Share

Bab 3

Seperti yang dikatakan Charlie, dia benar-benar ada setiap kali aku membutuhkannya. Setelah perusahaan makin berkembang, Charlie pun mulai sibuk. Setelah Tamara datang ke kehidupannya, kami bahkan bertengkar sengit untuk pertama kalinya karena wanita itu.

Sejak saat itu, hubungan kami retak. Begitu hubungan retak karena kehadiran seseorang, maka akan sulit untuk diperbaiki.

Anakku lahir pada masa tersulit perusahaan. Aku menjaga diri sendiri, pergi ke rumah sakit sendiri untuk melahirkan. Ketika sudah mau melahirkan, aku menelepon Charlie. Namun, yang menjawab panggilan adalah Tamara.

Terdengar suara centil di ujung telepon. "Kak Naomi, Pak Charlie lagi sama klien. Kalau ada masalah penting, aku bantu kamu sampaikan."

Aku menahan rasa sakit di perutku. Ketika mendengar suara napas Charlie di ujung telepon, aku pun tidak bisa berkata-kata.

Panggilan berakhir. Masuk notifikasi kartu kredit. Mereka check-in dengan kartu kreditku. Itu adalah pertama kalinya Charlie tertangkap basah memasuki hotel bersama Tamara.

Aku baru melahirkan. Orang yang memotret Charlie dan Tamara pun meminta uang 2 miliar dariku. Aku memutuskan untuk memberikannya.

Kini, aku baru menyadari bahwa keputusanku sudah salah sejak awal. Bagaimanapun, itu hanya langkah pertama. Masih ada banyak penderitaan yang harus kutanggung di belakang.

Setelah kehilangan putraku, aku langsung tersadarkan. Saat itu, aku yang membawa putraku ke kehidupan ini. Kini, aku juga yang mengantar kepergiannya.

Setelah meninggalkan rumah, aku merasa malu jika harus pulang ke tempat orang tuaku. Jadi, aku hanya bisa membawa abu putraku dan menyewa rumah.

Aku meminta asisten Charlie membantuku membuat janji di rumah duka. Setelah membeli bahan makanan, aku mengurung diri dua hari di rumah.

Hari ketiga, aku hendak pergi ke rumah duka. Tiba-tiba, ada yang menggedor pintu rumahku. Begitu pintu dibuka, aku terjatuh karena dorongan pintu yang kuat. Guci abu putraku hampir terlepas dari tanganku.

Aku segera bangkit. Setelah memastikan tidak ada yang rusak, aku menghela napas lega. Saat berikutnya, terdengar bentakan Charlie. "Kamu bawa anak kita ke mana? Suruh dia keluar!"

Aku mengernyit menatap para pengawal yang menggeledah rumahku. Sesaat kemudian, mereka berkumpul kembali di ruang tamu dan menggeleng kepada Charlie.

Seketika, Charlie naik pitam. Dia menatapku dengan mata memerah dan memekik, "Di mana anak kita?"

Saat ini, Tamara masuk dengan sepatu hak tingginya. Dia buru-buru menahan Charlie dan membujuk, "Pak Charlie, tenang sedikit. Jangan marah-marah atau main tangan. Kalian suami istri ...."

Sebelum Tamara selesai berbicara, aku sontak meludah ke wajahnya dan menghardik, "Nggak perlu sok baik! Kalau nggak ada kamu, hubungan kami nggak bakal berakhir seperti ini!"

Charlie malah menjambak rambutku. Aku kesakitan hingga mengernyit. Namun, dia seperti tidak melihat apa-apa, bahkan membentak, "Cuma karena cemburu, kamu menghasut putramu. Sekarang kamu mau pura-pura lugu? Apa aku terlalu memanjakanmu selama ini?"

Aku menggertakkan gigiku. Air mata tak kuasa mengalir. "Kamu nggak berhak mengatur putraku! Charlie, penyesalan terbesarku adalah menentang orang tuaku dan menikah denganmu! Aku benar-benar buta!"

Awalnya, aku berniat mengirim pesan kepada Charlie untuk memintanya menghadiri pemakaman putra kami. Namun, sekarang tidak perlu lagi. Charlie tidak pernah peduli pada putranya.

Begitu mendengar ucapanku, kemarahan pada sorot mata Charlie menjadi makin kuat. Dia pun mengangkat tangannya untuk menamparku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status