Ghani menekuk wajahnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu kereta MRT yang terbuka. Terlihat suasana dalam kereta yang padat membuat Ghani memutuskan untuk berdiri tanpa mencari tempat duduk kosong terlebih dahulu. Diraihnya hand strap yang menggantung tepat di atas kepalanya agar ia tidak jatuh begitu kereta mulai berjalan. Tak menunggu lama, pintu dengan cepat menutup secara otomatis dan kereta segera melaju.
Mata Ghani tetap saja menunjukkan pandangan kosong sejak kakinya beranjak dari toko kue Kana. Ia merasa sangat sedih dan menyesal karena tidak bisa hadir di salah satu hari bahagia Kana saat itu. Ia berada dalam kebingungan setiap kali memikirkan Kana. Ada rasa takut ketika dirinya ingin menyapa Kana meski hanya melalui chat. Laki-laki yang mempunyai lesung manis di pipinya itu merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Kana pada malam ketika Kana dipermalukan oleh Jovi. Ghani sangat kecewa dengan dirinya sendiri yang memilih diam dan ikut menyembunyikan keburukan sahabatnya itu kepada Kana. Ia juga merasa gagal menjadi pria sejati karena tidak bisa jujur akan perasaannya pada Kana.
Memang sudah sejak lama Ghani menyukai Kana. Cara pandang Kana tentang permasalahan dan berbagai hal di dunia dapat membuka hati dan pikiran Ghani. Kedewasaan Kana berhasil mengurangi sifat kekanak-kanakan Ghani. Ketika ayahnya sedang kritis di ICU, Kana-lah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya. Kana sangat peka terhadap perasaan sedih yang berhasil disembunyikan Ghani di balik tawa keras dan candaan yang dilontarkannya untuk menghibur orang lain. Saat itu, hanya Kana yang merasa bahwa usaha Ghani untuk menghibur orang lain juga merupakan upaya Ghani untuk melupakan kesedihan yang sedang melanda dirinya. Ghani yang dari dulu dikenal sebagai orang humoris dan tidak pernah serius, saat ini menjadi lebih sering melamun. Ya, memikirkan tentang apalagi kalau bukan tentang Kana?
Tak sampai 20 menit, kereta berhenti di stasiun MRT tujuan Ghani. Sembari berjalan keluar, Ghani pun mulai memesan ojek online untuk mengantarkannya pulang ke rumah. Beruntung, ojek online tersebut sedang berada di titik lokasi penjemputan. Hanya membutuhkan waktu 15 menit, Ghani sudah tiba di rumahnya. Terlihat ada perempuan berambut pirang pendek sebahu yang mengenakan kemeja polos warna navy sedang berdiri di depan pagar rumah Ghani. Ghani yang sedikit terkejut karena kehadiran perempuan itu pun segera menghampirinya.
“Eh, Han. Ngapain di sini? Udah lama?” tanya Ghani penasaran kepada perempuan yang ternyata adalah Hani.
“Hai, Kak. Barusan sampai, kok.” Jawab Hani.
“Ada apa, Han?” Ghani yang sedang tidak mau basa-basi segera menanyakan keperluan Hani yang tiba-tiba datang ke rumahnya saat itu.
Hani sedikit kesal karena Ghani tidak menanyakan kabarnya terlebih dahulu, “Mmm… enggak, Kak. Cuma mau ngomong soal Kana.” Jawabnya pada Ghani.
“Kana? Kenapa Kana? Baik-baik aja, kan?” Tanya Ghani sambil tetap mencoba membunyikan kekhawatirannya.
“Iya, dia baik-baik aja. Ya, tadi cuma ada sedikit kekacauan, sih. Tapi, nggak apa-apa kok, Kak.”
Ghani hanya mengangguk menandakan perasaan lega.
“Tadi kak Ghani ke toko?” Tanpa banyak basa-basi lagi, Hani langsung bertanya kepada Ghani.
“Iya, Han. Niatnya pengen masuk, tapi ragu.”
“Jangan, kak.” Ucap Hani spontan.
“Kenapa, Han?” Ghani mulai penasaran.
“Jadi tadi Kana sempet lari ke pantry di tengah-tengah acara, bahkan nangis gitu, Kak. Yang aku takutin, Kana keinget sesuatu. Atau mungkin tadi Kana lihat kak Ghani di depan.”
Ghani menundukkan kepala, tangan kirinya mengelus leher bagian belakang. Ia mulai kepikiran tentang perkataan Hani, “Tapi kan gue nggak ada salah apa-apa sama Kana, Han.” Ucapnya.
“Iya, kak, aku tau kalau kak Ghani juga nggak pernah setuju sama perlakukan Jovi ke Kana. Tapi, aku cuma khawatir kalau tingkah Kana tadi terjadi karena lihat kakak. Bisa jadi Kana jadi keinget Jovi. Soalnya dulu Kana juga sempet nggak mau ketemu aku sama Sisil, Kak.” Hani merasa tidak enak dengan Ghani.
Ghani menghela napas cukup panjang, “oke. Gue nggak akan lagi ketemu Kana tanpa se-izin kalian.” Ujar Ghani dengan berat hati.
“Maaf, ya, Kak.”
Ghani hanya terseyum paksa sambil sekali mengangguk.
“Ya, udah. Ada yang mau disampaiin lagi? Gue mau masuk, ngantuk banget.” Kata Ghani sambil menguap kecil.
“Oh, enggak, Kak. Aku pulang dulu, Kak.”
“Oke.” Ghani hanya menjawab singkat sambil membuka pagar, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Hani beranjak pergi.
Hani pun pergi dengan perasaan lega dan juga sedikit kesal. Ia lega karena sudah bertemu dengan Ghani setelah beberapa bulan lamanya, tetapi juga kesal karena Ghani terlihat sangat cuek dengan Hani. Namun, ia tidak heran karena memang dibalik tingkah konyol yang suka diperlihatkannya di tongkrongan, Ghani juga dikenal sebagai laki-laki cuek, seperti tidak peduli dengan situasi di sekitarnya. Terlebih lagi, Ghani sangat jarang menunjukkan sikap yang serius jika ada suatu permasalahan yang datang kepadanya. Bahkan, ketika ayahnya sakit, ia masih saja bisa tertawa menghibur teman-temannya. Meski pun memang tidak ada yang pernah tahu perasaan Ghani sesungguhnya dibalik candanya itu.
Sementara, di dalam rumah, Ghani segera masuk dan mengunci rapat pintu kamarnya. Ia membanting tubuhnya sendiri di atas kasur. Dipejamkanlah matanya setelah beberapa detik mamandang kosong langit-langit kamar. Ia kembali diselimuti rasa bersalah setelah mendengar perkataan Hani.
Andai saja dulu gue bilang ke Kana tentang perliku Jovi di belakangnya. Andai saja dulu gue bisa nge-bela Kana waktu dia dipermaluin di depan temen-temennya. Andai dulu gue bisa cepet-cepet cegah Kana biar nggak ngelakuin percobaan bunuh diri. Andai aja gue nggak sepengecut ini, sembunyi di balik perasaan gue sendiri.
Ghani bertarung di dalam batinnya sendiri, berandai-andai tentang segala hal yang sudah terlanjur terjadi. Kalau saja perkataan orang-orang itu benar bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, hanya satu yang diinginkan Ghani untuk menjadi sebuah kemungkinan, yaitu dengan memutar waktu dan mengubah keadaan, serta menjadi satu-satunya yang selalu ada untuk Kana dan mendekapnya ketika ia merasa tidak baik-baik saja. Namun, ia sadar bahwa memiliki Kana tidak akan pernah menjadi takdirnya. Sedekat apapun hubungannya dengan Kana dulu, ternyata pada akhirnya Kana memilih Jovi yang bahkan tidak mencintai Kana dengan tulus seperti dirinya.
Ghani mulai membuka mata. Kali ini pandangannya tertuju pada lukisan sketsa wajah yang dipajangnya di meja kecil samping kasurnya. Ia meraih lukisan yang berbentuk wajah konyolnya itu dan meletakkannya di dada. Sketsa wajah yang dilukis Kana memang memperlihatkan wajah lucu Ghani dan selalu membuatnya tertawa kecil. Namun, saat ini ia tidak bisa tertawa.
Seketika pikirannya menjelajah ke masa lalu, tepat ketika Kana memberikan sketsa gambar itu pada Ghani di depan ICU, tempat ayah Ghani dirawat karena sakit jantung. Kana adalah satu-satunya orang yang peduli kepada Ghani. Kana selalu memberi semangat kepada Ghani, termasuk memberi lukisan hasil karyanya sendiri sebagai salah satu bentuk peduli kepada Ghani. Mulai saat itu, rasa suka di hati Ghani kepada Kana mulai bertumbuh meski Ghani tahu bahwa Kana sedang dalam tahap pendekatan dengan Jovi. Padahal perkenalan Kana dan Ghani juga karena kedekatan Kana dengan Jovi. Namun, sejak saat itu, Ghani merasa bahwa ia sudah mengenal Kana sejak lama. Hatinya mulai benar-benar dibuat luluh oleh perempuan itu hingga sekarang, dan akan tetap tumbuh entah sampai kapan.
Hari ini cuaca nampak bagus dan terlihat cerah mengiringi pagi Kana yang tak seperti biasanya. Kana akan memulai hari baru untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada hal mengganjal yang mengusik hati dan pikiran Kana tentang keputusannya ini. Bukan karena ragu untuk lanjut kuliah lagi, tetapi ia teringat bahwa tahun lalu ia sempat diberi peringatan tentang masa cuti yang normalnya tidak bisa lebih dari dua semester, yang mana seharusnya Kana hanya boleh cuti kuliah paling lama satu tahun meski didukung dengan alasan yang kuat. Kana mulai menyusun kalimat-kalimat sebagai jurus jitu agar dia bisa tetap melanjutkan statusnya sebagai mahasiswi Seni Rupa di kampusnya meski saat ini sudah memasuki semester keempat sejak ia sempat berhenti kuliah. Apalagi selama masa cuti, ia tidak pernah sekalipun memberi konfirmasi kepada pihak kampus. Ia hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak padanya kali ini.“Sayang, udah sarapan?” Tanya nenek yang sedang mengambil roti tawar di
Perasaan gelisah di pagi ini membuat Kana semakin tidak merasakan lapar sama sekali, padahal ia belum sempat sarapan. Bahkan ia hanya memakan sepotong tuna bread tadi malam. Kana tidak akan menyesal karena tidak makan, sampai pada akhirnya ia akan tumbang sendiri karena badannya yang semakin lemas. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialami Kana, tetapi ia tak pernah belajar dari kesalahannya tersebut. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana tubuhnya harus merasa lebih relax dan pikirannya menjadi fresh. Namun, rasa gelisah tidak juga hilang. Ia memutuskan untuk membeli es krim di toko swalayan terdekat. Kata dr. Rian, makanan favorit dapat membantu hati dan pikiran menjadi lebih baik.Kana mulai memilih es krim yang disukainya. Walau hanya tinggal memilih, tetapi hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Kana. Sebab, tidak ada satupun rasa manis dari es krim yang tidak disukainya. Menurut Kana, es krim merupakan teman terbaik
‘ 'Halo, dr. Rian. Besok malam dokter ada acara? Kana mau ketemu sama dokter.’ Kana mengirim chat kepada dr. Rian. Ia ingin menanyakan tentang kecemasannya ketika melihat alat melukis serta meminta solusi agar dirinya bisa bersahabat lagi dengan alat yang seharusnya menjadi hal yang sangat ia sukai. Tidak sampai memakan waktu lama, dr. Rian pun membalas pesan dari Kana. ‘Sejauh ini saya free. Ada yang mau dibicarakan, ya?’ Balas dr. Rian melalui chat. ‘Iya, Dok. Bisa?’ Tanya Kana. ‘Tentu. Dimana dan jam berapa, Kana?’&nb
Pagi ini cukup dingin, diselimuti cuaca mendung dan iringan gemuruh petir yang sesekali terdengar menakutkan. Tubuh Kana terasa lebih ringan dari biasanya. Irama suara hujan membuatnya tak ingin segera membuka mata. Kana sangat menikmati posisi ini, dengan kepala yang sedari tadi bersandar di sofa. Kali ini, ia membuang napas secara perlahan untuk ke sekian kalinya selama matanya terpejam. Helaan napas yang semakin lama semakin membuatnya merasa lebih lega.“Kamu boleh buka mata kalau sudah siap.” Ucap seorang pria dengan suara lembut, membuat Kana tidak bisa kembali fokus.Kana mulai membuka mata perlahan. Sedikit demi sedikit wajah tampan dr. Rian mulai memenuhi seisi pandangan mata Kana. Matanya mulai terbuka penuh, ia bisa menangkap secara jelas wajah pria dengan gelar ‘dr. SpKJ’ di belakang namanya, seperti yang tertera pada nametag yang menempel di dadanya. Pandangan kana seakan tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya sekar
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong. “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut. “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna. “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”&nbs
“Atas nama kak Hani.” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hani. Tak sampai menunggu lama, Hani lalu bergegas menuju asal suara barista tersebut untuk mengambil salted caramel latte yang bertuliskan namanya itu. Ia lalu kembali ke tempat duduk paling ujung untuk melanjutkan kegiatannya di depan laptop. Segelas es kopi favorit memang mampu mengembalikan energi Hani setelah melepas rindu penuh haru di rumah Kana, serta meningkatkan mood sebelum lanjut berkutat pada skripsi. Sambil meneguk segelas es yang ada di tangan kanannya, tiba-tiba ia teringat tentang pesan masuk di WhatsApp yang belum sempat ia balas. Perempuan berkemeja hijau itu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu membaca ulang pesan tersebut. Ia tersenyum lagi. ‘Hai, kak Ghani. Kampus masih aman, kok. Ya, walaupun udah beda aja rasa
Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak. Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersi
Nenek dan dr. Rian masih menemani Kana di pantry. Hani dan Sisil menahan diri untuk tidak menemui Kana saat ini sebelum perasaan Kana kembali mereda. Bukannya tidak peduli, tetapi justru mereka berdua sudah lebih mengetahui bagaimana menyikapi Kana jika sedang berada dalam kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung akan menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Kana, selagi memang Kana sudah ada yang menemani dan mendapat perhatian dari orang yang Kana sayangi, seperti neneknya serta dr. Rian sebagai orang yang paling tahu akan kondisi Kana saat ini. Di tengah kepanikan Hani dan Sisil, tiba-tiba ada chat masuk pada ponsel Hani. ‘Han, di dalem ada rebut-ribut apa, sih? Kok tadi kayaknya langsung pada lari.’ Hani terkejut ketika membaca pesan dari
‘ 'Halo, dr. Rian. Besok malam dokter ada acara? Kana mau ketemu sama dokter.’ Kana mengirim chat kepada dr. Rian. Ia ingin menanyakan tentang kecemasannya ketika melihat alat melukis serta meminta solusi agar dirinya bisa bersahabat lagi dengan alat yang seharusnya menjadi hal yang sangat ia sukai. Tidak sampai memakan waktu lama, dr. Rian pun membalas pesan dari Kana. ‘Sejauh ini saya free. Ada yang mau dibicarakan, ya?’ Balas dr. Rian melalui chat. ‘Iya, Dok. Bisa?’ Tanya Kana. ‘Tentu. Dimana dan jam berapa, Kana?’&nb
Perasaan gelisah di pagi ini membuat Kana semakin tidak merasakan lapar sama sekali, padahal ia belum sempat sarapan. Bahkan ia hanya memakan sepotong tuna bread tadi malam. Kana tidak akan menyesal karena tidak makan, sampai pada akhirnya ia akan tumbang sendiri karena badannya yang semakin lemas. Kejadian seperti itu sudah beberapa kali dialami Kana, tetapi ia tak pernah belajar dari kesalahannya tersebut. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana tubuhnya harus merasa lebih relax dan pikirannya menjadi fresh. Namun, rasa gelisah tidak juga hilang. Ia memutuskan untuk membeli es krim di toko swalayan terdekat. Kata dr. Rian, makanan favorit dapat membantu hati dan pikiran menjadi lebih baik.Kana mulai memilih es krim yang disukainya. Walau hanya tinggal memilih, tetapi hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Kana. Sebab, tidak ada satupun rasa manis dari es krim yang tidak disukainya. Menurut Kana, es krim merupakan teman terbaik
Hari ini cuaca nampak bagus dan terlihat cerah mengiringi pagi Kana yang tak seperti biasanya. Kana akan memulai hari baru untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada hal mengganjal yang mengusik hati dan pikiran Kana tentang keputusannya ini. Bukan karena ragu untuk lanjut kuliah lagi, tetapi ia teringat bahwa tahun lalu ia sempat diberi peringatan tentang masa cuti yang normalnya tidak bisa lebih dari dua semester, yang mana seharusnya Kana hanya boleh cuti kuliah paling lama satu tahun meski didukung dengan alasan yang kuat. Kana mulai menyusun kalimat-kalimat sebagai jurus jitu agar dia bisa tetap melanjutkan statusnya sebagai mahasiswi Seni Rupa di kampusnya meski saat ini sudah memasuki semester keempat sejak ia sempat berhenti kuliah. Apalagi selama masa cuti, ia tidak pernah sekalipun memberi konfirmasi kepada pihak kampus. Ia hanya bisa berdoa agar keberuntungan berpihak padanya kali ini.“Sayang, udah sarapan?” Tanya nenek yang sedang mengambil roti tawar di
Ghani menekuk wajahnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu kereta MRT yang terbuka. Terlihat suasana dalam kereta yang padat membuat Ghani memutuskan untuk berdiri tanpa mencari tempat duduk kosong terlebih dahulu. Diraihnya hand strap yang menggantung tepat di atas kepalanya agar ia tidak jatuh begitu kereta mulai berjalan. Tak menunggu lama, pintu dengan cepat menutup secara otomatis dan kereta segera melaju. Mata Ghani tetap saja menunjukkan pandangan kosong sejak kakinya beranjak dari toko kue Kana. Ia merasa sangat sedih dan menyesal karena tidak bisa hadir di salah satu hari bahagia Kana saat itu. Ia berada dalam kebingungan setiap kali memikirkan Kana. Ada rasa takut ketika dirinya ingin menyapa Kana meski hanya melalui chat. Laki-laki yang mempunyai lesung manis di pipinya itu merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Kana pada malam ketika Kana diper
Nenek dan dr. Rian masih menemani Kana di pantry. Hani dan Sisil menahan diri untuk tidak menemui Kana saat ini sebelum perasaan Kana kembali mereda. Bukannya tidak peduli, tetapi justru mereka berdua sudah lebih mengetahui bagaimana menyikapi Kana jika sedang berada dalam kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung akan menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Kana, selagi memang Kana sudah ada yang menemani dan mendapat perhatian dari orang yang Kana sayangi, seperti neneknya serta dr. Rian sebagai orang yang paling tahu akan kondisi Kana saat ini. Di tengah kepanikan Hani dan Sisil, tiba-tiba ada chat masuk pada ponsel Hani. ‘Han, di dalem ada rebut-ribut apa, sih? Kok tadi kayaknya langsung pada lari.’ Hani terkejut ketika membaca pesan dari
Minggu pagi kali ini menjadi pagi tersibuk bagi Kana dalam beberapa tahun belakangan. Acara peresmian yang akan digelar di toko kue cukup menyita waktu Kana selama tujuh hari ini. Meski acara hanya dibuat sangat minimalis dan intim, tetapi Kana dan nenek merasa perlu menyiapkan semuanya dengan maksimal. Padahal tamu yang diundang hanya karyawan toko, Hani, Sisil, dan dr. Rian. Untung saja jadwal praktik dr. Rian di rumah sakit hanya setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Selebihnya dr. Rian sibuk menjadi pembicara untuk seminar dan membuka jam praktik sendiri di rumahnya setiap hari Selasa dan Kamis. Namun, meski jadwal dr. Rian terbilang cukup padat, beberapa bulan ini ia lebih sering meluangkan waktunya untuk Kana, selagi memang tidak ada pasien yang membutuhkan pertolongannya secara mendesak. Belum ada 10 menit Kana menyandarkan tubuhnya di kursi setelah satu jam bersi
“Atas nama kak Hani.” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hani. Tak sampai menunggu lama, Hani lalu bergegas menuju asal suara barista tersebut untuk mengambil salted caramel latte yang bertuliskan namanya itu. Ia lalu kembali ke tempat duduk paling ujung untuk melanjutkan kegiatannya di depan laptop. Segelas es kopi favorit memang mampu mengembalikan energi Hani setelah melepas rindu penuh haru di rumah Kana, serta meningkatkan mood sebelum lanjut berkutat pada skripsi. Sambil meneguk segelas es yang ada di tangan kanannya, tiba-tiba ia teringat tentang pesan masuk di WhatsApp yang belum sempat ia balas. Perempuan berkemeja hijau itu segera mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu membaca ulang pesan tersebut. Ia tersenyum lagi. ‘Hai, kak Ghani. Kampus masih aman, kok. Ya, walaupun udah beda aja rasa
Tok tok tok! Suara ketukan pintu terus terdengar selama beberapa kali di jam 7 pagi ini. Kana yang sedang repot di dapur membantu mbak Lastri, pembantunya, tidak sempat membukakan pintu. Begitu juga dengan mbak Lastri yang sedang menumis sayuran agar tidak gosong. “Siapa ya yang bertamu sepagi ini, mbak?” Tanya Kana sembari mencuci buah-buahan segar untuk dijadikan salad buah sebagai makanan pencuci mulut. “Nggak tau juga saya, mbak. Sebentar ya, mbak, nanti saya bukain.” Mbak Lastri terus menumis brokoli agar matang dengan sempurna. “Nggak usah, mbak. Biar Kana aja yang buka.”&nbs
Pagi ini cukup dingin, diselimuti cuaca mendung dan iringan gemuruh petir yang sesekali terdengar menakutkan. Tubuh Kana terasa lebih ringan dari biasanya. Irama suara hujan membuatnya tak ingin segera membuka mata. Kana sangat menikmati posisi ini, dengan kepala yang sedari tadi bersandar di sofa. Kali ini, ia membuang napas secara perlahan untuk ke sekian kalinya selama matanya terpejam. Helaan napas yang semakin lama semakin membuatnya merasa lebih lega.“Kamu boleh buka mata kalau sudah siap.” Ucap seorang pria dengan suara lembut, membuat Kana tidak bisa kembali fokus.Kana mulai membuka mata perlahan. Sedikit demi sedikit wajah tampan dr. Rian mulai memenuhi seisi pandangan mata Kana. Matanya mulai terbuka penuh, ia bisa menangkap secara jelas wajah pria dengan gelar ‘dr. SpKJ’ di belakang namanya, seperti yang tertera pada nametag yang menempel di dadanya. Pandangan kana seakan tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya sekar