Renita mengkhwatirkan kondisi ayahnya. Bagaimana dia harus menjelaskan ini semua? Ayahnya pasti akan syok akan kabar ini. Istri yang dipercaya telah mengkhianatinya dengan berselingkuh serta mengambil harta.
Dia tidak dapat membayangkan bagaimana nasib mereka ke depannya. Dia baru saja lulus kuliah dan belum bekerja. Selama ini Renita telah hidup mewah dengan harta ayahnya.Renita anak tunggal dari Tuan Arif dan Nyonya Maria. Ibu dari Renita telah meninggal dunia sejak Renita umur 15 tahun. Sekarang umur Renita sudah 22 tahun dan dia baru saja lulus kuliah.Hubungan asmara bersama Dion sudah terjalin sejak duduk di bangku sekolah. Ayahnya juga tidak menyetujui hubungan keduanya dikarenakan Dion tidak selevel dengan martabat keluarga.Namun, demi anaknya. Tuan Arif menyetujui hubungan mereka. Sekarang terbukti dengan kejadian ini, Tuan Arif telah dibohongi oleh dua orang yang ia cintai serta percaya.Renita ragu untuk mengetuk pintu kamar. Namun, ia harus memberitahu segalanya. Pintu diketuk, tetapi tidak sahutan. Renita masuk saja ke kamar ayahnya dan ia sangat kaget melihat Arif tergeletak di lantai kamar."Ayah! Bangun! Apa yang terjadi dengan Ayah?"Renita mengguncang tubuh ayahnya. Tuan Arif masih saja tidak bangun dari pingsan. Ia mengambil ponsel dari saku celana, lalu segera menelepon ambulans untuk datang ke rumah"Apa yang terjadi, Ayah? Kenapa bisa Ayah seperti ini?" Renita berucap lirih.Renita keluar kamar, ia tidak melihat siapa pun di dalam rumahnya. Padahal tadi pagi ada pelayan. Lalu ke mana mereka semua? Apa mereka pergi setelah tahu perbuatan Dewi? Entahlah. Renita memang baru saja pulang dari liburan bersama teman-temannya.Dia pulang terlebih dahulu karena menerima pesan dari salah seorang yang tidak dikenal. Seseorang itu mengirimkan sebuah foto kekasihnya tengah berkunjung ke sebuah hotel.Karena pesan itu, maka Renita pulang dan mempergoki kekasihnya telah berselingkuh dengan ibu tirinya. Renita juga merasa yakin jika ini semua adalah tipu muslihat dari ibu tirinya itu.Ambulans telah tiba di rumah Renita. Segera para tenaga medis, memasukan tubuh Tuan Arif ke mobil dan memberi pertolongan pertama.Renita terus menangis meratapi petaka yang telah melanda dirinya. Dia juga ikut mengantar dengan mengikuti mobil ambulans yang membawa ayahnya dengan kendaraan sendiri.Sesampainya di rumah sakit, Tuan Arif segera dilarikan ke ruang tindakan. Dokter dan suster berlari ke arah ruangan untuk segera memberi pertolongan.Renita sangat mencemaskan kondisi ayahnya. Hanya Arif yang dia punya sekarang dan ia tidak dapat membayangkan jika terjadi sesuatu kepada pria itu.Selama hampir satu jam, dokter keluar dari ruang tindakan. Renita segera menghampiri Dokter itu."Dok ... bagaimana keadaan Ayah saya?"Dokter itu melepas kacamatanya seraya menarik napas. "Kondisinya masih kritis. Kamu yang sabar dan berdoa agar masa kritisnya lewat."Renita menutup mulutnya lalu menggeleng tidak percaya. Baru satu hari ditinggal pergi, ayahnya sudah sekarat. Renita akan membalas semua perbuatan Dewi serta Dion.Ini semua pasti ulah dari mereka. Renita akan membuat perhitungan dengan keduanya. Dia masuk ke ruang khusus itu. Ditatapnya wajah pucat sang ayah.Renita meraih dan mengenggam tangan Tuan Arif. "Ayah ... maafkan Rere yang telah meninggalkan Ayah untuk liburan."Rere adalah panggilan Tuan Arif pada putri semata wayangnya. Renita menangis pilu melihat wajah tidak berdaya Arif. Ayah yang selama ini bersama dan menyayanginya.Diusapnya wajah serta puncak kepala sang ayah. Wajah tua ini tidak berdaya dan Rere terus saja meneteskan air mata, seolah air mata ini tidak pernah kering.Jari jemari Tuan Arif bergerak. Rere yang sadar akan hal itu menghapus air matanya dan langsung menekan tombol merah untuk memanggil dokter.Tuan Arif membuka mata perlahan. Wajah pertama kali yang dia lihat adalah putri semata wayangnya. Tuan Arif mulai berkata terbata-bata, "Re ... maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah. Seharusnya Ayah tidak menikah dengan wanita licik itu.""Shutt ...." Rere menutup bibir ayahnya dengan jari telunjuk."Ayah jangan banyak bicara dulu. Rere akan balas semua perbuatan mereka."Tuan Arif juga sudah tahu dengan semua perbuatan Istrinya. Dia sungguh sangat kaget akan hal itu hingga terkena serangan jantung.Wanita bermuka dua itu telah menipu dirinya mentah-mentah. Dewi istrinya membuat dirinya menandatangani surat perngalihan aset. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesal pun tidak ada gunanya lagi. Semua sudah terjadi."Nak ... kamu jaga diri kamu dengan baik. Lanjutkan hidupmu." Tuan Arif berkata lirih.Rere menggeleng dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. "No ... Yah. Ayah akan terus bersama Rere.""Ayah sudah tidak kuat lagi. Ayah minta maaf tidak bisa menemani kamu lagi."Tuan Arif tersengal-sengal dengan napasnya. Dengan satu tarikan napas panjang, Tuan Arif mengembuskan napas terakhir. Rere mengusap wajah ayahnya untuk yang terakhir kali.Rere terisak lalu memeluk tubuh sang ayah. "Ayah ...." Tangisan itu begitu lirih.Dokter datang untuk memeriksa kondisi Tuan arif. Dia dan suster juga merasa iba melihat keadaan Rere. Suara tangisan wanita ini begitu menyayat hati.Dokter itu mengusap pelan punggung belakang Rere. "Kamu yang tabah. Ikhlaskan semuanya agar ayahmu tenang di sana."Rere menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Terima kasih, Dok!"Dokter itu keluar meninggalkan Rere yang masih bersedih. Setelah kondisi cukup membaik, Rere segera mengurus semua administrasi dan tempat peristirahatan terakhir untuk ayahnya. Ya, hanya dia satu-satunya harapan terakhir.*****Rere duduk bersimpuh di samping makam ayahnya. Dia usap pusara Arif untuk terakhir kalinya. Tidak ada yang menemani dirinya untuk berbagi kesedihan.Ibu tirinya juga tidak hadir di pemakaman. Hanya orang terdekat kenalan ayahnya saja yang hadir. Beruntung saja masih ada orang yang mau membantu proses penguburan Arif."Ayah tenang saja, Rere akan membalas semua perbuatan mereka."Rere beranjak pergi dari pemakaman. Dia masuk ke dalam mobil, kemudian berlalu dari sana. Sesampainya di rumah, Rere melihat koper sudah berada di luar rumah.Ibu tirinya Dewi dan mantan kekasihnya Dion berdiri di depan pintu rumah."Pergi kamu dari sini!" usir Dewi. Wanita ini berkacak pinggang, sedangkan Dion menunduk saja. "Rumah ini sudah menjadi milikku. Kamu tidak berhak untuk masuk ke rumah ini."Rere menghunuskan tatapan tajam. "Aku akan keluar dari rumah ini. Nikmati saja harta yang kamu rampas ini. Tetapi ingat!" Rere mengacungkan jari telunjuknya ke hadapan Dewi."Aku akan membalaskan semua dendamku."Rere lalu membawa masuk koper-kopernya ke dalam mobil. Sebelum dia benar-benar pergi, Rere menatap mantan kekasihnya. "Dion ... aku menyesal telah pernah menjadi kekasih dari pria berengsek seperti kamu."Setelah mengatakan itu, Rere masuk ke mobil, menyalakan mesin, kemudian berlalu dari sana. Dion menatap nanar kepergian mantan kekasihnya. Ada rasa tidak rela saat Rere pergi meninggalkan dia.Hanya karena keegoisan serta sifat tamak dalam hati, menghancurkan kisah cintanya sendiri. Ini adalah pilihan Dion untuk bersama Dewi. Wanita yang lebih tua darinya lebih berharga dibanding pacar cantiknya.3 Bulan kemudianRere mulai merasakan pusing di kepalanya. Dia juga sudah seminggu ini mengalami mual-mual. Rere bangkit dari tidurnya. Dia bergegas menuju wastafel kamar mandi, lalu memuntahkan seluruh isi dalam perutnya. Hanya ada cairan bening yang dia muntahkan. Rere juga merasa pusing. Setelah itu, dia keluar dari kamar mandi. Rere mengambil ponsel yang terletak di atas meja lampu tidur. Dia mengirim pesan kepada teman kantornya kalau hari ini tidak dapat masuk kerja.Rere memang sudah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Sudah dua bulan dia bekerja di perusahaan itu. Dia harus segera pergi ke dokter. Jika dibiarkan, maka akan membuatnya kesulitan untuk bekerja. Rere masuk ke kamar mandi lagi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, dia mengambil pakaian ganti dan mulai bersiap. Dia tidak lagi sarapan. Entah mengapa akhir-akhir ini dia juga tidak bernapsu untuk makan.Rere masuk ke mobilnya dan melesat laju menuju rumah sakit. Sekitar 30 menit, dia tiba di sana. Depan
Bandara Kota J.Rere berjalan dengan menyeret koper besar di tangannya. Hari ini untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota J.Dia menghentikan taksi, lalu masuk ke dalam. Rere menyerahkan alamat rumah sewa yang ia dapatkan dari iklan di media sosial.Mobil taksi melaju menuju alamat yang ditunjukan Rere. Satu jam perjalanan untuk sampai di rumah sewa tersebut.Supir taksi keluar menurunkan koper penumpangnya. Rere turun dan memberi bayaran kepada supir taksi itu. Di depan rumah sudah menunggu bapak pemilik rumah sewa."Selamat siang, Pak!" Rere mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Saya Rere, yang kemarin menelepon untuk menyewa rumah ini.Bapak itu menyambut jabat tangan Rere. "Iya ... ini kuncinya. Rumahnya sudah dibersihkan. Tinggal masuk saja.""Makasih, Pak," ucap Rere seraya mengambil kunci rumah."Sama-sama, Nona. Kalau begitu saya permisi," ucapnya. Bapak pemilik rumah itu segera pergi. Rere membuka pintu dan segera masuk ke dalam. Akhirnya, di sinilah dia aka
5 Tahun kemudianRere ngos-ngosan karena berlari dari dalam mobilnya menuju pintu masuk kantor. Hari ini ia datang terlambat. Padahal hari ini adalah acara penyambutan CEO baru. Semua karyawan sudah pada berjejer di depan pintu masuk kantor. Rere segera ikut berdiri sejajar dengan para karyawan yang lain. Ia lega karena ceo baru itu belum datang. Rere menarik napas lalu mengembuskannya. Di sebelah dirinya, Tika tengah terkikik geli. "Habis ngapain kamu?"Rere melirik ke sampingnya. "Biasa ... Kenan lagi rewel tadi. Gak tahu deh kenapa, tiba-tiba saja pengen ikut."Tika satu-satunya sahabat Rere yang mengetahui kalau ia sudah memiliki seorang anak.Tika mengangguk. "Mungkin dia, pengen lihat ceo baru kita juga kali." Tika terkikik geli lagi.Rere menyenggol lengan Tika dengan sikunya. "Hust! Sudah, diam. Rombongan ceo datang, tuh."Mobil mewah berhenti tepat di depan pintu masuk perusahaan. Seorang pria keluar dari dalam mobil itu. Dengan langkah tegap dan didampingi oleh assisten pr
Jam makan siang tiba, Rere bergegas keluar dari gedung perkantoran. Dia harus menjemput anaknya, Kenan. Rere masuk ke dalam mobil, lalu menyalakan mesin, kemudian mengendarainya ke jalan raya.Sekitar 20 menit Rere sampai di sekolah taman kanak-kanak. Jam pulang sekolah Kenan memang sudah selesai satu jam yang lalu.Namun, Rere selalu menyuruh anaknya untuk menunggu di taman sekolah. Di sana juga ada satpam yang menemani Kenan. Babysister Kenan saat ini sedang cuti pulang kampung. Jadi, Rere lah yang harus menjemput anaknya sekolah. Jarak antara kantor dan sekolah Kenan cukup dekat.Rere keluar dari dalam mobil. Terlihat Kenan tengah bermain ayunan seorang diri. Segera saja ia menghampiri putranya. "My baby Kenan," teriak Rere.Rere berlari dengan merentangkan kedua belah tangannya. Kenan memutar mata malas melihat ibunya yang selalu menganggapnya anak kecil. Kenan memang anak kecil, tapi dia bersikap dewasa. "Mommy ... jangan panggil Ken, my baby!" Kenan sedikit kesal dengan Rere.
Aldo keluar dari kamar mandi setelah menuntaskan diri. Ia bisa tidak waras jika harus melihat Rere terus-terusan. Aldo kembali ke ruangannya, melihat Rere yang duduk di sofa sambil memejamkan mata. Aldo mendekat pada Rere, melambaikan satu tangannya ke kiri dan ke kanan. Rere tampak tertidur pulas. Keringat di wajahnya masih bercucuran."Apa dia tidur?" tanya Aldo pada dirinya sendiri.Aldo mengambil tisu lalu menyeka wajah Rere dengan pelan. Ia duduk di samping Rere sembari memperhatikan wajah wanita ini yang cantik. Kulit putih bening, hidung bangir, bulu mata lentik dengan bibir kemerahan.Aldo menelan ludah saat melihat bibir mungil tipis kemerahan itu. Ingin sekali ia mengecup bibir itu. Aldo mendekatkan wajahnya secara perlahan. Menempelkan bibirnya pada bibir Rere. Cepat-cepat ia menarik bibirnya, lalu bangkit dari duduknya kemudian beralih ke kursi kebesarannya. Aldo mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Astaga ... apa yang telah aku lakukan." Aldo geleng-geleng kepala atas
Kenan terlihat heran melihat ibunya yang tengah memegang bibir. Ia memperhatikan Rere yang geleng-geleng kepala lalu mengerutu sendiri. Kenan mengaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mommy kenapa?"Rere terlonjak kaget mendengar suara Kenan. Ia terbata-bata menjawab pertanyaan putranya. "M-mommy gak kenapa-kenapa!"Rere berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah makan?"Kenan mengangguk. "Sudah ... sekarang mau pergi tidur."Rere menghampiri putranya. "Kamu tidur yah! Ini sudah malam. Selamat malam, Sayang.""Selamat malam, Mom," ucap Kenan.Rere memberi kecupan di kening. Begitu juga Kenan, mengecup kedua pipi Rere, lalu masuk ke kamarnya sendiri. Rere tersenyum melihat putranya yang mandiri. Kenan tidak seperti anak kebanyakan. Putranya itu sudah terbiasa mengurus diri tanpa bantuan darinya. Rere masuk ke kamarnya. Ia membuka pakaian, mengambil handuk dalam lemari, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Dalam kamar mandi, ia teringat akan kecupan panas yang di la
Denting lift berbunyi, pintu telah terbuka. Aldo membantu Rere untuk bangkit berdiri. Ia memapah tubuh Rere masuk ke dalam ruangannya. Sekretaris Aldo dan juga assistennya memperhatikan itu semua. Mereka tidak berani menegur ataupun bertanya pada Aldo. Mereka hanya diam memperhatikan saja atasan membawa Rere masuk ke dalam ruangannya.Aldo mendudukkan tubuh Rere di atas sofa. Ia mengambil kotak obat di laci meja, lalu duduk di samping Rere. Terlihat Rere tengah mengelus bagian belakangnya. Kening Rere juga merah karena benturan dinding lift. Bagaimana tidak? Rere tengah bersiap untuk menyerang, lalu Aldo menyepak kakinya. Rere tersungkur ke depan membentur dinding lift lalu jatuh terduduk. Aldo membuka kotak obat. Ia mengambil gel untuk luka memar. "Maaf ... aku gak sengaja menyenggol kakimu," ucap Aldo yang dengan perlahan mengoleskan obat itu di kening Rere. Rere meringis. "Pelan-pelan sedikit mengolesnya.""Ini juga sudah pelan," jawab Aldo lalu meniup-niup kening Rere. "Ini
Pintu lift terbuka, Rere segera keluar dan menuju ruangannya. Di dalam perjalanan, karyawan lain berkasak-kusuk membicarakan dirinya. Mereka melihat saat Rere dibawa masuk ke dalam lift oleh Aldo.Rere terlihat heran karena teman-temannya terus memperhatikan ia lewat. Ia segera masuk ke ruang kantor, mengambil cermin kecil dan melihat wajahnya.Tidak ada hal apa pun yang mencurigakan. Semuanya baik-baik saja. Rere terlihat bingung jadinya. "Re ... kamu ada hubungan apa sama CEO Aldo?" tanya Rudi yang langsung menghampiri Rere saat wanita itu telah duduk di kursi mejanya."Tidak ada ... memangnya kenapa?" tanya Rere. "Kamu lagi banyak digosipkan sama karyawan lain. Mereka mengira kamu ada hubungan dengan beliau."Rere mengernyit. "Kenapa mereka bisa berpikiran seperti itu?"Rudi memutar mata malas. "Semuanya melihat saat kamu ditarik masuk ke lift oleh Pak Aldo."Rere terlonjak kaget mendengar penuturan Rudi. Dia baru teringat saat Aldo menariknya, memang ada banyak staf lain yang me