas.
Terdengar dari ujung telepon sana suara Linda pun tampak bahagia. Berhasil aku membuatnya terkekeh.
"Hari ini jam berapa mau ke rumahku?"
"Nanti aku telepon lagi, ya, aku mau siap-siap," jawab Linda.
Ahirnya kami pun mengahiri obrolan lewat telepon karena sebentar lagi akan ketemu dan pasti obrolan tentang Gilang ini bakal berlanjut.
Aku bersiap-siap di depan cermin untuk pergi dengan Linda hari ini. Akan tetapi dia belum menghubungiku lagi sampai sekarang. Ahirnya beres juga, lalu aku keluar dari kamar
Tak lama kemudian ponselku berdering. Lalu aku mengambilnya dari dalam tas selempangku sambil berjalan serta menerima panggilan dari Linda.
"Ya, Lin, dah nyampe mana?" tanyaku sambil melihat ke bawah karena sedang berjalan menuruni tangga.
"Aku di depan rumahmu." Linda memberitahuku.
"Sini masuk aja."
Ahirnya aku menutup sambungan telepon tadi. Tak lama kemudian suara bel berbunyi. Pasti itu Linda. Aku membuka pintu dan benar saja itu sahabatku....
Kami berpelukan dan saling cipika cipiki.
"Ayo masuk, Lin."
Aku mencari Mama. Di mana dia.
"Ma, Kia pergi dulu," teriakku sambil celingak celinguk mencari Mama.
Lalu keluarlah Om Aldi dari kamarnya. Mungkin dia merasa bising dengan teriakanku yang membahana.
"Ada apa?" tanya Omku sambil matanya melirik ke arah Linda. Lalu menyambut kedatangan Linda dengan senyuman kemudian ia duduk di kursi.
"Mama mana, Om?" tanyaku.
Tak lama Mama muncul di atas dan menghampiri kami.
"Ada apa? Mama tadi habis berjemur di balkon atas."
"Kia, pergi dulu ya, Ma," kataku. Kemudian Linda mendekat dan menghampiri Mamaku lalu salim padanya.
"Hati-hati ya kalian berdua."
"Ya, tante, kami jalan dulu," ucap Linda.
Lalu kami pun keluar dari rumah, kemudian berjalan ke arah jalan raya. Dan menghentikan salah satu kendaraan umum yang lewat. Kemudian, kurang dari satu jam kami pun sampai di tempat tujuan kami.
Ramai sekali suasananya mungkin karena hari minggu. Jakarta jam segini sudah panas sekali. Kami masuk ke salah satu pusat perbelanjaan dan kami menikmati momen hari ini.
"Kia, pakaian ini lucu, ya? Lihat deh," ucap Linda sambil sibuk melihat dan memilih dress itu.
"Coba lihat ... jangan lah, ini terlalu terbuka di bagian dadanya," kataku.
Tiba-tiba aku melihat Gilang dari kejauhan dengan cewek lain. Tangannya diapit oleh cewek itu. Aku berusaha mengalihkan pandangan ke tempat lain supaya tak terlihat oleh Linda.
"Lin, di sebelah sana kayaknya bagus-bagus deh dressnya," ucapku.
Aku berjalan ke arah deretan dress yang tadi kutunjukan ke Linda. Kemudian dia mengekor di belakang. Aku berhasil mengalihkannya.
Aku tak ingin membuatnya sedih dengan melihat pemandangan yang tidak penting. Gilang, ternyata lelaki yang disukainya sudah punya pasangan.
"Kia, aku dah dapat ini ... bagus nggak?"
"Ya, Lin. Bagus ... udah itu aja," kataku sambil melirik ke tempat yang ada Gilang tadi. Akan tetapi mereka udah nggak ada di sana lagi.
Ketika kami berjalan ke arah kassa pembayaran. Tiba-tiba punggungku beradu dengan siku orang lain, lumayan keras dan membuatku bersuara karena kesakitan.
Ketika aku berbalik ke arah orang yang menyiku. Mataku terbelalak kaget, tangan kananku menutup mulut. Mereka ada di sini! Gilang dan cewek itu. Ahirnya Linda pun melihat semuanya.
"Kalian! Ternyata di sini juga," ucap Gilang sambil tersenyum ke arah kami dan cewek yang di sampingnya itu melepaskan gandengan tangan.
Linda tersenyum sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku mengerti Linda bersikap seperti itu karena sedang menyembunyikan kesedihannya.
"Ya ... kami tinggal dulu, ya," ucapku karena tidak ingin berlama-lama melihat pemandangan ini.
"Kia, bener kan? Dia bukan siswa di sekolah kita. Aku yakin mereka pacaran," ucapnya sedih sambil melihat ke atas supaya air matanya tak menetes.
Siapa yang tidak sedih, lelaki yang disukainya ternyata punya pasangan. Sekarang Linda hanya bisa mengubur perasaannya seperti kebanyakan wanita lain. Membiarkan bunga asmara terindahnya bersemi secara diam-diam.
"Kayanya Iya, Lin," ucapku sambil menggandengnya ke arah tempat pembayaran.
Setelah membayar semua belanjaan, kami lalu pergi lagi ke tempat lain. Kali ini mencari sesuatu yang bisa membuat perut kenyang. Lalu kami berlabuh di Restauran yang lumayan ramai.
Kami pun masuk dan mencari meja yang kosong. Pas lagi mencari meja kosong ternyata di sana ada Pak Yuda dan dia menyapa kami berdua.
"Kalian di sini?" ucapnya tersenyum.
Jantungku berdebar sangat cepat seakan mau keluar dari tempatnya, darahku bedesir. Linda lalu melirikku kemudian tersenyum. Dia tahu bahwa aku menyukai Pak Yuda.
"Aku gugup gimana ini. Tenang Kia, atur napas, jangan malu-maluin," batinku.
"Eh Pak Yuda ... ternyata Bapak ada di sini juga," ucap Linda sambil nyengir kuda.
"Kalian mau gabung di sini?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sekilas ke Linda dan dia pun mengerti.
"Nggak, Pak, makasih. Kami di sana aja. Tuh masih ada kursi yang kosong," kata Linda sambil menunjuk ke arah pojok kursi yang masih tersisa satu-satunya.
"Okay kalo gitu."
"Mari Pak," ucap Linda sambil menundukan kepala sedikit.
Pak Yuda membalasnya dengan senyuman. Lalu kami pun duduk di kursi dengan nyaman. Posisiku menghadap Pak Yuda. Biar leluasa memandangnya dari kejauhan. Tiba-tiba ponsel Linda berdering.
"Kia, Gilang menelponku. Ada apa, ya? Tadi kita lihat dia sama cewek 'kan?" ucap Linda sedikit keheranan.
Pikiranku kemana-mana. Aku terpana dengan ketampanan Pak Yuda hingga nggak berhenti menatapnya. Sekarang dia ada di sini. Aku sesekali melihat lagi ke arahnya, tepat di depan sana.
Wajahnya masih terlihat jelas karena sejajar denganku. Aku menyukainya. Ya, aku mencintainya. Sudah lama rasa ini terpendam.
"Kia, kamu denger nggak sih ucapanku?" tanya Linda kesal dan membuyarkan semua lamunanku.
"Ya, Lin, maaf ... ada apa?"
Linda memperlihatkan teleponnya padaku. Lalu aku pun terkesiap kaget karena nama yang terpampang di layar ponselnya tertera nama Gilang.
"Apa!"
Aku kaget karena Gilang tadi jalan dan gandengan dengan cewek lain. Sekarang dia menelpon sahabatku.
"Gimana?" tanya Linda mengeryitkan dahi karena bingung.
"Udah, angkat aja. Loudspeaker biar aku bisa dengar," kataku.
"Hallo." Terdengar suara Gilang dari ujung telepon sana.
"Ya, hallo. A-da apa?" Linda menjawab dengan terbata karena gugup.
"Maaf yah ... tadi aku telah membuat perasaanmu nggak enak," ucap Gilang.
Aku pikir Gilang sepertinya ada rasa ama Linda. Sepertinya, dia memberikan harapan palsu pada sahabatku. Aku bingung dibuatnya.
Aku memberikan isyarat pada Linda supaya menanyakan cewek tadi pada Gilang.
Linda menghela napas pelan untuk menghilangkan sedikit rasa gugupnya.
"Emangnya ... cewek tadi itu siapa?" tanya Linda langsung ke pointnya.
Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengangkat dua jempol pada Linda.
"Dia temanku," ungkap Gilang dengan tenang.
Aku dan Linda saling bertatapan. Kami dibuat kaget dengan penuturan Gilang, tapi aku seneng melihat kembali senyum bahagia yang terpancar di wajah Linda yang dari kemarin hilang entah kemana.
"Oh gitu ya."
"Udah ya ... nanti malam aku telepon lagi. Aku hanya ingin mengatakan itu aja," ujar Gilang.
"Ya," ucap Linda seraya tersenyum padaku.
Kami pun berdua tertawa bahagia. Kemudian setelah itu memilih makanan yang ada di buku menu yang sedari tadi sudah ada di meja.
Aku mengangkat tanganku pada waiter, tidak lama setelah itu dia menghampiri meja kami. Lalu mencatat semua pesanan kami berdua.
"Okay ditunggu, ya," kata waiter itu sambil tersenyum.
"Waiternya ganteng juga, ya," ucap Linda diiringi senyum.
Aku pun membalasnya dengan senyum, tak menanggapi omongan Linda karena sedang fokus ke arah Pak Yuda.
Dia masih di sana sendirian. Ingin rasanya aku menghampiri tempat duduknya. Lalu mengutarakan semua isi hatiku.
"Lin, Pak Yuda sendirian terus ya dari tadi, tuh lihat," kataku sambil tersenyum menatapnya.
"Kamu mau ke sana, Kia?" Linda menatap tajam padaku.
"Nggaklah! Di sini banyak orang, rame sekali. Mana berani aku mengutarakan rasa cinta di depan umum. Walaupun aku sangat mencintainya," kataku sambil menunduk.
"Kirain, aku pikir kamu akan nembak Pak Yuda di sini," ujar Linda sambil tertawa.
Tak lama kemudian waiter datang menghampiri meja kami. Membawa makanan yang dipesan, lalu meletakannya di meja.
"Terima kasih." Serempak kami berdua mengatakannya pada waiter sambil tersenyum.
Kemudian kami pun menikmati makanan yang di pesan tadi.
"Enak ya makanannya," ucap Linda sambil mengunyah makanan di mulutnya.
"Ya pake banget."
Tak sampai 30 menit, ahirnya makanan yang dipesan pun habis tak tersisa. Jam menunjukan pukul 13.30 Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Aku membuka aplikasi warna hijau untuk menghubungi Om Aldi.
"Hallo, Om, bisa jemput Kia nggak?"
"Ya boleh, Om ke sana sekarang, ya."
Aku tersenyum bahagia karena Om Aldi mau menjemput aku dan Linda. Setelah itu aku melihat lagi ke arah Pak Yuda. Aku kaget dan tertegun.
Di sana terlihat Pak Yuda ditemani oleh seorang wanita yang memakai kerudung. Siapa dia? Duduknya membelakangiku.
Apakah Pak Yuda sengaja janjian dengan seseorang di sini?
Mungkinkah Pak Yuda?Apakah dia sudah mempunyai istri atau mungkin dia tunangannya? Hatiku sakit melihat mereka berduaan. Dada ini sesak memikirkannya.Aku tidak mau berpikiran buruk. Kuharap ini hanya pikiran jelek saja. Aku mengalihkan perasaan yang tidak menentu ini dengan bertanya pada sahabatku."Lin, coba perhatikan meja Pak Yuda di sana?" Linda kaget melihat ke arah meja sana."Kia, di sana ada seorang cewek duduk dengan Pak Yuda, kayanya anak kuliahan deh," ucap Linda, mungkin karena melihat penampilannya."Ya, benar ... kenapa kita nggak tau yah kapan datangnya?" kataku sambil mengeryitkan dahi penuh keheranan."Iyalah ... karena kita sibuk menikmati makanan tadi," ujarnya lagi."Aku kok merasa sedih ya, Lin." Mataku berkaca-kaca. Aku memalingkan wajahku ke ara
"Maafkan Bapak, Kia. Saya sudah punya pasangan dan kami sebentar lagi akan segera menikah," ucap Pak Yuda tersenyum seraya menepuk bahuku. Seiring langkah beliau, tersimpan rasa nyeri di hati ini.Bagai tertusuk panah tajam yang menghujam jantung mendengar perkataanya itu. Tubuhku lunglai seperti tanpa tulang, kakiku lemas seakan tak berpijak, pertahananku runtuh.Kumenyandarkan tubuh ini ke dinding sebelum diri ini terjatuh. Kutangkup kedua tangan ke wajah dan kubiarkan telapakku ikut basah oleh lelehan air mata."Kia, kamu kenapa?" Terdengar lirih suara Linda bertanya dan dia sudah ada di hadapanku.Aku langsung memeluk dan menangis sesenggukan di pundak Linda, tanpa menghiraukan pertanyaannya."Sudah ... ayo kita masuk ke kelas. Sebentar lagi pelajaran dimulai."Linda memapahku menuju ke
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Aku bahagia sekali malam ini. Ternyata Pak Yuda juga mencintaiku. Temanku harus tahu tentang semua ini, kucoba menelpon Linda."Hallo, Lin.""Ya ada apa, Kia?""Malam ini aku habis jalan sama Pak Yuda," kataku."Wah ... selamat ya, Kia. Terus, ceritain lagi dong!" ujar Linda penasaran."Ternyata Pak Yuda selama ini menaruh hati padaku, Lin. Aku bahagia sekali. Dia bertanya padaku. Apakah cinta yang dulu masih ada untuknya?""Aaah so sweet," ucap Linda di ujung telepon sana."Dan aku pun mengangguk. Dia tidak tau kalau cintaku padanya tak akan hilang ... walaupun aku sempat berhubungan dengan Arya, tapi sekarang aku lega karena sudah putus dengan Arya. Tidak ada lagi penghalang," kataku panjang lebar mengutarakan isi hatiku pada Linda."Sekali lagi selamat ya, Kia. Ahirnya apa yang kamu inginkan ahirnya tercapai ... menjadi kekasihnya Pak Yuda.""Ya, Lin. Makasih, ya. Berkat kamu juga aku bisa melewati semua ini. Aku kuat karena kamu selalu nyemangatin. Dan selalu memberikan yang terba
Dua minggu berlalu setelah putus dengan Arya. Aku semakin mencintai Pak Yuda, hubunganku dengannya semakin dekat karena Pak Yuda sering main ke rumahku menemui Om Aldi dua Minggu terahir ini. Namun, Pak Yuda belum mengungkapkan cintanya padaku.Aku yakin pak Yuda juga menyukaiku dan aku belum menembaknya lagi. Setidaknya dia sudah tahu perasaanku padanya. Rasa cinta ini semakin dalam dan semakin bertambah seiring waktu.Mamaku pun sudah mengetahui kalau aku mencintai pak Yuda. Awalnya Mamaku tidak menyuakainya, tapi setelah kujelaskan panjang lebar Mama ahirnya mengerti. Ia memberiku semangat untuk mendapatkan cinta Pak Yuda. Mama bilang jika itu membuatku bahagia maka ia akan mendukungku sepenuhnya.Hubungan Om Aldi dengan Syahira pun semakin serius. Dan malam ini rencananya kita mau keluar untuk dinner bersama. Pak Yuda manjemputku ke rumah bersama Syahira--ponakannya, ja
Seminggu berlalu, UTS pun berahir. Dan selama seminggu pula Pak Yuda tidak kelihatan ke sekolah, aku mengerti karena masih dalam masa berkabung.Aku pikir Omku tidak tahu dengan yang menimpa Pak Yuda saat itu, akan tetapi ternyata omku lah yang membantu saat kecelakaan terjadi yang menimpa tunangan Pak Yuda.Omku terbaik deh, benar-benar sahabat sejati. Support moril memang sangat dibutuhkan oleh Pak Yuda. Dan aku senang banget, kata omku pak Yuda sudah mengetahui kalau aku ini adalah keponakan Om Aldi, temannya.Aku jadi kepikiran Pak Yuda lagi. Andaikan aku bisa menghiburnya saat itu, pasti bahagia sekali.Hari ini adalah hari pertama libur setelah UTS. Di rumah aku hanya rebahan saja dan berdua bersama omku karena mama lagi keluar sama Bu Wati untuk membeli keperluan dapur.
Hatiku merasa tak enak, gelisah tak tenang. Apa yang terjadi sama Pak Yuda? Kuharap nggak terjadi apa-apa sama Pak Yuda.Aku menghela napas berat. Pikiran buruk pun melintas di kepalaku. Tenanglah, Kia. Suara hati kecilku berkata.Aku menepuk keningku sendiri dengan tangan. Jenny benar-benar mhuatku penasaran."Oh ya lupa, kamu kan rumahnya dekat sama Pak Yuda, ya?" tanyaku pada Jenny."Ya," ucap jenny cepat."Ayo cepat katakan, ada apa dengan wali kelas kita? Jangan bikin gue penasaran," ucap Linda sedikit agak kesal terhadap Jenny.Aku pun mengangguk cepat menyetujui apa yang Linda katakan. Tatapanku fokus terhadap Jenny, jantungku berdetak sangat cepat, darahku berdesir."Kata Ibu gue, tunangannya Pak Yuda kecelakaan."
Apakah aku harus jujur pada Om Aldi kalau aku sudah menerima Arya? Aku menganggukan kepala pelan. Ahirnya aku memberitahukannya, Om Aldi mengernyitkan dahinya terlihat bingung. "Hah!" Benarkan ucapanku, dia sedikit kaget. Dia berbalik menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. "Ya, aku menerima Arya sebagai pacarku." "Tapi kamu nggak mencintainya, 'kan?" tanya Om Aldi. "Om kan tau ... siapa orang yang Kia cintai." Pak Yuda, dialah yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Rasa ini akan terus ada meskipun tak berbalas. "Aku menerima Arya karena kasian Om, dia udah lama nembak terus, tapi aku selalu tak menanggapinya." Lagi aku menjelaskan. Oke aku n
Ternyata yang memanggil namaku adalah Om Aldi. Kupikir siapa, dia bersama cewek, siapa dia? Perasaan aku pernah liat tuh cewek. Oh iya, dia cewek berkerudung yang waktu itu bersama pak Yuda. Kemudian Om Aldi dan cewek itu menghampiri aku dan Arya. "Kia, kalian di sini?" "Ehh Om Aldi ... ya, Om," kataku. "Ngapain, Om juga di sini?" Aku melirik ke arah wanita itu seraya tersenyum padanya, dia pun membalas senyumku. Lalu ia beralih menatap Omku sambil mengernyitkan dahi. Om Aldi mengerti apa maksud dari wanita itu, lalu mengenalkannya pada kami. "Oh iya, ini temen Om. Syahira namanya." Aku tersenyum dan menyalaminya, lalu disusul oleh Arya. "Om tinggal dulu, ya. Mau cari tempat duduk yang kosong." Aku hanya menganggukkan kepala pelan sambil tersenyum. Ada s
"Hari ini dan seterusnya, kamu akan diantar jemput oleh Pak Udin. Dia udah ada di luar," kata Omku. Aku mengembuskan napas sedikit kesal. Kirain tentang Pak Yuda. Move on Kia, suara dalam hatiku. "Gimana, kok kayak nggak seneng gitu?" "Kia seneng kok. Makasih, ya Om," ucapku sambil tersenyum. "Ma, pulang sekolah nanti Pak Udin nggak usah jemput, ya," kataku. "Ya, tapi kenapa emangnya?" "Hari ini Kia bareng Arya ... dia ngajakin jalan dulu sepulang sekolah." "Ya udah, nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya." "Ya, Ma." Selesai juga kami bertiga sarapan. Aku pamit menyalami Mama. Dia mengantar kami sampai pintu. Om Aldi berangkat sendiri dengan mobilnya. Sedangkan aku dengan Pak Udin dan sekalian ke rumah Linda biar berangkat
"Linda, Arya! Kalian di sini?"Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu."Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran."Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku."Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang."Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah.""Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.
Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya? "Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk. "Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?" Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om." "Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?" "Dia pulang sama temen, Om," kataku. Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda. Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga. Menahan sesak yang sedari ta