Home / Fantasi / I Can See You / 6. Kak Yoan

Share

6. Kak Yoan

Author: Dwi Sartika Juni
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Nona Sia, benar?” Yoan langsung bertanya ketika nada tunggu diseberang menghilang.

“Ya, benar. Maaf ... dengan siapa aku bicara?” Sia baru saja melepas mantel hijau tua kumal pemberian Limora—lagi—dari tubuhnya. Berdiri terpaku di sudut ruangan. Khawatir akan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan.

“Aku Yoan Bailey, pelayan Tuan Rigel,” jawab Yoan.

“Apa? Siapa itu? Lalu ... maksudku, ada hubungan apa—”

“Ah, Limora Catty tidak memberitahumu apapun?” sela Yoan. Dia mengusap tengkuk sekilas, merasa sedikit berdebar karena suara halus bergetar dan lembut dari seberang.

“Tidak, tidak ada,” jawab Sia cepat. Dia masih berdiri, menatap keluar jendela. Memperhatikan daun-daun berguguran dari pohon samping rumah, sambil berpikir dengan baik, apa ada kesalahan yang telah dia perbuat yang melibatkan Limora, atau tidak.

“Akan kujelaskan, singkatnya, kau bekerja di rumah Tuanku yang bernama Rigel Auberon. Mulai hari ini, segala perintah atau hal yang diinginkan Tuan Rigel, akan aku beritahukan melalui pesan atau panggilan dari nomor ini,” jelas Yoan.

Kelegaan besar melingkupi diri Sia, dia menghela napas senang dan tenang secara cepat. “Oh, baiklah. Tentu saja. Silahkan kalau begitu.”

“Mulai besok ... tolong bersihkan kamar Tuan Rigel juga. Tapi jangan menggeser tata letak barang-barang pribadi miliknya, meski barang sekecil apapun, karena dia akan menyadari hal itu. Apa kau paham maksudku?”

“Ah, ya tentu saja, baiklah.” Sia mengerti dan dia pun tidak berniat untuk itu. “Lalu ... apa ada hal lainnya?”

“Tidak ada, untuk saat ini tidak ada. Kalau begitu, terima kasih, Nona Sia, selamat sore.”

“Ya, baik. Selamat sore.”

Panggilan berakhir dengan kelegaan yang menghadirkan rasa berbeda di masing-masing individu. Sia merasa sangat bersyukur karena ternyata tidak ada yang salah dan semua baik-baik saja.

Sedangkan Yoan dapat bernapas lega ketika percakapan mereka berakhir. Bukan membenci percakapan singkat mereka tadi, justru Yoan baru pertama kali merasa gugup saat bicara di telepon dengan seorang wanita. Membuatnya seakan tidak bisa merasakan suaranya sendiri. Yang ada hanya debaran jantung, menutupi indera pendengarannya.

*****

“Kenapa terburu-buru? Kau mau kemana?” tanya Rigel heran. Dia menatap Yoan yang bergerak cepat menyiapkan segala keperluan di kantor, mengapit sebuah dokumen, lalu bersiap keluar lagi.

Yoan hanya tersenyum sekilas, lalu sibuk melihat arlojinya. “Ada yang tertinggal di rumah. Aku akan segera kembali, Tuan.” Dengan cepat, Yoan memutar gagang pintu, menyadari hatinya yang ingin melihat wajah pelayan baru di rumah Rigel dan dia tahu bahwa Sia akan datang satu atau satu setengah jam setelah dirinya dan Rigel pergi keluar rumah.

Hanya sekitar lima belas menit untuk Yoan bisa melihat seperti apa rupa Sia yang kini sedang membersihkan kamar Rigel.

Yoan berdeham dan tentu saja, itu mengejutkan Sia. “Oh, maaf ... apa Anda pemilik rumah?” Sia segera menurunkan kain kecil untuk membersihkan jendela kaca besar di kamar Rigel. Menatapnya dengan tatapan canggung, tersenyum sedikit kaku.

“Ah, bukan, bukan. Sama sepertimu. Aku juga pelayan Tuan Rigel.” Yoan tersenyum, benar dugaan hatinya, wajah Sia memancarkan keceriaan yang meredup meski masih terasa kehangatannya.

“Kalau begitu ... apa aku melakukan kesalahan?”

“Tidak, tidak.” Yoan menggeleng, memasang senyum yang entah kenapa, ingin dia tunjukkan selebar mungkin dihadapan Sia. “Aku hanya ingin mengambil sesuatu yang tertinggal. Kebetulan aku melihatmu dan ingin menyapa.” Yoan memandangi Sia, menunggu seperti apa reaksi wanita itu. Tidak ada kecurigaan, Sia hanya mengangguk sambil tersenyum kaku, sama seperti tadi.

“Maaf, Tuan ... Yoan? Benar?” Sia melihat Yoan mengangguk, senyum pria itu belum juga menghilang. “Apa ada menu makanan khusus yang harus aku siapkan untuk makan malam nanti?”

Yoan berpikir sejenak. Selama ini Rigel tidak menginginkan menu makanan khusus untuk makan malamnya. Meski dia tergila-gila pada kesempurnaan, tapi Rigel tidak suka mengeluh soal apa yang ada di meja makan. Apalagi, Rigel lebih sering melewatkan makan malamnya dengan tidur lebih awal karena lelah.

“Tidak. Tidak ada menu khusus. Tuan Rigel juga tidak menyukai atau membenci jenis makanan tertentu.”

“Lalu ... apa ada yang ingin Anda makan?” tanya Sia, berusaha ramah. Setidaknya, walau bukan pria di depannya ini yang membayar jerih payah Sia, tapi dia berlaku cukup baik dan sopan pada dirinya.

“A-apa?” Yoan tergagap, tidak menyangka akan mendapat tawaran semenyenangkan itu. Sebenarnya, dia juga sama seperti Rigel. Lebih sering melewatkan makan malam karena dia lelah, pekerjaannya dua kali lipat lebih berat dari Rigel.

“Maaf, aku hanya menawarkan, jika Anda tidak keberatan. Tapi kalau Anda—”

“Tahu kukus gandum,” sela Yoan. Tadinya dia hanya berdiri di ambang pintu, memperhatikan Sia, tapi kini dia coba mendekat masuk dua langkah, “aku ingin makan itu malam ini.”

Sia memperhatikan kaki Yoan yang sudah maju dua langkah, tapi Sia tidak mundur, tak merasa bahwa Yoan membawanya pada keadaan yang mengancam. Dia tidak takut meski ini kali pertama mereka bertemu.

“Baik, Tuan. Aku akan siapkan untuk Anda.” Sia tersenyum. Selama terbangun dari koma, tidak ada hal yang bisa membuatnya merasa dibutuhkan atau diharapkan.

Josie hampir seharian menghabiskan waktu di Rumah Sakit, dan dia melarang Sia mengerjakan apapun, karena terkadang, jika Brandy tidak masuk kantor, maka pria itu yang akan mengerjakan semuanya. Begitu juga sebaliknya jika Josie berada seharian di rumah.

Tapi, Sia enggan keluar dari kamarnya jika giliran  Brandy sedang ada di rumah. Tatapan mendiang suami Josie itu selalu penuh kekurangajaran terhadap Sia.

“Berapa umurmu, Sia?”

“Hmm ... aku, seingatku ...” Sia gugup, dia tidak tahu apalagi ingat berapa umurnya, dia akan menerka sendiri dan berharap itu benar, “dua puluh ... lima tahun. Ya, usiaku kini dua puluh lima tahun.”

“Ah, aku lebih tua empat tahun darimu. Bisakah kau tidak memanggilku Tuan? Posisi kita sama, seorang pelayan, hanya dengan tugas yang berbeda.” Yoan tersenyum lagi, dia heran entah untuk ke berapa kalinya dia tersenyum pagi ini, hingga membuat dirinya serasa menjadi orang lain.

“Baiklah. Tapi kurasa akan sangat tidak sopan jika aku memanggilmu dengan sebutan nama saja,” gumam Sia, dia merasa canggung untuk hal sepele.

“Kakak. Bagaimana jika kau memanggilku dengan sebutan Kakak di depan namaku?” Yoan menawari hal yang terasa kaku serta canggung, tapi sekarang, dia tidak heran bahwa hatinya tidak bisa berbohong. Yoan tertarik pada Sia. Pada keseluruhan diri seorang Sia. Yoan ingin mereka segera dekat, secepat yang dia bisa lakukan.

Sia membulatkan kedua matanya. “Kakak? Kak Yoan? Maksud Anda begitu?” Ada nada rancu, tapi Sia menyukai sapaannya.

Tawa Yoan bergema pelan di kamar Rigel, tapi lebih melekat di kepala Sia. Dia menyukai tawa itu, terasa ramah dan bersahabat.

“Yap, benar begitu. Bagus sekali kedengarannya, Sia. Tidak kusangka kau akan langsung mengucapkannya. Tapi ...” Yoan sengaja, memang mulai ingin menggoda Sia. Dia melihat kedua mata Sia mengerjap menunggu lanjutan kalimatnya, Yoan tersenyum, “aku merasa senang saat kau memanggilku dengan panggilan itu barusan.”

Sia baru akan menanggapi pujian Yoan, ketika suara dering ponsel mengejutkan keduanya. Seketika itu juga Yoan mengutuki Rigel di dalam hatinya, dan mencoba bersabar bahwa fakta hidupnya bergelimang harta saat ini, berkat kepatuhannya pada Rigel.

“Ya, Tuan.”

“Sedang apa kau? Kenapa belum kembali?” Ketus dan penuh kecurigaan. Itulah nada suara dari seberang.

“Ya, aku akan segera kembali sekarang.” Bergegas, Yoan berbalik, mengambil langkah dengan cepat. Tapi berhenti sebentar untuk melihat Sia yang masih mematung menatapnya. Yoan tersenyum, melambai sembari mengeluarkan kalimat ‘Sampai nanti’ tanpa suara karena sekarang, panggilan telepon Rigel masih berlangsung.

“Kau harus tiba dalam waktu tujuh menit. Jika kau datang di saat aku sudah memasuki ruang rapat, kau akan kubiarkan menyelesaikan tugas di meja kerjaku sampai besok. Kau perlu menginap sesekali di kantor!” Rigel menggerutu tanpa henti. Membentak dan memerintah.

“Oh, jangan, jangan, jangan!” Yoan berteriak panik, berlari melesat seperti anak panah menuju ke arah mobil terparkir. “Akan kuusahakan tiba lagi delapan atau sepuluh menit.”

“Tidak akan pernah ada tawar menawar denganku, Yoan Bailey!”

Bersambung.

Related chapters

  • I Can See You    7. Sentuhan Pertama

    Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru be

  • I Can See You    8. Kehangatan Yoan

    “Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc

  • I Can See You    9. Bintang Jatuh

    Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi

  • I Can See You    10. Bermalam di Rumah Rigel

    Sia gugup, bingung. “Ke rumah Anda, Tuan?”“He-em, ayo cepat. Aku lelah dan ingin segera tidur di ranjangku.” Rigel tanpa sadar mengulurkan tangannya, tidak memberi Sia waktu untuk berpikir, dia menarik tangan Sia. Melangkah santai menyeberangi jalan.Sia tidak keliru, dia sengaja tidak menepis tangannya dari genggaman Rigel, karena ingin mencoba lagi untuk memastikan bahwa memang benar, Sia tidak bisa melihat apapun masa depan buruk dari Rigel meski mereka sudah bersentuhan beberapa menit.Rigel tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Sudah selesai menyeberangi jalan, hati dan isi kepalanya bekerja sama untuk tetap menggenggam tangan Sia dengan niat sampai mereka tiba di rumahnya.Genggaman tangan mereka basah. Itu lucu karena kedua telapak tangan mereka sama-sama berkeringat akibat gugup.“Apa aku pria yang semudah ini? Kenapa berpegangan tangan saja sampai membuatku berkeringat dingin?” gumam Rigel kasar, dalam hatinya. Dia melirik Sia yang diam

  • I Can See You    11. Hangat dan Lembut

    “Kau cantik. Tidak berniat menjadi model atau bintang iklan?” Rigel masih memperhatikan wajah Sia tanpa malu-malu. “Aku memiliki teman yang bisa membantumu.”Sia terperangah, menyadari kesalahan fatalnya yang lancang mengusap keringat di kening Tuannya. Tapi berhubung Rigel tidak membentaknya, Sia hanya diam dengan tangan yang sudah dia tarik kembali ke samping tubuhnya.“Sepertinya tidak, Tuan.”Rigel tetap mempertahankan kedekatan mereka, mencari-cari kesungguhan di wajah Sia. Biasanya, tidak ada wanita yang menolak saat ditawari pekerjaan menjanjikan tidak hanya dalam segi materi, tapi juga ketenaran.Sia menolaknya. Rigel tidak habis pikir. “Kenapa? Kau mengira aku akan membohongimu?”“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Tuan.”“Lalu?”“Aku sudah cukup senang bisa bekerja di sini. Membersihkan rumah dan memasak untuk Tuan dan Kak Yoan.”“Begitukah?” Rigel mendadak menemukan ide gila. “Kalau begitu, coba pel

  • I Can See You    12. Di Kamar Rigel

    Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Sia. Semburat merah muda seketika hadir kembali di wajah si gadis pelayan rumah.“Setelah sarapan, temui aku di alamat ini,” kata Rigel, mendorong kartu namanya ke arah Sia, “cepat ambil.”Dengan malu yang tidak tertahankan, Sia mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke saku gaun semalam yang bahkan tidak dia ganti karena tak ada pakaian wanita di rumah ini. Sia menolak dengan halus saat semalam Rigel menawarinya untuk mengganti pakaian Sia dengan kaus longgar milik Rigel, tapi tanpa bawahan.Itu akan sangat memalukan bagi Sia yang harus tetap membersihkan rumah dengan kaus kedodoran, sementara ada satu orang pria lagi di rumah ini yang bisa melihatnya berpakaian seperti itu.Tapi Sia bingung untuk kesekian kalinya, ketika Rigel mengatakan bahwa dia menyukai aroma Sia. Padahal Sia hanya mandi menggunakan sabun cair yang ada di kamar mandi khusus tamu pagi-pagi sekali tadi dan tidak mengganti pakaiannya.Yoan

  • I Can See You    13. Terbakar Cemburu

    Rigel benar-benar tertidur setelah Sia mengusap-usap perutnya yang rata, dalam beberapa menit berlalu. Merasa canggung, Sia perlahan-lahan duduk dan bersandar di kepala ranjang, setelah memastikan bahwa Rigel benar-benar sudah tidur dengan nyenyak.Jantung Sia masih saja berisik. Dia tidak paham apa artinya. Tapi jelas, dia merasa sangat tidak nyaman berada di kamar Rigel berduaan saja. Pikiran Sia menerawang jauh, ada perasaan ingin menyerah dan berhenti bekerja di sini, di rumah mewah milik pria yang kini tertidur pulas di sampingnya.Tapi jika mengingat bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi tanggung jawab Limora Catty terhadap dirinya di depan Rigel dan Yoan, Sia resah.Sia sama sekali tidak sadar ketika Rigel terbangun dan menatapnya. “Kenapa berhenti?” keluh Rigel. “Lihat, aku jadi terbangun.”“Oh, maafkan aku, Tuan.” Sia panik, kembali merosot dan mendekati Rigel.“Peluk aku.” Tangan Rigel sudah terbentang.Sia ragu, tapi

  • I Can See You    14. Disi Melani Truder

    “Aku tidak ingin melihat kau dan Yoan berpelukan seperti itu lagi, apa kau mengerti?” Rigel menekan nada bicaranya agar tidak terdengar seperti sebuah bentakan terhadap Sia.“Baik, Tuan.” Sia mengangguk, menunduk sembari meremas gaun di samping tubuhnya. Dia mulai merasa tidak nyaman dengan sikap Rigel.Rigel menghela napas. Dia bingung pada dirinya sendiri. Mereka masih berada di dalam mobil dan belum pergi kemanapun. Yoan baru saja kembali ke kantor, atas perintah Rigel.Keheningan benar-benar tercipta di dalam mobil. Sia merasa sesak karena dia berpikir banyak hal tidak benar yang terjadi padanya, Rigel, dan Yoan.“Kita akan pergi ke tempat yang aku ingin kau pergi ke sana. Apa kau keberatan, Galexia?”Suara lembut Rigel membuat Sia mendongak, perubahan suasana hati Rigel memang luar biasa baginya. Tadi, betapa suara Tuannya itu seakan mencekik leher Sia, namun kini, halusnya terasa begitu menenangkan.“Tidak, Tuan.”“Kalau begitu,

Latest chapter

  • I Can See You    136. Satu Sama

    Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba

  • I Can See You    135. Aakesh dan Terentia

    “Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi

  • I Can See You    134. Anak Panah Beracun

    Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem

  • I Can See You    133. Menjauh

    Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd

  • I Can See You    132. Berangsur Membaik

    Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d

  • I Can See You    131. Bawa Aku!

    Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba

  • I Can See You    130. Cadee

    Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,

  • I Can See You    129. Ibu Yang Pantas

    Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah

  • I Can See You    128. Ayah dan Ayah

    Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per

DMCA.com Protection Status