Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak.
Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersiap-siap untuk acara tersebut, tiba-tiba ponsel Kana berdering, “halo? Gimana, Han?” ucap Kana mengangkat telepon dari Hani.
“Na, gimana toko? Udah beres semua?” Tanya Hani untuk berbasa-basi.
“Udah, kok. Tinggal nunggu makanannya siap aja. Lo udah siap-siap?” Kana bertanya balik pada Hani.
“Oh, gitu. Ini gue lagi siap-siap, kok.” Hani menjawab pertanyaan Kana dengan sedikit terbata-bata.
“Sip, deh. Kenapa emang, Han? Ada yang mau disampaiin?” Kana merasa bahwa sahabatnya itu ingin membicarakan sesuatu di luar acara peresmian.
“Emmm,” Hani berpikir cukup panjang, “enggak kok, Na. Nevermind!”
“Yakin? Kalau ada apa-apa bilang.” Kana terlihat tidak yakin dengan jawaban Hani.
“Iya kok, nggak ada apa-apa. By the way, beneran nggak ada yang perlu dibantu, kan?” Perempuan di seberang telepon itu seperti mengalihkan pembicaraan.
“Ya, udah kalau emang nggak mau bilang. Iya, ini udah selesai, kok. Tinggal nunggu kalian aja. Bentar lagi udah jam 9 loh, buruan.” Ucap Kana sambil melirik jam dinding di depannya yang sudah menunjukkan pukul 08.35.
“Siap, tuan putri. Ini tinggal rapiin rambut terus cusss. Tapi gue jemput Sisil dulu. See you!” Hani mulai mengakhiri telepon.
“Iya, hati-hati, ya. See you!” Balas Kana yang kemudian langsung menutup telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian ia pergi ke pantry untuk mengecek kue dan hidangan lain yang akan disajikan.
Tak lama setelah itu, datanglah mobil putih yang parkir tepat di depan pintu masuk toko. Dari dalam mobil, keluar laki-laki tinggi dengan kemeja polos warna cream dan lengan yang dilipat hingga siku. Laki-laki dengan bucket bunga mawar merah di genggaman tangan kirinya itu segera memasuki toko.
“Eh, dr. Rian sudah datang.” Sambut nenek dari balik etalase kue dengan suara yang sangat keras dan terdengar sumringah atas kedatangan dr. Rian.
“Pagi, Oma! Oma apa kabar?” Tanya psikiater muda itu dengan suara yang dapat membuat hati pendengarnya menjadi meleleh.
“Ya, beginilah oma, selalu dalam keadaan baik.” Wajah dan penampilan nenek Kana memang terlihat luar biasa bersinar hari ini.
Mendengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya itu sedang berbincang dengan nenek, Kana langsung bergegas ke depan tanpa membuang banyak waktu untuk menemui sumber suara percakapan itu berasal.
“Kana sayang, dr. Rian udah datang, nih.” Nenek memberi tahu Kana yang baru saja muncul dari arah pantry.
Seperti biasa, jantung Kana tak bisa untuk lebih tidak berdetak kencang. Baru juga ia mendengar suara dr. Rian, nyawa Kana serasa ingin terbang ke surga. Anehnya, di pagi ini Kana merasa malu untuk menatap dr. Rian. Bukan karena ada hal memalukan dalam dirinya, tetapi Kana takut hilang kesadaran saat itu juga. Dengan penuh senang campur rasa deg-degan, Kana terus melangkahkan kaki menuju dr. Rian.
“Halo, Kana, apa kabar? Selamat ya atas peresmian mini cafe-nya!” Ucap pujaan hati Kana itu sambil menyerahkan bunga mawar yang terlihat nampak indah menurut Kana, karena diberikan oleh sosok terindah juga bagi hidupnya.
‘OH MY GOD! GUE GAK BISA DIGINIIN!’
Kana terus menyebut nama Tuhan dalam hati. Baginya, didatangi oleh dokter yang dikaguminya itu sudah merupakan hadiah paling istimewa, dan sekarang ia mendapatkan tiga kali lipat dari yang ia harapkan sebelumnya. Kana mendapat kehadiran, senyum, dan juga bunga dari dr. Rian. Rasa bahagia dalam diri Kana sudah tidak terbantahkan lagi.
“Makasih banyak, Dok. Kana baik-baik aja, kok. Malahan semakin hari semakin baik. Ini semua juga berkat bantuan dokter selama ini.” Jawab Kana yang terus berusaha tenang.
“Bagus kalau begitu. Saya ikut senang. Itu semua karena kerja keras Kana. Pelan-pelan membuka diri lagi, ya. Nanti pasti bisa.” dr. Rian mengeluarkan jurus senyuman mautnya.
“Iya, Dok. Kana coba.” Kana tersenyum semakin lebar, “ya udah, Dok, Kana mau taruh bunga ini ke sana dulu.” Lanjut Kana sambil menunjuk meja yang penuh dengan dekorasi. Kana akan meletakkan bunga itu sebagai hiasan.
***
Jarum panjang menunjuk ke arah di antara angka 11 dan angka 12, pertanda bahwa jam 9 akan datang dalam waktu sekitar tiga menit lagi. Hani dan Sisil tiba di toko setelah Kana baru saja akan menelepon mereka.
“Ya ampun, akhirnya dateng juga. Gue udah cemas banget ini.” Kana memprotes Hani dan Sisil dengan nada yang tetap halus.
“Sorry, Na. Sisil nih kebiasaan. Gue udah bilang otw dari kapan, eh sampai rumahnya malah dia masih pilih baju.” Kata Hani menyalahkan Sisil.
“Maaf, deh. Sisil kan pengen pakai baju bagus di acara Kana, jadi Sisil cobain satu-satu, deh.” Sisil merasa bersalah.
“Dih, alesan banget.” Hani seperti tidak terima.
“Ih, beneran. Beneran kok, Kana. Sisil nggak bohong.” Sisil memasang wajah memelas untuk meyakinkan Kana.
“Iya, udah, nggak apa-apa, kok. Lagian belum jam 9 tepat. Gue cuma khawatir aja kalau kalian mendadak nggak jadi dateng.” Kata Kana memaafkan, “ya, udah, bentar lagi mau dimulai, nih.” Lanjut Kana mempersilakan.
Acara pun segera dimulai. Peresmian digelar dengan begitu intim. Rangkaian acara juga singkat. Pada awalnya semua berjalan lancar dan aman. Sampai di satu waktu di mana Kana selesai menyampaikan pidato singkat, ia melihat laki-laki dengan kaos putih polos yang dibalut jaket bomber warna hitam berdiri di luar toko. Terlihat jelas lelaki itu berusaha mengintip suasana dalam toko. Laki-laki yang sepertinya tidak asing bagi Kana itu membuat Kana memikirkan sesuatu. Perasaan tak nyaman mengganggu dirinya saat itu. Ditambah lagi Hani dan Sisil yang mulai menembakkan confetti untuk menambah kemeriahan perayaan peresmian kecil tersebut, serta suara tepuk tangan atas pidato Kana yang semakin kencang terdengar. Perasaannya mulai kacau, seperti ada sesuatu yang mengganggu ingatannya saat ini. Tangannya semakin dingin dan tubuhnya sedikit bergetar.
“Kana, are you okay?” dr. Rian mulai menyadari ada reaksi berbeda dari tubuh Kana yang tidak biasa.
Kana mulai menutup rapat telinganya, “tolong berhenti,” pintanya sambil merengek.
“Kana, kenapa sayang?” Nenek mulai cemas dengan tingkah Kana.
Suasana mendadak hening. Kana mulai berlari ke arah pantry. Nenek mengikuti cucu kesayangannya itu, disusul oleh dr. Rian. Sesampainya di pantry, nenek semakin khawatir melihat cucunya itu duduk di pojokan sambil menunduk dan memeluk lututnya sendiri. Nenek tidak berani mendekat. Nenek menyerahkan semuanya kepada dr. Rian.
“Kana, are you okay? Apa yang terjadi?” Tanya dr. Rian kepada Kana yang terus saja menunduk.
“Kana coba lihat saya. Semua baik-baik saja. Ada saya dan Oma di sini.” dr. Rian mencoba menenangkan Kana.
Kana langsung memeluk dr. Rian dengan erat. Tangis Kana pun menjadi pecah. Dr. Rian yang tak bisa banyak berkutik pun langsung membalas pelukan Kana. Berada dalam pelukan dr. Rian dapat membuat perasaan Kana menjadi lebih tenang, meski tubuhnya masih saja menunjukkan reaksi penuh ketakutan dan kecemasan. Dr. Rian mulai menebak-nebak di dalam kepala tentang apa yang terjadi pada Kana, tetapi ia tidak berani bertanya saat itu juga. Karena kondisi Kana yang kurang stabil, maka dr. Rian memutuskan untuk membawa Kana pulang dan membiarkannya beristirahat.
Nenek dan dr. Rian masih menemani Kana di pantry. Hani dan Sisil menahan diri untuk tidak menemui Kana saat ini sebelum perasaan Kana kembali mereda. Bukannya tidak peduli, tetapi justru mereka berdua sudah lebih mengetahui bagaimana menyikapi Kana jika sedang berada dalam kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung akan menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Kana, selagi memang Kana sudah ada yang menemani dan mendapat perhatian dari orang yang Kana sayangi, seperti neneknya serta dr. Rian sebagai orang yang paling tahu akan kondisi Kana saat ini. Di tengah kepanikan Hani dan Sisil, tiba-tiba ada chat masuk pada ponsel Hani. ‘Han, di dalem ada rebut-ribut apa, sih? Kok tadi kayaknya langsung pada lari.’ Hani terkejut ketika membaca pesan dari
Ghani menekuk wajahnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu kereta MRT yang terbuka. Terlihat suasana dalam kereta yang padat membuat Ghani memutuskan untuk berdiri tanpa mencari tempat duduk kosong terlebih dahulu. Diraihnya hand strap yang menggantung tepat di atas kepalanya agar ia tidak jatuh begitu kereta mulai berjalan. Tak menunggu lama, pintu dengan cepat menutup secara otomatis dan kereta segera melaju. Mata Ghani tetap saja menunjukkan pandangan kosong sejak kakinya beranjak dari toko kue Kana. Ia merasa sangat sedih dan menyesal karena tidak bisa hadir di salah satu hari bahagia Kana saat itu. Ia berada dalam kebingungan setiap kali memikirkan Kana. Ada rasa takut ketika dirinya ingin menyapa Kana meski hanya melalui chat. Laki-laki yang mempunyai lesung manis di pipinya itu merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Kana pada malam ketika Kana diper
Hari ini cuaca nampak bagus dan terlihat cerah mengiringi pagi Kana yang tak seperti biasanya. Kana akan memulai hari baru untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada hal mengganjal yang mengusik hati dan pikiran Kana tentang keputusannya ini. Bukan karena ragu untuk lanjut kuliah lagi, tetapi ia teringat bahwa tahun lalu ia sempat diberi peringatan tentang masa cuti yang normalnya tidak bisa lebih dari dua semester, yang mana seharusnya Kana hanya boleh cuti kuliah paling lama satu tahun meski didukung dengan alasan yang kuat. Kana mulai menyusun kalimat-kalimat sebagai jurus jitu agar dia bisa tetap melanjutkan statusnya sebagai mahasiswi Seni Rupa di kampusnya meski saat ini sudah memasuki semester keempat sejak ia sempat berhenti kuliah. Apalagi selama masa cuti, ia tidak pernah sekalipun memberi konfirmasi kepada pihak kampus. Ia hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak padanya kali ini.“Sayang, udah sarapan?” Tanya nenek yang sedang mengambil roti tawar di
Perasaan gelisah di pagi ini membuat Kana semakin tidak merasakan lapar sama sekali, padahal ia belum sempat sarapan. Bahkan ia hanya memakan sepotong tuna bread tadi malam. Kana tidak akan menyesal karena tidak makan, sampai pada akhirnya ia akan tumbang sendiri karena badannya yang semakin lemas. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialami Kana, tetapi ia tak pernah belajar dari kesalahannya tersebut. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana tubuhnya harus merasa lebih relax dan pikirannya menjadi fresh. Namun, rasa gelisah tidak juga hilang. Ia memutuskan untuk membeli es krim di toko swalayan terdekat. Kata dr. Rian, makanan favorit dapat membantu hati dan pikiran menjadi lebih baik.Kana mulai memilih es krim yang disukainya. Walau hanya tinggal memilih, tetapi hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Kana. Sebab, tidak ada satupun rasa manis dari es krim yang tidak disukainya. Menurut Kana, es krim merupakan teman terbaik
‘ 'Halo, dr. Rian. Besok malam dokter ada acara? Kana mau ketemu sama dokter.’ Kana mengirim chat kepada dr. Rian. Ia ingin menanyakan tentang kecemasannya ketika melihat alat melukis serta meminta solusi agar dirinya bisa bersahabat lagi dengan alat yang seharusnya menjadi hal yang sangat ia sukai. Tidak sampai memakan waktu lama, dr. Rian pun membalas pesan dari Kana. ‘Sejauh ini saya free. Ada yang mau dibicarakan, ya?’ Balas dr. Rian melalui chat. ‘Iya, Dok. Bisa?’ Tanya Kana. ‘Tentu. Dimana dan jam berapa, Kana?’&nb
Pagi ini cukup dingin, diselimuti cuaca mendung dan iringan gemuruh petir yang sesekali terdengar menakutkan. Tubuh Kana terasa lebih ringan dari biasanya. Irama suara hujan membuatnya tak ingin segera membuka mata. Kana sangat menikmati posisi ini, dengan kepala yang sedari tadi bersandar di sofa. Kali ini, ia membuang napas secara perlahan untuk ke sekian kalinya selama matanya terpejam. Helaan napas yang semakin lama semakin membuatnya merasa lebih lega.“Kamu boleh buka mata kalau sudah siap.” Ucap seorang pria dengan suara lembut, membuat Kana tidak bisa kembali fokus.Kana mulai membuka mata perlahan. Sedikit demi sedikit wajah tampan dr. Rian mulai memenuhi seisi pandangan mata Kana. Matanya mulai terbuka penuh, ia bisa menangkap secara jelas wajah pria dengan gelar ‘dr. SpKJ’ di belakang namanya, seperti yang tertera pada nametag yang menempel di dadanya. Pandangan kana seakan tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya sekar
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong. “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut. “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna. “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”&nbs
“Atas nama kak Hani.” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hani. Tak sampai menunggu lama, Hani lalu bergegas menuju asal suara barista tersebut untuk mengambil salted caramel latte yang bertuliskan namanya itu. Ia lalu kembali ke tempat duduk paling ujung untuk melanjutkan kegiatannya di depan laptop. Segelas es kopi favorit memang mampu mengembalikan energi Hani setelah melepas rindu penuh haru di rumah Kana, serta meningkatkan mood sebelum lanjut berkutat pada skripsi. Sambil meneguk segelas es yang ada di tangan kanannya, tiba-tiba ia teringat tentang pesan masuk di WhatsApp yang belum sempat ia balas. Perempuan berkemeja hijau itu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu membaca ulang pesan tersebut. Ia tersenyum lagi. ‘Hai, kak Ghani. Kampus masih aman, kok. Ya, walaupun udah beda aja rasa
‘ 'Halo, dr. Rian. Besok malam dokter ada acara? Kana mau ketemu sama dokter.’ Kana mengirim chat kepada dr. Rian. Ia ingin menanyakan tentang kecemasannya ketika melihat alat melukis serta meminta solusi agar dirinya bisa bersahabat lagi dengan alat yang seharusnya menjadi hal yang sangat ia sukai. Tidak sampai memakan waktu lama, dr. Rian pun membalas pesan dari Kana. ‘Sejauh ini saya free. Ada yang mau dibicarakan, ya?’ Balas dr. Rian melalui chat. ‘Iya, Dok. Bisa?’ Tanya Kana. ‘Tentu. Dimana dan jam berapa, Kana?’&nb
Perasaan gelisah di pagi ini membuat Kana semakin tidak merasakan lapar sama sekali, padahal ia belum sempat sarapan. Bahkan ia hanya memakan sepotong tuna bread tadi malam. Kana tidak akan menyesal karena tidak makan, sampai pada akhirnya ia akan tumbang sendiri karena badannya yang semakin lemas. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialami Kana, tetapi ia tak pernah belajar dari kesalahannya tersebut. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana tubuhnya harus merasa lebih relax dan pikirannya menjadi fresh. Namun, rasa gelisah tidak juga hilang. Ia memutuskan untuk membeli es krim di toko swalayan terdekat. Kata dr. Rian, makanan favorit dapat membantu hati dan pikiran menjadi lebih baik.Kana mulai memilih es krim yang disukainya. Walau hanya tinggal memilih, tetapi hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Kana. Sebab, tidak ada satupun rasa manis dari es krim yang tidak disukainya. Menurut Kana, es krim merupakan teman terbaik
Hari ini cuaca nampak bagus dan terlihat cerah mengiringi pagi Kana yang tak seperti biasanya. Kana akan memulai hari baru untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada hal mengganjal yang mengusik hati dan pikiran Kana tentang keputusannya ini. Bukan karena ragu untuk lanjut kuliah lagi, tetapi ia teringat bahwa tahun lalu ia sempat diberi peringatan tentang masa cuti yang normalnya tidak bisa lebih dari dua semester, yang mana seharusnya Kana hanya boleh cuti kuliah paling lama satu tahun meski didukung dengan alasan yang kuat. Kana mulai menyusun kalimat-kalimat sebagai jurus jitu agar dia bisa tetap melanjutkan statusnya sebagai mahasiswi Seni Rupa di kampusnya meski saat ini sudah memasuki semester keempat sejak ia sempat berhenti kuliah. Apalagi selama masa cuti, ia tidak pernah sekalipun memberi konfirmasi kepada pihak kampus. Ia hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak padanya kali ini.“Sayang, udah sarapan?” Tanya nenek yang sedang mengambil roti tawar di
Ghani menekuk wajahnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu kereta MRT yang terbuka. Terlihat suasana dalam kereta yang padat membuat Ghani memutuskan untuk berdiri tanpa mencari tempat duduk kosong terlebih dahulu. Diraihnya hand strap yang menggantung tepat di atas kepalanya agar ia tidak jatuh begitu kereta mulai berjalan. Tak menunggu lama, pintu dengan cepat menutup secara otomatis dan kereta segera melaju. Mata Ghani tetap saja menunjukkan pandangan kosong sejak kakinya beranjak dari toko kue Kana. Ia merasa sangat sedih dan menyesal karena tidak bisa hadir di salah satu hari bahagia Kana saat itu. Ia berada dalam kebingungan setiap kali memikirkan Kana. Ada rasa takut ketika dirinya ingin menyapa Kana meski hanya melalui chat. Laki-laki yang mempunyai lesung manis di pipinya itu merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Kana pada malam ketika Kana diper
Nenek dan dr. Rian masih menemani Kana di pantry. Hani dan Sisil menahan diri untuk tidak menemui Kana saat ini sebelum perasaan Kana kembali mereda. Bukannya tidak peduli, tetapi justru mereka berdua sudah lebih mengetahui bagaimana menyikapi Kana jika sedang berada dalam kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung akan menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Kana, selagi memang Kana sudah ada yang menemani dan mendapat perhatian dari orang yang Kana sayangi, seperti neneknya serta dr. Rian sebagai orang yang paling tahu akan kondisi Kana saat ini. Di tengah kepanikan Hani dan Sisil, tiba-tiba ada chat masuk pada ponsel Hani. ‘Han, di dalem ada rebut-ribut apa, sih? Kok tadi kayaknya langsung pada lari.’ Hani terkejut ketika membaca pesan dari
Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak. Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersi
“Atas nama kak Hani.” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hani. Tak sampai menunggu lama, Hani lalu bergegas menuju asal suara barista tersebut untuk mengambil salted caramel latte yang bertuliskan namanya itu. Ia lalu kembali ke tempat duduk paling ujung untuk melanjutkan kegiatannya di depan laptop. Segelas es kopi favorit memang mampu mengembalikan energi Hani setelah melepas rindu penuh haru di rumah Kana, serta meningkatkan mood sebelum lanjut berkutat pada skripsi. Sambil meneguk segelas es yang ada di tangan kanannya, tiba-tiba ia teringat tentang pesan masuk di WhatsApp yang belum sempat ia balas. Perempuan berkemeja hijau itu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu membaca ulang pesan tersebut. Ia tersenyum lagi. ‘Hai, kak Ghani. Kampus masih aman, kok. Ya, walaupun udah beda aja rasa
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong. “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut. “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna. “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”&nbs
Pagi ini cukup dingin, diselimuti cuaca mendung dan iringan gemuruh petir yang sesekali terdengar menakutkan. Tubuh Kana terasa lebih ringan dari biasanya. Irama suara hujan membuatnya tak ingin segera membuka mata. Kana sangat menikmati posisi ini, dengan kepala yang sedari tadi bersandar di sofa. Kali ini, ia membuang napas secara perlahan untuk ke sekian kalinya selama matanya terpejam. Helaan napas yang semakin lama semakin membuatnya merasa lebih lega.“Kamu boleh buka mata kalau sudah siap.” Ucap seorang pria dengan suara lembut, membuat Kana tidak bisa kembali fokus.Kana mulai membuka mata perlahan. Sedikit demi sedikit wajah tampan dr. Rian mulai memenuhi seisi pandangan mata Kana. Matanya mulai terbuka penuh, ia bisa menangkap secara jelas wajah pria dengan gelar ‘dr. SpKJ’ di belakang namanya, seperti yang tertera pada nametag yang menempel di dadanya. Pandangan kana seakan tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya sekar