Welcome 🌷
*****
"Assalamualaikum warahmatullah."
"Assalamualaikum warahmatullah."Ya Allah, hamba datang kembali untuk meminta ampunan-Mu atas semua dosa yang pernah hamba lakukan.
Ya Ghofur, ampunilah semua dosa-dosa hamba. Baik yang disengaja maupun yang tidak. Baik yang kecil maupun yang besar. Baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang tersembunyi.
Ampunilah juga dosa kedua orang tua hamba, Ya Rabb. Berikanlah mereka tempat yang tinggi di surgaMu. Pertemukan kembali hamba dengan ibu dan ayah kelak di surga, Ya Rabb. Kami semua ingin berkumpul bersama disana.
Ya Allah, berikanlah selalu hamba semangat untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Berikan hamba kekuatan dan ketegaran hati. Kuatkan iman dan kesabaran hamba untuk menghadapi berbagai perkara yang ada kedepannya.
Terimakasih atas semua karunia yang telah Engkau berikan kepada hamba. Terimakasih karena sampai sekarang Engkau masih memberikan hamba kesempatan untuk hidup dan bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Terimakasih atas semua nikmat yang sudah Engkau berikan. Sungguh tanpaMu hamba bukanlah siapa-siapa, Ya Rabb.
Aamiin.....
Aku bergegas melepaskan mukena ketika selesai melaksanakan solat subuh. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, aku harus bersiap untuk pergi sekolah juga mengambil dagangan di Umi Fatimah. Untungnya aku sudah mandi jadi bisa langsung memakai seragam dan segera pergi menuju rumah Umi yang letaknya tak jauh dari rumahku.
*****
Tok tok tok
Aku mengetuk pintu kayu bercat merah tua lalu menunggu sampai seorang wanita paruh baya berjilbab syar'i membukakannya sembari tersenyum lembut. Aku ikut tersenyum kemudian mencium punggung tangan Umi Fatimah.
"Assalamualaikum, Umi," kataku sembari menggerakkan jari-jari tangan membentuk bahasa isyarat.
"Wa'alaikumsalam warahmatullah. Tumben banget kamu jam segini udah ke rumah umi, Nak? Udah sarapan?" tanya Umi Fatimah.
Aku menggeleng kecil sebagai jawaban lantas terkekeh tanpa suara. Kulihat Umi Fatimah juga tertawa dan tangannya bergerak mengusap kepalaku yang tertutup hijab putih.
"Masuk dulu, yuk. Umi belum selesai bikin kuenya. Sekalian kamu sarapan juga, oke?"
"Tidak usah, Umi. Terimakasih. Tapi Ara puasa, kan sekarang hari Kamis."
Umi Fatimah terdiam membaca bahasa isyarat dariku. Detik berikutnya wanita cantik tersebut terkekeh gemas sambil mencubit pelan pipiku.
"Oh iya Umi lupa. Ya, sudah Ara duduk dulu, ya. Umi mau selesaikan bikin kuenya."
"Iya, Umi."
Akhirnya aku duduk di sofa sembari menunggu Umi Fatimah selesai dengan urusannya. Mengeluarkan sebuah Al-Qur'an kecil bersampul putih yang terlihat sudah usang, aku mulai membaca ayat per ayat dengan tartil dan seksama guna menghapus rasa bosan.
Aku selalu suka jika sudah berduaan bersama Al-Qur'an pemberian dari mendiang ibu beberapa tahun lalu, tepatnya saat aku masih duduk di kelas 1 SMP. Al-Qur'an ini sebenarnya hadiah dari ibu karena aku berhasil mendapatkan juara 1 paralel. Tapi sayang belum sempat aku mengucapkan terimakasih, ibu sudah lebih dulu pergi menyusul ayahku yang sudah berpulang saat aku masih kelas 4 SD.
Kini yang tersisa sebagai kenangan adalah Al-Qur'an ini satu-satunya. Aku masih ingat, dulu ibu bekerja susah payah agar bisa menabung dan membelikan aku Al-Qur'an. Setelah menunggu waktu selama 4 bulan akhirnya usaha ibu berhasil. Aku selalu bisa merasakan kehadiran ibu setiap melihat Al-Qur'an di tanganku ini.
Tanpa sadar air mataku mengalir membasahi pipi. Aku merindukan ibu. Aku merindukan ayah. Sedang apa ibu dan ayah disana? Apakah ibu dan ayah tidak merindukan aku juga? Rasanya aku ingin menangis kencang setiap mengingat semua momen yang pernah aku lalui bersama ayah dan ibu. Dadaku terasa sesak.
Selang 30 menit Umi Fatimah datang kembali seraya membawa kotak berisi kue-kue basah yang nantinya akan aku titipkan di kantin sekolah. Aku kembali memasukkan Al-Qur'an pemberian ibu ke dalam tas.
"Semuanya ada 100 kue, ya, Nak. Kalau belum habis jangan dipaksakan. Sisanya bisa kamu bawa pulang buat buka puasa."
"Iya, Umi. Semoga hari ini semua kuenya habis kayak kemarin."
"Aamiin. Kamu mau berangkat sekarang?"
"Sekarang aja deh. Takut telat, soalnya hari ini Ara gak naik angkot, mau jalan kaki aja." Aku meringis pelan. Umi Fatimah tersenyum lembut kemudian mengangguk kecil.
Aku menerima kotak berisi kue dari tangan Umi, tak lupa aku mencium punggung tangan wanita yang sudah aku anggap seperti ibu sendiri itu sebelum berangkat menuju sekolah. Aku bersyukur bisa bertemu orang sebaik Umi Fatimah, beliaulah yang menjagaku setelah ibu pergi untuk selama-lamanya.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Aku tersenyum penuh semangat begitu keluar dari rumah Umi Fatimah. Langkah kecil kakiku terasa ringan, suasana hatiku sangat bagus apalagi ketika menghirup betapa segarnya udara di pagi hari. Letak sekolah dengan rumahku bisa dibilang cukup jauh, tapi aku tak pernah mempermasalahkan. Itulah kenapa aku memilih berangkat lebih pagi agar bisa berjalan kaki, hitung-hitung olahraga ringan juga.
Perlahan matahari mulai terbit di arah timur, sinarnya terasa hangat menyapu permukaan kulit. Tak terasa sebentar lagi aku akan sampai di sekolah, jaraknya tinggal beberapa meter dan gedung bertingkat dua dengan warna cat hitam bercampur hijau mulai terlihat di depan mata.
Aku semakin mempercepat langkah, namun belum juga aku berhasil memasuki gerbang, sebuah motor melesat cepat melewatiku hingga sedikit mengenai lengan menyebabkan tubuhku limbung dan berakhir jatuh bersama kotak berisi kue basah milik Umi Fatimah.
Motor berwarna hitam tersebut berhenti dan pemiliknya turun setelah membuka helm. Aku mendongak menatap laki-laki yang berdiri di hadapanku.
•To be continued•
Welcome 🌷*****"Lo kalau jalan tuh lihat-lihat! Udah tahu gue mau lewat lo malah nutup jalan! Lo pikir ini jalan punya nenek moyang lo, hah?!"Mataku sedikit melirik ke arah laki-laki berseragam sama sepertiku yang tengah berdiri seraya berteriak marah. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba bersabar meskipun sebenarnya dalam hati aku kesal. Tentu saja. Laki-laki itu yang barusan menyenggol lenganku hingga membuat aku terjatuh bersama kue-kue basah milik Umi Fatimah. Tapi malah dia yang marah-marah.Aku menatap nanar kue-kue yang berserakan. Dengan cepat aku mengumpulkan kembali dan memasukkannya ke dalam kotak. Setelahnya aku berdiri menghadap ke arah laki-laki yang sama sekali tidak merasa bersalah. Dapat aku lihat kedua alis tebalnya menukik ke dalam, keningnya kusut, serta jangan lupakan tatapan matanya yang tajam.
Welcome 🌷*****Senyum terus terukir di wajahku bahkan setelah aku keluar dari dalam ruangan Pak Imam. Bisa aku dengar dengusan dari Agatha yang berjalan di sampingku yang mungkin merasa jengah karena aku terus-terusan tersenyum lebar seperti orang aneh."Mingkem, Ra. Tuh gigi udah kering kayaknya gara-gara lo senyum-senyum terus," ujar Agatha. Tersadar atas apa yang sudah aku lakukan, kepalaku menunduk menahan malu.Aku menghentikan langkah secara mendadak, otomatis Agatha pun ikut berhenti juga. Agatha mendelik ke arahku dengan sebelah alis terangkat seolah bertanya, "kenapa berhenti?". Buru-buru aku mengeluarkan kertas dan satu buah pulpen yang senantiasa aku bawa kemana-mana."Makasih udah temenin aku ketemu sama Pak Imam, ya." Itu yang aku tulis di kertas.
Welcome 🌷*****"Lo?!"Anak laki-laki yang seragam sekolahnya dikeluarkan dari celana tersebut terus memandangiku tanpa berkedip. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Apa dia datang karena ingin meminta maaf? Ah, kurasa tidak. Apa dia sungguh tidak merasa bersalah? Sombong sekali.Aku refleks berdiri dari bangku ketika laki-laki itu berjalan mendekat. Baru satu langkah, dia berhenti kembali, menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Aku mati-matian menahan badanku yang sudah gemetar, kedua tanganku tanpa sadar meremas kuat rok abu-abu yang aku kenakan. Aku menunduk lagi tak berani membalas tatapannya.Sebenarnya aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Namun, entah mengapa aku selalu otomatis akan tertunduk kala ada yang menatapku lekat. Atmosfir kantin berubah mencekam dan sunyi. Aku benci berada di situasi
Welcome 🌷*****"Valencia!"Aku terperanjat ketika wajah Agatha tiba-tiba muncul tepat di hadapanku dan berjarak sangat dekat. Belum lagi Agatha juga memukul meja keras mengakibatkan tulisanku keluar dari garis buku. Aku menghela napas pelan sedangkan Agatha menggaruk belakang kepalanya."Kaget, ya? Maaf hehe ....," Agatha meringis sampai memperlihatkan deretan giginya yang putih. Aku menggelengkan kepala, agak takjub juga dengan tingkah gadis yang satu ini. Di satu sisi Agatha bisa terlihat begitu menyeramkan karena wajahnya yang datar, di sisi lain rupanya Agatha juga bisa bertingkah konyol."Udah istirahat kaga mau ke kantin? Hari Jumat lo kaga puasa kan?" tanya Agatha. Aku mengangguk."Ya udah ayo!" ajak Agatha tidak sabaran. Aku pasrah saat Agatha langsung membereskan buku
Welcome 🌷*****Hari Sabtu yang cerah."Nak, tolong gantikan Umi sebentar buat ngaduk adonan kue, ya. Umi ada sedikit urusan, nanti kalau udah langsung masukin ke panci terus di kukus 30 menit. Ngerti?" Umi Fatimah mengusap kepalaku yang tertutup hijab warna biru tua, aku mengangguk sambil tersenyum kemudian langsung mengambil alih pekerjaan Umi."Cuma sebentar kok. Nanti Umi langsung pulang.""Iya, Umi. Tenang aja kalau sama Ara pasti semuanya bisa beres. Hati-hati dijalan.""Iya Umi percaya deh. Kalau gitu Umi pergi sekarang, ya. Kamu juga hati-hati di rumah. Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam."Setelah mengusap lembut kepalaku lagi, barulah Umi Fatimah berbalik badan meninggal
Welcome 🌷*****Author POVLangkahnya sontak berhenti setelah kedua kakinya menapak lantai dasar, matanya mengarah ke satu objek membuat keningnya mengerut dalam. Seraya melipat kemejanya hingga siku, laki-laki berparas tampan itu perlahan berjalan mendekati seseorang yang duduk di samping sang bunda."Lo ... si cewek bisu itu kan?" tanyanya santai, salah satu alisnya terangkat. Tak menjawab, orang yang ditanya malah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah kebetulan macam apa, lagi-lagi Ara bertemu dengan laki-laki sombong ini."Ghifar! Ngomong apa kamu?! Jangan sembarangan, ya!" sentak Tiara pada anak laki-lakinya sembari menggelengkan kepala.Pemuda bernama Ghifar itu beralih menatap ibunya beberapa detik, s
Welcome 🌷*****Kedua kakiku terus melangkah menapaki jalan beraspal sedangkan tanganku sibuk mengorek-ngorek plastik berisi bahan makanan dan kue yang baru saja aku beli dari pasar. Menghitung serta memastikan bahwa jumlahnya pas dan tak ada yang terlupa. Cuaca di hari Ahad cukup panas, matahari bersinar terik, panasnya kentara sekali menyengat permukaan kulit.Semalam saat aku hendak tidur, aku teringat jika bahan makanan di dapur mulai habis. Jadi aku memutuskan untuk pergi belanja dan pagi tadi sekitar pukul 8 Umi Fatimah datang ke rumah mengajakku ke pasar, katanya bahan-bahan untuk membuat kue habis, jadi daripada beliau harus capek berjalan jauh, lebih baik sekalian saja aku yang membelikannya.Kala mataku bergulir ke arah kanan, sesuatu di sana menghentikan langkahku. Sebuah tulisan yang tertempel di kaca sebuah toko roti yang menjelaskan bahwa toko
Welcome 🌷*****Author POV"Apaan sih lo?" Agatha menyentak kasar lengan Ghifar yang mencengkram pergelangan tangannya. Laki-laki itu berbalik menghadap penuh ke arah gadis berambut sebahu yang menjabat sebagai kekasihnya."Pulang," ujar Ghifar singkat namun penuh penekanan."Gue gak mau. Lo duluan aja sana gue masih mau nemenin Ara.""Sejak kapan lo jadi peduli gini sama dia?""Ara teman gue.""Sejak kapan kalian berteman?""Banyak tanya lo. Udah sana pulang. Gue nanti".Agatha hendak berbalik tapi lagi-lagi tangannya dicekal oleh Ghifar. Dengan gerakan malas, Agatha menoleh sembari
Welcome 🌷*****Sudah lima hari Agatha menghilang dan selama itu pula laki-laki bernama Ghifar selalu meneror ku dengan pertanyaan yang sama "dimana Agatha?". Sungguh aku sendiri juga tidak tahu kemana Agatha pergi. Aku pun khawatir karena gadis berambut sebahu itu mendadak seperti lenyap ditelan bumi. Bodohnya aku tidak tahu dimana letak rumah Agatha. Wajar saja kami baru berteman beberapa Minggu yang lalu, aku juga tidak pernah menanyakan apapun kepada Agatha. Entahlah rasanya aku tak ingin terlalu peduli dengan urusan hidup orang lain. Yang aku tahu, aku dan Agatha sudah berteman. Itu saja.Seperti sekarang ini, bel istirahat baru berbunyi 5 detik yang lalu dan Ghifar kembali datang ke kelasku, berdiri tepat di depan mejaku dengan wajah datar andalannya. Aku menghela napas lelah. "Dimana A
Welcome 🌷*****"Kamu yakin mau berangkat sekolah, Nak? Badan kamu emang udah gak panas?" tanya Umi Fatimah begitu aku sudah duduk di sofa. Umi membawa sepiring nasi goreng dan segelas teh manis hangat.Aku menggeleng. "Ara udah agak mendingan, Umi. Hari ini ada ulangan kimia jadi Ara harus masuk sekolah. Umi tenang aja, ya.""Tapi tetap aja Umi khawatir, Ra. Lagian sih kemarin Umi udah suruh kamu bawa payung tapi gak mau. Jadi pulangnya hujan-hujanan gitu sampai demam. Kalau Umi kasih nasihat itu nurut."Aku tertawa geli mendapat rentetan omelan Umi yang terdengar sangat lucu. Tanganku meraih piring dan gelas dari tangan Umi, meletakkannya ke atas meja lalu menarik Umi agar duduk di sampingku."Iya, Umi. Maafin Ara, ya. Kemarin Ara kira gak bakal turun hujan,"
Welcome 🌷*****Author POV"Apaan sih lo?" Agatha menyentak kasar lengan Ghifar yang mencengkram pergelangan tangannya. Laki-laki itu berbalik menghadap penuh ke arah gadis berambut sebahu yang menjabat sebagai kekasihnya."Pulang," ujar Ghifar singkat namun penuh penekanan."Gue gak mau. Lo duluan aja sana gue masih mau nemenin Ara.""Sejak kapan lo jadi peduli gini sama dia?""Ara teman gue.""Sejak kapan kalian berteman?""Banyak tanya lo. Udah sana pulang. Gue nanti".Agatha hendak berbalik tapi lagi-lagi tangannya dicekal oleh Ghifar. Dengan gerakan malas, Agatha menoleh sembari
Welcome 🌷*****Kedua kakiku terus melangkah menapaki jalan beraspal sedangkan tanganku sibuk mengorek-ngorek plastik berisi bahan makanan dan kue yang baru saja aku beli dari pasar. Menghitung serta memastikan bahwa jumlahnya pas dan tak ada yang terlupa. Cuaca di hari Ahad cukup panas, matahari bersinar terik, panasnya kentara sekali menyengat permukaan kulit.Semalam saat aku hendak tidur, aku teringat jika bahan makanan di dapur mulai habis. Jadi aku memutuskan untuk pergi belanja dan pagi tadi sekitar pukul 8 Umi Fatimah datang ke rumah mengajakku ke pasar, katanya bahan-bahan untuk membuat kue habis, jadi daripada beliau harus capek berjalan jauh, lebih baik sekalian saja aku yang membelikannya.Kala mataku bergulir ke arah kanan, sesuatu di sana menghentikan langkahku. Sebuah tulisan yang tertempel di kaca sebuah toko roti yang menjelaskan bahwa toko
Welcome 🌷*****Author POVLangkahnya sontak berhenti setelah kedua kakinya menapak lantai dasar, matanya mengarah ke satu objek membuat keningnya mengerut dalam. Seraya melipat kemejanya hingga siku, laki-laki berparas tampan itu perlahan berjalan mendekati seseorang yang duduk di samping sang bunda."Lo ... si cewek bisu itu kan?" tanyanya santai, salah satu alisnya terangkat. Tak menjawab, orang yang ditanya malah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah kebetulan macam apa, lagi-lagi Ara bertemu dengan laki-laki sombong ini."Ghifar! Ngomong apa kamu?! Jangan sembarangan, ya!" sentak Tiara pada anak laki-lakinya sembari menggelengkan kepala.Pemuda bernama Ghifar itu beralih menatap ibunya beberapa detik, s
Welcome 🌷*****Hari Sabtu yang cerah."Nak, tolong gantikan Umi sebentar buat ngaduk adonan kue, ya. Umi ada sedikit urusan, nanti kalau udah langsung masukin ke panci terus di kukus 30 menit. Ngerti?" Umi Fatimah mengusap kepalaku yang tertutup hijab warna biru tua, aku mengangguk sambil tersenyum kemudian langsung mengambil alih pekerjaan Umi."Cuma sebentar kok. Nanti Umi langsung pulang.""Iya, Umi. Tenang aja kalau sama Ara pasti semuanya bisa beres. Hati-hati dijalan.""Iya Umi percaya deh. Kalau gitu Umi pergi sekarang, ya. Kamu juga hati-hati di rumah. Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam."Setelah mengusap lembut kepalaku lagi, barulah Umi Fatimah berbalik badan meninggal
Welcome 🌷*****"Valencia!"Aku terperanjat ketika wajah Agatha tiba-tiba muncul tepat di hadapanku dan berjarak sangat dekat. Belum lagi Agatha juga memukul meja keras mengakibatkan tulisanku keluar dari garis buku. Aku menghela napas pelan sedangkan Agatha menggaruk belakang kepalanya."Kaget, ya? Maaf hehe ....," Agatha meringis sampai memperlihatkan deretan giginya yang putih. Aku menggelengkan kepala, agak takjub juga dengan tingkah gadis yang satu ini. Di satu sisi Agatha bisa terlihat begitu menyeramkan karena wajahnya yang datar, di sisi lain rupanya Agatha juga bisa bertingkah konyol."Udah istirahat kaga mau ke kantin? Hari Jumat lo kaga puasa kan?" tanya Agatha. Aku mengangguk."Ya udah ayo!" ajak Agatha tidak sabaran. Aku pasrah saat Agatha langsung membereskan buku
Welcome 🌷*****"Lo?!"Anak laki-laki yang seragam sekolahnya dikeluarkan dari celana tersebut terus memandangiku tanpa berkedip. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Apa dia datang karena ingin meminta maaf? Ah, kurasa tidak. Apa dia sungguh tidak merasa bersalah? Sombong sekali.Aku refleks berdiri dari bangku ketika laki-laki itu berjalan mendekat. Baru satu langkah, dia berhenti kembali, menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Aku mati-matian menahan badanku yang sudah gemetar, kedua tanganku tanpa sadar meremas kuat rok abu-abu yang aku kenakan. Aku menunduk lagi tak berani membalas tatapannya.Sebenarnya aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Namun, entah mengapa aku selalu otomatis akan tertunduk kala ada yang menatapku lekat. Atmosfir kantin berubah mencekam dan sunyi. Aku benci berada di situasi
Welcome 🌷*****Senyum terus terukir di wajahku bahkan setelah aku keluar dari dalam ruangan Pak Imam. Bisa aku dengar dengusan dari Agatha yang berjalan di sampingku yang mungkin merasa jengah karena aku terus-terusan tersenyum lebar seperti orang aneh."Mingkem, Ra. Tuh gigi udah kering kayaknya gara-gara lo senyum-senyum terus," ujar Agatha. Tersadar atas apa yang sudah aku lakukan, kepalaku menunduk menahan malu.Aku menghentikan langkah secara mendadak, otomatis Agatha pun ikut berhenti juga. Agatha mendelik ke arahku dengan sebelah alis terangkat seolah bertanya, "kenapa berhenti?". Buru-buru aku mengeluarkan kertas dan satu buah pulpen yang senantiasa aku bawa kemana-mana."Makasih udah temenin aku ketemu sama Pak Imam, ya." Itu yang aku tulis di kertas.