POV AmandaTaksi membawaku melesat seperti Cadillac yang melintasi pusat kota Philadelphia dalam kecepatan sedang. Di sepanjang perjalanan, aku hanya memandang murung ke luar jendela dan meremas ujung kemejaku kuat-kuat untuk mencegah air mata turun membanjiri wajahku. Mengapa meninggalkan Logan seperti tadi rasanya menyakitkan?Menghela napas tidak pernah sesesak ini sebelumnya, seolah-olah udara berubah seperti polusi yang mencekik leherku. Bukannya melegakan dan membuatku menghirup kehidupan. Namun, merenggut seluruh energi yang kupunya.“Belok kiri. Rumah pertama tanpa pagar,” ucapku dengan nada serak pada sopir.“Lewat sini?”“Benar,” sahutku lagi, mengikuti arah jari pria itu dan bersiap untuk turun.Kendaraan kami kemudian berhenti di depan rumah. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal di dalam, aku langsung keluar. Dengan setengah berlari, aku menuju pekarangan dan berniat untuk segera naik ke lantai atas menenangkan diri di kamar.Semuanya masih baik-baik saja sa
POV LoganAku kembali melirik ke arah lipstik Amanda yang tertinggal di tengah-tengah aktivitas berkendaraku. Kepergiannya tadi terasa menyakitkan, tetapi aku tetap sengaja mengunjunginya untuk mengantarkan benda itu agar kami punya alasan berjumpa. Setiap detik bersama Amanda adalah waktu yang berharga bagiku, harta yang tidak ternilai, sesuatu yang kurindukan sekarang.Kecepatan mengemudiku melambat selepas mobilku berbelok ke kawasan kompleks perumahan Amanda. Aku kemudian berhenti di depan rumah tanpa pagar yang warna cat jendelanya telah pudar dan mengamati rerumputan liar yang tumbuh tidak terkendali di halaman. Angka sembilan yang dilapisi kaca akrilik kusam berukuran cukup besar tergantung di dekat pintu masuk.Tidak ada yang istimewa dari bangunan berarsitektur Amerika modern milik keluarga Fletcher. Tembok luarnya terbuat dari batu bata. Kesan kurang terawat seketika tertangkap lewat lumut yang terhampar menyerupai beludru di sepanjang atap sisi barat.“Apa dia ada di dalam?
POV Amanda“A-aku—uh, baiklah. Aku tidak akan berdebat tentang ini lagi,” bisikku mengakhiri pembicaraan dan masih terisak dari sisa tangisku.Sorot mata Logan kemudian berubah melembut. Jemarinya terulur menyentuh wajahku, menghapus jejak air mata yang tertinggal, menawarkan perlindungan menenangkan. Kedua lengannya terangkat untuk merengkuh tubuhku sekali lagi.Aku seketika merasa aman dalam pelukan Logan yang erat dan nyaman. Belum pernah ada perasaan yang demikian luar biasa yang menyentuh hatiku sebelumnya. Rasanya seperti punya tempat teduh untuk bernaung kala hujan deras turun.Aku melihat sisi Logan yang baru. Maskulinitasnya yang biasa mendominasi anehnya justru terasa menentramkan bagiku. Setengah gemetar dari syok yang mengguncang punggungku, aku balas memeluknya, meruntuhkan seluruh egoku untuk jatuh sepenuhnya dalam pangkuan pria yang baru saja resmi menjadi suamiku ini.Kegelisahanku memudar perlahan. Ketakutanku mencair dan lenyap tanpa bekas. Segala sesuatunya terasa t
POV LoganAku masih menunggu dokter keluar dari dalam untuk mengabariku tentang kondisi Amanda yang belum juga siuman sejak satu jam lalu. Cemas dan putus asa. Dirundung habis oleh rasa takut membuatku tidak berdaya, seolah-olah semesta akan kehilangan gravitasinya kapan saja.Aku tidak akan lagi peduli pada perbedaan usia yang sempat membentangkan kami sebelumnya atau pendapat orang-orang tentang hubunganku. Persetan dengan opini mereka. Duniaku akan berakhir tanpa Amanda dan aku tidak sanggup harus melawan ketetapan takdir sekali lagi.Aku telah kehilangan Brielle dan Magdalena di masa lalu. Merelakan mereka pergi dengan cara yang tidak adil merupakan satu-satunya jalan agar aku mampu melanjutkan hidup. Masa kini adalah milikku dan aku ingin membuat Amanda bahagia tanpa harus menyembunyikan status kami di depan publik.“Tuan Caldwell?” Suara beraksen Texas itu kemudian muncul menegurku.Aku tersentak sesaat sebelum berdiri menghampiri dokter yang umurnya mungkin dua atau tiga tahun
POV Amanda“Konyol. Untuk apa kau menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu jawabannya?”“Hanya memastikan.”“Aku menikahimu bukan hanya untuk menemaniku tidur atau gara-gara kehamilan ini, Amanda.” Nada Logan dipenuhi rasa humor.“Kupikir kau marah padaku.”“Tidak ada gunanya memarahimu. Kau punya pemikiran sendiri dan aku menghargainya. Jika kita ingin pernikahan ini berhasil, maka saling menghormati adalah kunci utamanya.”Logan mengerling padaku dan meneruskan, “Kuharap kau tidak lupa bahwa aku pria berumur, Amanda. Aku juga punya ego, tetapi aku lebih terkendali dari yang pernah kau duga.”“Jadi, apa yang membuatmu melamarku?”Logan terkekeh sebentar dan menyahut, “Menurutmu mengapa aku mengambil langkah besar yang akan mengubah hidup kita berdua selamanya?”“Karena kau pria tua kesepian yang usianya tidak lagi muda? Apa aku benar?” selorohku menggoda Logan.Logan menertawakanku. Sepasang matanya menyipit sebelum senyum itu kemudian melebar dan bertahan lebih lama dari biasanya. Pan
POV Logan“Apa karena dia? Pria yang lebih pantas jadi pamanmu itu? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?” cemooh Andrew dengan suara lantang, sorot matanya mengarah padaku, menatap penuh kebencian.Suasana mendadak diselimuti oleh ketegangan yang sama sekali tidak membuatku merasa gentar. Aku menyudahi percakapan yang baru saja terpotong bersama sang perawat dan berpaling menghadapi Andrew. Pandangan kami saling bertemu, mengaliri udara dengan kecemasan, membuat kesiap Amanda terdengar dari bibirnya.“Andrew? Da-dari mana kau tahu aku di sini? Maksudku, kau tadi mabuk—” “Dan terlihat tidak peduli?” selanya dengan nada sinis.Amanda kemudian menyandarkan punggungnya. Wajahnya pias, sepucat warna bola salju yang diguncang oleh tangan-tangan bocah nakal, dan bibirnya yang tipis itu setengah terbuka. Bersiap menyemburkan sejumlah kalimat untuk mematahkan spekulasi Andrew yang dianggapnya mengada-ada.Sayangnya, Andrew sama sekali tidak mengada-ada. Dia memang tahu dan aku lah orang yang mem
POV AmandaKepalaku pengar. Rasanya seperti baru saja menenggak tiga botol sampanye demi mengungguli sebuah pertandingan yang tidak pernah ditakdirkan untuk kumenangkan. Aroma pertama yang kucium adalah bau steril khas rumah sakit, bau yang tidak kusukai, bau yang membuatku takut hanya dengan membayangkannya.Lemah tidak pernah jadi kata favoritku. Aku sudah bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang medis sejak Logan membawaku ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak berdaya dan bukannya keras kepala seperti biasa.Saat aku membuka mata, pemandangan yang kutangkap hanya warna putih di banyak tempat. Terlalu asing untuk sebuah kamar, terlalu kosong dengan perabot yang minim, dan terlalu kaku dengan ranjang crank yang sama sekali tidak empuk. Punggungku mendadak mati rasa untuk sedetik yang terasa seperti selamanya sewaktu menyadari bahwa aku masih ada di sini. Rumah sakit, erangku dalam hati. Aku menggali sisa ingatan yang juga memudar seiring dengan kesadaran
POV LoganSudah tiga bulan berlalu sejak insiden keguguran Amanda di rumah sakit dan kehidupan kami berjalan seperti biasa. Rasanya seperti menemukan mimpi baru dari hari-hari buruk yang telah lama kami tinggalkan jauh di belakang. Kehadiran Amanda membawa angin segar di pergantian langit sore, memberi sentuhan yang menyenangkan, memercikkan semburat warna yang pernah hilang dalam hidupku.“Teh?”“Tanpa gula.” Aku mengangguk sekilas sebelum meneruskan pekerjaan, menyapukan kuas ke permukaan kanvas, dan menggoreskan pola dengan hati-hati.Detik berikutnya, aku mendengar suara teko dari bahan keramik yang terangkat dan denting benda yang diisi. Disusul derap langkah yang muncul dari arah belakang. Amanda kemudian menyodorkan secangkir teh yang baru saja dituangnya padaku. “Terima kasih, Sayang.” Aku kembali mengangguk dan mencicipinya sedikit.“Berapa lama lagi kau akan duduk di sini? Menatap papan lukis sepanjang hari dan mengabaikanku?” Nada Amanda sarat dengan kecemburuan, satu alis