POV LoganJane kemudian tertawa dan menghapus air matanya. Dia tergelak sambil bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Sudah kuduga, pikirku. Dia sedang mengasah kemampuan aktingnya.“Aku yakin kau akan berhasil dalam audisi peran itu,” pujiku tulus pada aksi Jane tadi.“Well, aku memang dituntut untuk memerankan berbagai jenis emosi. Aku tidak ingin gagal seperti yang sudah-sudah. Jadi, aku berlatih lebih keras selama beberapa bulan terakhir dan mempraktikkannya secara spontan.” Jane mengibaskan ujung rambutnya, mengedipkan satu matanya padaku, dan kembali duduk di kursi yang semula dia tempati.“Tidak akan, Jane. Kapan audisinya dimulai?”“Dua hari lagi.”“Kuharap semuanya akan berjalan lancar untukmu.”Jane hanya tersenyum, lantas menyisir rambutnya dengan jemari. Aku memperhatikan wajah tenangnya sebelum meneruskan obrolan. “Industri hiburan keras, kau tahu.”“Itu mimpiku. Aku pernah berjanji pada Brielle untuk mewujudkannya suatu hari nanti. Aku akan punya nama panggung yang diken
POV Amanda“Pernikahan bukan untuk main-main.” Suaraku bergetar seperti lonceng yang dipukul angin.“Kapan aku pernah main-main? Aku tidak mengajakmu untuk berpura-pura menjadi istriku, tetapi mengajakmu menikah.” Nada Logan mantap dan tidak ada keraguan yang kutangkap di matanya.Aku berpaling ke arah lain dan menyahut, “Tidak, Logan.”Pernikahan bukan sesuatu yang kubayangkan akan terjadi padaku dalam waktu dekat. Aku tidak punya masalah dengan komitmen, tetapi menikah dengan Logan juga bukan solusi. Tidak karena kehamilanku.Aku mulai berhenti bermimpi tentang hal-hal indah dalam pernikahan sejak keluargaku tidak lagi utuh. Perspektifku mengenai hubungan berubah. Aku lebih pesimis dan sinis terhadap kehidupan para pasangan sebab aku sadar happy ever after yang banyak orang puja memang hanya eksis dalam cerita-cerita dongeng.“Tidak? Maksudmu, kau tidak akan menikah denganku?” Suara Logan tidak selantang tadi, ada gelenyar kekecewaan yang terselip di dalam sana, dan aku merasa bersa
POV LoganAku mengamati Amanda yang menyeka bibirnya, balas memandangiku dengan sorot mata ingin tahu, dan membuat punggungku mengejang oleh rasa gugup yang belum pernah kualami sebelumnya. Menceritakan tentang Magdalena memang akan kembali menguak luka lama. Namun, aku telah memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu.“Namanya Magdalena. Warna rambutnya sedikit lebih terang darimu, tetapi sedikit lebih gelap dari Brielle.” Aku berbisik di depan wajah Amanda sambil menonton setiap reaksinya.“Itu nama yang cantik.”“Sama seperti dirinya.” Aku kembali berbisik pada Amanda.“Apa yang terjadi pada Magdalena?” Nada Amanda terdengar hati-hati.Aku berusaha mengumpulkan rasa tenang yang mendadak hilang dari dadaku dengan mengangkat jari telunjukku dan menelusuri garis rahang Amanda. Mengusapnya lembut, lantas membiarkan seluruh memori tentang malam itu kembali terulang dalam benakku. Menyeretku secara paksa di bawah dosa penghakiman.Rasanya seperti tengah menyetel kaset lama dari balik rak
POV Amanda“Dengan syarat.”“Syarat? Tidak masalah. Kau boleh mengajukan syarat apa saja. Rumah mewah? Kendaraan pribadi? Perhiasan berlian? Aku akan memberikan semuanya untukmu,” sesumbar Logan sambil memamerkan seringainya padaku.“Kau pikir aku hanya akan mengincar keuntungan itu darimu?”Kedua alis Logan terangkat. Bibirnya mengatup membentuk seulas garis kaku sebelum berbisik ke salah satu sisi wajahku. “Jadi, apa yang kau minta pada Daddy?”Degup jantungku mendadak berhenti untuk sedetik yang terasa mendebarkan. Aku mengatur ritme napasku yang kacau dan menyahut dengan terbata-bata, “A-aku hanya ingin kita menandatangani sejumlah dokumen yang dibutuhkan untuk legalitas pernikahan. Tidak boleh ada acara atau mengundang kerabat. Tidak boleh ada yang tahu bahwa kita akan menikah.”“Apa kau lebih suka bermain kucing-kucingan? Baiklah. Kali ini, kita akan mengikuti aturanmu.”“Satu lagi.”“Aku mendengarkan.”“Andrew juga tidak boleh tahu tentang pernikahan kita.”Kening Logan spontan
POV LoganPersis seperti yang kuduga minggu lalu, Amanda datang dengan pakaian kasual dan sepatu kets favoritnya. Tidak ada pertukaran cincin atau sesuatu yang menggambarkan nuansa perkawinan dalam hubungan kami, kecuali perubahan status yang hanya kami berdua yang tahu. Rasanya masih seperti mimpi yang mendadak berakhir kala fajar menjelang.Aku dan Amanda baru saja keluar dari gedung catatan sipil seusai mencatatkan pernikahan kami. Prosesnya yang efisien sama sekali tidak terasa menyulitkan bagiku. Dengan mengendarai kendaraan pribadi, kami kemudian pulang ke Elkins Park sebagai pasangan pengantin baru. Di sepanjang perjalanan, Amanda lebih banyak diam dan memandangi arus lalu lintas yang padat merayap di luar jendela. Aku melirik sesekali ke samping kursi penumpang, memastikan prosesi yang kami lakukan tadi memang nyata, memastikan Amanda yang sedang duduk tenang di sisiku tidak akan lenyap seperti kabut sihir dalam film fantasi. Haruskah aku tergelak atas pemikiran konyolku send
POV AmandaTaksi membawaku melesat seperti Cadillac yang melintasi pusat kota Philadelphia dalam kecepatan sedang. Di sepanjang perjalanan, aku hanya memandang murung ke luar jendela dan meremas ujung kemejaku kuat-kuat untuk mencegah air mata turun membanjiri wajahku. Mengapa meninggalkan Logan seperti tadi rasanya menyakitkan?Menghela napas tidak pernah sesesak ini sebelumnya, seolah-olah udara berubah seperti polusi yang mencekik leherku. Bukannya melegakan dan membuatku menghirup kehidupan. Namun, merenggut seluruh energi yang kupunya.“Belok kiri. Rumah pertama tanpa pagar,” ucapku dengan nada serak pada sopir.“Lewat sini?”“Benar,” sahutku lagi, mengikuti arah jari pria itu dan bersiap untuk turun.Kendaraan kami kemudian berhenti di depan rumah. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal di dalam, aku langsung keluar. Dengan setengah berlari, aku menuju pekarangan dan berniat untuk segera naik ke lantai atas menenangkan diri di kamar.Semuanya masih baik-baik saja sa
POV LoganAku kembali melirik ke arah lipstik Amanda yang tertinggal di tengah-tengah aktivitas berkendaraku. Kepergiannya tadi terasa menyakitkan, tetapi aku tetap sengaja mengunjunginya untuk mengantarkan benda itu agar kami punya alasan berjumpa. Setiap detik bersama Amanda adalah waktu yang berharga bagiku, harta yang tidak ternilai, sesuatu yang kurindukan sekarang.Kecepatan mengemudiku melambat selepas mobilku berbelok ke kawasan kompleks perumahan Amanda. Aku kemudian berhenti di depan rumah tanpa pagar yang warna cat jendelanya telah pudar dan mengamati rerumputan liar yang tumbuh tidak terkendali di halaman. Angka sembilan yang dilapisi kaca akrilik kusam berukuran cukup besar tergantung di dekat pintu masuk.Tidak ada yang istimewa dari bangunan berarsitektur Amerika modern milik keluarga Fletcher. Tembok luarnya terbuat dari batu bata. Kesan kurang terawat seketika tertangkap lewat lumut yang terhampar menyerupai beludru di sepanjang atap sisi barat.“Apa dia ada di dalam?
POV Amanda“A-aku—uh, baiklah. Aku tidak akan berdebat tentang ini lagi,” bisikku mengakhiri pembicaraan dan masih terisak dari sisa tangisku.Sorot mata Logan kemudian berubah melembut. Jemarinya terulur menyentuh wajahku, menghapus jejak air mata yang tertinggal, menawarkan perlindungan menenangkan. Kedua lengannya terangkat untuk merengkuh tubuhku sekali lagi.Aku seketika merasa aman dalam pelukan Logan yang erat dan nyaman. Belum pernah ada perasaan yang demikian luar biasa yang menyentuh hatiku sebelumnya. Rasanya seperti punya tempat teduh untuk bernaung kala hujan deras turun.Aku melihat sisi Logan yang baru. Maskulinitasnya yang biasa mendominasi anehnya justru terasa menentramkan bagiku. Setengah gemetar dari syok yang mengguncang punggungku, aku balas memeluknya, meruntuhkan seluruh egoku untuk jatuh sepenuhnya dalam pangkuan pria yang baru saja resmi menjadi suamiku ini.Kegelisahanku memudar perlahan. Ketakutanku mencair dan lenyap tanpa bekas. Segala sesuatunya terasa t
POV Logan"Siapa yang menelepon di pukul enam pagi?" Aku menggeram dari balik bantal yang menutupi kepala, sepasang mataku lalu mengintip dari samping, mengawasi gerak-gerik Amanda yang sikapnya mendadak berubah ceria."Dari Carissa!" seru Amanda sambil melompat seperti seorang bocah yang baru saja menerima banyak kado di malam Natal.Aku menyingkirkan dua buah bantal yang sengaja kugunakan untuk melindungi wajahku dari cahaya, lantas mendongak menatap Amanda yang senyumnya melebar sekarang. Apa yang membuatnya begitu senang? "Carissa? Temanmu yang bekerja di klub?"Sosok tinggi semampai dengan rambut panjang dan suka mengoceh itu kemudian muncul dalam kepalaku. Aku mengenalnya sebagai kawan akrab Amanda. Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya."Dia tidak akan bekerja di klub lagi, Logan." Suara Amanda melengking dan membuatku berjengit karenanya."Apa maksudmu? Apa kau akan mengajaknya bekerja di kedaimu?" Satu alisku terangkat menanggapi."Tidak. Dia tidak akan membutuhkannya.
POV Amanda"Aku tidak percaya kita telah melakukannya," bisikku pada Logan, merangkul erat salah satu sisi tubuhnya selepas selesai menutup kedai kopi milik kami, bisnis yang sudah berjalan sukses selama hampir tiga tahun terakhir."Kau yang melakukannya, Amanda. Semuanya berkat kerja kerasmu." Logan meremas bahu kiriku sambil mengangguk."Karena ada kau di dalamnya."Kami saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya aku merebahkan kepalaku ke dada Logan. Rasanya masih seperti mimpi. Melihat kehidupanku, kehidupan kami berdua, berjalan lancar persis seperti yang kuharapkan."Carlos dan Breeze baru saja pulang. Menurutmu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Carlos adalah pegawai laki-laki yang bekerja pada kami. Masih muda dan baru lulus SMU saat aku merekrutnya untuk bergabung sebagai barista. Breeze merupakan pegawai perempuan yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Carlos. Tangguh, sedikit tomboi, dengan keeksentrikan yang kadang-kadang membuatku terkejut dan mulai melih
POV LoganPersiapanku sempurna. Segala sesuatunya terlihat luar biasa dan aku yakin Amanda akan menyukainya. Rasa gugup yang melanda mendadak membuat tenggorokanku gatal, aku lalu berdeham-deham mengalihkan perhatianku pada sebuah kotak, dari bahan beledu lembut yang kugenggam di balik tangan kiriku."Kau cantik sekali," bisikku kemudian menggoda Amanda yang duduk dengan mata tertutup sehelai kain, yang sengaja kuminta pada seorang pelayan, setelah mengantar sampanye yang tadi kupesan."Kau sudah mengatakannya di dalam mobil." Amanda terkekeh menggenggam jemariku yang menyentuh kedua sisi wajahnya."Kuharap kau tidak akan bosan mendengarnya sebab aku suka memujimu dan yeah, Amanda, kau memang cantik. Sangat." Aku kembali berbisik, mengusap bibir bawahnya yang dilapisi lipstik warna lembut dengan ibu jariku, menikmati setiap reaksi yang dia tunjukkan."Kau coba membuatku tersipu?" kata Amanda yang lagi-lagi memamerkan senyumnya."Dan sepertinya berhasil? Sekarang, kau harus berbalik ke
POV Amanda"Sudah bangun, Tuan Putri? Bagaimana perasaanmu?" tanya Logan sambil mengecup ringan puncak kepalaku dan satu tangannya kemudian beralih melingkari perutku.Aku bergumam dari sela-sela kuapku. Mendengar suara derit pegas ranjang yang berderak oleh bobot tubuh Logan yang berguling ke samping. Aku lalu menoleh, melihat otot-ototnya yang liat menerbitkan gelenyar aneh di perutku, dan mengawasi gerak-gerik Logan lebih lama dari biasanya."Menikmati yang kau lihat, little one?" goda Logan yang mengerling sekilas, lantas menyambar sehelai celana pendek dari dalam lemari di sudut kamar."Yeah, pemandangan yang bagus.""Mau mandi bersama? Setelah itu kita akan pergi ke suatu tempat."Aku menggigit bibir. Membayangkan tempat seperti apa yang Logan maksud. "Suatu tempat?""Kau akan menyukainya." Logan kembali mengambil dua helai handuk baru dan memamerkan senyumnya."Yang mana?" tanyaku menatap Logan tanpa berkedip."Dua-duanya?" Satu alis Logan menukik ke atas."Penawaran yang perta
POV Logan Lidahku mencari titik yang tepat untuk menaklukkan Amanda dan aku segera menemukannya. Kedua paha Amanda menegang selama beberapa waktu sebelum tubuhnya mengejang penuh penerimaan. Punggung Amanda sontak membusur kala gelombang itu datang menyapunya. Aku mendengar Amanda mengudarakan erangan parau yang panjang dan memacu semangatku untuk membuatnya meneriakkan namaku di sela-sela pelepasan. Menyaksikan Amanda menggelinjang hebat mendadak membuat dadaku sesak oleh rasa bangga yang tidak terbantahkan. Bersumpah akan melimpahinya kenikmatan sebanyak mungkin. “Lo-Logan... Logan...” geram Amanda terbata-bata, jemarinya mencengkeram erat rambutku, memegang sisa kendali dirinya yang begitu rapuh. “Panggil aku dengan benar,” desisku sambil menonton Amanda menggeliat melalui kakinya. Kepala Amanda kembali mendongak dan bibirnya yang gemetar meracau tentang sesuatu yang kotor. Dia mengerang lebih panjang, lebih parau, lebih erotis. Membuatku mengecap lebih banyak rasa dirinya di
POV Amanda“Kedua, aku ingin mendengar kau menyebut namaku saat kau klimaks di bibirku.” Logan membisikkannya dengan suara berat, menyentuh lembut garis rahangku menggunakan bibirnya, mengirimkan gelenyar aneh yang kukenali itu ke perutku.“Dan ketiga, aku akan membuatmu merasakan diriku seutuhnya.” Logan kembali berbisik dengan nada yang lebih kasar, seolah-olah pengendalian diri yang selalu dibanggakan olehnya habis meleleh di bawah kakiku.Darahku berdesir hebat sewaktu Logan mendorongku ke salah satu pilar. Tangannya langsung bergerak membebaskan kancing celana pendekku dan membuat kain dari bahan denim itu seketika meluncur melewati kedua kakiku. Aku menggeram sewaktu jemari Logan menyusup ke balik pelindung terakhir yang masih kukenakan. “Sial, Amanda. Kau basah sekali. Kau akan membuatku mati karena terangsang,” umpatnya kemudian. Aku melihat bibir Logan gemetar dan mendengus sebelum satu jarinya berpindah ke celah yang lebih pribadi. Kesiapku sontak mengudara. Punggungku me
POV LoganSudah tiga bulan berlalu sejak insiden keguguran Amanda di rumah sakit dan kehidupan kami berjalan seperti biasa. Rasanya seperti menemukan mimpi baru dari hari-hari buruk yang telah lama kami tinggalkan jauh di belakang. Kehadiran Amanda membawa angin segar di pergantian langit sore, memberi sentuhan yang menyenangkan, memercikkan semburat warna yang pernah hilang dalam hidupku.“Teh?”“Tanpa gula.” Aku mengangguk sekilas sebelum meneruskan pekerjaan, menyapukan kuas ke permukaan kanvas, dan menggoreskan pola dengan hati-hati.Detik berikutnya, aku mendengar suara teko dari bahan keramik yang terangkat dan denting benda yang diisi. Disusul derap langkah yang muncul dari arah belakang. Amanda kemudian menyodorkan secangkir teh yang baru saja dituangnya padaku. “Terima kasih, Sayang.” Aku kembali mengangguk dan mencicipinya sedikit.“Berapa lama lagi kau akan duduk di sini? Menatap papan lukis sepanjang hari dan mengabaikanku?” Nada Amanda sarat dengan kecemburuan, satu alis
POV AmandaKepalaku pengar. Rasanya seperti baru saja menenggak tiga botol sampanye demi mengungguli sebuah pertandingan yang tidak pernah ditakdirkan untuk kumenangkan. Aroma pertama yang kucium adalah bau steril khas rumah sakit, bau yang tidak kusukai, bau yang membuatku takut hanya dengan membayangkannya.Lemah tidak pernah jadi kata favoritku. Aku sudah bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang medis sejak Logan membawaku ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak berdaya dan bukannya keras kepala seperti biasa.Saat aku membuka mata, pemandangan yang kutangkap hanya warna putih di banyak tempat. Terlalu asing untuk sebuah kamar, terlalu kosong dengan perabot yang minim, dan terlalu kaku dengan ranjang crank yang sama sekali tidak empuk. Punggungku mendadak mati rasa untuk sedetik yang terasa seperti selamanya sewaktu menyadari bahwa aku masih ada di sini. Rumah sakit, erangku dalam hati. Aku menggali sisa ingatan yang juga memudar seiring dengan kesadaran
POV Logan“Apa karena dia? Pria yang lebih pantas jadi pamanmu itu? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?” cemooh Andrew dengan suara lantang, sorot matanya mengarah padaku, menatap penuh kebencian.Suasana mendadak diselimuti oleh ketegangan yang sama sekali tidak membuatku merasa gentar. Aku menyudahi percakapan yang baru saja terpotong bersama sang perawat dan berpaling menghadapi Andrew. Pandangan kami saling bertemu, mengaliri udara dengan kecemasan, membuat kesiap Amanda terdengar dari bibirnya.“Andrew? Da-dari mana kau tahu aku di sini? Maksudku, kau tadi mabuk—” “Dan terlihat tidak peduli?” selanya dengan nada sinis.Amanda kemudian menyandarkan punggungnya. Wajahnya pias, sepucat warna bola salju yang diguncang oleh tangan-tangan bocah nakal, dan bibirnya yang tipis itu setengah terbuka. Bersiap menyemburkan sejumlah kalimat untuk mematahkan spekulasi Andrew yang dianggapnya mengada-ada.Sayangnya, Andrew sama sekali tidak mengada-ada. Dia memang tahu dan aku lah orang yang mem