Nenek dan dr. Rian masih menemani Kana di pantry. Hani dan Sisil menahan diri untuk tidak menemui Kana saat ini sebelum perasaan Kana kembali mereda. Bukannya tidak peduli, tetapi justru mereka berdua sudah lebih mengetahui bagaimana menyikapi Kana jika sedang berada dalam kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung akan menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Kana, selagi memang Kana sudah ada yang menemani dan mendapat perhatian dari orang yang Kana sayangi, seperti neneknya serta dr. Rian sebagai orang yang paling tahu akan kondisi Kana saat ini. Di tengah kepanikan Hani dan Sisil, tiba-tiba ada chat masuk pada ponsel Hani.
‘Han, di dalem ada rebut-ribut apa, sih? Kok tadi kayaknya langsung pada lari.’
Hani terkejut ketika membaca pesan dari Ghani. Ia tidak menyangka bahwa Ghani berada di sekitar toko kue Kana saat acara peresmian tadi. Ia mulai menerka-nerka dan menaruh curiga tentang penyebab perubahan tingkah Kana. Hani khawatir bahwa ternyata Kana melihat Ghani dan hal itu membuat ingatan Kana menjadi kacau. Hani merasa bersalah karena ia tak memberi informasi lanjutan kepada Ghani bahwa Ghani tidak diperkenankan untuk datang. Belum sempat membalas pesan Ghani, tiba-tiba Kana keluar dari pantry dengan dirangkul nenek untuk menuju ke mobil dr. Rian.
“Hani, Sisil, maaf ya, Kana harus pulang dulu untuk istirahat. Kalian sebaiknya pulang juga. Nanti kalau keadaan Kana sudah lebih baik, oma akan kasih tahu kalian.” Kata nenek kepada Hani dan Sisil.
“Iya, Oma. Semoga kondisi Kana baik-baik aja, ya. Kita berdua khawatir banget, Oma.” Jawab Hani dengan penuh kecemasan.
“Iya, makasih, ya. Kalian hati-hati pulangnya.” Ucap nenek.
“Iya, Oma. Kita pamit pulang, Oma.” Sisil menjabat tangan nenek.
***
Dr. Rian memandangi Kana yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Ia merasa kasihan dengan kondisi Kana yang ternyata masih sering kambuh seperti ini. Mungkin memang hati Kana belum cukup siap menghadapi masalah yang muncul bertubi-tubi setelah kehilangan orangtuanya sewaktu kecil. Namun, dr. Rian penasaran dengan hal apa yang bisa membuat trauma Kana menjadi kambuh seperti saat ini karena Kana pun juga masih belum mau membicarakannya secara detail tentang kejadian lain selain pembunuhan keluarganya. Ia akan mencoba bertanya lagi ketika kondisi Kana sudah membaik.
“Nak Rian, makasih banyak, ya, udah mau antar Kana sampai rumah.” Nenek sedikit mengejutkan dr. Rian yang sedari tadi sedang memandangi Kana.
“Oh, iya, Oma. Memang udah jadi tanggung jawab Rian untuk jagain Kana. Apalagi oma udah Rian anggap seperti nenek Rian sendiri, dan Kana sudah seperti adik Rian sendiri.” Jawab dr. Rian yang sedikit terkejut dengan kehadiran nenek.
“Iya, Nak. Maaf kalau pesan dari almarhum nenek kamu malah jadi beban.” Kata nenek tidak enak.
“Enggak sama sekali, Oma. Kana itu pasiennya Rian, jadi sudah sewajarnya bagi Rian untuk jaga Kana dan bikin Kana ngerasa nyaman.” dr. Rian mencoba membuat nenek tidak merasa canggung.
“Makasih banyak, Rian. Oma nggak tau lagi kalau nggak ada kamu bakal gimana.” Kata Nenek.
“Iya, sama-sama, Oma.”
Tanpa disangka, dr. Rian merupakan cucu kesayangan dari sahabat baik nenek Kana. Sebelum neneknya meninggal, dr. Rian pernah diberi pesan oleh sang nenek untuk menjaga Kana, cucu dari sahabatnya. Nenek dr. Rian selalu bercerita tentang Kana dan hal itu sangat menyentuh hati dr. Rian. Namun, sebelum kejadian percobaan bunuh diri, Kana memang tidak pernah mau untuk berobat ke psikiater. Selama ini, Kana masih menyangkal bahwa dirinya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Akhirnya dr. Rian baru bisa membantu Kana setelah percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh Kana. Hubungan antara dr. Rian dengan nenek Kana tidak pernah diketahui oleh Kana. Yang Kana tahu, dr. Rian adalah orang asing yang ditakdirkan Tuhan untuk membantu Kana sembuh dari trauma masa lalunya.
“Mama?” Ucap Kana yang berusaha beranjak dari tempat tidurnya.
“Iya, sayang. Pelan-pelan, sayang.” Nenek bergegas dengan cepat membantu Kana yang ingin duduk di atas tempat tidurnya.
“Kana, udah enakan?” Tanya dr. Rian memastikan.
“Udah, Dok. Tadi mungkin masih agak shock aja, tapi nggak apa-apa kok.” Kana menjawab dengan ekspresi yang meyakinkan.
Dr. Rian duduk di atas tempat tidur dan memandang wajah Kana dalam-dalam, “kalau boleh tau, tadi Kana kenapa? Apa yang mengganggu? Tapi kalau Kana belum siap cerita, nggak apa-apa. Saya tunggu sampai Kana siap.” Katanya.
Mata Kana melirik ke arah nenek, seperti memberi isyarat bahwa dirinya tidak ingin nenek mendengar ceritanya. Kana memang tidak bisa terbuka dengan neneknya. Ada perasaan malu dan perasaan takut jika nenek merasa sedih.
“Saya mau keluar dulu ya, Dok. Mau ambilkan minum buat Kana.” Seolah paham dengan bahasa tubuh Kana, nenek langsung berinisiatif keluar dari kamar.
“Iya, Oma, silakan.” Jawab dr. Rian.
Dr. Rian kembali fokus untuk mendengar jawaban Kana.
“Entah, Dok. Tadi Kana lihat kakak tingkat Kana di luar toko kue, entah apa yang dia lakuin. Tapi ingatan Kana langsung kembali ke masa lalu. Ditambah tadi ada confetti sama suara tepukan tangan yang meriah. Rasanya kayak lagi ngalamin kejadian yang dulu.” Jelas Kana sambil mengingat-ingat.
“Kejadian yang dulu? Kana, kamu belum pernah cerita sama saya. Apa ada kejadian lain? Dan apakah kejadian itu ada hubungannya sama percobaan bunuh diri yang kamu lakukan?” Tanya dr. Rian secara beruntun.
“Iya, Dok.”
#FLASHBACK ON#
Hingar bingar suara musik mengisi penuh area taman kampus Kana. Festival musik yang digelar oleh fakultas seni tersebut berujung asyik dan sayang untuk dilewatkan, termasuk untuk dilewatkan oleh Kana. Kana berdandan dengan begitu cantik, karena malam ini merupakan malam spesial baginya. Ia akan merayakan hari jadi hubungannya dengan Jovi yang resmi menginjak satu tahun. Ia mengajak Jovi dan Ghanu, sahabat Jovi, untuk menyaksikan festival musik di fakultasnya tersebut, sekaligus merayakan hari jadi mereka. Hani, Sisil, dan Clarin sudah membuat kejutan kecil untuk Kana.
“Clarin mana, sih, dari tadi nggak kelihatan, deh.” Tanya Hani penuh ketidaksabaran.
“Sabar Hani, paling juga ke toilet.” Sisil mencoba menenangkan Hani.
“Ya masalahnya keburu kak Jovi dateng, nih.” Hani makin tidak sabar.
“Nggak apa-apa, nanti juga Clarin nyusul, Han.” Kata Kana.
“Gini aja, deh. Gue sama Sisil cari Clarin dulu. Lo sendirian nunggu kak Jovi nggak apa-apa, Na?” usul Hani.
“Iya, nggak apa-apa, kok.” Jawab Kana setuju.
Hani dan Sisil segera pergi mencari Clarin. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Ghani muncul di hadapan Kana seorang diri.
“Loh, Jovi ke mana, Kak?” Tanya Kana pada Ghani.
“Emm, Jovi, nggak tau tuh anak, ngilang mulu.” Jawab Ghani dengan agak terbata.
“Dia inget hari anniversary kita, kan Kak?” Kana terdengar sedih.
“Pasti, dong. Tunggu aja.” Ghani mencoba menenangkan perasaan Kana.
“Jalan-jalan dulu, yuk.” Ajak Ghani yang iba melihat raut sedih Kana.
“Ke mana, Kak? Nanti kalau Jovi dateng gimana?” Kana sedikit meragu.
“Siapa tau nanti ketemu waktu kita jalan.” Ghani berusaha membujuk.
Kana pun menuruti ajakan Ghani. Sepanjang keliling taman, tingkah kocak dan candaan Ghani tak pernah absen dalam membuat Kana tertawa. Suasana membosankan tidak ada sama sekali di antara keduanya saat itu. Sampai pada akhirnya, Kana melihat Jovi merangkul mesra pundak Clarin sambil minum beer dan tertawa bersama beberapa teman dari fakultas Kana. Hal itu semakin mengejutkan Kana ketika Jovi mencium pipi kiri Clarin. Ghani mulai tak berkutik dan membiarkan Kana berlari ke arah Jovi.
“Jo?” Bibir Kana bergetar.
Semua mata tertuju pada Kana. Clarin dengan sigap melepas rangkulan tangan Jovi dari pundaknya.
“Kenapa?” Jawab Jovi sambil meletakkan tangannya kembali ke pundak Clarin.
“Kalian…?” Kana mulai meneteskan air mata.
“Pacaran? Ya, menurut lo?” Jovi langsung memberi tembakan dengan jawaban yang sungguh merobek hati Kana.
“Gini, ya. Gue udah jalan sama Clarin dari awal bulan kita jadian. Gue sayang banget sama dia. Udah cantik, nggak suka ngatur, nggak sakit mental kayak lo.” Jovi berdiri sambil berbicara setengah sadar karena pengaruh minuman beralkohol, “sekarang gue tanya ke kalian semua, pilih cewek normal atau cewek yang suka tiba-tiba nggak jelas cuma karena keinget masa lalunya?” lanjut Jovi.
“Ngapain sama cewek stress, nggak guna.” Kata salah satu teman Kana.
Semua orang tertawa dengan pengakuan Jovi dan seakan setuju dengan jawaban teman Kana itu. Kana mulai merasakan tubuhnya melemas karena tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Tiba-tiba dari belakang muncul Hani dan Sisil dengan menembakkan confetti ke arah Kana.
“Happy 1st anniversary!” Ucap Hani dan Sisil.
Kana tetap berdiam diri sambil meneteskan air mata, kemudian ia pun berlari pergi.
“Tega ya kalian semua! Dan buat lo, Jo, bangsat!” Teriak Ghani kepada Jovi dan kemudian pergi mengejar Kana.
“Rin, ini ada apa sebenernya?” Tanya Hani kepada Clarin.
Clarin pun tak kunjung menjawab. Hani dan Sisil langsung mengikuti Ghani untuk mengejar Kana.
#FLASHBACK OFF#
Mendengar sekilas cerita dari Kana, dr. Rian mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang apa yang pernah terjadi hingga menyebabkan Kana merasa tidak nyaman dengan suatu perayaan. Tempat yang begitu ramai dan keberadaan diri di tengah perkumpulan orang mungkin bukan tempat yang tepat untuk Kana saat ini. Dr. Rian berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu Kana sembuh dari traumanya. Kini Kana merasakan kembali tubuhnya bergetar dan tangannya berkeringat. Dr. Rian yang menyadari hal itu segera menghentikan Kana untuk bercerita dan menyuruhnya untuk lekas beristirahat kembali. Dr. Rian kembali meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Ghani menekuk wajahnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu kereta MRT yang terbuka. Terlihat suasana dalam kereta yang padat membuat Ghani memutuskan untuk berdiri tanpa mencari tempat duduk kosong terlebih dahulu. Diraihnya hand strap yang menggantung tepat di atas kepalanya agar ia tidak jatuh begitu kereta mulai berjalan. Tak menunggu lama, pintu dengan cepat menutup secara otomatis dan kereta segera melaju. Mata Ghani tetap saja menunjukkan pandangan kosong sejak kakinya beranjak dari toko kue Kana. Ia merasa sangat sedih dan menyesal karena tidak bisa hadir di salah satu hari bahagia Kana saat itu. Ia berada dalam kebingungan setiap kali memikirkan Kana. Ada rasa takut ketika dirinya ingin menyapa Kana meski hanya melalui chat. Laki-laki yang mempunyai lesung manis di pipinya itu merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Kana pada malam ketika Kana diper
Hari ini cuaca nampak bagus dan terlihat cerah mengiringi pagi Kana yang tak seperti biasanya. Kana akan memulai hari baru untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada hal mengganjal yang mengusik hati dan pikiran Kana tentang keputusannya ini. Bukan karena ragu untuk lanjut kuliah lagi, tetapi ia teringat bahwa tahun lalu ia sempat diberi peringatan tentang masa cuti yang normalnya tidak bisa lebih dari dua semester, yang mana seharusnya Kana hanya boleh cuti kuliah paling lama satu tahun meski didukung dengan alasan yang kuat. Kana mulai menyusun kalimat-kalimat sebagai jurus jitu agar dia bisa tetap melanjutkan statusnya sebagai mahasiswi Seni Rupa di kampusnya meski saat ini sudah memasuki semester keempat sejak ia sempat berhenti kuliah. Apalagi selama masa cuti, ia tidak pernah sekalipun memberi konfirmasi kepada pihak kampus. Ia hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak padanya kali ini.“Sayang, udah sarapan?” Tanya nenek yang sedang mengambil roti tawar di
Perasaan gelisah di pagi ini membuat Kana semakin tidak merasakan lapar sama sekali, padahal ia belum sempat sarapan. Bahkan ia hanya memakan sepotong tuna bread tadi malam. Kana tidak akan menyesal karena tidak makan, sampai pada akhirnya ia akan tumbang sendiri karena badannya yang semakin lemas. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialami Kana, tetapi ia tak pernah belajar dari kesalahannya tersebut. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana tubuhnya harus merasa lebih relax dan pikirannya menjadi fresh. Namun, rasa gelisah tidak juga hilang. Ia memutuskan untuk membeli es krim di toko swalayan terdekat. Kata dr. Rian, makanan favorit dapat membantu hati dan pikiran menjadi lebih baik.Kana mulai memilih es krim yang disukainya. Walau hanya tinggal memilih, tetapi hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Kana. Sebab, tidak ada satupun rasa manis dari es krim yang tidak disukainya. Menurut Kana, es krim merupakan teman terbaik
‘ 'Halo, dr. Rian. Besok malam dokter ada acara? Kana mau ketemu sama dokter.’ Kana mengirim chat kepada dr. Rian. Ia ingin menanyakan tentang kecemasannya ketika melihat alat melukis serta meminta solusi agar dirinya bisa bersahabat lagi dengan alat yang seharusnya menjadi hal yang sangat ia sukai. Tidak sampai memakan waktu lama, dr. Rian pun membalas pesan dari Kana. ‘Sejauh ini saya free. Ada yang mau dibicarakan, ya?’ Balas dr. Rian melalui chat. ‘Iya, Dok. Bisa?’ Tanya Kana. ‘Tentu. Dimana dan jam berapa, Kana?’&nb
Pagi ini cukup dingin, diselimuti cuaca mendung dan iringan gemuruh petir yang sesekali terdengar menakutkan. Tubuh Kana terasa lebih ringan dari biasanya. Irama suara hujan membuatnya tak ingin segera membuka mata. Kana sangat menikmati posisi ini, dengan kepala yang sedari tadi bersandar di sofa. Kali ini, ia membuang napas secara perlahan untuk ke sekian kalinya selama matanya terpejam. Helaan napas yang semakin lama semakin membuatnya merasa lebih lega.“Kamu boleh buka mata kalau sudah siap.” Ucap seorang pria dengan suara lembut, membuat Kana tidak bisa kembali fokus.Kana mulai membuka mata perlahan. Sedikit demi sedikit wajah tampan dr. Rian mulai memenuhi seisi pandangan mata Kana. Matanya mulai terbuka penuh, ia bisa menangkap secara jelas wajah pria dengan gelar ‘dr. SpKJ’ di belakang namanya, seperti yang tertera pada nametag yang menempel di dadanya. Pandangan kana seakan tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya sekar
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong. “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut. “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna. “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”&nbs
“Atas nama kak Hani.” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hani. Tak sampai menunggu lama, Hani lalu bergegas menuju asal suara barista tersebut untuk mengambil salted caramel latte yang bertuliskan namanya itu. Ia lalu kembali ke tempat duduk paling ujung untuk melanjutkan kegiatannya di depan laptop. Segelas es kopi favorit memang mampu mengembalikan energi Hani setelah melepas rindu penuh haru di rumah Kana, serta meningkatkan mood sebelum lanjut berkutat pada skripsi. Sambil meneguk segelas es yang ada di tangan kanannya, tiba-tiba ia teringat tentang pesan masuk di WhatsApp yang belum sempat ia balas. Perempuan berkemeja hijau itu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu membaca ulang pesan tersebut. Ia tersenyum lagi. ‘Hai, kak Ghani. Kampus masih aman, kok. Ya, walaupun udah beda aja rasa
Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak. Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersi
‘ 'Halo, dr. Rian. Besok malam dokter ada acara? Kana mau ketemu sama dokter.’ Kana mengirim chat kepada dr. Rian. Ia ingin menanyakan tentang kecemasannya ketika melihat alat melukis serta meminta solusi agar dirinya bisa bersahabat lagi dengan alat yang seharusnya menjadi hal yang sangat ia sukai. Tidak sampai memakan waktu lama, dr. Rian pun membalas pesan dari Kana. ‘Sejauh ini saya free. Ada yang mau dibicarakan, ya?’ Balas dr. Rian melalui chat. ‘Iya, Dok. Bisa?’ Tanya Kana. ‘Tentu. Dimana dan jam berapa, Kana?’&nb
Perasaan gelisah di pagi ini membuat Kana semakin tidak merasakan lapar sama sekali, padahal ia belum sempat sarapan. Bahkan ia hanya memakan sepotong tuna bread tadi malam. Kana tidak akan menyesal karena tidak makan, sampai pada akhirnya ia akan tumbang sendiri karena badannya yang semakin lemas. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialami Kana, tetapi ia tak pernah belajar dari kesalahannya tersebut. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana tubuhnya harus merasa lebih relax dan pikirannya menjadi fresh. Namun, rasa gelisah tidak juga hilang. Ia memutuskan untuk membeli es krim di toko swalayan terdekat. Kata dr. Rian, makanan favorit dapat membantu hati dan pikiran menjadi lebih baik.Kana mulai memilih es krim yang disukainya. Walau hanya tinggal memilih, tetapi hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Kana. Sebab, tidak ada satupun rasa manis dari es krim yang tidak disukainya. Menurut Kana, es krim merupakan teman terbaik
Hari ini cuaca nampak bagus dan terlihat cerah mengiringi pagi Kana yang tak seperti biasanya. Kana akan memulai hari baru untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada hal mengganjal yang mengusik hati dan pikiran Kana tentang keputusannya ini. Bukan karena ragu untuk lanjut kuliah lagi, tetapi ia teringat bahwa tahun lalu ia sempat diberi peringatan tentang masa cuti yang normalnya tidak bisa lebih dari dua semester, yang mana seharusnya Kana hanya boleh cuti kuliah paling lama satu tahun meski didukung dengan alasan yang kuat. Kana mulai menyusun kalimat-kalimat sebagai jurus jitu agar dia bisa tetap melanjutkan statusnya sebagai mahasiswi Seni Rupa di kampusnya meski saat ini sudah memasuki semester keempat sejak ia sempat berhenti kuliah. Apalagi selama masa cuti, ia tidak pernah sekalipun memberi konfirmasi kepada pihak kampus. Ia hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak padanya kali ini.“Sayang, udah sarapan?” Tanya nenek yang sedang mengambil roti tawar di
Ghani menekuk wajahnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu kereta MRT yang terbuka. Terlihat suasana dalam kereta yang padat membuat Ghani memutuskan untuk berdiri tanpa mencari tempat duduk kosong terlebih dahulu. Diraihnya hand strap yang menggantung tepat di atas kepalanya agar ia tidak jatuh begitu kereta mulai berjalan. Tak menunggu lama, pintu dengan cepat menutup secara otomatis dan kereta segera melaju. Mata Ghani tetap saja menunjukkan pandangan kosong sejak kakinya beranjak dari toko kue Kana. Ia merasa sangat sedih dan menyesal karena tidak bisa hadir di salah satu hari bahagia Kana saat itu. Ia berada dalam kebingungan setiap kali memikirkan Kana. Ada rasa takut ketika dirinya ingin menyapa Kana meski hanya melalui chat. Laki-laki yang mempunyai lesung manis di pipinya itu merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Kana pada malam ketika Kana diper
Nenek dan dr. Rian masih menemani Kana di pantry. Hani dan Sisil menahan diri untuk tidak menemui Kana saat ini sebelum perasaan Kana kembali mereda. Bukannya tidak peduli, tetapi justru mereka berdua sudah lebih mengetahui bagaimana menyikapi Kana jika sedang berada dalam kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung akan menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Kana, selagi memang Kana sudah ada yang menemani dan mendapat perhatian dari orang yang Kana sayangi, seperti neneknya serta dr. Rian sebagai orang yang paling tahu akan kondisi Kana saat ini. Di tengah kepanikan Hani dan Sisil, tiba-tiba ada chat masuk pada ponsel Hani. ‘Han, di dalem ada rebut-ribut apa, sih? Kok tadi kayaknya langsung pada lari.’ Hani terkejut ketika membaca pesan dari
Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak. Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersi
“Atas nama kak Hani.” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hani. Tak sampai menunggu lama, Hani lalu bergegas menuju asal suara barista tersebut untuk mengambil salted caramel latte yang bertuliskan namanya itu. Ia lalu kembali ke tempat duduk paling ujung untuk melanjutkan kegiatannya di depan laptop. Segelas es kopi favorit memang mampu mengembalikan energi Hani setelah melepas rindu penuh haru di rumah Kana, serta meningkatkan mood sebelum lanjut berkutat pada skripsi. Sambil meneguk segelas es yang ada di tangan kanannya, tiba-tiba ia teringat tentang pesan masuk di WhatsApp yang belum sempat ia balas. Perempuan berkemeja hijau itu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu membaca ulang pesan tersebut. Ia tersenyum lagi. ‘Hai, kak Ghani. Kampus masih aman, kok. Ya, walaupun udah beda aja rasa
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong. “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut. “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna. “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”&nbs
Pagi ini cukup dingin, diselimuti cuaca mendung dan iringan gemuruh petir yang sesekali terdengar menakutkan. Tubuh Kana terasa lebih ringan dari biasanya. Irama suara hujan membuatnya tak ingin segera membuka mata. Kana sangat menikmati posisi ini, dengan kepala yang sedari tadi bersandar di sofa. Kali ini, ia membuang napas secara perlahan untuk ke sekian kalinya selama matanya terpejam. Helaan napas yang semakin lama semakin membuatnya merasa lebih lega.“Kamu boleh buka mata kalau sudah siap.” Ucap seorang pria dengan suara lembut, membuat Kana tidak bisa kembali fokus.Kana mulai membuka mata perlahan. Sedikit demi sedikit wajah tampan dr. Rian mulai memenuhi seisi pandangan mata Kana. Matanya mulai terbuka penuh, ia bisa menangkap secara jelas wajah pria dengan gelar ‘dr. SpKJ’ di belakang namanya, seperti yang tertera pada nametag yang menempel di dadanya. Pandangan kana seakan tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya sekar