“MENJAUH DARIKU!” Elina mendorong tubuh Alvin dengan sekuat tenaganya. Alvin terkekeh lalu membenahi posisinya, berdiri masih dalam kondisi telanjang. Elina yang menyadari hal itu spontan kembali menutupi wajahnya dengan tangan.
“Baiklah kalau kau memang tidak mau tanggung jawab, biar aku yang tangani. Setidaknya malam ini kau sudah membuat malamku begitu indah. Terima kasih.” Alvin berjalan memunguti semua pakaiannya. Dengan tanpa malu, lelaki itu mengenakan semua pakaiannya di hadapan Elina yang masih mencoba menyembunyikan wajahnya. “Oh ya! Jika kau tidak ingat mengenai apa yang terjadi, semalam Jeremy memintaku mengantarkanmu pulang. Itu alasan kenapa aku bisa ada di sini, tapi seperti yang aku katakan. Apa yang terjadi setelah aku mengantarkanmu, itu salahmu!”
“Kau benar-benar berengsek! Kau yang sudah memanfaatkan ketidak sadaranku, dan kau malah menyalahkanku juga! Dasar tidak tahu malu.”
“Terserah! Yang jelas aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kalau kau sudah mengingat semuanya, kau berhutang permintaan maaf padaku!” Alvin menaikan resleting celananya lalu beranjak dari sana. Dia rasa, Elina memang menginginkannya segera pergi. Setelah apa yang terjadi semalam, Elina terlihat tidak nyaman berada di dekatnya.
Elina menoleh, melihat Alvin yang kini berjalan meninggalkan kamarnya. Perhatiannya kini tertuju pada benang yang masih terus mengganggu pandangannya sejak tadi. Benang takdir yang terikat di tangan Alvin terhubung dengan tangannya. Elina mengepalkan tangannya erat. Begitu Alvin meninggalkan kamar, dia bergegas bangkit dan menutup pintu kamar dengan rapat-rapat. “I-ini tidak mungkin! Pasti ada kesalahan. Ti-tidak mungkin aku ditakdirkan bersama dengannya…”
Tubuh Elina gemetar. Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipinya. Elina terduduk di lantai dengan keadaan bersandar pada pintu. Hatinya terasa bergemuruh saat dia harus menghadapi kenyataan bahwa takdirnya terhubung dengan Alvin. Ini yang membuat Elina terkadang bersyukur tidak bisa melihat benang takdir miliknya, karena Elina pikir dia belum tentu siap menerima segala kenyataan yang mungkin telah digariskan untuknya. Faktanya memang begitu. Setelah puluhan tahun dia tidak bisa melihat benang takdirnya, kini untuk pertama kalinya dia bisa melihat benang itu terikat di tangannya, dan dia benar-benar tidak percaya bahwa lelaki yang takdirnya terikat dengannya adalah seseorang seperti Alvin. “Ke-kenapa harus dia? Kenapa harus Alvin? Apakah hanya karena kejadian semalam, aku dan dia jadi ditakdirkan bersama?”
Brukk!
Suara keras yang berasal dari luar kamarnya membuat Elina terkejut. Tidak lama setelah mendengar suara sesuatu yang jatuh, Elina mendengar suara Alvin yang berteriak kesakitan. Hal itu membuat Elina penasaran dengan apa yang terjadi. Bergegas wanita itu bangkit dan meraih baju mandi untuk menutupi tubuh telanjangnya. Begitu benda itu terpasang pada tubuhnya, Elina segera melangkah keluar guna mengecek apa yang sedang terjadi. “Astaga, Alvin!”
Elina panik saat melihat Alvin yang kini terkapar di lantai, di bawah tangga. Kondisi lelaki itu tampak dalam keadaan kurang baik. “Argghhh…”
Alvin meringis kesakitan. Tubuhnya terasa sangat sulit untuk digerakkan, sampai kemudian Elina membantunya untuk bangkit. “Apa yang terjadi? Kenapa kau berbaring di lantai seperti ini?”
“Aku jatuh dari tangga!” ujar Alvin sambil mengerang memegangi pinggangnya yang terasa begitu sakit. Elina sampat kesulitan membangunkan lelaki itu karena tubuhnya terlalu besar dan berat. Setelah berhasil membantunya bangun, Elina membawa Alvin menuju sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya jatuh. Dia mendudukkan Alvin di sana, tapi Alvin kian meringis begitu mencoba untuk duduk. “Arghhh! Aku tidak bisa duduk dengan benar. Sakit sekali. Sepertinya tulangku patah.”
“Apa? Lagipula apa yang kau lakukan sampai bisa jatuh seperti ini?” Elina menatapnya kesal bercampur khawatir. Dia masih marah dengan Alvin, tapi cemas di saat yang bersamaan karena lelaki itu jatuh dari tangga di kediamannya.
“Ini semua kecelakaan. Memangnya kau pikir aku ingin jatuh seperti ini? Dan sepertinya aku menginjak sesuatu tadi. Tapi aku tidak yakin itu apa, argghh…”
Elina terdiam memandangi Alvin yang sepertinya tidak berbohong. Lelaki itu tampak kesakitan saat ini, dan itu membuat Elina semakin merasa cemas dengan kondisinya. “Tunggu di sini, akan aku telepon ambulans agar kau bisa segera di periksa dokter!”
Elina membaringkan tubuh Alvin di sofa dan bergegas lari menuju telepon rumahnya. Dia segera menghubungi nomor darurat lalu meminta ambulans untuk datang ke apartemennya. Setelah mendapatkan kepastian ambulans sedang menuju tempatnya, Elina diarahkan untuk membantu Alvin dan memastikan kondisinya dalam keadaan terpantau. Dia mendengarkan setiap arahan yang diberikan oleh petugas kesehatan dengan seksama lalu mempraktekkan setiap arahannya. Pertama-tama, Elina mencoba untuk tetap tenang, setelah itu, dia diminta untuk sebisa mungkin jangan sampai menyentuh bagian yang sakit, selanjutnya Elina diminta untuk mengambil bantal yang kemudian harus ditaruh di bagian kepala dan punggungnya, selain itu, dia juga diminta untuk menjaga Alvin dan mencegahnya dari hipotermia serta memastikan bahwa tanda-tanda vitalnya dalam keadaan stabil. Elina juga diminta untuk melakukan CPR jika diperlukan. Setelah melakukan semua yang diminta, Elina hanya harus menunggu bantuan datang.
Selama itu, Alvin terus meringis kesakitan, membuat Elina semakin cemas dan tidak bisa tenang. Tapi beruntung ambulans segera datang dan membawa Alvin menuju rumah sakit. Sebelum berpisah, Elina berkata bahwa dia akan menjenguknya di rumah sakit begitu dia selesai bersiap.
*
Elina menghela napas panjang. Karena benar-benar sudah terlambat untuk pergi ke kantor, akhirnya mau tidak mau dia izin untuk tidak masuk dengan dalih memiliki urusan mendesak.
Setelah Alvin di antarkan ke rumah sakit dengan ambulans, Elina segera mandi dan berpakaian. Entah kenapa Elina merasa dia belum bisa tenang kalau dia belum pergi ke rumah sakit dan memastikan kondisi Alvin baik-baik saja.
“Okay, setidaknya ini terlihat lebih baik. Orang-orang sekarang tidak akan bisa melihat semua bekas ciuman itu,” gumam Elina yang kini sudah bersiap. Gara-gara banyaknya bekas ciuman yang ditinggalkan Alvin di tubuhnya, membuat Elina harus mengenakan pakaian yang tertutup. Dia mengenakan baju turtleneck berwarna hitam dengan celana jeans hitam, lalu mengenakan mantel coat berwarna mocca yang menutupi pahanya. Setelah selesai, dia segera mengambil tas tangan, ponsel, dan kunci mobilnya lalu berangkat dengan menggunakan mobil menuju rumah sakit.
*
Perhatian Alvin seketika beralih ketika dia mendengar suara pintu ruang rawatnya dibuka. Di sana, dia melihat Elina yang baru saja datang untuk menjenguknya seperti yang dia katakan. Alvin sungguh merasa lega karena dia melihat Elina datang dan menepati perkataannya. Entah kenapa, dia merasa senang saat melihat wanita itu begitu mencemaskannya. Elina lalu berhenti di tepi ranjang yang Alvin tempati.
“Aku kira kau tidak akan datang.”
“Tidak mungkin aku membiarkanmu setelah kau terluka di apartemenku.”
“Apakah itu artinya kau sudah tidak marah padaku?”
“Aku peduli bukan berarti aku sudah memaafkanmu, Al! Aku masih sangat marah atas apa yang sudah aku lakukan. Hanya saja karena kau jatuh di apartemenku, aku jadi tidak memiliki pilihan lain selain memastikan kondisimu baik-baik saja.”
“Walau terdengar kurang enak di telingaku, tapi aku senang kau peduli padaku.”
“Terserah kau mau mengartikannya bagaimana. Oh! Bagaimana hasilnya? Apa kata dokter?” Elina mencoba mengalihkan pembicaraan. Elina tidak bisa mengabaikan hati nuraninya. Tidak mungkin dia membiarkan Alvin begitu saja tanpa mencemaskannya padahal dia tahu lelaki itu terluka di apartemennya.
“Aku belum tahu, dokter belum mengatakan apa-apa. Tapi aku sudah menjalani pemeriksaan secara menyeluruh, dan aku rasa kondisiku tidak baik, bahkan aku masih merasa sakit sampai sekarang. Mungkin lukanya cukup parah.”
Elina menghela napas panjang. Akan menjadi masalah besar kalau Alvin sampai terluka parah. Elina akan merasa bersalah karena lelaki itu terluka ditempatnya. Walaupun dia tahu, itu bukan kesalahannya. “Seharusnya kau tidak bicara seperti itu, memangnya kau ingin terus seperti ini?”
“Jika aku bisa mendapatkan perhatianmu, dan melihat kau mencemaskanku seperti ini, tidak apa-apa aku seperti ini juga.”
“Aku cemas hanya karena kau jatuh ditempatku. Tidak lebih dari itu, jangan menyalah artikan tindakanku, Al!”
“Aku tahu, kau seperti ini karena kau merasa bertanggung jawab karena aku jatuh di tempatmu, dan kau juga pasti merasa akan menjadi masalah besar kalau ada yang tahu aku terluka ditempatmu, kan?”
“Ya, ucapanmu tidak salah,” ujar Elina. Dia tidak bisa menghindar dari apa yang Alvin katakan, karena yang dia katakan itu benar.
“Itu artinya kau akan merawatku hingga aku sembuh sebagai bentuk tanggung jawabmu, kan?” Alvin menyeringai, menatap Elina lekat. Ekspresi wajah wanita itu langsung berubah ketika mendengar ucapannya barusan.
“Apa? Aku tidak pernah bicara seperti itu!”
“Tapi kau merasa bertanggung jawab, kan? Memangnya kau pikir mengantarkanmu pulang dan terjebak di apartemenmu hingga terjatuh seperti ini adalah kemauanku? Ini semua karena kau. Aku jadi seperti ini karena kau, jadi kau harus bertanggung jawab merawatku hingga aku sembuh, mengerti?” Alvin semakin melebarkan senyumannya. Tersenyum penuh kemenangan. Satu serangan yang dia lakukan berhasil membuat Elina kehabisan kata-kata. Wanita itu bahkan sampai tampak kebingungan untuk membalas kalimatnya.
“Dengar! Aku tidak pernah memintamu untuk mengantarkanku pulang, dan apa yang sekarang terjadi adalah kecelakaan! Lagi pula kau juga sudah berani menyentuhku. Anggap saja ini impas.”
“Impas? Bagaimana mungkin ini impas? Kau tidak rugi sedikitpun walaupun kau sudah tidur denganku, justru aku yang rugi di sini karena aku jadi terluka dan ini menghambat segala aktivitasku. Jadi sudah seharusnya kau bertanggung jawab!” Alvin tidak mau kalah. Dalam sekejap, mereka berdua terlibat dalam pertengkaran sengit. Alvin masih bersikeras ingin Elina bertanggung jawab merawatnya hingga sembuh, sementara Elina sama-sama keras kepala dengan menolak semua ucapannya. Elina merasa bahwa dia lebih dirugikan di sini. Pertengkaran mereka baru berakhir setelah dokter datang dengan membawa hasil pemeriksaan yang dilakukannya pada Alvin. Mereka langsung terdiam dan mengalihkan perhatian mereka pada si dokter.
“Selamat siang, saya dokter Smith!”
“Siang dokter, saya Elina,” ucap Elina sambil berjabat tangan dengan Smith yang baru saja datang dengan membawa berkas berisi hasil pemeriksaan Alvin.
“Oh, syukurlah anda di sini. Saya harus menyampaikan mengenai kondisi suami anda.”
“S-suami?” Elina tersentak mendengar ucapan Smith. Dia tidak menyangka Smith akan salah mengira mereka adalah suami-istri.
“Ya, anda adalah istri yang dimaksud pasien, kan?”
Elina mendelik ke arah Alvin. Pria itu hanya tersenyum padanya. seolah mengisyaratkan bahwa semua ini adalah rencananya. Elina hanya tidak habis pikir bagaimana bisa Alvin berbohong pada dokter dengan mengatakan kalau mereka sudah menikah. Berani sekali lelaki itu melakukan semua ini padanya. Sepertinya sejak tiba di rumah sakit dan selesai menjalani pemeriksaan, Alvin sudah menyusun rencana untuk membuatnya terjebak di sisinya. “Saya—“
“Karena anda sudah di sini, jadi biar langsung saya jelaskan mengenai kondisi suami anda saja, ya.” Dokter Smith langsung memutus kalimat Elina sebelum sempat dia selesai bicara. Smith mengalihkan perhatiannya pada berkas di tangannya, membuka lembaran hasil pemeriksaan yang baru saja keluar. “Pertama-tama, saya ingin memberitahukan bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan suami anda mengalami cedera yang serius pada bagian tulang ekornya akibat terjatuh dari tangga. Tulang ekor suami anda mengalami keretakan yang cukup besar.”
“A-apa?” Elina melongo. Dia tidak menyangka kalau ternyata Alvin akan benar-benar cedera parah akibat terjatuh di tangga apartemennya.
“Bagaimana prognosisnya, dok?” tanya Alvin yang mencoba tetap tenang walau dia sama kagetnya dengan Elina.
“Saya harus menyampaikan bahwa proses penyembuhannya akan memakan waktu yang cukup lama. Anda akan membutuhkan waktu sekitar enam hingga delapan minggu untuk pemulihan awal. Namun, untuk mencapai pemulihan penuh hingga anda bisa kembali beraktivitas normal, bisa memakan waktu yang lebih lama. Mungkin sekitar empat hingga enam bulan.”
“E-empat hingga enam bulan, dok?” Elina membelalakkan mata. Ini adalah hal yang sungguh tidak pernah diduga. Kalau butuh waktu selama itu untuk Alvin bisa pulih, maka selama itu juga Alvin tidak akan bisa beraktivitas dengan normal. Elina tidak mungkin bisa membiarkannya begitu saja setelah mendengar betapa parahnya kondisi Alvin sekarang ini.
“Iya. Dan selama masa pemulihan, anda sebagai istrinya diharapkan mampu membantu suami anda untuk mematuhi setiap panduan penting yang saya berikan. Tolong pastikan suami anda menghindari segala macam aktivitas berlebih yang membebani tulang ekornya, seperti mengangkat benda berat, atau duduk dalam posisi yang terlalu lama. Selain itu, tolong pastikan anda mendampingi suami anda untuk melakukan segala aktivitasnya. Jangan biarkan beliau beraktivitas sendiri. Nanti, saya akan berikan resep obat untuk menghilangkan rasa sakit guna membantu meredakan rasa tidak nyaman pada cederanya. Kami akan membantu untuk memantau kondisi suami anda, jadi begitu beliau keluar dari rumah sakit, tolong pastikan untuk tetap datang ke sini guna pengecekkan berkala. Setelah beberapa minggu, saya akan merujuk suami anda untuk melakukan fisioterapi guna membantu pemulihan beliau. Ini adalah untuk membantu memperkuat otot sekitar tulang ekor, dan mempercepat proses pemulihan.”
Elina hanya bisa terdiam mendengar setiap kalimat yang terlontar dari mulut dokter. Mendengar penjelasan, membuat Elina merasa bahwa Elina akan terjebak dengan Alvin untuk waktu yang cukup lama. Sepertinya tanggung jawab Elina memang lebih dari sekedar memanggilkan ambulans untuk mengantarkannya ke rumah sakit, dan memastikan keadaannya lalu membayar biaya rumah sakitnya saja. Semua itu lebih rumit dari yang dibayangkan.
Selain menjelaskan kondisinya dan apa yang harus dilakukan, dokter Smith juga menjelaskan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh Alvin selama dalam masa pemulihan, dia tidak boleh duduk di posisi yang sama dalam waktu yang lama, seperti bekerja di depan komputer atau menonton televisi dalam waktu yang lama. Alvin juga diminta untuk menghindari aktivitas beresiko tinggi, seperti olahraga kontak atau bersepeda.
“Baiklah, itu saja yang ingin saya sampaikan. Kalau begitu, saya permisi. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi saya. Semoga suami anda cepat pulih.” Dokter Smith tersenyum lantas pergi meninggalkan Elina dan Alvin berdua di dalam ruang rawatnya.
Elina memandangi benang yang terikat di tangannya. Sebenarnya, apa maksud takdir menempatkanku dalam posisi seperti ini dengan Alvin?
***
Elina sejak kecil memiliki kemampuan untuk melihat benang merah pengikat takdir milik semua orang yang dilihatnya. Elina tidak ingat bagaimana pertama kali kemampuannya itu muncul, namun yang jelas dia tidak pernah memiliki kehidupan yang normal seperti perempuan lain. Dengan kemampuannya itu, Elina selalu bisa melihat takdir seseorang. Menyaksikan bagaimana alur hubungan, dan menyaksikan bagaimana suatu kehidupan dimulai serta berakhir. Selama ini, tidak pernah ada yang tahu mengenai kemampuannya. Termasuk kedua orang tuanya sendiri. Itu karena tidak pernah ada yang percaya dengan apa yang Elina katakan saat dia membahas mengenai kemampuannya. Orang-orang selalu menganggap Elina berhalusinasi setiap kali dia mencoba mengatakan mengenai keistimewaannya, dan tidak jarang juga orang-orang menganggap Elina aneh karena selalu mengatakan dia bisa melihat benang takdir seseorang. Sejak saat itu, Elina memutuskan untuk tidak pernah membahas mengenai kemampuannya pada siapapun. Dia pikir mung
Tadi malam… “Pak, anda harus berhati-hati atau anda akan mati!” “Hey! Kau sudah gila? Kenapa kau bicara seperti itu padanya? Kau menyumpahinya mati?” kata Alvin dengan wajah kesal. Kali ini apa yang dikatakan wanita itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi oleh Alvin. Elina tidak lagi mengatakan hal yang tidak jelas, dia bahkan sampai mengatakan hal yang tidak seharusnya. Kalau aku terus membiarkannya ada di sini, pasti akan terjadi masalah. Elina pasti akan mengatakan hal yang lebih buruk dari ini. Lebih baik aku membawanya pulang sekarang, pikir Alvin yang segera mengangkat tubuh Elina dan membawanya pergi dari sana. “Dia akan mati…” “Diam! Berhentilah bicara seperti itu!” tukas Alvin yang segera membawa Elina menghampiri mobilnya yang terparkir di sana. Alvin lalu membaringkan tubuh Elina di dalam mobil sementara dia menghubungi Corwin, meminta lelaki itu untuk segera datang ke tempatnya berada. Begitu lelaki itu datang dengan menggunakan taksi, Alvin segera
Alvin terdiam sembari memandang jam yang ada di ruang rawatnya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Elina pamit untuk mengurus biaya administrasi. Sejak saat itu juga, wanita itu sama sekali tidak kembali untuk menemuinya, dan hal ini sungguh membuatnya merasa tidak tenang. Apakah jangan-jangan dia melarikan diri? Sial! Aku harus menghubunginya! Alvin mengambil ponselnya, berniat untuk menelepon Elina dan menanyakan keberadaan wanita itu. Dia ingin tahu alasan kenapa Elina tidak kembali setelah membayar biaya administrasi dan kepindahannya ke ruang rawat khusus. Jika benar wanita itu melarikan diri begitu saja, maka Alvin tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa membuat Elina kembali. Alvin jadi semakin tidak tenang, terlebih setelah dia sadar Elina sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya. Bahkan butuh waktu beberapa kali untuknya hingga Elina mau mengangkat panggilannya. “Kau dimana? Jangan bilang kalau kau mau mencoba kabur dari tanggung jawabmu?” kata Alvin begitu sambunga
“Apakah ada yang ingin kau katakan, sayang?” tanya wanita itu pada anak perempuan yang sejak tadi duduk berhadapan dengannya. Anak itu sejak awal sama sekali tidak bisa berhenti memperhatikannya. “Ternyata dokter juga memiliki benang di jari dokter.” “Benang?” Wanita itu mengerutkan kening, tak lama dia melirik pada perempuan berambut cokelat yang duduk di sampingnya. “Ini sering terjadi, dok. Sejak saat itu, dia jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia bilang kalau dia melihat benang di jari setiap orang yang dilihatnya,” jelas wanita yang menjadi ibunya. Wanita berjas dokter itu menganggukkan kepalanya menyimak kalimat si Ibu. “Jadi kau melihat benang pada jari dokter?” tanyanya lagi. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bisakah kau jelaskan lebih detail mengenai benang yang ada di jari dokter ini? Coba kau sebutkan ciri-ciri benangnya seperti apa.” “Benangnya pendek, warnanya ada dua, bagian bawah benangnya berwarna hitam, sedangkan bagian atasnya
“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara. “Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.” “Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?” “Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.” “Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.” “Pantas saja kau terlambat.” “Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum ma
“Na, ini dokter Sven. Selanjutnya, kita akan lebih sering bertemu dengannya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum sambil memperkenalkan lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan jas putih. Pria itu tersenyum sambil membungkuk, tangannya terulur mengusap puncak kepala anak perempuan yang sejak tadi menatapnya. “Hai manis, salam kenal,” sapanya. Tapi belum sempat tangan Sven menyentuh anak itu, dia tiba-tiba saja berteriak histeris sambil berjalan mundur hingga terjatuh di lantai. “Ti-tidak… jangan mendekat. Aku mohon… jangan mendekat… biarkan aku pergi… aku ingin keluar dari sini…” Anak itu berteriak kencang sambil menangis, membuat ibunya yang melihat itu seketika panik dan berusaha untuk menenangkannya. Wanita yang menjadi ibunya itu berjongkok di sampingnya. “A-aku mohon… jangan sakiti aku… aku ingin pulang…” “Na, hey! Sayang, tenanglah. Sayang, dengar, ini mama. Sadarlah. Ini dokter Sven, bukan ‘dia’. Kau tidak perlu takut, dokter Sven tidak akan menyakitimu. Dia aka
Elina membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah langit-langit kamar tempat Alvin dirawat. Elina terdiam untuk sesaat sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Tak lama, dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian mengecek jam yang muncul di sana. “Ternyata sudah pagi, padahal rasanya aku baru saja memejamkan kedua mataku.” Elina bangkit dan bersandar pada sofa. Lagi-lagi dia terdiam sambil menatap ke sekeliling kamar yang masih dalam keadaan gelap. Sejak semalam, hanya ada lampu tidur dengan cahaya remang-remang yang menerangi kamar mereka. Di tengah berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya, Elina tiba-tiba teringat akan mimpi yang baru saja dia alami. Aku jadi kepikiran tentang mimpi yang aku alami. Ini adalah pertama kalinya aku tidak bermimpi buruk tentang anak perempuan dan pria dewasa itu. Tidak, tunggu… mungkin ini yang kedua kalinya? Kalau diingat-ingat lagi, kemarin
“Ka-kau sudah bangun?” “Memangnya ucapanku kurang jelas? Aku sudah membuka mata, lihat? Atau kau berharap aku masih tidur? Kalau begitu, kau harus menemaniku tidur seperti malam itu.” Alvin tersenyum sambil mengeratkan pelukannya hingga membuat Elina semakin sesak akibat pelukan kuat dari tangan berototnya. Sementara itu, kedua matanya mulai terpejam. Elina yang sadar akan hal itu semakin panik, dia segera memberontak dan meminta Alvin untuk melepaskan tubuhnya. “Al, lepaskan aku. Aku tidak memintamu untuk tidur lagi.” “Aku tidak mau. Tidur sambil memelukmu begini lebih nyaman. Coba saja kalau semalam kau menuruti ucapanku untuk tidur bersamaku, aku kan bisa memelukmu, jadi aku bisa tidur lebih nyenyak,” gumam Alvin. Lelaki itu sengaja mengeratkan pelukannya agar Elina tidak bisa memberontak. “Kau benar-benar pria mesum. Lepaskan aku! Biarkan aku pergi.” Elina mulai kesal. Terlebih ketika dia mulai sadar bahwa jantungnya berdebar kencang. Sial. Dia benar-benar selalu mengambil kes
Dariel menghampiri mayat tersebut, dan setelah di cek, ternyata mayat lelaki yang mereka temukan benar-benar Jax yang selama ini di carinya. “Ini…” Tubuh Dariel langsung mambatu setelah melihat sosok lelaki yang ada di hadapannya. “Dari yang aku periksa, dia bukanlah korban dari kejahatan mister predator. Tidak ada simbol di tubuhnya. Biasanya kalau mister predator yang melakukannya, dia akan meninggalkan jejak di tubuh korban,” jelas Zane. Mister predator adalah salah satu penjahat yang kasusnya saat ini dipegang oleh Zane dan Taylor. Dia adalah sosok seorang pembunuh bayaran yang akhir-akhir ini membuat keresahan di Future City. Selain membunuh, mister predator juga dikenal sebagai seorang maniak seksual. Sejak tiga tahun terakhir, sudah ada ratusan mayat yang ditemukan, dan diidentifikasi sebagai korban dari mister predator. Kasus ini sudah berjalan tiga tahun lamanya. Namun baik Zane maupun anggota polisi lain sampai sekarang masih kesulitan untuk menemukan tersangka utamanya kar
Dariel terdiam sambil terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia masih tidak mengerti kenapa semua realitas di dunia nyata bisa tiba-tiba berubah dan tidak sama dengan yang tertulis di buku. Padahal, sebelumnya segala yang tertulis di buku sungguh menjadi nyata. Ini adalah pertama kalinya ramalan di buku itu berubah. Aku masih tidak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi lebih cepat. Kenapa Marcus tiba-tiba pindah lebih awal? Dariel terus memandangi buku catatan dalam genggamannya. Sekarang yang menjadi misteri bukan hanya kepindahan Marcus yang mendadak, tapi juga hilangnya Jax secara misterius. Dariel sekarang ini sibuk menyelidiki kedua hal itu. Sejak terakhir kali Dariel menanyakan mengenai Jax dan Marcus ke kantor E-Tech, pada awalnya yang membuat Dariel kebingungan hanyalah kepindahan Marcus yang lebih awal. Namun beberapa hari setelah itu, ada orang yang melaporkan bahwa Jax menghilang dan tidak pulang sama sekali sejak terakhir kali pergi ke kantor. Bukan hanya itu, le
Waktu berlalu, dan sudah beberapa hari Alvin dirawat di rumah sakit. Sejak lelaki itu di rawat, Elina terus datang dan pergi ke rumah sakit untuk membantu merawatnya. Saat ini, Elina terus berjalan menyusuri koridor menuju ruang rawat Alvin. Sesampainya di ruang rawat Alvin, Elina melihat pria itu sedang bersama dengan dokter. Elina yang menyadari hal itu lantas segera masuk. Dia ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan Alvin secara langsung dari dokter. Begitu dia masuk, fokus semua orang langsung tertuju padanya yang baru saja tiba. “Kebetulan sekali anda datang di saat yang tepat.” Dokter tersenyum ke arahnya begitu sadar Elina datang di saat yang tepat. “Ada apa, dok?” “Saya ingin memberi kabar bahwa suami anda sudah bisa keluar dari rumah sakit,” ujar dokter. Untuk sesaat Elina merasa tidak nyaman dengan panggilan dokter padanya yang masih mengira dia adalah istrinya Alvin. Namun mendengar bahwa Alvin sudah bisa keluar dari rumah sakit sudah cukup untuk mengubah moodnya. Elina be
“Kau tidak perlu tahu siapa orang yang sudah meminta kami untuk membantumu, yang jelas apakah kau ingin membalas dendam atau tidak?” tanya Erick. Marcus terdiam sambil merenungkan kalimatnya barusan. Entah kenapa, tapi dia merasa bahwa Erick dan Calvert memang berniat untuk membantunya. “Aku menerima tawaran kalian!” Marcus bisa melihat senyuman terbit di wajah Erick yang kini duduk di samping kemudi. Wajahnya terlihat dengan jelas karena Marcus bisa melihat refleksi wajahnya di kaca spion. Setelah mendengar ucapannya barusan. Perjalanan terus berlanjut tanpa kalimat apa-apa sampai kemudian mereka berhenti di sebuah bangunan tua kosong yang letaknya di pinggiran Future City. “Kau bisa menentukan hukuman yang pantas untuknya.” Erick menyodorkan sebuah amplop baru pada Marcus. Lelaki itu terdiam dengan wajah kebingungan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa maksud ucapannya barusan, dan Marcus juga tidak mengerti kenapa mereka menurunkannya di tempat seperti ini. Erick mengambil
“Marcus Waverly yang pindah?” tanya Dariel, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Elina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Apakah kau tahu kemana dia akan pindah?” Elina terdiam sejenak, mencoba untuk mengingat-ingat lagi. “Tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan orang-orang yang membantu mereka pindah. Katanya mereka akan pindah ke apartemen Baker’s Grove Apartments, di jalan 45 Riverside di Meadowside City.” Tubuh Dariel membatu seketika begitu mendengar ucapan dari Elina barusan. Dia sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa? Ini… berubah? Dariel mencoba untuk tetap tenang. Perhatiannya langsung kembali beralih pada Elina begitu wanita itu berpamitan untuk pergi karena dia sudah hampir terlambat untuk pergi ke kantor. Setelah berpisah dengan Elina, Dariel segera membuka buku catatannya, mengecek kembali alamat yang tertera di sana. ‘Baker’s Grove Apartments Jl. 45 Riverside, unit Apt 202 Meadowside City MD1AA 2AA Sciencetopia.
“Ini masih sangat pagi, dan kita harus patroli. Bukankah ini menyebalkan?” gerutu Greg pada lelaki yang kini duduk di samping kemudi. Dariel terlalu sibuk memperhatikan buku yang ada di dalam genggamannya. Membaca beberapa lembar catatan lain yang tertulis di sana. “Jangan menggerutu dan lebih baik kau fokus pada jalanan yang ada di depan. Kalau kau menabrak akan sangat berbahaya,” jawabnya sambil membuka lembaran lain bukunya. “Aku lapar, dan tadi aku belum sempat sarapan apa-apa. Bagaimana kalau kita mampir ke restoran atau minimarket dulu?” “Bagus, kalau begitu sekalian saja kita mampir ke minimarket di dekat jalan 915 Willow Lane. Kita sekalian mengintai Marcus.” “Okay! Kita berangkat!” Greg melajukan mobilnya menuju tempat yang dimaksud. Mereka pergi ke jalan 915 Willow Lane untuk mampir ke minimarket terdekat, sekaligus mengintai Marcus. Dariel harus tetap memastikan bagaimana kondisinya. Karena jujur saja sampai sekarang baik Dariel maupun polisi lain yang memiliki tugas yan
Barbara duduk di bangku yang ada di halte bus. Rasa lelah menggelayut di tubuhnya. Barbara sungguh merasa usahanya pergi keluar seperti ini sama sekali sia-sia, karena dia bahkan tidak bisa mencapai apa yang dia perjuangkan. Wanita itu merenung sambil memikirkan ucapan lelaki misterius yang sebelumnya dia temui. “Mungkin ucapan pria itu ada benarnya. Pada akhirnya aku tidak akan bisa mengubah apapun. Sepertinya aku memang harus fokus untuk menyelamatkan orang yang paling penting dalam hidupku.” Barbara menghela napas. Dia sungguh frustasi dengan apa yang dialaminya semalaman ini. Setelah merasa malam semakin larut, Barbara memutuskan untuk segera mencari taksi agar dia bisa pulang sebelum jam operasi taksinya berakhir. Beruntung dia menemukan satu taksi kosong, dan dengan segera, Barbara meminta si supir untuk mengantarkannya pulang. * Elina melangkah keluar dari apartemennya, dan mengunci pintu dengan benar sebelum akhirnya berangkat ke kantor. Tapi baru saja Elina hendak pergi me
“Kenapa kau menolongku?” “Saya hanya merasa anda membutuhkan bantuan. Maka dari itu saya membantu anda.” Barbara tersenyum simpul ke arahnya. Lelaki itu hanya diam sambil mencoba mencerna kalimatnya. Namun karena tidak ingin membuatnya terlalu memikirkan ucapannya, Barbara meminta Marcus untuk tidak memikirkan itu dan memintanya untuk fokus pulang ke rumahnya. Barbara akhirnya berpisah dengan Marcus, dan taksi yang ditumpangi lelaki itu perlahan beranjak meninggalkan Barbara yang kini terdiam seorang diri di tempatnya sambil menatap taksi yang terus bergerak menjauh itu. Sepeninggalan Marcus, Barbara kembali melanjutkan perjalanannya. * Marcus terdiam sembari memikirkan ucapan Barbara tadi. Dia masih terus saja kepikiran dengan kalimatnya, dan dia sungguh tidak menyangka Barbara akan mengatakan hal seperti itu. Sepanjang perjalanan, lelaki itu terus memikirkan kebaikan Barbara. Berkatnya, sekarang dia bisa pergi. Marcus tersadar dari lamunannya begitu dia menyadari taksi yang dit
Barbara melangkah keluar dari dalam taksi. Namun baru saja dia keluar, seorang pria mendadak muncul di hadapannya dan membuat Barbara terkejut. Barbara nyaris berteriak saking kagetnya. “Kau tidak akan bisa mengubah apa-apa, Barbara!” ujar pria itu dengan wajah serius. Barbara termangu di tempatnya begitu mendengar kalimatnya. Dia sungguh bingung dengan apa yang dia katakan, selain itu Barbara juga terkejut karena ternyata lelaki itu tahu namanya. “K-kau siapa? Bagaimana kau tahu namaku?” Alih-alih menjawab, lelaki itu malah mendekat lalu memegangi pundak Barbara. Begitu pundaknya dipegang, Barbara langsung meringis kesakitan. “Arghh…” Barbara memegangi kepalanya yang terasa begitu sakit, dan bersamaan dengan begitu, berbagai adegan tiba-tiba saja bermunculan di benaknya; membuat kepala Barbara terasa semakin sakit. Namun rasa sakitnya berhenti begitu lelaki itu menjauhkan tangannya dari Barbara. Barbara beradu tatap dengan lelaki di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia s