Sia menjadi bahan pergunjingan di lingkungan rumah Josie dan Brandy, sebagai gadis dengan pikiran terganggu. Atau yang lebih mudah dan biasa disebut, gila!
Awalnya Josie tidak mempermasalahkan hal itu, sampai suatu pagi yang dingin, hujan turun tidak berhenti, Josie melihat tubuh Brandy kaku dan berlumur darah dengan kedua mata terbelalak di lantai dapur.
Kepanikan yang menyelimuti Josie pertama kali, Sia pembawa keburukan dan penyebab kematian Brandy, dia pembawa sial!
Hal itu yang ingin dipercayai Josie setiap kali telinganya mulai mendengar kalimat-kalimat berisik Nyonya tua Wilda dari seberang rumah.
“Keponakanmu, gila! Jauhi dia atau buang dia, jika kau tidak ingin bernasib sama dengannya, Josie.” Kalimat saran dan desakan itu bergema riuh berulang di telinga Josie, dan kesabarannya hilang pagi itu.
“Pergi kau, pembawa sial!” desis Josie, tepat setelah pemakaman Brandy yang diiringi hujan deras.
Ketakutan penuh berada dalam satu tubuh Sia. Dia tidak dalam kondisi bisa menyangkal atau berdiskusi tentang situasi ini dengan kepala dingin bersama Josie.
“Keluar!” Josie melempar koper Sia ke tanah di luar rumah. Menahan pintu dengan tangannya agar Sia bisa segera keluar, dan meninggalkan perasaan tidak menentu di hati Josie.
Dengan tubuh bergetar, bingung, dan ketakutan, Sia berjalan menjauhi pekarangan rumah Josie dalam tatapan dingin dari Bibi yang merupakan Adik kandung mendiang Ibunya itu.
Kekecewaan terbesar Sia adalah, Josie yang tidak ingin mendengar penjelasan apapun darinya.
Perjalanan tidak tentu arah di bawah hujan, membawa Sia ke ujung kota. Daerah kumuh yang sangat jauh berbeda dari Private Island, perumahan nyaman di mana Sia menumpang—rumah Josie—sebelumnya.
Sia menyeret koper berukuran sedang itu tanpa sadar bahwa roda koper terbenam di dalam tanah basah yang hampir berlumpur, akibat hujan.
Dia tersandung beberapa kali dan hampir terjerembab di tanah berlumpur. Beberapa pasang mata bahkan kini menatapnya seolah Sia merupakan makhluk asing yang berkunjung tanpa diundang ke pemukiman mereka.
Satu di antara pemilik sepasang mata itu, berseru di balik teras rumahnya yang sempit dan kotor.
“Hei, sedang apa kau di sini? Limora sudah pergi ke kota,” katanya, setengah berteriak. “Sebaiknya kau pergi sebelum Buckley melihatmu.”
Di antara rasa terkejut dan bingungnya, Sia hanya menggeleng pelan, berusaha menegaskan bahwa dia tidak mencari siapapun di pemukiman ini.
“Maaf, Tuan, aku sedang tidak mencari siapapun. Aku hanya kebetulan lewat dan akan segera pergi,” jelas Sia, dia berbalik dan melihat seorang pria berdiri sejauh lima meter darinya, di bawah hujan, sama sepertinya.
Dia, pria itu, Buckley Winton. Penguasa pemukiman kumuh. Dia bergeming menatap Sia, seolah dia butuh waktu sepersekian detik untuk memahami keadaan.
“Siapa kau? Sedang apa di sini?” Buckley bertanya. Ada kewaspadaan yang dia perlihatkan. Buckley menjaga agar pemukiman kumuh ini selalu terjaga dari orang asing atau penggusur yang mengklaim tempat ini adalah milik mereka, tanah mereka.
“A-aku ... bukan siapa-siapa. Hanya kebetulan melewati tempat ini, dan aku akan pergi sekarang.” Sia berusaha menjelaskan, sementara pria di depan teras rumah yang tadi memperingati Sia segera masuk ke rumahnya.
Tidak ada yang ingin berurusan dengan Buckley, tidak ada.
Buckley tidak terbiasa percaya pada siapapun. Jadi dia berjalan mendekati Sia yang sudah basah kuyup karena hujan. Mereka sama-sama basah kuyup. Yang bedanya, Buckley kembali ke rumahnya, sedangkan Sia, tentu saja tidak, dia tidak memiliki tempat untuk berteduh apalagi untuk tidur malam ini.
“Karena kau sudah menginjakkan kakimu di sini, itu artinya, kau berniat untuk melakukan sesuatu pada tempat ini atau orang-orang yang tinggal di sini,” kata Buckley, bersikeras.
Sia menggeleng, merasakan perih di kedua matanya. “Sungguh, aku bersumpah, aku tidak memiliki niat apapun, aku tersesat hingga sampai ke sini.”
“Lalu, kau pikir aku percaya begitu saja? Tidak, Nona!” Buckley sudah meraih pergelangan tangan Sia untuk dia cengkeram agar Sia tidak pergi kemanapun.
Sia pucat pasi, dia ketakutan ketika Buckley menyentuhnya. Dan dalam sekejap sinar putih menyilaukan itu kembali menghalau pandangan Sia.
Gambaran dari sentuhan Buckley adalah tentang bagaimana pria itu mendapatkan kecelakaan kecil berupa luka-luka ringan akibat terserempet sebuah mobil.
“Hei, tolong lepaskan!” Sia mencoba menghentak, meronta menahan getaran ketakutan akan penampakan itu lagi dan lagi, sebanyak sisa kekuatannya. “Aku tidak berbohong, sungguh ... aku tidak bermaksud apapun pada orang-orang yang tinggal di sini!” teriak Sia, melambaikan satu tangannya yang bebas agar Buckley mau memahaminya.
“Diamlah! Kau hanya perlu kupaksa bicara jujur, nanti. Jadi ayo ikut!” Buckley menyeret paksa Sia yang bertubuh mungil dan mampu dibawa cepat oleh Buckley tanpa beban sama sekali.
Roda koper Sia tetap terbenam di lumpur, bahkan terpaksa dibiarkan oleh Sia tanpa lagi berusaha untuk dia angkat dari sana.
“Hei, Tuan, bisakah kau membantu melepaskan koperku dari lumpur? Hanya itu yang kumiliki saat ini, kumohon.” Sia berjalan mengikuti Buckley. Dia sudah membawanya ke sebuah pondok kecil yang bocor di sana-sini.
“Duduk di sini dan tenanglah!” bentak Buckley. Pria akhir dua puluhan ini sudah terbiasa menikmati sandiwara dari para wanita yang mencari celah untuk menyerang.
Buckley menyamaratakan semua wanita. Terutama yang terlihat lemah seperti Sia. Jadi cerita sedih dan tragis tidak akan mempengaruhinya, tidak akan pernah.
Ragu-ragu Sia duduk di sebuah kursi kayu panjang tanpa sandaran. Memperhatikan Buckley menerobos hujan yang kembali deras. Beruntung sekali ketika Buckley menyentuh Sia, hal yang terlihat di masa depannya tidak begitu buruk.
Sia berlega hati untuk itu. Dia melihat Buckley mendekatinya lagi sambil menyeret koper pakaian yang roda-rodanya sudah penuh tanah basah.
“Ini kopermu!” Buckley meletakkan koper Sia dengan kasar ke dekat kakinya. “Sekarang kau harus tetap di sini sampai Mora kembali.”
Sia berpikir, mungkin seseorang yang mereka sebut-sebut ini bisa membantu, setidaknya memberi Sia izin untuk menginap malam ini, di sini. Lagipula, tidak ada tempat tujuan lain untuk dia tuju.
“Kau ... berhati-hatilah dengan jalan raya,” kata Sia, pelan. Dia tahu reaksi semua orang akan sama. Mereka akan menganggap Sia gila dan pembawa sial, tapi setidaknya Sia berusaha untuk memberitahu. Jika tidak ada yang dapat mencegah hal buruk di masa depan terjadi, setidaknya, mereka perlu dan bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi peristiwa buruk itu.
“Apapun yang kau katakan, tidak akan pernah membuatku percaya. Jadi percuma saja.”Buckley mengibaskan tangannya tidak peduli. Dia sibuk membersihkan rambutnya yang basah.
Sia menghela napas, dia memejamkan kedua matanya. “Aku sudah memperingatinya. Aku sudah berusaha,” kata Sia dalam hati.
Menggigil sekitar dua puluh lima menit, ditemani Buckley yang sudah berganti pakaian, Sia menatap arah telunjuk Buckley yang mengarah pada seorang wanita berpakaian rapi dari kejauhan.
Dia mengenakan payung besar berwarna ungu tua dengan wedges menginjak tanah basah tanpa ragu, menuju ke arah Sia dan Buckley.
“Wah, wah ... kita kedatangan tamu.”
Bersambung.
Limora Catty. Siapa yang tidak mengenalnya di pemukiman kumuh ini. Pemukiman Lauht. Limora menamai tempat ini tanpa pikir panjang, dan menandai Lauht sebagai tempat untuk dia dan Buckley berkuasa.“Tamu istimewa yang mendatangi kita ini, siapa Buck?” Keramahan singkat dari Limora, dia tersenyum.“Entahlah. Aku melihat dia berjalan ke sana kemari seperti wanita gila. Kupikir, dia pasti suruhan para penggusur atau apalah itu, untuk menyusup ke sini. Dia akan mengacau seperti Irene. Tidak akan kubiarkan itu terjadi lagi,” cerca Buckley. Ada guratan kemarahan di raut wajahnya.Limora tertawa pelan, dia berusaha menahan dirinya untuk tidak menampar Buckley yang bodoh. Limora sadar, dia mendapatkan berlian dengan cuma-cuma.“Bisakah kau singkirkan prasangka tidak bergunamu itu, Buck?” Limora melirik Buckley, tajam dalam pandangan menekan. Suaranya saat bicara terdengar manis, tapi mengandung racun.Buckley membungkam mulutnya sendiri. Dia tahu tidak akan
Sia terbangun karena nama lengkapnya dipanggil dengan lembut oleh Limora Catty. “Bisakah kita bicara? Aku punya berita baik untukmu.” Limora tersenyum. Keramahan yang tampak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sia mengangguk. Menarik tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. “Kau pasti ingin hidup dengan kedua kakimu sendiri, bukan?” “Ya, tentu saja.” Limora tersenyum senang, karena dia menang. “Seseorang membutuhkan tenagamu untuk membantu mereka membersihkan rumah dan memasak. Apa kau bersedia?” Sia tertegun sesaat, dia harus memikirkan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa depan. Tapi di saat seperti ini apa dia membutuhkan sebuah pertimbangan? Tidak, dia tidak butuh harga diri yang terlalu tinggi untuk bisa menerima pekerjaan itu. Sia tidak ingat siapa dia yang dulu. Di mana dia bekerja, tinggal, siapa teman-temannya, bahkan nama lengkapnya pun dia baru berhasil mengingat itu saat Limora Catty menany
“Nona Sia, benar?” Yoan langsung bertanya ketika nada tunggu diseberang menghilang.“Ya, benar. Maaf ... dengan siapa aku bicara?” Sia baru saja melepas mantel hijau tua kumal pemberian Limora—lagi—dari tubuhnya. Berdiri terpaku di sudut ruangan. Khawatir akan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan.“Aku Yoan Bailey, pelayan Tuan Rigel,” jawab Yoan.“Apa? Siapa itu? Lalu ... maksudku, ada hubungan apa—”“Ah, Limora Catty tidak memberitahumu apapun?” sela Yoan. Dia mengusap tengkuk sekilas, merasa sedikit berdebar karena suara halus bergetar dan lembut dari seberang.“Tidak, tidak ada,” jawab Sia cepat. Dia masih berdiri, menatap keluar jendela. Memperhatikan daun-daun berguguran dari pohon samping rumah, sambil berpikir dengan baik, apa ada kesalahan yang telah dia perbuat yang melibatkan Limora, atau tidak.“Akan kujelaskan, singkatnya, kau bekerja di rumah Tuanku yang bernama Rigel Auberon. Mulai hari ini, segala perintah atau hal yang dii
Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru be
“Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc
Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi
Sia gugup, bingung. “Ke rumah Anda, Tuan?”“He-em, ayo cepat. Aku lelah dan ingin segera tidur di ranjangku.” Rigel tanpa sadar mengulurkan tangannya, tidak memberi Sia waktu untuk berpikir, dia menarik tangan Sia. Melangkah santai menyeberangi jalan.Sia tidak keliru, dia sengaja tidak menepis tangannya dari genggaman Rigel, karena ingin mencoba lagi untuk memastikan bahwa memang benar, Sia tidak bisa melihat apapun masa depan buruk dari Rigel meski mereka sudah bersentuhan beberapa menit.Rigel tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Sudah selesai menyeberangi jalan, hati dan isi kepalanya bekerja sama untuk tetap menggenggam tangan Sia dengan niat sampai mereka tiba di rumahnya.Genggaman tangan mereka basah. Itu lucu karena kedua telapak tangan mereka sama-sama berkeringat akibat gugup.“Apa aku pria yang semudah ini? Kenapa berpegangan tangan saja sampai membuatku berkeringat dingin?” gumam Rigel kasar, dalam hatinya. Dia melirik Sia yang diam
“Kau cantik. Tidak berniat menjadi model atau bintang iklan?” Rigel masih memperhatikan wajah Sia tanpa malu-malu. “Aku memiliki teman yang bisa membantumu.”Sia terperangah, menyadari kesalahan fatalnya yang lancang mengusap keringat di kening Tuannya. Tapi berhubung Rigel tidak membentaknya, Sia hanya diam dengan tangan yang sudah dia tarik kembali ke samping tubuhnya.“Sepertinya tidak, Tuan.”Rigel tetap mempertahankan kedekatan mereka, mencari-cari kesungguhan di wajah Sia. Biasanya, tidak ada wanita yang menolak saat ditawari pekerjaan menjanjikan tidak hanya dalam segi materi, tapi juga ketenaran.Sia menolaknya. Rigel tidak habis pikir. “Kenapa? Kau mengira aku akan membohongimu?”“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Tuan.”“Lalu?”“Aku sudah cukup senang bisa bekerja di sini. Membersihkan rumah dan memasak untuk Tuan dan Kak Yoan.”“Begitukah?” Rigel mendadak menemukan ide gila. “Kalau begitu, coba pel
Ratu Nimfa. Wanita culas yang tidak menginginkan siapa pun berada didekat Penguasa langit selain dirinya. Janji Vanth untuk mencabut nyawa wanita itu benar-benar diwujudkan, meski akhirnya Penguasa langit melindungi Ratu Nimfa demi dirinya dan kerajaan yang mereka bangun bersama.Minerva tidak menyangka bahwa Vanth mengikutinya ke dunia langit, mengumpulkan banyak tenaga demi bisa menghunuskan belati ke dada kiri Minerva.“Pergilah. Mulai hari ini, kau bukan Putriku. Dan tidak akan ada bahagia yang kau dapatkan setelah berani melakukan banyak hal buruk pada kami. Satu hal yang harus kau ingat, apa pun yang terjadi padamu dan Putra-Putrimu, itu tidak akan ada lagi hubungannya denganku.” Penguasa Langit berbalik, membawa tubuh Ratu Nimfa yang sekarat, tapi wanita itu tidak akan mati. Sekali lagi, mereka bukan manusia. Hidup abadi adalah salah satu hal paling membosankan yang tidak bisa mereka banggakan.“Kau tidak menyesalinya?” Vanth terba
“Dia bukan cinta lamaku,” protes Vanth. Kenyataannya memang begitu.“Ya, aku percaya itu.” Yemima mencibir. Menyeringai dibalik punggung Rigel.“Susul Hortensia. Dia mungkin tidak bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Sia.” Vanth menatap Rigel yang mulai menggerakkan tangannya.“Yeah, dua wanitamu bersatu.”“Diam dan pergilah.” Vanth dibuat kesal setiap waktu oleh Yemima, meski dia membutuhkan rekan seperti wanita itu di sisinya.Yemima pergi sembari menyeringai, dia tahu Vanth hanya mencintai Minerva, tapi terjebak birahi dengan Aura. Dan dirinya sendiri tidak pernah peduli untuk jatuh cinta, apalagi berkembang biak.*****Sia memperhatikan dua wajah yang terbaring di kiri dan kanannya. Vanth memang baru saja memejamkan kedua matanya, pria itu lelah pastinya. Sementara Rigel sudah terbaring tidur lebih dulu sebelum dirinya merangkak ke sisi
Rigel pernah punya kenangan di rumah ini. Rumah pertama kali dia dipertemukan kembali dengan Sia, dan rumah yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama Yoan Bailey.Beruntung dia tidak pernah membiarkanYoan menjual rumah ini. Walau tampak tidak berpenghuni, tapi Rigel ingat, Yoan mempekerjakan sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat rumah ini, serta menyantuni mereka setiap bulan.Mereka disambut, benar, sepasang suami istri yang ramah. Rigel tidak mengenal mereka. Yoan yang selalu mengurus hal yang sering kali tidak dia ketahui.“Jadi selama ini siapa yang membayar gaji kalian?” Rigel bicara tanpa basa-basi, setelah tadi dia mengantarkan Sia masuk ke kamar, agar wanita itu bisa beristirahat.“Tuan Vanth Dier.”Ah, seketika Rigel tidak lagi curiga. Ares Vanth Dier memang selalu bisa diandalkan.*****Vanth menginjak kepala penyerang terakhir, yang lebih tepat disebut pem
Selama sepekan, Vanth dan Rigel terus ada di sisi Sia dengan bergantian berjaga, bahkan mereka tidur di ranjang bersama, bertiga.Malam itu, Sia merasa gerah. Dia meminta Rigel melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun tidur tipis. Saat dengan hati-hati Rigel melakukannya, Vanth sedang berada di dapur bersama Aura, dan Yemima yang baru saja pergi keluar rumah karena bosan.Dua wanita itu sudah diminta pulang ke negeri atas awan, tapi mereka bersikeras tinggal dengan alasan ingin berjaga-jaga jika kemungkinan buruk yang bisa datang dari luar rumah.“Dia akan baik-baik saja, bukan?” Suara halus Aura, terdengar di dapur Sia yang tidak luas, juga tidak sempit.Sejak tadi, Vanth lebih banyak diam. Aura tahu, itu bukan pertanda yang baik.“Pasti.” Hanya itu jawaban Vanth.“Aku merindukanmu,” ucap Aura dengan sadar posisi, tempat, dan waktu saat dia mengakuinya.“Lalu, apa yang kau inginkan?&rd
Sia melihat perseteruan di depan matanya. Berkali-kali dia memutar tubuh ke kiri dan kanan hanya untuk memastikan keberadaannya.Mimpi dan penglihatan itu lagi. Anehnya kali ini, ada pihak lain yang tampak tidak terima dan menyulitkan Rigel.Sia ingin mendekat, tapi rasa kram di perutnya menahan dia untuk melakukan itu. Dia hanya bisa berada di jarak lima meter untuk memandangi mereka, dan terasa aman bagi kondisi perutnya.Saat umpatan wanita histeris itu mengudara, saat itulah Sia bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan, menghantam mereka.Rigel terpental, lalu menghilang di udara yang membuat tubuhnya sempat mengambang. Begitu juga dengan dua lainnya yang sudah hilang tidak berjejak apa pun.Sia tersedot dari sana dan terlempar untuk membuka kedua matanya kembali. Sensasi seolah ini perjalanan waktu.Terengah, Sia membulatkan sepasang matanya dalam kengerian teramat sangat.“Kau bermimpi buruk lagi?” Yemima hadir d
Waktu penjemputan. Rigel harus segera bersiap. Dia melihat Aura Hortensia Dikova yang berdiri di ambang pintu saat dia keluar untuk membuka dan melihat dengan perasaan tidak menentu di sana.“Kau?”“Bukan hanya dia, tapi juga aku.” Yemima Zvon Yolanthe bahkan ikut muncul dibalik punggung Aura.Rigel mengernyit. Dia tahu siapa wanita ini, bahkan keduanya. “Seharusnya kau datang untuk menjaga Sia.”“Yap. Tapi Ratu Nimfa sudah membebaskan aku. Dia memberikan pilihan padaku. Membantunya atau mantan rekanku. Jelas bukan, aku memilih siapa. Aku di sini sekarang.”Mendengus, Rigel meninggalkan pintu, mendekat ke arah kamar Sia. “Kupikir Ratu pendamping Penguasa langit itu tidak akan pernah mudah melepas sanderanya.”“Aku bukan sandera mereka. Aku hanya melakukan kesalahan kecil hingga harus menjalani hukuman.”Aura melangkah maju hingga berada di antara mereka. “Ba
Austin ingin tertawa mendengarnya. Ini kesalahpahaman yang bahkan tidak pernah terjadi padanya dan Disi. Kenapa bisa Irene berpikir terlalu jauh seperti itu? “Aku punya kesibukan yang lain beberapa waktu lalu hingga ketika tiba di rumah, aku lebih mengutamakan bayi Cassie karena dia jarang sekali bisa bertemu denganku. Denganmu, aku bisa melihatmu selalu. Kita tidur bersama sepanjang malam. Jadi kupikir, aku tidak ingin kehilangan momenku sebagai seorang Ayah bersamanya. Dan ... aku memikirkan ini lebih jauh Irene. Ketika kita bercinta, aku selalu lepas kendali. Kekuatanku menindih tubuhmu bisa mematahkan ranjang. Kau sedang hamil, dan aku tidak ingin lepas kendali yang bisa berakhir dengan menyakitimu dan bayinya. Apa hal itu justru menyakiti hatimu?” Austin mengangkat dagu Irene agar berani menatapnya. “Tidak. Kau tidak pernah menyakitiku. Justru aku takut diriku bisa membuatmu terluka dan kecewa.” Irene meraih tangan Austin, menggenggamnya sesaat,
Rigel mengangkat tubuh Sia ke tempat tidur. Wanita itu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.“Temani dia. Aku harus kembali sebentar ke negeri atas awan.” Vanth sudah bergerak untuk pergi.“Aku tidak bisa meninggalkan Sia seorang diri saat akan melakukan penjemputan.”“Aku tahu.” Vanth mengusap kusen, merapalkan mantra di sana. “Jika aku terlambat kembali, seorang teman akan datang menemani Sia.”“Harus seseorang yang tahu tentang kondisi kehamilannya.” Rigel memperingatkan. Seorang manusia normal pasti akan panik saat menghadapi situasi kesakitan Sia, dan pasti memilih untuk membawanya ke Rumah Sakit.“Ya. Dia temanku, bukan teman Sia. Jadi sudah pasti dia paham akan kondisinya.” Setelah bicara, Vanth pergi. Ada rasa sedih yang disimpannya rapat-rapat di dalam hati, dia harus kembali karena ada beberapa tugasnya sebagai Pemimpin yang belum selesai.Rigel melihat wajah
Tersadar dari pingsannya, Sia mengalami sesak napas.“Sayang, cobalah bernapas dengan perlahan.” Vanth yang tidak tidur sama sekali dan terus terjaga saat Sia terlelap, tetap tenang walau ada gelisah yang menghantuinya.Sia coba mengikuti saran Vanth, tapi tetap tidak membuahkan hasil apa pun. Sia terus kesulitan bernapas dan Vanth segera membawanya ke Rumah Sakit.“Selain kesulitan bernapas, tubuhnya juga kehilangan cairan cukup banyak. Dan ...” Dokter wanita itu melepas kacamatanya, mencubit pangkal hidungnya, dan bingung harus bagaimana menyampaikannya, “maaf, Tuan.Seperti ada parasit yang coba menyerap darah dan mengganggu kinerja organ tubuh lainnya. Parasit yang sampai saat ini belum bisa kami temukan berada di bagian tubuh mana di dalam tubuh istri Anda. Jujur saja, ini aneh. Seperti di luar akal sehat kami, para Dokter. Bukan tidak mungkin, tapi—”“Aku mengerti.” Vanth menarik diri, per