"Hei ... kamu jangan kurang ajar ya?"
Kudorong kuat kepala lelaki yang bersandar dibahu ini. Risih rasanya tubuh ini terlalu mepet dengan lelaki yang duduk disebelahku. Bisa-bisanya dalam perjalanan, dia tidur begitu nyenyak. Jangan-jangan dia pura-pura tidur. Biasalah. Lagu lama.Tidak ingin mendapatkan pelecehan, aku meraih tas dan menutup bagian dada dan menyilangkan kedua tangan disana.Kesal juga sama petugas loket saat aku meminta sebangku dengan perempuan tetapi mereka tidak menggubrisnya.Begini jadinya, sebangku dengan lelaki berotak mesum. Pasti dia sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Mereka memandang rendah dan hina terhadap wanita. Seakan dia bukan lahir dari rahim seorang perempuan.Dia pikir perempuan itu murahan dan akan diam saja jika diperlakukan rendah seperti ini. Tidak. Wanita itu tidak boleh lemah, bila perlu musnahkan saja lelaki tidak berguna seperti ini. Biar tahu rasa."Maaf, saya mengantuk sekali!" ujarnya seraya menangkupkan kedua tangan di dadanya."Kalau mengantuk, tidurnya di rumah. Bukan di bahu saya!" Aku memutar bola mata malas melihat sandiwara lelaki berotak kotor tersebut."Maaf!" Lelaki itu berusaha menggeserkan tubuhnya."Tolong hargai wanita. Bagaimana jika ibu atau adik perempuan Anda diperlakukan seperti itu!" bentakku sehingga semua mata tertuju kearah ke arah kami."Maaf saya tidak sengaja, Mbak. Kan sudah saya bilang, saya gak sengaja!" ucapnya tersenyum sehingga menampakkan gigi putih berjejer rapi."Alasan!" gumamku dengan memelankan suara tapi aku yakin dia mendengarnya."Terserah kamu mau menuduh apa." Lelaki berhidung mancung itu terdiam seribu bahasa. Mungkin dia malu karena sudah berbuat hal memalukan. Memang pantas dia dipermalukan seperti tadi biar tidak ada lagi korban-korban berikutnya."Ngomong-ngomong mau kemana, Mbak!" tanyanya seraya memperbaiki duduk lebih tegak dan menjauh dari tubuh ini. Ternyata dia belum kapok juga. Tebal pula mukanya."Mau pulang," jawabku ketus."Pulang kemana?" Malah nanya lagi. Tidak tahu dia, lawan bicaranya sudah ingin menelan dia hidup-hidup."Ke rumah lah. Emang mau kemana lagi," jawabku jutek."Iyalah saya tau. Maksud saya, rumah Mbak dimana? Gak mungkin kan, kamu tinggal di goa?" tanyanya bagaikan sedang menginterogasi tersangka saja."Kalau saya tinggal di goa, kenapa? Masalah buat kamu?" hardikku geram."Kok galak amat sih! Jadi perempuan itu, gak boleh terlalu galak, Dek. Nanti suaminya tidak betah di rumah." Dih ... mau muntah rasanya dia memanggilku dengan sebutan dek. Sok akrab. Semenjak kapan aku menjadi adeknya. Sok kecakepan lagi. Eh ... tunggu tunggu tunggu. Emang cakep juga sih. Tapi aku tidak mau mengakuinya. Entar dia jadi besar kepala."Apa urusan kamu dengan suami saya?""Mbak, santai. Jangan marah-marah saja! Ntar kena darah tinggi. Kasihan masih muda!"Lelaki ganteng tersebut tersenyum begitu manisnya. Hah? Ganteng? Tidak tidak. Aku tidak boleh tergoda dengan lelaki berwajah tampan tapi berotak jorok itu. Biasanya mereka mencari mangsanya dengan bermodalkan wajah ganteng. Dan aku tidak boleh terkecoh sedikitpun."Oh jadi maksud Anda, wanita tidak boleh marah-marah, biarpun harga dirinya sudah diinjak-injak? Saya tanya, apakah Anda akan diam saja, jika adik Anda dilecehkan oleh lelaki hidung belang macam Anda?"Enak saja kalau berbicara. Jadi wanita diam saja jika ada lelaki yang melecehkan. Tidak untuk aku. Sebagai seorang wanita harus mempertahankan harga dirinya walaupun harus mengorbankan nyawa sekalipun."Bukan begitu maksud saya!" Aku tidak memedulikan lagi dia mau berkata apa.Jujur ... aku takut duduk berdekatan dengannya. Bisa jadi 'kan, lelaki itu salah satu komplotan perdagangan manusia yang sedang mencari mangsa.Mereka tidak pernah menghargai wanita. Seakan-akan wanita ini objek pelampiasan nafsu bejatnya."Saya bukan lelaki hidung belang! Nama saya Sidik," lelaki berjaket hitam itu mengulurkan tangan menyebutkan namanya. Namun tidak aku sambut."Markonah!" ucapku dengan berbohong seraya memalingkan wajah ke luar jendela. Coba seandainya mas Arkan mengantarkan aku tadi, mungkin aku tidak akan berjumpa dengan lelaki menyebalkan seperti saat ini."Hmmm ... nama yang bagus!" ucapnya seraya manggut-manggut kepala dan satu tangannya memegang dagu. Seperti profesor yang sedang berfikir keras. Namun, aku tidak tahu apa yang sedang dia fikirkan."Terima kasih," jawabku singkat."Sudah menikah?"Pertanyaan lelaki itu membuat aku tidak nyaman. Kenapa dia bertanya aku sudah menikah atau belum. Apa dia tidak bisa membedakan wanita sudah menikah atau masih gadis? Apakah aku nampak sudah sangat tua sehingga dia bertanya seperti itu?"Udah," jawabku berbohong lagi.Mungkin dengan mengatakan sudah menikah dia tidak akan terlalu ramah lagi seperti saat ini."Oh ..." jawabnya."Kenapa tidak diantar sama suami. Kalau saya punya istri kelak, tidak akan saya biarkan dia kemana-mana sendirian. Kasian. Apalagi malam-malam begini. Syukur-syukur bertemu orang baik seperti saya, coba kalau teman sebangku kamu lelaki berotak mesum. Pasti kamu sudah digeranyanginya,"Dih ... dia mengaku lelaki baik? Padahal barusan dia sengaja tidur dipundakku. Apa itu namanya lelaki baik-baik? Tidak sadar diri."Gak sempat. Lagi banyak kerjaan," jawabku ketus.Ternyata jawabanku tidak juga membuatnya diam. Lelaki yang bernama Sidik bercerita lagi. Tentang keluarganya dan masa depannya.Dia juga bercerita tentang kekasih yang telah mengkhianati disaat dia sedang melaksanakan pendidikan. Aku tidak tahu dia mengikuti pendidikan apa dan juga tidak mau tahu makanya tidak ada niat untuk menanyakan. Memangnya gue pikirin?Malam, semakin larut. Dalam bus ini rasanya cuma kami berdua saja yang masih terjaga.Hanya kami berdua yang masih bersuara, sementara yang lainnya sudah terlelap larut dalam mimpinya.Ciiit.Suara decitan rem mobil secara mendadak, membuat penumpang jadi berteriak histeris."Bang, hati-hati! Jangan ngebut! Ingat keselamatan penumpang! Kalau ngantuk istirahat saja dulu!" teriak lelaki disebelahku. Dia menegur pak supir yang ugal-ugalan mengemudi bus tanpa memikirkan kenyamanan penumpang."Kalau pelan-pelan, tidak akan sampai," jawab sopir membuat Sidik kesal."Sampai kemana, Bang. Rumah sakit apa kuburan." Lagi-lagi mereka berdua beradu argumen."Kalau kamu keberatan, turun saja. Satu orang penumpang berkurang tidak masalah bagi kami. Aku akan mengembalikan uangmu dua kali lipat," cicit supir itu dengan sombongnya."Kurang ajar dia." Tak berapa lama Sidik bangun dan menghampiri supir dan menghentikan laju bus tersebut."Bang, jangan dilayani. Dia sedang dalam pengaruh narkoba," ujar lelaki yang duduk disebelah supir tadi, menambah suasana semakin gaduh."Apa?" tanyanya dengan mata melotot."Gila ini supir. Gara-gara dia sendiri bisa hilang nyawa puluhan orang!" Maki Sidik lagi."Berhenti di Polsek," perintahnya."Kamu mau turun di polsek. Tidak ada kantor polsek dekat sini. Jauh!" bentak pak Sopir."Jauh moyangmu! Cepat berhenti!" perintahnya lagi."Bagaimana mengenderai bus umum sementara dia sendiri konsumsi narkoba. Apa tidak tau kalau berkendara itu membutuhkan pikiran yang sehat dan cerdas karena harus mengontrol keselamatan!" ujar Sidik dengan wajah memerah menahan amarah."Siapa yang mengkonsumsi narkoba. Jangan main tuduh saja kau!""Udah, aku bilang berhenti disini. Dan kamu ikut saya ke kantor polisi," perintah Sidik. Dia bergerak cepat memborgol kedua tangan pak supir. Entah dari mana lelaki berhidung mancung itu mendapatkan borgol tersebut."Eh apa-apaan ini," ujar supir bus berusaha melepaskan diri dari cengkeraman lelaki berambut cepak tersebut."Anda telah membahayakan keselamatan penumpang. Segera ikut saya!" Setelah bus berhenti, dia menarik tubuh pengemudi bus itu dengan kuat sehingga dia bangun dari bangku supir. Kemudian Sidik menarik kasar supir tadi hingga keluar dari dalam bus. Ternyata diluar sudah ada tiga orang pria berpakaian seragam coklat menunggunya."Cek urine," perintahnya pada tiga polisi tadi.Memangnya Sidik ini siapa? Berani-beraninya memerintahkan polisi tadi. Apa jangan-jangan dia polisi juga? Atau tentara? Tapi kalau dia polisi atau tentara, kenapa dia cerewet sekali ya? Biasanya mereka itu, sedikit berbicara tetapi banyak bertindak.Hati ini terus bertanya-tanya, siapa lelaki disebelahku ini sehingga begitu beraninya menyuruh polisi untuk memeriksa urine supir tadi? "Siap," ucap tiga polisi tersebut kompak.Setelah pria berhidung mancung itu menyerahkan pak supir kepada polisi, kami melanjutkan perjalanan. Nampaknya pengemudi sudah diganti oleh orang lain, mungkin supir cadangan.Tidak sampai dua jam akhirnya kami sampai ke terminal. Aku segera turun dari bus, sementara diluar masih gelap. Azan subuh belum juga berkumandang.Kulirik jam yang melingkar dipergelangan tangan ini. Masih jam empat pagi. Terlalu pagi untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Bisa mengancam keselamatan jika aku memaksa pulang.Kuputuskan istirahat dulu di warung kopi depan terminal. Sambil menunggu matahari bersinar."Kamu tidak di jemput?" tanya lelaki berambut cepak itu seraya menggeret kopernya keluar. Nampaknya lelaki ini bagai siluman. Biarpun dihindari tetap juga mendekat. Kayak nyamuk sedang mencari mangsa."Belum." jawabku
"Kenapa sih kamu gak minta jemput sama Arkan aja, May?" tanya Jenny sebal. Wajarlah dia sebal, biasanya jam segini masih molor dan menimbun ileran dibantal, sekarang malah minta tolong menjemput aku diterminal. Bagi seorang Jenny haram jika hari minggu bangun tidur pagi-pagi buta, apalagi menjemput aku yang tidak ada manfaat baginya. Ya lah tidak ada manfaat karena yang dijemput bukan cowok tampan."Mas Arkan lagi sibuk!" jawabku kesal."Dan kamu percaya saja?" tanyanya mengintimidasi membuat diri ini semakin ragu terhadap lelaki yang menjadi kekasihku selama lima tahun belakangan ini."Ya percayalah, masak aku gak percaya sama mas Arkan sih. Kami sudah jalan lima tahun loh. Bukan baru satu dua hari," jawabku."Justru sudah lima tahun pacaran yang patut dicurigai. Kamu tidak takut dia sudah bosan sama kamu? Coba kamu pikir-pikir dulu, May. Biasanya dia tidak pernah seperti ini, kan? Masak kamu tidak menyadari kalau Arkan sudah bosan sama kamu?" tanya Jenny seraya memelankan laju moto
"Markonah? Hahaha." Jenny tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar Sidik menyebut namaku."Masak sepupuku yang cantik begini diberi nama Markonah sih? Sedih aku tu!" Jenny masih saja terpingkal-pingkal menertawakan diri ini."Mungkin karena kamu itu nampak kampungan kali ya?" Jenny semakin kuat tertawa membuat Sidik keheranan."Maaf, apa ada yang salah?" Lelaki berambut cepak itu menatap heran kepada kami berdua."Nama sepupu saya bukan Markonah," jawab Jenny disambut tatapan intimidasi dari lelaki bermata hazel itu."Oh ya? Maaf saya gak tau. Jadi namanya bukan Markonah ya? Bodohnya saya bisa ditipu oleh wanita cantik," jawabnya dengan muka merah menahan malu. Tidak lama kemudian sarapan yang dia pesan sudah berada di mejanya. Nampak betul anak itu sangat kelaparan, dia memakan sangat lahap bagaikan setahun tidak melihat makanan. "Tidak jadi dijemput sama suami kamu, Markonah?" tanya Sidik membuat aku jadi serba salah. Nampaknya dia sengaja membuat aku malu di depan sepupuku. Kuras
"Kamu itu ada kurang kurangnya aku lihat!" Protesku pada Jenny setelah Sidik dan kawannya pergi meninggalkan kami berdua."Maksud kamu apa sih?" tanya Jenny dengan tatapan kurang bersahabat. Memang gadis penyuka warna pink ini tidak bisa dinasehati, dia merasa harganya dirinya jatuh kalau dinasehati sama yang lebih muda dari dia.Kurasa saraf di kepala anak ini memang rada konslet. Tidak sadar sudah berbuat kesalahan."Buat apa sih kamu jujur banget sama Sidik tadi? Baru kenal saja bagaikan sahabat lama. Apa kamu tidak takut memberikan alamat sementara kita baru kenal sama dia? Bagaimana kalau mereka itu penjahat atau komplotan perampok yang sedang mencari target? Jaman sekarang, mana ada manusia yang baik, Nong ... Nong. Bego mu jangan kau borong sendiri. Kamu bagi-bagi sana!" Kesal aku melihat sepupuku yang satu ini tidak ada pintar-pintarnya. Padahal di sekolah dulu dia selalu mendapat rangking satu. "Kamu itu terlalu banyak nonton film detektif makanya begini. Makanya kalau mau
"Apa, Bu? Lamaran? Siapa yang mau dilamar? Kak Jenny?" tanyaku seraya bangkit dari tidur.Nyawaku belum terkumpul sempurna, sudah dikagetkan dengan berita yang membuat jantungku melompat bagaikan mendengarkan dangdut koplo."Kamulah, mau siapa lagi? Mana mungkin Jenny! Kamu tau sendiri kan, calon dia sedang melanjutkan sekolahnya." jawab ibu sewot. Eh tunggu tunggu. Kenapa kak Jenny tidak pernah bercerita tentang calon suaminya yang sedang melaksanakan pendidikan? Kenapa ibu malah yang lebih tahu dibandingkan aku? Kesannya kak Jenny menutupi siapa calonnya dari aku. Apa jangan-jangan kak Jenny telah berselingkuh dengan mas Arkan? Tidak bisa dibiarin kalau begini."Siapa calon kak Jenny, Bu? Mayra kok gak pernah tau? Seakan-akan dia menutupi dari Mayra?" tanyaku penuh selidik. Siapa yang tidak curiga melihat gelagat mereka seakan ada yang disembunyikan."Adalah. Mau tau aja," jawaban ibu membuat aku semakin curiga."Atau jangan-jangan mas Arkan?" tanyaku blak-blakan. Untuk apa ditutup
"Gak mungkin. Ayah sangat kenal dengan calon suami kamu, Nak." Ayah masih juga membela calon menantu yang menurutnya lelaki baik."Kenal bukan berarti Ayah tau segalanya tentang dia, 'kan? Banyak lelaki baik, tau-tau berselingkuh dibelakang istrinya? Kalau sempat dia ninggalin Mayra bagaimana?" tanyaku penuh penekanan. Menikah itu bukan seperti memakai baju. Bisa gonta ganti sesuka hati. Dan diri ini berjanji dalam hati, menikah cukup sekali saja. Makanya tidak sembarangan dalam mengambil keputusan."Tenang saja! Kalau dia selingkuh, bilang sama ibu. Nanti ibu potong punya dia, kita iris-iris terus kita tauco, baru suapin ke mulutnya," Sadis sekali ibuku. Aku melihat mulut beliau mengeras seakan sedang mengiris anunya calon suamiku."Ibu ngomong apa sih? Kalau mengajarin anak itu yang benar. Jangan asal bicara," nasehat ayah. "Habisnya Ibu geram, Yah." jawab ibu seraya memilin bajunya dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang cacingan. "Parcaya sama Ayah. Calon suami kamu menantu p
"Ayah yakin dia itu yang akan menjadi calon suami Mayra?" tanyaku memastikan."Iya, ganteng kan?" timpal ibu tanpa memikirkan perasaan ayah. Memang apa kurangnya ayahku, beliau ganteng juga sih, walau sekarang perut beliau sedikit buncit. Namun, tidak mengurangi kegantengan lelaki lima puluh tiga tahun itu."Allahu Akbar!" teriakku histeris. Duniaku rasanya berhenti berputar saat mengetahui jika Sidik yang akan menjadi imamku seumur hidup."Kamu kenapa, Mey?" Ayah tiba-tiba memegang tubuh ini. Dikiranya aku akan jatuh pingsan padahal aku kaget saja karena lelaki yang sangat aku benci itu malah akan menjadi suamiku."Ayah batalin saja lamaran itu. Mayra gak mau menikah dengan dia!" Teriakku histeris lagi."Kenapa dengan nak Sidiq sayang? Dia lelaki baik dan juga taat beribadah!" tanya ayah penasaran."Lelaki baik ayah bilang? Dia itu lelaki berotak kotor yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan. Ayah tidak tau kan, kalau Mayra hampir saja dilecehkan dalam bus sama dia!" "Kamu sal
Hari ini aku diperintahkan oleh ibu dan ayah untuk mengurus SKCK ke kantor polisi berdua dengan Sidik. Pergi berdua saja dengan lelaki dua puluh tujuh tahun itu membuatku bergidik ngeri. Masih terbayang dalam ingatan saat dia pura-pura tidur dibahuku. Walaupun dia bilang itu semua karena tidak sengaja, tapi aku tetap tidak akan mempercayainya."Ayo!" Ajaknya setelah kami berpamitan pada ibu dan ayah. Dia berusaha menggandeng tangan ini tapi segera aku menepisnya. "Kamu duluan aja biar aku belakangan. Ada yang mau aku ambil didalam!" ucapku berbohong. Lelaki itu sangat patuh, apa yang aku perintah dia lakukan. Apakah dia tipe pria penyayang istri? Entahlah. Tapi lama-lama aku kasihan juga melihatnya.Tanpa menunggu lama, Sidik bergegas menuju motor yang diparkir diluar pagar rumah. Aku pura-pura masuk kedalam dan bergegas keluar lagi.'Kan tadi aku bilang sama Sidik ada yang mau kuambil didalam padahal malas aja bergandengan dengannya."Ayo naik. Nanti terlambat!" Pria berambut cepak
Kami sampai dirumah bercat hijau yang terlihat sederhana. Halaman tidak terlalu luas tetapi sangat asri dipandang mata. Tidak ada sedikitpun tanah yang kosong, semua diisi dengan tanaman sayuran hijau dan aneka bunga yang berwarna warni.'Rajin juga mas Sidik menanam sayuran dan juga bunga.' batinku."Ayo masuk," ujar mas Siddik sesaat setelah membuka pintu.Rumah sederhana itu nampaknya nyaman. Walau terkesan tidak mewah tetapi nampaknya aku betah tinggal disini. Semoga tetangga juga bisa menerimaku. Diatas pintu tertulis nama Serka Siddik Pamungkas, sepertinya setiap rumah diberikan nama sesuai dengan nama pemiliknya."Ayo masuk, kok bengong sih," "Iya." Aku ikut menggeret koper berisi baju dan tas berisi bekal makanan untuk beberapa hari kedepan yang diberikan ibu. Kata ibu beliau takut aku kerepotan memasak karena baru saja sampai. Lagipula tempat baru, masih bingung mau belanja dimana dan apa yang mau dimasak.Ibu sungguh pengertian sehingga untuk beberapa hari ke depan anaknya
"Cuma sentuh hidung aja udah dibilang genit," keluh mas Siddik seraya menarik kembali tangannya."Gak boleh juga. Belum halal!" ujarku dengan mata mendelik."Iya ya. Jangan judes begitu kenapa sih! Baru dipegang aja galak amat!" ujar mas Siddik seraya menyeruput es kelapanya dengan pandangan tetap menatapku, membuat aku salah tingkah."Bukan judes! Emang seharusnya begitu kan? Biasanya anak muda sekarang masih pacaran mesranya melebihi pasangan suami istri. Panggilan ayang ... bebeb. Tapi kalau sudah menikah apalagi sudah punya anak, istri salah sedikit saja sudah dimaki-maki, segala isi kebun binatang disebutnya!" protesku.Aku tidak mau mempunyai pasangan model begitu. Pasti menderita seumur hidup. Membina rumah tangga seharusnya tenang dan bahagia walaupun hanya makan nasi dengan garam."Mas berharap rumah tangga kita kelak jangan sampai seperti itu. Mas gak janji tapi akan Mas buktikan," janji mas Siddik.Kadang aku berfikir, lelaki seganteng mas Siddik kenap mau menikahi wanita s
"Mas, lamaran ini dibatalin aja," ujarku pada mas Siddiq sehari setelah keluarganya datang ke rumah untuk melamar."Kenapa dibatalin?" Mas Siddik menoleh menatapku. Rasanya jantung ini seakan berhenti berdetak melihat tatapannya menusuk kedalam relung hati."Batalin ajalah. Saya gak mau menikah dengan Mas." Aku tidak tahu alasan apalagi yang akan aku utarakan pada lelaki bermata coklat itu."Kenapa tiba-tiba berubah pikiran sih? Apa kamu sudah balikan sama Arkan?" Lagi-lagi dia membawa nama mantan pacarku. Arkan? Lelaki macam apa yang mau merusak masa depan pacarnya dan beruntung aku tidak sempat dihancuri olehnya."Mas jangan bawa-bawa nama dia. Lelaki itu sudah menikah. Saya gak akan mungkin mau menjalin hubungan dengan suami orang! Jelek-jelek begini saya masih punya harga diri," jelasku panjang lebar. "Jadi?" "Saya wanita tidak pantas untuk Mas. Cari saja wanita lain yang lebih pantas." jawabku berbohong. Jelas aku sakit hati saat dia mengatakan aku janjian menginap dihotel den
"Lebay! Tentara cengeng!" ejekku seraya memoyongkan bibir kearahnya. Segera aku mengambil helm yang diberikan mas Sidik. Tidak mau berlama-lama, nanti dikira aku minta dia yang pakein. Tau sendiri kan, bagaimana gede rasanya lelaki yang bakal jadi imamku itu."Tapi ganteng kan?" tanya Siddik penuh rasa percaya diri.Nah kan. Betul aku bilang, nih laki kepedean tingkat dewa."Kalau aku bilang kamu ganteng itu namanya fitnah, sersan Sidik! Dan kamu tau kan, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Termasuk dosa besar! Dan aku tidak mau masuk neraka hanya karena mengatakan kamu ganteng! Ibuku selalu bilang, jaga lidah dan ucapan!" selorohku dengan menatap mas Sidik tanpa dosa. Bukan tanpa dosa tepatnya. Tetapi wajah yang penuh gelimangan keringat eh."Baru kamu aja loh cewek yang mengatakan aku tidak ganteng! Makanya aku suka sama kamu! Kamu tidak silau pangkat dan jabatan apalagi silau dengan wajah tampan seperti aku!" Lagi-lagi mas Sidik memuji dirinya sendiri.Aku akui sih dia itu lela
"Sejak kapan kamu menjadi gend*k tentara itu, May?" Pertanyaan Arkan berhasil membuatku emosi. Enak saja dia mengatakan aku simpanan. Diri ini tidak serendah itu, gini-gini aku masih punya harga diri. "Jangan kurang ajar kamu sama calon istriku," bentak Siddiq. Terlihat dia mengepal kuat tangannya sehingga buku-buku jari nampak memutih. Belum pernah aku melihat abu ubaidahku marah seperti ini."Diam kau, aku tidak ngomong sama kamu ya!" Mas Arkan menunjuk mata abu ubaidahku dengan telunjuk kirinya. Spontan lelaki bermata coklat itu emosi tetapi dia berusaha menahannya."Kasian kamu, Dek. Baru beberapa bulan Mas tinggal pergi, malah jadi wanita panggilan. Jadi perempuan kok gak ada harga diri!" Mulut mas Arkan seakan tidak berhenti berkicau, tak kusangka lelaki yang pernah merajai hati ini mulutnya pedes bagaikan cabe set*n level 100. Hinaan demi hinaan terus saja dia luncurkan untukku. "Kamu siapa. Berani-beraninya menghina calon istriku, hah?" Lelaki berkaos putih itu mencengkera
"May, tunggu dulu," teriak mas Arkan sembari menarik pelan tangan ini saat kami berpapasan dimini market dekat taman kota."Maaf, jangan ganggu saya!" Aku menghentakkan tangannya sehingga terlepas dari genggamannya."May, ada yang mau aku bicarakan," ujar lelaki berkemeja navy itu dengan tatapan sendu.Tatapan itu yang aku rindukan selama ini, tapi sayang sudah menjadi milik orang. Mas Arkan telah mengkhianati tulus cintaku.Betul juga apa yang dikatakan ibu, sampai kiamat pun mas Arkan tidak akan melamarku. Dan ternyata ini jawabannya. Mas Arkan telah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya."Mau bicarakan apa lagi? Saya gak ada waktu!""Minta waktumu sebentar, May. Mas jelaskan semua!" "Apa yang mau Mas jelaskan? Bagi Mayra semua itu sudah jelas. Mas sudah menikah kan? Jangan ganggu Mayra lagi. Mayra tidak mau disebut sebagai pengganggu suami orang! Jelek-jelek begini, Mayra tidak menerima bekas orang!"Mendengar ucapanku seketika saja wajah mas Arkan berubah merah padam, mungkin
Hari ini aku diperintahkan oleh ibu dan ayah untuk mengurus SKCK ke kantor polisi berdua dengan Sidik. Pergi berdua saja dengan lelaki dua puluh tujuh tahun itu membuatku bergidik ngeri. Masih terbayang dalam ingatan saat dia pura-pura tidur dibahuku. Walaupun dia bilang itu semua karena tidak sengaja, tapi aku tetap tidak akan mempercayainya."Ayo!" Ajaknya setelah kami berpamitan pada ibu dan ayah. Dia berusaha menggandeng tangan ini tapi segera aku menepisnya. "Kamu duluan aja biar aku belakangan. Ada yang mau aku ambil didalam!" ucapku berbohong. Lelaki itu sangat patuh, apa yang aku perintah dia lakukan. Apakah dia tipe pria penyayang istri? Entahlah. Tapi lama-lama aku kasihan juga melihatnya.Tanpa menunggu lama, Sidik bergegas menuju motor yang diparkir diluar pagar rumah. Aku pura-pura masuk kedalam dan bergegas keluar lagi.'Kan tadi aku bilang sama Sidik ada yang mau kuambil didalam padahal malas aja bergandengan dengannya."Ayo naik. Nanti terlambat!" Pria berambut cepak
"Ayah yakin dia itu yang akan menjadi calon suami Mayra?" tanyaku memastikan."Iya, ganteng kan?" timpal ibu tanpa memikirkan perasaan ayah. Memang apa kurangnya ayahku, beliau ganteng juga sih, walau sekarang perut beliau sedikit buncit. Namun, tidak mengurangi kegantengan lelaki lima puluh tiga tahun itu."Allahu Akbar!" teriakku histeris. Duniaku rasanya berhenti berputar saat mengetahui jika Sidik yang akan menjadi imamku seumur hidup."Kamu kenapa, Mey?" Ayah tiba-tiba memegang tubuh ini. Dikiranya aku akan jatuh pingsan padahal aku kaget saja karena lelaki yang sangat aku benci itu malah akan menjadi suamiku."Ayah batalin saja lamaran itu. Mayra gak mau menikah dengan dia!" Teriakku histeris lagi."Kenapa dengan nak Sidiq sayang? Dia lelaki baik dan juga taat beribadah!" tanya ayah penasaran."Lelaki baik ayah bilang? Dia itu lelaki berotak kotor yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan. Ayah tidak tau kan, kalau Mayra hampir saja dilecehkan dalam bus sama dia!" "Kamu sal
"Gak mungkin. Ayah sangat kenal dengan calon suami kamu, Nak." Ayah masih juga membela calon menantu yang menurutnya lelaki baik."Kenal bukan berarti Ayah tau segalanya tentang dia, 'kan? Banyak lelaki baik, tau-tau berselingkuh dibelakang istrinya? Kalau sempat dia ninggalin Mayra bagaimana?" tanyaku penuh penekanan. Menikah itu bukan seperti memakai baju. Bisa gonta ganti sesuka hati. Dan diri ini berjanji dalam hati, menikah cukup sekali saja. Makanya tidak sembarangan dalam mengambil keputusan."Tenang saja! Kalau dia selingkuh, bilang sama ibu. Nanti ibu potong punya dia, kita iris-iris terus kita tauco, baru suapin ke mulutnya," Sadis sekali ibuku. Aku melihat mulut beliau mengeras seakan sedang mengiris anunya calon suamiku."Ibu ngomong apa sih? Kalau mengajarin anak itu yang benar. Jangan asal bicara," nasehat ayah. "Habisnya Ibu geram, Yah." jawab ibu seraya memilin bajunya dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang cacingan. "Parcaya sama Ayah. Calon suami kamu menantu p