Pria bersetelan jas serba hitam berkulit putih pucat, berdiri dalam jurang di kedalaman lima puluh meter. Kedua matanya menatap tajam pada seorang wanita paruh baya yang sedang berjuang antara hidup dan mati untuk mengucapkan sesuatu kepadanya.
“Tu-tuan ...” Dengan tersendat wanita itu berusaha menahan derita terjepit di dalam mobil yang terlempar ke jurang sepulang mereka dari berlibur, “aku mohon ... se-selamatkan nyawa Putriku,” isaknya pilu.
Pria berpakaian serba hitam itu hanya mematung dalam tatapannya yang tajam. Mulutnya terkatup rapat. Dia jelas melihat bahwa keluarga kecil ini memang sudah harus dijemput sekitar tujuh menit lalu.
Tapi wanita paruh baya ini menghambat tugasnya. Seorang Ibu yang memiliki kekuatan besar untuk hidup. Apa data yang sudah dibacanya salah? Kenapa wanita ini berhasil menghambat hanya dengan sebuah tekad kuat?
Ada tiga nyawa yang seharusnya dia jemput di sini. Sebuah keluarga kecil yang mengalami kecelakaan tunggal akibat kendaraan yang hilang kendali di tikungan dan terjun bebas ke jurang sedalam lima puluh meter.
Tapi sekarang, si Ibu yang entah memiliki kekuatan apa, bisa melawan kehendak si pencabut nyawa yang tak bisa membawa satu pun nyawa dari mereka bertiga.
“Apa maumu?” Si pria bersetelan jas hitam itu akhirnya membuka suara.
“Selamatkan nyawa Putriku. Jika kau memberinya kesempatan hidup, maka aku akan mempermudah tugasmu untuk membawa nyawa kami berdua,” jelasnya sambil melihat ke arah sang suami yang sudah berlumur darah di balik kemudi dalam posisi mobil yang terbalik.
“Aku tidak bisa menyalahi aturan.”
“Berarti kau tidak akan pernah bisa membawa nyawa satu pun dari kami.”
Si pria bersetelan jas hitam terdiam. Ini adalah tugas terakhirnya sebelum dia mengundurkan diri. Seharusnya berhasil, agar dia dapat dengan mudah berhenti dari pekerjaan yang terasa menyiksa ini.
“Tetap saja hidupnya tidak akan lama. Dia ditakdirkan harus mati di kemudian hari.”
“Tidak masalah. Biarkan dia hidup sejenak, asal jangan mati hari ini,” jawab wanita itu sambil diiringi batuk berdarah, “lebih baik dua nyawa daripada tidak sama sekali, bukan?”
Si pria bersetelan jas hitam kembali terdiam, tapi dia sudah memutuskan.
“Hanya ini permintaan terakhirmu?”
“Ya. Hanya itu. Kuharap, kau lah Malaikat yang kelak menjemput nyawa Putriku kembali. Tolong jaga dia ... terima kasih.”
Pria bersetelan jas hitam itu, mencoret satu nama di dalam daftar miliknya. Membawa dua nyawa bersamanya, meninggalkan satu nyawa yang kembali hidup meski secara akal sehat, gadis itu tidak mungkin selamat dalam keadaan mengenaskan seperti itu.
*****
Delapan bulan kemudian.
“Sampai kapan Anak hilang ingatan itu akan tinggal di sini?” Brandy bertanya dengan dagu menunjuk ke arah gadis yang sedang duduk melamun di tepi jendela, ruang depan.
“Pelankan suaramu, Randy.” Josie memperingatkan.
“Kita baru saja menikah, dan kau sibuk mengurusi keponakanmu itu. Apa tidak ada yang bersedia menampungnya selain kau, sayang?”
“Tidak ada. Semua menolak. Karena harta kekayaan Meda diwariskan seluruhnya ke Panti Asuhan, kerabat yang lain tidak ingin merugi dengan mengeluarkan biaya tambahan untuk seorang gadis hilang ingatan seperti Sia.” Josie ingin sekali mengeluh, tapi dia ingat, bahwa berkat Kakaknya itu—Ibunya Sia, Andromeda—dia bisa menyelesaikan kuliah kedokteran dan menjadi Dokter spesialis seperti sekarang ini.
“Hhh ... aku lelah melihatnya, walau baru tiga hari dia ada di rumah ini.”
“Berhentilah mengeluh. Aku harus berangkat sekarang, karena hari ini shift pagi. Kau bagaimana?” Josie menggeser kursi makan, bersiap dengan mantel Dokternya.
“Aku berangkat nanti, tiga puluh menit lagi. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu.”
“Baiklah, sampai nanti sayang.” Josie mengecup pipi kanan Brandy. Lalu bergegas ke depan, berencana mengajak bicara keponakannya sebentar.
“Hei, Sia. Apa kau ingin jalan-jalan keluar pagi ini?” Josie menyapa si gadis yang segera tersentak dari lamunannya.
“Tidak. Aku di sini saja.” Sia tersenyum kecil. Dia masih asing pada wanita di hadapannya ini.
“Kau boleh memanggilku Sisie seperti dulu kau biasa memanggilku dengan nama itu.”
“Apa dulu, aku tidak pernah memanggilmu dengan sebutan Bibi?”
Josie tertawa pelan. “Tidak. Kau selalu menolak memanggilku dengan sebutan Bibi karena aku terlihat seperti teman bagimu.”
Sia mengangguk, berusaha mengerti tapi tidak ingin menyakiti kepalanya yang tidak bisa mengingat, meski dia berusaha keras semenjak terbangun dari koma selama delapan bulan lamanya.
“Kalau begitu, aku berangkat dulu. Jangan sungkan menghubungiku jika ada yang kau butuhkan. Sampai nanti, Sia.” Josie melambai dan tersenyum.
“Sampai nanti, Sisie.” Sia membalas lambaiannya.
Sia menghembuskan napas ketika deru mesin mobil Josie bergerak menjauh. Sekitar lima menit kemudian, Brandy berteriak minta tolong dari kamarnya.
“Akh! Sia, bisa tolong aku?”
Suara setengah merintih itu membuat Sia bergerak cepat. Dia menuju kamar utama di dekat ruang tengah. Kamar Josie dan Brandy.
Sia ragu, dia mengetuk pintu. “Apa kau baik-baik saja?”
“Masuklah, tolong aku.”
Sia membuka pintu perlahan. Dia tidak pernah mengenal siapa pria itu. Tapi tetap masuk karena khawatir suami Bibinya mengalami cedera.
Benar saja, pria itu tengah merintih sembari memegang kepalanya.
“Apa perlu kuambilkan obat?” Sia masih berdiri, menjaga jarak dari Brandy yang sedang duduk di tepi ranjang.
Brandy tidak menjawab, dia menunggu Sia mendekat padanya.
“Baiklah, akan kuhubungi Sisie sekarang. Dia pasti belum terlalu jauh.”
“Tunggu!” Brandy menarik dengan kuat pergelangan tangan Sia sehingga Sia terjatuh ke atas tubuh Brandy di atas ranjang. “Mau kemana kau?”
Sekelabat cahaya putih menyerang pandangan Sia.
Setelah cahaya menyerupai silau itu menghilang, dia melihat Brandy berlumuran darah, terkapar di lantai dengan kedua mata terbelalak.
Seketika Sia menjerit histeris. Adegan sesaat itu membuatnya ketakutan antara sadar dan tidak.
Saat dia kembali mengerjapkan kedua matanya, Brandy yang terbujur kaku di lantai sudah tidak ada.
“Hei, ada apa?” Brandy berbisik karena merasa senang melihat Sia yang masih betah berada di atas tubuhnya.
“Ah, maaf.” Sia segera berdiri. Melepas tubuhnya dari Brandy yang mendadak mendamba tubuh Sia.
Sia berbalik, mengambil langkah cepat keluar kamar. Tapi Brandy lebih cepat, dia kembali menarik pergelangan tangan Sia.
“Jangan sentuh aku!” teriak Sia ketakutan. Cahaya silau itu kembali menerpa wajah Sia dan menampilkan hal yang sama, Brandy terkapar di lantai.
Sia mulai menangis. Dia berlari ke kamarnya meninggalkan Brandy yang terheran-heran dan bingung karena melihat Sia yang berteriak kencang seperti orang gila.
“Ah, sial!” umpat Brandy sambil membanting pintu.
Setibanya di kamar, Sia mengunci pintu. Menangis ketakutan seorang diri. Apa yang terlihat di depan matanya seolah nyata.
Dia bingung, tapi dia merasa yakin bahwa kini setahap menuju pada dirinya yang sudah tak lagi memiliki kewarasan di dalam kepalanya.
Ini bukan kali pertama. Saat dia terbangun pertama kali dari komanya, Sia bisa melihat jelas beberapa hal buruk di sekitarnya.
Bersambung.
Enam puluh menit berlalu, menandakan pagi sudah hampir menjelang siang.Sia keluar kamar, memastikan semua keadaan sudah aman setelah dia menuruni tangga untuk memeriksa bahwa Brandy sudah tak ada, pergi.Sia berlega hati untuk itu. Dia berpikir, sedikit udara segar di hari ini, mungkin bisa membantunya dari beberapa hal yang membuat gelisah dalam waktu bersamaan.Ketika dia baru saja menutup pintu, seorang wanita tua sedikit mengejutkan Sia dengan muncul tiba-tiba di sampingnya.“Kau ... Pandora, bukan?”Kening Sia mengernyit, dia bahkan lupa siapa nama lengkapnya selain dari Josie dan para perawat yang memanggilnya, Sia.“Yang Nenek maksud itu, aku?” Dengan hati-hati Sia bertanya.Wajah sedih seorang wanita tua mulai tergambar di sana. Si Nenek begitu khawatir dan seakan lupa, bahwa Sia sedang tidak mengingat apa pun tentang dirinya, masa lalunya.Tangan keriput si wanita tua mulai mengarah dan terjulur gemetar ke
Sia menjadi bahan pergunjingan di lingkungan rumah Josie dan Brandy, sebagai gadis dengan pikiran terganggu. Atau yang lebih mudah dan biasa disebut, gila!Awalnya Josie tidak mempermasalahkan hal itu, sampai suatu pagi yang dingin, hujan turun tidak berhenti, Josie melihat tubuh Brandy kaku dan berlumur darah dengan kedua mata terbelalak di lantai dapur.Kepanikan yang menyelimuti Josie pertama kali, Sia pembawa keburukan dan penyebab kematian Brandy, dia pembawa sial!Hal itu yang ingin dipercayai Josie setiap kali telinganya mulai mendengar kalimat-kalimat berisik Nyonya tua Wilda dari seberang rumah.“Keponakanmu, gila! Jauhi dia atau buang dia, jika kau tidak ingin bernasib sama dengannya, Josie.” Kalimat saran dan desakan itu bergema riuh berulang di telinga Josie, dan kesabarannya hilang pagi itu.“Pergi kau, pembawa sial!” desis Josie, tepat setelah pemakaman Brandy yang diiringi hujan deras.Ketakutan penuh berada dalam satu tubuh S
Limora Catty. Siapa yang tidak mengenalnya di pemukiman kumuh ini. Pemukiman Lauht. Limora menamai tempat ini tanpa pikir panjang, dan menandai Lauht sebagai tempat untuk dia dan Buckley berkuasa.“Tamu istimewa yang mendatangi kita ini, siapa Buck?” Keramahan singkat dari Limora, dia tersenyum.“Entahlah. Aku melihat dia berjalan ke sana kemari seperti wanita gila. Kupikir, dia pasti suruhan para penggusur atau apalah itu, untuk menyusup ke sini. Dia akan mengacau seperti Irene. Tidak akan kubiarkan itu terjadi lagi,” cerca Buckley. Ada guratan kemarahan di raut wajahnya.Limora tertawa pelan, dia berusaha menahan dirinya untuk tidak menampar Buckley yang bodoh. Limora sadar, dia mendapatkan berlian dengan cuma-cuma.“Bisakah kau singkirkan prasangka tidak bergunamu itu, Buck?” Limora melirik Buckley, tajam dalam pandangan menekan. Suaranya saat bicara terdengar manis, tapi mengandung racun.Buckley membungkam mulutnya sendiri. Dia tahu tidak akan
Sia terbangun karena nama lengkapnya dipanggil dengan lembut oleh Limora Catty. “Bisakah kita bicara? Aku punya berita baik untukmu.” Limora tersenyum. Keramahan yang tampak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sia mengangguk. Menarik tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. “Kau pasti ingin hidup dengan kedua kakimu sendiri, bukan?” “Ya, tentu saja.” Limora tersenyum senang, karena dia menang. “Seseorang membutuhkan tenagamu untuk membantu mereka membersihkan rumah dan memasak. Apa kau bersedia?” Sia tertegun sesaat, dia harus memikirkan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa depan. Tapi di saat seperti ini apa dia membutuhkan sebuah pertimbangan? Tidak, dia tidak butuh harga diri yang terlalu tinggi untuk bisa menerima pekerjaan itu. Sia tidak ingat siapa dia yang dulu. Di mana dia bekerja, tinggal, siapa teman-temannya, bahkan nama lengkapnya pun dia baru berhasil mengingat itu saat Limora Catty menany
“Nona Sia, benar?” Yoan langsung bertanya ketika nada tunggu diseberang menghilang.“Ya, benar. Maaf ... dengan siapa aku bicara?” Sia baru saja melepas mantel hijau tua kumal pemberian Limora—lagi—dari tubuhnya. Berdiri terpaku di sudut ruangan. Khawatir akan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan.“Aku Yoan Bailey, pelayan Tuan Rigel,” jawab Yoan.“Apa? Siapa itu? Lalu ... maksudku, ada hubungan apa—”“Ah, Limora Catty tidak memberitahumu apapun?” sela Yoan. Dia mengusap tengkuk sekilas, merasa sedikit berdebar karena suara halus bergetar dan lembut dari seberang.“Tidak, tidak ada,” jawab Sia cepat. Dia masih berdiri, menatap keluar jendela. Memperhatikan daun-daun berguguran dari pohon samping rumah, sambil berpikir dengan baik, apa ada kesalahan yang telah dia perbuat yang melibatkan Limora, atau tidak.“Akan kujelaskan, singkatnya, kau bekerja di rumah Tuanku yang bernama Rigel Auberon. Mulai hari ini, segala perintah atau hal yang dii
Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru be
“Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc
Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per