Tadi malam…
“Pak, anda harus berhati-hati atau anda akan mati!”
“Hey! Kau sudah gila? Kenapa kau bicara seperti itu padanya? Kau menyumpahinya mati?” kata Alvin dengan wajah kesal. Kali ini apa yang dikatakan wanita itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi oleh Alvin. Elina tidak lagi mengatakan hal yang tidak jelas, dia bahkan sampai mengatakan hal yang tidak seharusnya.
Kalau aku terus membiarkannya ada di sini, pasti akan terjadi masalah. Elina pasti akan mengatakan hal yang lebih buruk dari ini. Lebih baik aku membawanya pulang sekarang, pikir Alvin yang segera mengangkat tubuh Elina dan membawanya pergi dari sana.
“Dia akan mati…”
“Diam! Berhentilah bicara seperti itu!” tukas Alvin yang segera membawa Elina menghampiri mobilnya yang terparkir di sana. Alvin lalu membaringkan tubuh Elina di dalam mobil sementara dia menghubungi Corwin, meminta lelaki itu untuk segera datang ke tempatnya berada. Begitu lelaki itu datang dengan menggunakan taksi, Alvin segera memintanya untuk membawakan mobil Elina sementara dia membawa mobilnya sendiri dengan Elina di dalamnya. Mereka pergi dari sana menuju apartemen tempat tinggalnya yang terletak beberapa blok dari Jc Bar milik Jeremy.
*
Ucapan wanita mabuk yang tak sengaja ditemuinya di depan Jc Bar itu entah kenapa terus terngiang di benaknya. Nicolas jadi sama sekali tidak bisa fokus menyetir karena terus teringat ucapannya.
Mungkin karena beberapa hari terakhir aku nyaris mengalami kecelakaan, aku jadi bersikap paranoid hanya karena ucapan wanita itu. Sudahlah, berhenti memikirkannya. Itu hanya akan membuatku cemas tanpa alasan. Lebih baik aku fokus menyetir agar aku bisa segera sampai di rumah. Dengan begitu aku bisa segera beristirahat. Nicolas menggelengkan kepalanya. Dia mencoba untuk memfokuskan perhatiannya untuk menyetir.
Malam sudah semakin larut, dan dia sudah benar-benar lelah. Ingin segera pulang untuk beristirahat. Gara-gara sopir yang dipekerjakannya tidak masuk hari ini, Nicolas mau tidak mau harus menyetir sendiri. Padahal dia masih merasa takut untuk menyetir sendiri gara-gara insiden beberapa waktu yang lalu ketika dia nyaris mengalami kecelakaan bahkan lebih dari satu kali. Beruntung dia masih bisa selamat dari maut yang mengincarnya.
Perhatian Nicolas tiba-tiba saja beralih saat ponselnya yang mendadak berbunyi. Lelaki itu melirik pada benda yang tergeletak di dashboard mobilnya itu. Ada panggilan masuk dari seseorang. Nicolas yang melihat nama pemilik kontak itu terdaftar di buku telepon ponselnya lalu segera menyambungkan panggilan telepon itu dengan earphone Bluetooth miliknya. Tapi saat sedang sibuk menyambungkannya, secara mendadak cahaya yang begitu menyilaukan muncul di depannya hingga membuat konsentrasinya buyar.
Nicolas mendongak, tapi belum sempat dia sadar apa yang mengganggu pandangannya, secara tiba-tiba mobilnya menghantam kendaraan lain yang melintas berlawanan arah dengannya dalam kecepatan tinggi. Dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mengelak, dan akibat kejadian itu, mobilnya terseret hingga beberapa meter sebelum akhirnya dia tewas di tempat kejadian bersama pengendara mobil lain yang bertabrakan dengan mobilnya.
Kejadian itu segera diketahui oleh polisi ketika beberapa anggota kepolisian sedang melakukan patroli malam dan kebetulan melintas di sana. Malam itu juga mereka segera menghubungi pihak rumah sakit untuk melakukan evakuasi korban. Dan hanya dalam sekejap, para jurnalis dan pemburu berita berdatangan untuk meliput kejadian itu secara langsung untuk siaran mereka.
*
Karena jarak yang tidak terlalu jauh dari Jc Bar, Alvin bisa dengan cepat membawa Elina pulang. Tiba di apartemen, dia segera meminta Corwin pulang karena tugasnya membawa mobil Elina sudah selesai. Alvin meminta Corwin untuk menggunakan mobilnya karena malam semakin larut dan akan sulit untuk menemukan taksi lain yang beroperasi di tengah malam. Karena Corwin pikir besok dia juga akan datang dan menjemput Alvin, dia jadi tidak menolak saat bosnya memintanya untuk membawa mobil itu.
Alvin segera membawa Elina naik menggunakan elevator. Karena Elina tidak bisa berjalan dengan benar, Alvin dengan terpaksa harus menggendong wanita itu lagi. Dia menggendongnya di punggung, lalu membawanya ke lantai dimana mereka tinggal. Namun alih-alih diam, Elina malah meronta sambil berteriak meminta untuk diturunkan. Wanita yang dalam keadaan tidak sadarkan diri itu malah meracau dan menuduh Alvin menculiknya. Bahkan Elina melakukan perlawanan dengan menjambak rambut Alvin hingga membuat lelaki itu berteriak kesakitan.
“Arghh! Kau benar-benar jadi aneh saat kau sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri.” Alvin meringis sambil menurunkan Elina dari gendongannya. Dia mengusap rambutnya yang terasa sakit akibat dijambak oleh Elina dengan cukup keras.
Alvin menurunkan Elina. Dia melirik pada Elina yang sekarang berdiri dengan sempoyongan. Wanita itu tampak tidak bisa berdiri dengan benar akibat pengaruh alkohol. Bahkan sekarang dia bersandar pada dinding dengan kaki lemas hingga terlihat nyaris jatuh dalam waktu singkat.
“Berikan aku tanganmu! Kau menggunakan sidik jari sebagai akses masuk juga, kan?” Alvin menarik tangan Elina. Namun wanita itu sungguh tidak bisa diam sampai-sampai membuat Alvin kesulitan menempelkan jarinya di layar.
“JANGAN BERANI MENYENTUHKU!” teriak Elina sambil menatap Alvin dalam keadaan teler.
“Dengar! Aku hanya ingin membuka pintu. Karena aku tidak tahu sandi pintu apartemenmu, jadi aku mencoba menggunakan sidik jarimu. Dan lagi, kau menggunakan jari yang mana untuk mengakses pintunya agar terbuka?” Alvin akhirnya berhasil menempelkan jari Elina. Tapi jempol yang dia kira terdaftar sebagai akses masuk ternyata tidak terdeteksi, itu artinya Elina menggunakan jari lain untuk mengakses pintunya. Baru saja Alvin hendak mencoba menggunakan jari lain, Elina langsung menepis tangannya dengan kasar.
“AKU BILANG JANGAN MENYENTUHKU!” teriak Elina. Tubuh wanita itu tidak seimbang sampai nyaris terjatuh, tapi beruntung Alvin begitu cekatan dan berhasil menangkap tubuhnya sebelum tersungkur di lantai
“Kau sungguh menyusahkan dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti ini. Lain kali lebih baik jangan minum kalau kau tidak bisa menguasai dirimu sendiri!” ujar Alvin. Alih-alih mendengarkan, Elina justru malah diam sambil memandangi Alvin yang jarak wajahnya saat ini begitu dekat dengan wajahnya. Alvin dan Elina beradu pandang satu sama lain, untuk sesaat Alvin terkesima melihat kecantikan Elina. Terlebih dalam jarak yang sedekat ini, dia merasa bahwa Elina terlihat lebih cantik.
“Kau tampan…” Elina tersenyum dengan tangan yang tiba-tiba mengusap wajahnya. Alvin membelalakan mata, dia terkejut karena Elina tiba-tiba saja menyebutnya tampan sambil tersenyum seperti sekarang, dan apa yang Elina lakukan tanpa sadar membuat jantungnya berdebar.
Elina tanpa aba-aba menarik tengkuknya, berjinjit dengan kakinya, lalu mendaratkan bibirnya pada bibir Alvin. Mencium dan melumatnya hingga membuat Alvin syok dengan apa yang baru saja dia lakukan. Saat untuk pertama kalinya Alvin merasakan sentuhan lembut dari bibir Elina, dia merasakan jantungnya berdebar semakin hebat. Tapi tanpa sadar, dia melepaskan dekapannya pada Elina saking terkejutnya. Hal itu membuat Elina yang masih belum bisa menyeimbangkan diri spontan tersungkur jatuh di lantai.
“BERANI SEKALI KAU MENGAMBIL KESEMPATAN!” teriak Alvin tanpa sadar. Entah kenapa dia jadi membentak Elina padahal dia sendiri sangat menikmati apa yang baru saja Elina lakukan padanya.
“ARGHH! KENAPA KAU MENJATUHKANKU!” Elina meringis, dia menatap Alvin dengan wajah kesal.
“KAU SENDIRI YANG SALAH KARENA BERANI MENGAMBIL KESEMPATAN. SUDAHLAH BERHENTI BERTINGKAH ANEH DAN BERIKAN AKSES MASUK KE APARTEMENMU!” Alvin jadi sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Apa yang Elina lakukan tanpa sadar sudah membangunkan sisi liarnya yang sejak awal mencoba untuk Alvin tahan. Elina sungguh tidak peka, kalau dia melakukan sesuatu seperti itu sekali lagi, Alvin tidak jamin itu akan baik untuknya.
Karena tidak ingin menunggu lama, dan tidak mungkin membawa Elina ke apartemennya dalam kondisi dirinya yang sulit berpikir jernih juga, Alvin akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain mengeluarkan seluruh isi tas Elina dan menggunakan kartu akses manual yang dimilikinya. Beruntung apartemen mereka menggunakan tiga jenis akses sebagai perlindungan untuk setiap unitnya.
Alvin menggeledah isi tas Elina hingga akhirnya menemukan kartu yang dicarinya. Saat dia menggeledah isi tas Elina, wanita itu sempat kembali memberontak dan berteriak memintanya untuk tidak melakukan itu. Tapi apa yang dia lakukan tidak lantas menghentikan Alvin menemukan kartu tersebut.
Alvin segera membuka pintu dan menarik Elina, membawanya masuk agar dia bisa cepat pulang setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Jeremy. Tapi Elina lagi-lagi berteriak dan menuduhnya sebagai penculik karena membawa wanita itu masuk ke dalam sana. Elina bahkan menyerang Alvin menggunakan tasnya hingga membuat beberapa barang terlempar keluar dan berserakan di lantai dari pintu masuk hingga tiba di kamarnya.
“TURUNKAN AKU! DASAR PENCULIK!” teriak Elina yang terus memukul Alvin menggunakan tas yang isinya sudah kosong. Alvin membaringkan tubuh Elina begitu tiba di kamarnya. Menjatuhkan wanita itu di atas ranjang lalu merebut tasnya.
“Diam! Siapa yang menculik seseorang masuk ke apartemennya sendiri?! Dasar konyol!” Alvin akhirnya berhasil membuat Elina kelelahan. Setelah merebut tas dari tangannya dan membaringkan tubuh wanita itu, Alvin lalu membantunya melepaskan sepatu yang masih terpasang di kakinya.
Saat Alvin melepaskan sepatunya, Elina sudah mulai bisa tenang. Wanita itu sepertinya sudah sangat kelelahan, dan bahkan kini dia mulai tertidur tanpa banyak berteriak lagi.
Alvin menghela napas lega, akhirnya perjuangan panjangnya membawa Elina pulang selesai. Alvin kini hanya perlu memastikan wanita itu tertidur dengan nyaman. Dia menarik selimut hingga menutupi tubuh Elina.
Alvin terdiam saat dia melihat Elina yang begitu tenang setelah berteriak sampai lelah. Wanita itu tampak lebih cantik ketika dia dalam keadaan setenang ini. Untuk sesaat, Alvin kembali dibuat terpesona oleh kecantikannya. Entah kenapa, tapi Alvin merasa Elina memang wanita yang memiliki tempat istimewa di mata dan hatinya sejak awal.
Perhatiannya tiba-tiba beralih pada bibirnya. Jantung Alvin berdebar lebih kencang saat dia memperhatikan bibir Elina dari jarak yang sedekat ini. Bibir itu tadi baru saja mencium dan melumatnya dengan begitu bernafsu hingga membuat Alvin nyaris kehilangan kesadaran dan kontrol dirinya. Kalau diperhatikan, Elina memang memiliki bibir yang dia sukai, tidak! mungkin lebih dari itu. Elina memiliki setiap hal yang Alvin sukai dalam dirinya.
Kulit putih bersih yang begitu mulus, bibir mungil yang lembut dan tampak begitu menggoda, kelopak mata yang indah, rambut hitam panjang yang selalu tergerai dengan aroma harum yang khas, dan proporsi tubuh yang sempurna. Setiap inci tubuhnya membuat Alvin tergila-gila. Bahkan nyaris membuatnya beberapa kali tanpa sengaja membayangkan sosoknya ketika dia sedang bercinta dengan wanita lain.
Alvin tersadar. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Atmosfer disekitarnya mulai terasa tidak baik untuknya. Kalau memandangi Elina terlalu lama seperti ini, Alvin akan merasa lebih bergairah, dan mungkin bisa sampai membuatnya kehilangan kendali. Alvin tidak ingin itu terjadi, karena bagaimana pun, dia tidak ingin menyentuh wanita tanpa izin dari pemilik tubuhnya sendiri. Dia lelaki terhormat yang hanya akan menyentuh wanita tanpa memaksanya.
Lebih baik aku pergi sebelum aku kehilangan lebih banyak akal sehatku, pikir Alvin. Dia bangkit dan bersiap untuk pergi, tapi baru saja Alvin berbalik, Elina tiba-tiba terbangun. Wanita itu tanpa aba-aba langsung menarik pergelangan tangannya hingga membuat Alvin tertahan. “Kau pikir kau akan pergi kemana?”
Alvin menoleh pada Elina. Tadinya Alvin pikir Elina sudah benar-benar tertidur, tapi ternyata wanita itu masih membuka matanya, dan bahkan sekarang dia sedang memandangnya. Baru saja Alvin mencoba melepaskan cengkraman tangan Elina, wanita itu mendadak menariknya hingga Alvin terjatuh di atasnya.
Alvin terdiam dengan tangan bertumpu pada ranjang. Mencoba menahan dirinya agar tidak menabrak tubuh Elina, karena jujur saja, wajahnya sekarang berada tepat di depan wajah Elina. Hanya beberapa sentimeter lagi saja, maka bibir mereka bisa bersentuhan. “Kau pikir aku akan membiarkan pria tampan sepertimu pergi begitu saja? Karena kau sudah di sini, kenapa kita tidak bersenang-senang dulu?”
Elina menyeringai. Dia mengalungkan tangannya di leher Alvin yang dalam sekejap berhasil membuat akal sehat Alvin benar-benar hilang. Alvin mulai merasakan bahwa dirinya sudah tidak lagi bisa menahan diri. Dia sudah mencapai puncak kesabaran menahan setiap godaan Elina yang terlalu menggoda untuk diabaikan.
Elina menarik Alvin dan kembali menciumnya. Namun pergerakannya kali ini terasa lebih bergairah, dan berhasil membuat Alvin kehilangan kendali sampai-sampai tanpa sadar membalas setiap gerakan bibirnya guna mengimbangi ciumannya.
“Kau sudah membuat kesalahan besar dengan terus menggodaku seperti ini. Aku sudah tidak lagi bisa mengontrol diriku, dan karena kau sejak awal seolah memberikan izin, maka aku tidak akan merasa sungkan lagi.” Alvin menarik Elina, menciumnya penuh gairah. Lalu apa yang terjadi selanjutnya adalah mereka benar-benar melakukan percintaan panas dengan keduanya yang tampak saling menikmati apa yang mereka lakukan.
*
Saat ini…
Wajah Elina berubah merah padam saat ingatan mengenai kejadian semalam mendadak bermunculan dibenaknya. Rasa malu sekarang menyelimutinya. Elina sungguh tidak bisa mengelak sekarang. Gara-gara ingatannya yang berhasil kembali, Elina jadi merasa malu karena sudah menuduh Alvin mengambil kesempatan padahal dia sendiri yang sejak awal tanpa sadar menggoda Alvin hingga membuat lelaki itu kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
“ARGGHH!” Elina berteriak sangat kencang sampai membuat orang-orang di seisi taman rumah sakit menoleh ke arahnya.
Aku pasti sudah kehilangan akal! Bagaimana bisa aku melakukan hal seperti itu? Bisa-bisanya aku menggoda Alvin seperti seorang wanita murahan? Apakah hanya karena aku sudah terlalu lama sendiri dan merasa takut untuk menjalin hubungan membuatku kehilangan kontrol diri? Elina tidak habis pikir dengan apa yang dia lakukan semalam. Elina merasa, mungkin dia melakukan semua itu secara tanpa sadar karena selama ini dia sangat ingin menjalin hubungan dengan seorang pria. Berpacaran layaknya wanita lain seumurannya. Tapi karena rasa takut, dan hati kecilnya selalu meragukan semua lelaki yang mendekatinya, dia jadi kehilangan kendali dan menggunakan Alvin yang bersamanya saat itu sebagai pelampiasan.
Elina bukannya tidak ingin berpacaran, tapi dia sungguh merasa ragu untuk memberikan kepercayaan pada para lelaki yang selama ini mencoba mendekatinya dan mengajaknya menjalin hubungan. Entah kenapa tapi hati kecilnya seolah selalu mengatakan bahwa dia bisa terluka kalau menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Itu sebabnya, sampai saat ini, Elina sama sekali tidak pernah merasakan yang namanya pacaran.
“Kalau kau sudah mengingat semuanya, kau berhutang permintaan maaf padaku!”
Ucapan Alvin saat di apartemen tadi mendadak muncul di kepalanya, membuat Elina seketika merasa bersalah karena sudah menuduh lelaki itu melakukan sesuatu yang bahkan tidak dia lakukan.
“Sekarang aku tidak akan bisa menemui Alvin karena terlalu malu!” Elina menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dia jadi frustasi sendiri dengan apa yang terjadi.
***
Alvin terdiam sembari memandang jam yang ada di ruang rawatnya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Elina pamit untuk mengurus biaya administrasi. Sejak saat itu juga, wanita itu sama sekali tidak kembali untuk menemuinya, dan hal ini sungguh membuatnya merasa tidak tenang. Apakah jangan-jangan dia melarikan diri? Sial! Aku harus menghubunginya! Alvin mengambil ponselnya, berniat untuk menelepon Elina dan menanyakan keberadaan wanita itu. Dia ingin tahu alasan kenapa Elina tidak kembali setelah membayar biaya administrasi dan kepindahannya ke ruang rawat khusus. Jika benar wanita itu melarikan diri begitu saja, maka Alvin tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa membuat Elina kembali. Alvin jadi semakin tidak tenang, terlebih setelah dia sadar Elina sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya. Bahkan butuh waktu beberapa kali untuknya hingga Elina mau mengangkat panggilannya. “Kau dimana? Jangan bilang kalau kau mau mencoba kabur dari tanggung jawabmu?” kata Alvin begitu sambunga
“Apakah ada yang ingin kau katakan, sayang?” tanya wanita itu pada anak perempuan yang sejak tadi duduk berhadapan dengannya. Anak itu sejak awal sama sekali tidak bisa berhenti memperhatikannya. “Ternyata dokter juga memiliki benang di jari dokter.” “Benang?” Wanita itu mengerutkan kening, tak lama dia melirik pada perempuan berambut cokelat yang duduk di sampingnya. “Ini sering terjadi, dok. Sejak saat itu, dia jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia bilang kalau dia melihat benang di jari setiap orang yang dilihatnya,” jelas wanita yang menjadi ibunya. Wanita berjas dokter itu menganggukkan kepalanya menyimak kalimat si Ibu. “Jadi kau melihat benang pada jari dokter?” tanyanya lagi. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bisakah kau jelaskan lebih detail mengenai benang yang ada di jari dokter ini? Coba kau sebutkan ciri-ciri benangnya seperti apa.” “Benangnya pendek, warnanya ada dua, bagian bawah benangnya berwarna hitam, sedangkan bagian atasnya
“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara. “Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.” “Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?” “Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.” “Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.” “Pantas saja kau terlambat.” “Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum ma
“Na, ini dokter Sven. Selanjutnya, kita akan lebih sering bertemu dengannya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum sambil memperkenalkan lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan jas putih. Pria itu tersenyum sambil membungkuk, tangannya terulur mengusap puncak kepala anak perempuan yang sejak tadi menatapnya. “Hai manis, salam kenal,” sapanya. Tapi belum sempat tangan Sven menyentuh anak itu, dia tiba-tiba saja berteriak histeris sambil berjalan mundur hingga terjatuh di lantai. “Ti-tidak… jangan mendekat. Aku mohon… jangan mendekat… biarkan aku pergi… aku ingin keluar dari sini…” Anak itu berteriak kencang sambil menangis, membuat ibunya yang melihat itu seketika panik dan berusaha untuk menenangkannya. Wanita yang menjadi ibunya itu berjongkok di sampingnya. “A-aku mohon… jangan sakiti aku… aku ingin pulang…” “Na, hey! Sayang, tenanglah. Sayang, dengar, ini mama. Sadarlah. Ini dokter Sven, bukan ‘dia’. Kau tidak perlu takut, dokter Sven tidak akan menyakitimu. Dia aka
Elina membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah langit-langit kamar tempat Alvin dirawat. Elina terdiam untuk sesaat sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Tak lama, dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian mengecek jam yang muncul di sana. “Ternyata sudah pagi, padahal rasanya aku baru saja memejamkan kedua mataku.” Elina bangkit dan bersandar pada sofa. Lagi-lagi dia terdiam sambil menatap ke sekeliling kamar yang masih dalam keadaan gelap. Sejak semalam, hanya ada lampu tidur dengan cahaya remang-remang yang menerangi kamar mereka. Di tengah berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya, Elina tiba-tiba teringat akan mimpi yang baru saja dia alami. Aku jadi kepikiran tentang mimpi yang aku alami. Ini adalah pertama kalinya aku tidak bermimpi buruk tentang anak perempuan dan pria dewasa itu. Tidak, tunggu… mungkin ini yang kedua kalinya? Kalau diingat-ingat lagi, kemarin
“Ka-kau sudah bangun?” “Memangnya ucapanku kurang jelas? Aku sudah membuka mata, lihat? Atau kau berharap aku masih tidur? Kalau begitu, kau harus menemaniku tidur seperti malam itu.” Alvin tersenyum sambil mengeratkan pelukannya hingga membuat Elina semakin sesak akibat pelukan kuat dari tangan berototnya. Sementara itu, kedua matanya mulai terpejam. Elina yang sadar akan hal itu semakin panik, dia segera memberontak dan meminta Alvin untuk melepaskan tubuhnya. “Al, lepaskan aku. Aku tidak memintamu untuk tidur lagi.” “Aku tidak mau. Tidur sambil memelukmu begini lebih nyaman. Coba saja kalau semalam kau menuruti ucapanku untuk tidur bersamaku, aku kan bisa memelukmu, jadi aku bisa tidur lebih nyenyak,” gumam Alvin. Lelaki itu sengaja mengeratkan pelukannya agar Elina tidak bisa memberontak. “Kau benar-benar pria mesum. Lepaskan aku! Biarkan aku pergi.” Elina mulai kesal. Terlebih ketika dia mulai sadar bahwa jantungnya berdebar kencang. Sial. Dia benar-benar selalu mengambil kes
“Memangnya kau tidak memiliki niat untuk memberikan ciuman selamat pagi atau ciuman perpisahan pada suamimu ini?” Alvin tersenyum menggodanya. “Kau sungguh banyak maunya, ya?” komentar Elina sambil memutar matanya; kesal. “Haha…, aku hanya bercanda. Jangan marah seperti itu. Pokoknya jangan sampai lupa membuatkan makanan kesukaanku.” Alvin melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Elina pergi. Wanita itu lantas beranjak meninggalkan Alvin sendirian di dalam kamarnya. Sepeninggalan Elina, Alvin terdiam sambil memandang ke arah pintu keluar. Senyuman terukir di wajah tampannya. Dia sungguh senang karena Elina mau membuatkan makanan kesukaannya. “Pasti hasil masakannya akan sangat enak.” Alvin bergumam pelan. Dia bisa membayangkan bagaimana hasil masakan Elina nanti. Pasti nanti masakannya akan terasa sangat enak, bahkan Alvin merasa hasil masakan Elina semalam lebih enak daripada hasil masakan koki pribadi di rumah keluarganya. Walau sangat senang, Alvin tetap merasa penasaran d
Elina duduk sendirian di sudut kafetaria, menatap layar ponselnya sambil menunggu Ivana. Ketika pintu terbuka, Elina mengangkat kepala dan melihat Ivana memasuki ruangan dengan wajah muram dan mata yang bengkak. "Hey, Ivana," sapa Elina sambil berdiri. Wanita itu berjalan menghampirinya dengan langkah gontai. "Ada apa? Kenapa kau terlihat begitu sedih?" Ivana tertunduk sambil menggelengkan kepala, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Elina meraih kursi untuknya, "Duduklah. Ceritakan apa yang terjadi." Ivana terdiam cukup lama, dan Elina dengan sabar menantinya untuk bicara. “Dengar, ceritakan apa yang terjadi padamu. Agar aku bisa membantumu. Kalau kau memiliki masalah, setidaknya kau tidak menanggung semuanya sendiri. Aku ini adalah sahabatmu Ana, jadi aku akan membantu semampuku. Tapi jika kau belum bersedia untuk bicara, aku akan menunggu dengan sabar sampai kau siap bercerita mengenai masalah—“ Elina belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Ucapannya terpotong saat Ivana s
Dariel menghampiri mayat tersebut, dan setelah di cek, ternyata mayat lelaki yang mereka temukan benar-benar Jax yang selama ini di carinya. “Ini…” Tubuh Dariel langsung mambatu setelah melihat sosok lelaki yang ada di hadapannya. “Dari yang aku periksa, dia bukanlah korban dari kejahatan mister predator. Tidak ada simbol di tubuhnya. Biasanya kalau mister predator yang melakukannya, dia akan meninggalkan jejak di tubuh korban,” jelas Zane. Mister predator adalah salah satu penjahat yang kasusnya saat ini dipegang oleh Zane dan Taylor. Dia adalah sosok seorang pembunuh bayaran yang akhir-akhir ini membuat keresahan di Future City. Selain membunuh, mister predator juga dikenal sebagai seorang maniak seksual. Sejak tiga tahun terakhir, sudah ada ratusan mayat yang ditemukan, dan diidentifikasi sebagai korban dari mister predator. Kasus ini sudah berjalan tiga tahun lamanya. Namun baik Zane maupun anggota polisi lain sampai sekarang masih kesulitan untuk menemukan tersangka utamanya kar
Dariel terdiam sambil terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia masih tidak mengerti kenapa semua realitas di dunia nyata bisa tiba-tiba berubah dan tidak sama dengan yang tertulis di buku. Padahal, sebelumnya segala yang tertulis di buku sungguh menjadi nyata. Ini adalah pertama kalinya ramalan di buku itu berubah. Aku masih tidak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi lebih cepat. Kenapa Marcus tiba-tiba pindah lebih awal? Dariel terus memandangi buku catatan dalam genggamannya. Sekarang yang menjadi misteri bukan hanya kepindahan Marcus yang mendadak, tapi juga hilangnya Jax secara misterius. Dariel sekarang ini sibuk menyelidiki kedua hal itu. Sejak terakhir kali Dariel menanyakan mengenai Jax dan Marcus ke kantor E-Tech, pada awalnya yang membuat Dariel kebingungan hanyalah kepindahan Marcus yang lebih awal. Namun beberapa hari setelah itu, ada orang yang melaporkan bahwa Jax menghilang dan tidak pulang sama sekali sejak terakhir kali pergi ke kantor. Bukan hanya itu, le
Waktu berlalu, dan sudah beberapa hari Alvin dirawat di rumah sakit. Sejak lelaki itu di rawat, Elina terus datang dan pergi ke rumah sakit untuk membantu merawatnya. Saat ini, Elina terus berjalan menyusuri koridor menuju ruang rawat Alvin. Sesampainya di ruang rawat Alvin, Elina melihat pria itu sedang bersama dengan dokter. Elina yang menyadari hal itu lantas segera masuk. Dia ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan Alvin secara langsung dari dokter. Begitu dia masuk, fokus semua orang langsung tertuju padanya yang baru saja tiba. “Kebetulan sekali anda datang di saat yang tepat.” Dokter tersenyum ke arahnya begitu sadar Elina datang di saat yang tepat. “Ada apa, dok?” “Saya ingin memberi kabar bahwa suami anda sudah bisa keluar dari rumah sakit,” ujar dokter. Untuk sesaat Elina merasa tidak nyaman dengan panggilan dokter padanya yang masih mengira dia adalah istrinya Alvin. Namun mendengar bahwa Alvin sudah bisa keluar dari rumah sakit sudah cukup untuk mengubah moodnya. Elina be
“Kau tidak perlu tahu siapa orang yang sudah meminta kami untuk membantumu, yang jelas apakah kau ingin membalas dendam atau tidak?” tanya Erick. Marcus terdiam sambil merenungkan kalimatnya barusan. Entah kenapa, tapi dia merasa bahwa Erick dan Calvert memang berniat untuk membantunya. “Aku menerima tawaran kalian!” Marcus bisa melihat senyuman terbit di wajah Erick yang kini duduk di samping kemudi. Wajahnya terlihat dengan jelas karena Marcus bisa melihat refleksi wajahnya di kaca spion. Setelah mendengar ucapannya barusan. Perjalanan terus berlanjut tanpa kalimat apa-apa sampai kemudian mereka berhenti di sebuah bangunan tua kosong yang letaknya di pinggiran Future City. “Kau bisa menentukan hukuman yang pantas untuknya.” Erick menyodorkan sebuah amplop baru pada Marcus. Lelaki itu terdiam dengan wajah kebingungan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa maksud ucapannya barusan, dan Marcus juga tidak mengerti kenapa mereka menurunkannya di tempat seperti ini. Erick mengambil
“Marcus Waverly yang pindah?” tanya Dariel, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Elina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Apakah kau tahu kemana dia akan pindah?” Elina terdiam sejenak, mencoba untuk mengingat-ingat lagi. “Tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan orang-orang yang membantu mereka pindah. Katanya mereka akan pindah ke apartemen Baker’s Grove Apartments, di jalan 45 Riverside di Meadowside City.” Tubuh Dariel membatu seketika begitu mendengar ucapan dari Elina barusan. Dia sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa? Ini… berubah? Dariel mencoba untuk tetap tenang. Perhatiannya langsung kembali beralih pada Elina begitu wanita itu berpamitan untuk pergi karena dia sudah hampir terlambat untuk pergi ke kantor. Setelah berpisah dengan Elina, Dariel segera membuka buku catatannya, mengecek kembali alamat yang tertera di sana. ‘Baker’s Grove Apartments Jl. 45 Riverside, unit Apt 202 Meadowside City MD1AA 2AA Sciencetopia.
“Ini masih sangat pagi, dan kita harus patroli. Bukankah ini menyebalkan?” gerutu Greg pada lelaki yang kini duduk di samping kemudi. Dariel terlalu sibuk memperhatikan buku yang ada di dalam genggamannya. Membaca beberapa lembar catatan lain yang tertulis di sana. “Jangan menggerutu dan lebih baik kau fokus pada jalanan yang ada di depan. Kalau kau menabrak akan sangat berbahaya,” jawabnya sambil membuka lembaran lain bukunya. “Aku lapar, dan tadi aku belum sempat sarapan apa-apa. Bagaimana kalau kita mampir ke restoran atau minimarket dulu?” “Bagus, kalau begitu sekalian saja kita mampir ke minimarket di dekat jalan 915 Willow Lane. Kita sekalian mengintai Marcus.” “Okay! Kita berangkat!” Greg melajukan mobilnya menuju tempat yang dimaksud. Mereka pergi ke jalan 915 Willow Lane untuk mampir ke minimarket terdekat, sekaligus mengintai Marcus. Dariel harus tetap memastikan bagaimana kondisinya. Karena jujur saja sampai sekarang baik Dariel maupun polisi lain yang memiliki tugas yan
Barbara duduk di bangku yang ada di halte bus. Rasa lelah menggelayut di tubuhnya. Barbara sungguh merasa usahanya pergi keluar seperti ini sama sekali sia-sia, karena dia bahkan tidak bisa mencapai apa yang dia perjuangkan. Wanita itu merenung sambil memikirkan ucapan lelaki misterius yang sebelumnya dia temui. “Mungkin ucapan pria itu ada benarnya. Pada akhirnya aku tidak akan bisa mengubah apapun. Sepertinya aku memang harus fokus untuk menyelamatkan orang yang paling penting dalam hidupku.” Barbara menghela napas. Dia sungguh frustasi dengan apa yang dialaminya semalaman ini. Setelah merasa malam semakin larut, Barbara memutuskan untuk segera mencari taksi agar dia bisa pulang sebelum jam operasi taksinya berakhir. Beruntung dia menemukan satu taksi kosong, dan dengan segera, Barbara meminta si supir untuk mengantarkannya pulang. * Elina melangkah keluar dari apartemennya, dan mengunci pintu dengan benar sebelum akhirnya berangkat ke kantor. Tapi baru saja Elina hendak pergi me
“Kenapa kau menolongku?” “Saya hanya merasa anda membutuhkan bantuan. Maka dari itu saya membantu anda.” Barbara tersenyum simpul ke arahnya. Lelaki itu hanya diam sambil mencoba mencerna kalimatnya. Namun karena tidak ingin membuatnya terlalu memikirkan ucapannya, Barbara meminta Marcus untuk tidak memikirkan itu dan memintanya untuk fokus pulang ke rumahnya. Barbara akhirnya berpisah dengan Marcus, dan taksi yang ditumpangi lelaki itu perlahan beranjak meninggalkan Barbara yang kini terdiam seorang diri di tempatnya sambil menatap taksi yang terus bergerak menjauh itu. Sepeninggalan Marcus, Barbara kembali melanjutkan perjalanannya. * Marcus terdiam sembari memikirkan ucapan Barbara tadi. Dia masih terus saja kepikiran dengan kalimatnya, dan dia sungguh tidak menyangka Barbara akan mengatakan hal seperti itu. Sepanjang perjalanan, lelaki itu terus memikirkan kebaikan Barbara. Berkatnya, sekarang dia bisa pergi. Marcus tersadar dari lamunannya begitu dia menyadari taksi yang dit
Barbara melangkah keluar dari dalam taksi. Namun baru saja dia keluar, seorang pria mendadak muncul di hadapannya dan membuat Barbara terkejut. Barbara nyaris berteriak saking kagetnya. “Kau tidak akan bisa mengubah apa-apa, Barbara!” ujar pria itu dengan wajah serius. Barbara termangu di tempatnya begitu mendengar kalimatnya. Dia sungguh bingung dengan apa yang dia katakan, selain itu Barbara juga terkejut karena ternyata lelaki itu tahu namanya. “K-kau siapa? Bagaimana kau tahu namaku?” Alih-alih menjawab, lelaki itu malah mendekat lalu memegangi pundak Barbara. Begitu pundaknya dipegang, Barbara langsung meringis kesakitan. “Arghh…” Barbara memegangi kepalanya yang terasa begitu sakit, dan bersamaan dengan begitu, berbagai adegan tiba-tiba saja bermunculan di benaknya; membuat kepala Barbara terasa semakin sakit. Namun rasa sakitnya berhenti begitu lelaki itu menjauhkan tangannya dari Barbara. Barbara beradu tatap dengan lelaki di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia s