Menyibak selimut dengan perasaan marah, Rigel terhuyung saat akan turun dari ranjang Rumah Sakit, dan Yoan mencoba menangkap sebelah tubuh Tuannya.
“Di mana Galexia?” Kedua mata Rigel yang memerah menatap tajam pada Yoan.
“Dia akan segera ke sini, jadi Anda mau kemana?” Yoan terpaksa mengizinkan Sia ke Rumah Sakit karena wanita itu memaksa ingin bertemu Rigel.
Yoan menanamkan pikiran di kepalanya, bahwa Sia datang karena merasa bersalah, bukan untuk mengkhawatirkan Rigel. Yoan yakin hampir seratus persen bahwa perasaan Sia hanya akan tertuju padanya. Mereka saling menyukai.
“Kau bawa kemana gadisku?” Rigel masih berapi-api, duduk di tepi ranjang bersamaan dengan pikiran yang kacau.
“Menjauh dari jangkauan Nona Disi, Tuan.”
“Apa?” Nada suara Rigel meninggi. “Siapa yang memintamu melakukan itu?”
“Aku ....”
Pintu ruang rawat Rigel terbuka perlahan,
Rigel tersenyum puas setelah hampir tiga jam berkutat di ranjang bersama Sia. Dengan perasaan bangga bercampur lelah, Rigel mengecup bibir Sia, penuh kenikmatan.Siapa yang menduga, meski ini kali pertama untuk seorang gadis yang terlihat lugu seperti Sia, justru dialah yang harus diberi kenikmatan. Berulang kali Rigel berhasil memuaskan Sia yang berhasrat tinggi dan Rigel yakin, tidak semua pria bisa menyamai dan mengimbangi Sia dalam urusan ranjang.Sekarang keduanya lelah, dengan keringat membasahi hampir sekujur tubuh bersamaan napas yang baru mulai bisa teratur. Rigel bahkan baru saja memikirkan sebuah dugaan, bahwa kemungkinan besar, Yoan juga tidak akan mampu menyamai Sia.Setidaknya, Sia akan diam meski dia tidak terpuaskan. Dan Sia juga memiliki hasrat berbeda di atas ranjang dengan kehidupan di luar itu. Perbedaan yang cukup jauh, membuat Rigel takjub.Setelah menggeliat sesaat, dia menyelimuti tubuh Sia dengan selimut tebal dan kembali menghadi
Disi membuka mata dan melihat Austin Cadee—Asistennya—berdiri cemas di sisi ranjang. Dia membungkuk untuk menahan tubuh Disi yang berusaha beranjak dari pembaringan. “Sudah, hentikan, Disi.” Austin mencengkeram erat kedua pundak Disi, menatapnya tajam dengan unsur perasaan yang tak sampai. “Kau orang yang paling tahu perjuanganku untuk mendapatkan hati Rigel. Aku tidak bisa berhenti begitu saja!” Kedua telapak tangan Disi menutupi wajahnya yang mulai menangis. Hal itu yang justru dia lakukan saat pertama kali sadar dari pingsan. Dengan sigap, Austin membawa kepala Disi ke dalam dekapannya. “Aku tahu. Tapi kau juga memiliki batasan. Rigel sudah mengakhiri hubungan. Itu artinya—” “Rigel emosi sesaat padaku. Aku tahu dia sedang dipenuhi amarah saat mengatakan hal itu. Tapi aku tidak bisa terima ketika ada wanita lain yang coba masuk di antara kami,” amuk Disi. Dia benar-benar marah. Austin melepas dekapannya sesaat, menatap Disi. “Kau serius? Rig
Setelah berhasil melepaskan diri dari pelukan Rigel yang kuat meski pria itu sedang tertidur, Sia berjinjit meninggalkan ruangan untuk bertemu Yoan yang sudah menunggunya di taman Rumah Sakit.Bertepatan dengan itu, Austin juga baru saja menutup pintu kamar Disi. Sama-sama terlelap dengan keadaan batin yang berbeda.Disi tertidur karena lelah terus menangis, sedangkan Rigel menjadi sangat nyenyak akibat dari menggunakan kekuatan berlebih untuk mengimbangi Sia dan hasratnya.Tanpa sadar, Austin berjalan mengikuti Sia. Sedikit penasaran karena dia belum begitu jelas memperhatikan wajah Sia saat di depan pintu karena sedikit ada jarak antara mereka.Ketika perjalanan Sia justru sedikit membingungkan bagi Austin, dengan tidak sabar, dia meraih lengan Sia.Begitu cepat keterkejutan menguasai seluruh tubuh Sia. Dalam sekali sentuh, cahaya putih itu kembali membungkus penglihatan Sia, lalu terbuka sendiri secara perlahan-lahan.Tampak seorang pria
Austin merasa tersinggung dan Sia tahu itu. Mereka saling menatap tanpa sepatah katapun lagi setelah Sia berhasil membuat Austin kalah telak.Berbalik lebih dulu, Austin merasa Sia bukan pelayan rumah biasa. Atau setidaknya, dia memiliki nyali dan sangat keras kepala.“Jangan ikut campur urusan orang lain jika kau ingin baik-baik saja.” Sia memperingatkan hingga membuat Austin berhenti berjalan.Maksud Sia bukan tentang Disi, tapi mengenai penglihatannya. Sia memutuskan untuk memberitahu Austin, meski nantinya pria itu memilih untuk tidak percaya, atau malah mengatainya gila, setidaknya, Sia sudah melepas gelisah di hatinya.Austin berbalik kembali, menatap Sia dan melipat kedua tangan di depan dada, dia memang tidak berpikir untuk mendengarkan gadis aneh ini, tapi dia berniat bicara lebih banyak dengannya.Satu ketertarikan yang tampak jelas. Mereka bagai langit dan bumi, tapi terasa dekat. Austin merasakannya lebih dulu.&ldquo
Sia tidak tahu apakah Austin serius bertanya, hanya sekedar ingin tahu, atau bertujuan untuk mencibirnya. Tapi Sia mencoba berpikir dan berbaik sangka.“Kau—”“Sia, ayo pergi. Lima menitmu sudah berlalu. Dan kau sudah terlalu lama di luar.” Yoan menyela dengan bergerak cepat menuju tepat ke samping Sia.Kecemasan mulai meliputi diri Yoan. Rigel bisa marah besar jika mengetahui Sia berada di luar bersamanya. Apalagi kini ada Asisten Disi yang terlihat tertarik untuk berbincang hal tidak perlu bersama Sia.“Baiklah.” Sia mengangguk, lalu melirik kembali pada Austin. “Akan kuberitahu besok pagi. Datanglah kembali ke sini.”“Di sini, maksudmu di Rumah Sakit ini?” Austin menaikkan alis, menunjuk lantai dengan jari telunjuknya.Sia mengangguk, lalu bergerak menjauh bersama Yoan. Sesekali hati Sia terusik dengan ketenangan Austin yang mendengar peringatannya seolah itu bukan apa-apa.
Sia menyelinap ke kamar dan memastikan bahwa Rigel masih terlelap. Perlahan, Sia naik ke ranjang, lalu masuk ke balik selimut yang sama dengan Rigel.Dia harus tetap didekat Rigel sampai pria ini terbangun nanti. Akan semakin sulit bagi Sia jika dia memilih tidur di sofa dan menyebabkan kemarahan sang Tuan pemilik rumah.Jangan lagi ada ancaman untuk hubungannya dan Yoan. Sia terlalu takut karena semua yang telah terjadi. Dicampakkan dan terlupakan!Menghela napas lega karena masih dapat hidup dengan baik sampai saat ini, Sia berada dalam keadaan terjaga dengan pandangan menatap lekat ke langit-langit kamar.Kapan dia memiliki hidupnya sendiri? Bayangan akan ketidakberdayaan selalu menghantui pikiran Sia.Ketika dia ingin melangkah lurus mencari jalannya sendiri, Yoan dengan segala kebaikannya, menarik Sia ke sisi kanan dan Rigel membawanya ke sisi kiri, bersamaan dengan hasrat yang sulit
Sayangnya, itu tidak terjadi. Sia sama sekali tidak memohon lebih seperti yang diharapkan Yoan.Justru ketakutan merambat naik dengan cepat ke tubuh Sia. Berulang kali Sia tampak tidak menikmati pergerakan mereka. Tatapannya hanya tertuju ke ranjang di mana sekarang Rigel tampak berbalik arah.Sia refleks melepas diri dari dekapan Yoan. “Maaf, Kak. Tuan mungkin bisa terbangun lebih cepat.” Selesai mengucapkan itu, Sia dengan tergesa melangkah menuju ranjang.Memang di luar dugaan, Rigel terbangun sesaat tanpa membuka mata untuk mencari Sia dengan meraba-raba sosoknya yang tiba tepat waktu dibalik selimut Rigel.Menghela napas di antara ketakutannya, Sia menoleh untuk memastikan Rigel masih nyenyak dan tidak membuka mata.Yoan terpaku di tempat. Meski ada kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya, tapi dia berusaha memahami keadaan.Sia mengangkat sedikit kepa
Sia keluar ruangan Rigel dengan langkah yang sedikit sulit. Percintaan yang menggemparkan ranjang dan tubuh mereka berulang kali memanas tanpa mampu teredam. Rigel mengizinkan Sia menghirup udara segar di luar, karena Dokter datang untuk melakukan serangkaian pemeriksaan terakhir pada dirinya. Austin yang sudah menunggu di tempat janji mereka bertemu, tidak terlalu memperhatikan langkah Sia yang tampak menahan kesakitan. “Kau merasa yakin bisa bicara leluasa di sini?” tanya Austin, ragu karena ada banyak pasien, perawat, bahkan para penjenguk yang lalu lalang di sekitar mereka. Lagipula, ada beberapa orang yang hafal wajah Austin si Asisten Disi yang tampan. Sehingga Austin merasa tidak nyaman untuk beberapa tatapan yang dilayangkan padanya. “Kenapa tidak?” Sia menjawab, tapi dia tahu kegelisahan Austin, hanya berusaha bersikap wajar pada orang asing. “Bagaimana jika di taman Rumah Sakit saja?” Austin menawar, dan beruntung Sia mengang
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per