Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.
“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.
“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”
“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”
“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”
“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.
Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi
Sia gugup, bingung. “Ke rumah Anda, Tuan?”“He-em, ayo cepat. Aku lelah dan ingin segera tidur di ranjangku.” Rigel tanpa sadar mengulurkan tangannya, tidak memberi Sia waktu untuk berpikir, dia menarik tangan Sia. Melangkah santai menyeberangi jalan.Sia tidak keliru, dia sengaja tidak menepis tangannya dari genggaman Rigel, karena ingin mencoba lagi untuk memastikan bahwa memang benar, Sia tidak bisa melihat apapun masa depan buruk dari Rigel meski mereka sudah bersentuhan beberapa menit.Rigel tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Sudah selesai menyeberangi jalan, hati dan isi kepalanya bekerja sama untuk tetap menggenggam tangan Sia dengan niat sampai mereka tiba di rumahnya.Genggaman tangan mereka basah. Itu lucu karena kedua telapak tangan mereka sama-sama berkeringat akibat gugup.“Apa aku pria yang semudah ini? Kenapa berpegangan tangan saja sampai membuatku berkeringat dingin?” gumam Rigel kasar, dalam hatinya. Dia melirik Sia yang diam
“Kau cantik. Tidak berniat menjadi model atau bintang iklan?” Rigel masih memperhatikan wajah Sia tanpa malu-malu. “Aku memiliki teman yang bisa membantumu.”Sia terperangah, menyadari kesalahan fatalnya yang lancang mengusap keringat di kening Tuannya. Tapi berhubung Rigel tidak membentaknya, Sia hanya diam dengan tangan yang sudah dia tarik kembali ke samping tubuhnya.“Sepertinya tidak, Tuan.”Rigel tetap mempertahankan kedekatan mereka, mencari-cari kesungguhan di wajah Sia. Biasanya, tidak ada wanita yang menolak saat ditawari pekerjaan menjanjikan tidak hanya dalam segi materi, tapi juga ketenaran.Sia menolaknya. Rigel tidak habis pikir. “Kenapa? Kau mengira aku akan membohongimu?”“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Tuan.”“Lalu?”“Aku sudah cukup senang bisa bekerja di sini. Membersihkan rumah dan memasak untuk Tuan dan Kak Yoan.”“Begitukah?” Rigel mendadak menemukan ide gila. “Kalau begitu, coba pel
Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Sia. Semburat merah muda seketika hadir kembali di wajah si gadis pelayan rumah.“Setelah sarapan, temui aku di alamat ini,” kata Rigel, mendorong kartu namanya ke arah Sia, “cepat ambil.”Dengan malu yang tidak tertahankan, Sia mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke saku gaun semalam yang bahkan tidak dia ganti karena tak ada pakaian wanita di rumah ini. Sia menolak dengan halus saat semalam Rigel menawarinya untuk mengganti pakaian Sia dengan kaus longgar milik Rigel, tapi tanpa bawahan.Itu akan sangat memalukan bagi Sia yang harus tetap membersihkan rumah dengan kaus kedodoran, sementara ada satu orang pria lagi di rumah ini yang bisa melihatnya berpakaian seperti itu.Tapi Sia bingung untuk kesekian kalinya, ketika Rigel mengatakan bahwa dia menyukai aroma Sia. Padahal Sia hanya mandi menggunakan sabun cair yang ada di kamar mandi khusus tamu pagi-pagi sekali tadi dan tidak mengganti pakaiannya.Yoan
Rigel benar-benar tertidur setelah Sia mengusap-usap perutnya yang rata, dalam beberapa menit berlalu. Merasa canggung, Sia perlahan-lahan duduk dan bersandar di kepala ranjang, setelah memastikan bahwa Rigel benar-benar sudah tidur dengan nyenyak.Jantung Sia masih saja berisik. Dia tidak paham apa artinya. Tapi jelas, dia merasa sangat tidak nyaman berada di kamar Rigel berduaan saja. Pikiran Sia menerawang jauh, ada perasaan ingin menyerah dan berhenti bekerja di sini, di rumah mewah milik pria yang kini tertidur pulas di sampingnya.Tapi jika mengingat bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi tanggung jawab Limora Catty terhadap dirinya di depan Rigel dan Yoan, Sia resah.Sia sama sekali tidak sadar ketika Rigel terbangun dan menatapnya. “Kenapa berhenti?” keluh Rigel. “Lihat, aku jadi terbangun.”“Oh, maafkan aku, Tuan.” Sia panik, kembali merosot dan mendekati Rigel.“Peluk aku.” Tangan Rigel sudah terbentang.Sia ragu, tapi
“Aku tidak ingin melihat kau dan Yoan berpelukan seperti itu lagi, apa kau mengerti?” Rigel menekan nada bicaranya agar tidak terdengar seperti sebuah bentakan terhadap Sia.“Baik, Tuan.” Sia mengangguk, menunduk sembari meremas gaun di samping tubuhnya. Dia mulai merasa tidak nyaman dengan sikap Rigel.Rigel menghela napas. Dia bingung pada dirinya sendiri. Mereka masih berada di dalam mobil dan belum pergi kemanapun. Yoan baru saja kembali ke kantor, atas perintah Rigel.Keheningan benar-benar tercipta di dalam mobil. Sia merasa sesak karena dia berpikir banyak hal tidak benar yang terjadi padanya, Rigel, dan Yoan.“Kita akan pergi ke tempat yang aku ingin kau pergi ke sana. Apa kau keberatan, Galexia?”Suara lembut Rigel membuat Sia mendongak, perubahan suasana hati Rigel memang luar biasa baginya. Tadi, betapa suara Tuannya itu seakan mencekik leher Sia, namun kini, halusnya terasa begitu menenangkan.“Tidak, Tuan.”“Kalau begitu,
“Oh, silahkan kalau begitu.” Sia mundur, menatap Rigel, lalu berusaha melepaskan tangannya yang tak kunjung dilepas.“Mau kemana? Tetap didekatku, jangan lepaskan tanganmu,” bisik Rigel, terdengar mengikat.Sia menurut, dia melihat betapa wanita berkulit eksotis itu seakan ingin menelan dirinya hidup-hidup. Kekesalan tampak jelas di matanya.“Ada apa?” Rigel bertanya dengan nada yang kasar, sikapnya dua kali lebih tidak bersahabat dari sebelumnya.“Kau ingin aku berteriak-teriak di sini? Tidak apa-apa?” Disi mengangkat alis, bertanya dengan nada menghina, kedua matanya sesekali tertuju pada Sia.“Tidak masalah, silahkan saja.” Tampak tidak peduli, Rigel justru merangkul pundak Sia dengan mesra.Menggertakkan gigi, Disi menahan amarah yang sudah siap meledak. “Hubungan kita belum berakhir, sayang. Kau hanya marah padaku sesaat. Dua minggu, dan ini sudah lebih dari cukup untuk m
Yoan baru saja memutuskan panggilan telepon dari Tatiana, ketika dia melihat Sia keluar dari balik pintu samping toko. Penampilan cantik Sia dengan midi dress motif petal print yang belum sempat diganti olehnya, mengundang decak kagum Yoan di dalam hati.“Kak Yoan?” Bukan main terkejut, Sia melihat Yoan sudah tersenyum, berdiri di depan sebuah sepeda motor dalam lorong yang sempit. “Sedang apa di sini?”“Menjemputmu.” Dengan senyum, Yoan mengulurkan tangannya, berharap sungguh sang wanita idaman itu menyambut niat baiknya.“Menjemputku? Tuan Rigel yang menyuruhmu?”“Tidak, mana mungkin begitu.”Sia menatap telapak tangan Yoan yang terulur dihadapannya, berdiri sedikit lebih tinggi di atas undakan lantai beton samping toko. Ragu, Sia tidak ingin berulang kali melihat bayangan masa depan buruk milik Yoan.Berkali-kali, dan itu sangat menyakitkan bagi Sia yang masih belum terbiasa. Bahkan saat mereka berpelukan pun, Sia berusaha menahan itu dengan ai
Menyibak selimut dengan perasaan marah, Rigel terhuyung saat akan turun dari ranjang Rumah Sakit, dan Yoan mencoba menangkap sebelah tubuh Tuannya.“Di mana Galexia?” Kedua mata Rigel yang memerah menatap tajam pada Yoan.“Dia akan segera ke sini, jadi Anda mau kemana?” Yoan terpaksa mengizinkan Sia ke Rumah Sakit karena wanita itu memaksa ingin bertemu Rigel.Yoan menanamkan pikiran di kepalanya, bahwa Sia datang karena merasa bersalah, bukan untuk mengkhawatirkan Rigel. Yoan yakin hampir seratus persen bahwa perasaan Sia hanya akan tertuju padanya. Mereka saling menyukai.“Kau bawa kemana gadisku?” Rigel masih berapi-api, duduk di tepi ranjang bersamaan dengan pikiran yang kacau.“Menjauh dari jangkauan Nona Disi, Tuan.”“Apa?” Nada suara Rigel meninggi. “Siapa yang memintamu melakukan itu?”“Aku ....”Pintu ruang rawat Rigel terbuka perlahan,
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per