POV LoganAku kembali melirik ke arah lipstik Amanda yang tertinggal di tengah-tengah aktivitas berkendaraku. Kepergiannya tadi terasa menyakitkan, tetapi aku tetap sengaja mengunjunginya untuk mengantarkan benda itu agar kami punya alasan berjumpa. Setiap detik bersama Amanda adalah waktu yang berharga bagiku, harta yang tidak ternilai, sesuatu yang kurindukan sekarang.Kecepatan mengemudiku melambat selepas mobilku berbelok ke kawasan kompleks perumahan Amanda. Aku kemudian berhenti di depan rumah tanpa pagar yang warna cat jendelanya telah pudar dan mengamati rerumputan liar yang tumbuh tidak terkendali di halaman. Angka sembilan yang dilapisi kaca akrilik kusam berukuran cukup besar tergantung di dekat pintu masuk.Tidak ada yang istimewa dari bangunan berarsitektur Amerika modern milik keluarga Fletcher. Tembok luarnya terbuat dari batu bata. Kesan kurang terawat seketika tertangkap lewat lumut yang terhampar menyerupai beludru di sepanjang atap sisi barat.“Apa dia ada di dalam?
POV Amanda“A-aku—uh, baiklah. Aku tidak akan berdebat tentang ini lagi,” bisikku mengakhiri pembicaraan dan masih terisak dari sisa tangisku.Sorot mata Logan kemudian berubah melembut. Jemarinya terulur menyentuh wajahku, menghapus jejak air mata yang tertinggal, menawarkan perlindungan menenangkan. Kedua lengannya terangkat untuk merengkuh tubuhku sekali lagi.Aku seketika merasa aman dalam pelukan Logan yang erat dan nyaman. Belum pernah ada perasaan yang demikian luar biasa yang menyentuh hatiku sebelumnya. Rasanya seperti punya tempat teduh untuk bernaung kala hujan deras turun.Aku melihat sisi Logan yang baru. Maskulinitasnya yang biasa mendominasi anehnya justru terasa menentramkan bagiku. Setengah gemetar dari syok yang mengguncang punggungku, aku balas memeluknya, meruntuhkan seluruh egoku untuk jatuh sepenuhnya dalam pangkuan pria yang baru saja resmi menjadi suamiku ini.Kegelisahanku memudar perlahan. Ketakutanku mencair dan lenyap tanpa bekas. Segala sesuatunya terasa t
POV LoganAku masih menunggu dokter keluar dari dalam untuk mengabariku tentang kondisi Amanda yang belum juga siuman sejak satu jam lalu. Cemas dan putus asa. Dirundung habis oleh rasa takut membuatku tidak berdaya, seolah-olah semesta akan kehilangan gravitasinya kapan saja.Aku tidak akan lagi peduli pada perbedaan usia yang sempat membentangkan kami sebelumnya atau pendapat orang-orang tentang hubunganku. Persetan dengan opini mereka. Duniaku akan berakhir tanpa Amanda dan aku tidak sanggup harus melawan ketetapan takdir sekali lagi.Aku telah kehilangan Brielle dan Magdalena di masa lalu. Merelakan mereka pergi dengan cara yang tidak adil merupakan satu-satunya jalan agar aku mampu melanjutkan hidup. Masa kini adalah milikku dan aku ingin membuat Amanda bahagia tanpa harus menyembunyikan status kami di depan publik.“Tuan Caldwell?” Suara beraksen Texas itu kemudian muncul menegurku.Aku tersentak sesaat sebelum berdiri menghampiri dokter yang umurnya mungkin dua atau tiga tahun
POV Amanda“Konyol. Untuk apa kau menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu jawabannya?”“Hanya memastikan.”“Aku menikahimu bukan hanya untuk menemaniku tidur atau gara-gara kehamilan ini, Amanda.” Nada Logan dipenuhi rasa humor.“Kupikir kau marah padaku.”“Tidak ada gunanya memarahimu. Kau punya pemikiran sendiri dan aku menghargainya. Jika kita ingin pernikahan ini berhasil, maka saling menghormati adalah kunci utamanya.”Logan mengerling padaku dan meneruskan, “Kuharap kau tidak lupa bahwa aku pria berumur, Amanda. Aku juga punya ego, tetapi aku lebih terkendali dari yang pernah kau duga.”“Jadi, apa yang membuatmu melamarku?”Logan terkekeh sebentar dan menyahut, “Menurutmu mengapa aku mengambil langkah besar yang akan mengubah hidup kita berdua selamanya?”“Karena kau pria tua kesepian yang usianya tidak lagi muda? Apa aku benar?” selorohku menggoda Logan.Logan menertawakanku. Sepasang matanya menyipit sebelum senyum itu kemudian melebar dan bertahan lebih lama dari biasanya. Pan
POV Logan“Apa karena dia? Pria yang lebih pantas jadi pamanmu itu? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?” cemooh Andrew dengan suara lantang, sorot matanya mengarah padaku, menatap penuh kebencian.Suasana mendadak diselimuti oleh ketegangan yang sama sekali tidak membuatku merasa gentar. Aku menyudahi percakapan yang baru saja terpotong bersama sang perawat dan berpaling menghadapi Andrew. Pandangan kami saling bertemu, mengaliri udara dengan kecemasan, membuat kesiap Amanda terdengar dari bibirnya.“Andrew? Da-dari mana kau tahu aku di sini? Maksudku, kau tadi mabuk—” “Dan terlihat tidak peduli?” selanya dengan nada sinis.Amanda kemudian menyandarkan punggungnya. Wajahnya pias, sepucat warna bola salju yang diguncang oleh tangan-tangan bocah nakal, dan bibirnya yang tipis itu setengah terbuka. Bersiap menyemburkan sejumlah kalimat untuk mematahkan spekulasi Andrew yang dianggapnya mengada-ada.Sayangnya, Andrew sama sekali tidak mengada-ada. Dia memang tahu dan aku lah orang yang mem
POV AmandaKepalaku pengar. Rasanya seperti baru saja menenggak tiga botol sampanye demi mengungguli sebuah pertandingan yang tidak pernah ditakdirkan untuk kumenangkan. Aroma pertama yang kucium adalah bau steril khas rumah sakit, bau yang tidak kusukai, bau yang membuatku takut hanya dengan membayangkannya.Lemah tidak pernah jadi kata favoritku. Aku sudah bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang medis sejak Logan membawaku ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak berdaya dan bukannya keras kepala seperti biasa.Saat aku membuka mata, pemandangan yang kutangkap hanya warna putih di banyak tempat. Terlalu asing untuk sebuah kamar, terlalu kosong dengan perabot yang minim, dan terlalu kaku dengan ranjang crank yang sama sekali tidak empuk. Punggungku mendadak mati rasa untuk sedetik yang terasa seperti selamanya sewaktu menyadari bahwa aku masih ada di sini. Rumah sakit, erangku dalam hati. Aku menggali sisa ingatan yang juga memudar seiring dengan kesadaran
POV LoganSudah tiga bulan berlalu sejak insiden keguguran Amanda di rumah sakit dan kehidupan kami berjalan seperti biasa. Rasanya seperti menemukan mimpi baru dari hari-hari buruk yang telah lama kami tinggalkan jauh di belakang. Kehadiran Amanda membawa angin segar di pergantian langit sore, memberi sentuhan yang menyenangkan, memercikkan semburat warna yang pernah hilang dalam hidupku.“Teh?”“Tanpa gula.” Aku mengangguk sekilas sebelum meneruskan pekerjaan, menyapukan kuas ke permukaan kanvas, dan menggoreskan pola dengan hati-hati.Detik berikutnya, aku mendengar suara teko dari bahan keramik yang terangkat dan denting benda yang diisi. Disusul derap langkah yang muncul dari arah belakang. Amanda kemudian menyodorkan secangkir teh yang baru saja dituangnya padaku. “Terima kasih, Sayang.” Aku kembali mengangguk dan mencicipinya sedikit.“Berapa lama lagi kau akan duduk di sini? Menatap papan lukis sepanjang hari dan mengabaikanku?” Nada Amanda sarat dengan kecemburuan, satu alis
POV Amanda“Kedua, aku ingin mendengar kau menyebut namaku saat kau klimaks di bibirku.” Logan membisikkannya dengan suara berat, menyentuh lembut garis rahangku menggunakan bibirnya, mengirimkan gelenyar aneh yang kukenali itu ke perutku.“Dan ketiga, aku akan membuatmu merasakan diriku seutuhnya.” Logan kembali berbisik dengan nada yang lebih kasar, seolah-olah pengendalian diri yang selalu dibanggakan olehnya habis meleleh di bawah kakiku.Darahku berdesir hebat sewaktu Logan mendorongku ke salah satu pilar. Tangannya langsung bergerak membebaskan kancing celana pendekku dan membuat kain dari bahan denim itu seketika meluncur melewati kedua kakiku. Aku menggeram sewaktu jemari Logan menyusup ke balik pelindung terakhir yang masih kukenakan. “Sial, Amanda. Kau basah sekali. Kau akan membuatku mati karena terangsang,” umpatnya kemudian. Aku melihat bibir Logan gemetar dan mendengus sebelum satu jarinya berpindah ke celah yang lebih pribadi. Kesiapku sontak mengudara. Punggungku me
POV Logan"Siapa yang menelepon di pukul enam pagi?" Aku menggeram dari balik bantal yang menutupi kepala, sepasang mataku lalu mengintip dari samping, mengawasi gerak-gerik Amanda yang sikapnya mendadak berubah ceria."Dari Carissa!" seru Amanda sambil melompat seperti seorang bocah yang baru saja menerima banyak kado di malam Natal.Aku menyingkirkan dua buah bantal yang sengaja kugunakan untuk melindungi wajahku dari cahaya, lantas mendongak menatap Amanda yang senyumnya melebar sekarang. Apa yang membuatnya begitu senang? "Carissa? Temanmu yang bekerja di klub?"Sosok tinggi semampai dengan rambut panjang dan suka mengoceh itu kemudian muncul dalam kepalaku. Aku mengenalnya sebagai kawan akrab Amanda. Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya."Dia tidak akan bekerja di klub lagi, Logan." Suara Amanda melengking dan membuatku berjengit karenanya."Apa maksudmu? Apa kau akan mengajaknya bekerja di kedaimu?" Satu alisku terangkat menanggapi."Tidak. Dia tidak akan membutuhkannya.
POV Amanda"Aku tidak percaya kita telah melakukannya," bisikku pada Logan, merangkul erat salah satu sisi tubuhnya selepas selesai menutup kedai kopi milik kami, bisnis yang sudah berjalan sukses selama hampir tiga tahun terakhir."Kau yang melakukannya, Amanda. Semuanya berkat kerja kerasmu." Logan meremas bahu kiriku sambil mengangguk."Karena ada kau di dalamnya."Kami saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya aku merebahkan kepalaku ke dada Logan. Rasanya masih seperti mimpi. Melihat kehidupanku, kehidupan kami berdua, berjalan lancar persis seperti yang kuharapkan."Carlos dan Breeze baru saja pulang. Menurutmu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Carlos adalah pegawai laki-laki yang bekerja pada kami. Masih muda dan baru lulus SMU saat aku merekrutnya untuk bergabung sebagai barista. Breeze merupakan pegawai perempuan yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Carlos. Tangguh, sedikit tomboi, dengan keeksentrikan yang kadang-kadang membuatku terkejut dan mulai melih
POV LoganPersiapanku sempurna. Segala sesuatunya terlihat luar biasa dan aku yakin Amanda akan menyukainya. Rasa gugup yang melanda mendadak membuat tenggorokanku gatal, aku lalu berdeham-deham mengalihkan perhatianku pada sebuah kotak, dari bahan beledu lembut yang kugenggam di balik tangan kiriku."Kau cantik sekali," bisikku kemudian menggoda Amanda yang duduk dengan mata tertutup sehelai kain, yang sengaja kuminta pada seorang pelayan, setelah mengantar sampanye yang tadi kupesan."Kau sudah mengatakannya di dalam mobil." Amanda terkekeh menggenggam jemariku yang menyentuh kedua sisi wajahnya."Kuharap kau tidak akan bosan mendengarnya sebab aku suka memujimu dan yeah, Amanda, kau memang cantik. Sangat." Aku kembali berbisik, mengusap bibir bawahnya yang dilapisi lipstik warna lembut dengan ibu jariku, menikmati setiap reaksi yang dia tunjukkan."Kau coba membuatku tersipu?" kata Amanda yang lagi-lagi memamerkan senyumnya."Dan sepertinya berhasil? Sekarang, kau harus berbalik ke
POV Amanda"Sudah bangun, Tuan Putri? Bagaimana perasaanmu?" tanya Logan sambil mengecup ringan puncak kepalaku dan satu tangannya kemudian beralih melingkari perutku.Aku bergumam dari sela-sela kuapku. Mendengar suara derit pegas ranjang yang berderak oleh bobot tubuh Logan yang berguling ke samping. Aku lalu menoleh, melihat otot-ototnya yang liat menerbitkan gelenyar aneh di perutku, dan mengawasi gerak-gerik Logan lebih lama dari biasanya."Menikmati yang kau lihat, little one?" goda Logan yang mengerling sekilas, lantas menyambar sehelai celana pendek dari dalam lemari di sudut kamar."Yeah, pemandangan yang bagus.""Mau mandi bersama? Setelah itu kita akan pergi ke suatu tempat."Aku menggigit bibir. Membayangkan tempat seperti apa yang Logan maksud. "Suatu tempat?""Kau akan menyukainya." Logan kembali mengambil dua helai handuk baru dan memamerkan senyumnya."Yang mana?" tanyaku menatap Logan tanpa berkedip."Dua-duanya?" Satu alis Logan menukik ke atas."Penawaran yang perta
POV Logan Lidahku mencari titik yang tepat untuk menaklukkan Amanda dan aku segera menemukannya. Kedua paha Amanda menegang selama beberapa waktu sebelum tubuhnya mengejang penuh penerimaan. Punggung Amanda sontak membusur kala gelombang itu datang menyapunya. Aku mendengar Amanda mengudarakan erangan parau yang panjang dan memacu semangatku untuk membuatnya meneriakkan namaku di sela-sela pelepasan. Menyaksikan Amanda menggelinjang hebat mendadak membuat dadaku sesak oleh rasa bangga yang tidak terbantahkan. Bersumpah akan melimpahinya kenikmatan sebanyak mungkin. “Lo-Logan... Logan...” geram Amanda terbata-bata, jemarinya mencengkeram erat rambutku, memegang sisa kendali dirinya yang begitu rapuh. “Panggil aku dengan benar,” desisku sambil menonton Amanda menggeliat melalui kakinya. Kepala Amanda kembali mendongak dan bibirnya yang gemetar meracau tentang sesuatu yang kotor. Dia mengerang lebih panjang, lebih parau, lebih erotis. Membuatku mengecap lebih banyak rasa dirinya di
POV Amanda“Kedua, aku ingin mendengar kau menyebut namaku saat kau klimaks di bibirku.” Logan membisikkannya dengan suara berat, menyentuh lembut garis rahangku menggunakan bibirnya, mengirimkan gelenyar aneh yang kukenali itu ke perutku.“Dan ketiga, aku akan membuatmu merasakan diriku seutuhnya.” Logan kembali berbisik dengan nada yang lebih kasar, seolah-olah pengendalian diri yang selalu dibanggakan olehnya habis meleleh di bawah kakiku.Darahku berdesir hebat sewaktu Logan mendorongku ke salah satu pilar. Tangannya langsung bergerak membebaskan kancing celana pendekku dan membuat kain dari bahan denim itu seketika meluncur melewati kedua kakiku. Aku menggeram sewaktu jemari Logan menyusup ke balik pelindung terakhir yang masih kukenakan. “Sial, Amanda. Kau basah sekali. Kau akan membuatku mati karena terangsang,” umpatnya kemudian. Aku melihat bibir Logan gemetar dan mendengus sebelum satu jarinya berpindah ke celah yang lebih pribadi. Kesiapku sontak mengudara. Punggungku me
POV LoganSudah tiga bulan berlalu sejak insiden keguguran Amanda di rumah sakit dan kehidupan kami berjalan seperti biasa. Rasanya seperti menemukan mimpi baru dari hari-hari buruk yang telah lama kami tinggalkan jauh di belakang. Kehadiran Amanda membawa angin segar di pergantian langit sore, memberi sentuhan yang menyenangkan, memercikkan semburat warna yang pernah hilang dalam hidupku.“Teh?”“Tanpa gula.” Aku mengangguk sekilas sebelum meneruskan pekerjaan, menyapukan kuas ke permukaan kanvas, dan menggoreskan pola dengan hati-hati.Detik berikutnya, aku mendengar suara teko dari bahan keramik yang terangkat dan denting benda yang diisi. Disusul derap langkah yang muncul dari arah belakang. Amanda kemudian menyodorkan secangkir teh yang baru saja dituangnya padaku. “Terima kasih, Sayang.” Aku kembali mengangguk dan mencicipinya sedikit.“Berapa lama lagi kau akan duduk di sini? Menatap papan lukis sepanjang hari dan mengabaikanku?” Nada Amanda sarat dengan kecemburuan, satu alis
POV AmandaKepalaku pengar. Rasanya seperti baru saja menenggak tiga botol sampanye demi mengungguli sebuah pertandingan yang tidak pernah ditakdirkan untuk kumenangkan. Aroma pertama yang kucium adalah bau steril khas rumah sakit, bau yang tidak kusukai, bau yang membuatku takut hanya dengan membayangkannya.Lemah tidak pernah jadi kata favoritku. Aku sudah bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang medis sejak Logan membawaku ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak berdaya dan bukannya keras kepala seperti biasa.Saat aku membuka mata, pemandangan yang kutangkap hanya warna putih di banyak tempat. Terlalu asing untuk sebuah kamar, terlalu kosong dengan perabot yang minim, dan terlalu kaku dengan ranjang crank yang sama sekali tidak empuk. Punggungku mendadak mati rasa untuk sedetik yang terasa seperti selamanya sewaktu menyadari bahwa aku masih ada di sini. Rumah sakit, erangku dalam hati. Aku menggali sisa ingatan yang juga memudar seiring dengan kesadaran
POV Logan“Apa karena dia? Pria yang lebih pantas jadi pamanmu itu? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?” cemooh Andrew dengan suara lantang, sorot matanya mengarah padaku, menatap penuh kebencian.Suasana mendadak diselimuti oleh ketegangan yang sama sekali tidak membuatku merasa gentar. Aku menyudahi percakapan yang baru saja terpotong bersama sang perawat dan berpaling menghadapi Andrew. Pandangan kami saling bertemu, mengaliri udara dengan kecemasan, membuat kesiap Amanda terdengar dari bibirnya.“Andrew? Da-dari mana kau tahu aku di sini? Maksudku, kau tadi mabuk—” “Dan terlihat tidak peduli?” selanya dengan nada sinis.Amanda kemudian menyandarkan punggungnya. Wajahnya pias, sepucat warna bola salju yang diguncang oleh tangan-tangan bocah nakal, dan bibirnya yang tipis itu setengah terbuka. Bersiap menyemburkan sejumlah kalimat untuk mematahkan spekulasi Andrew yang dianggapnya mengada-ada.Sayangnya, Andrew sama sekali tidak mengada-ada. Dia memang tahu dan aku lah orang yang mem