POV Logan Lidahku mencari titik yang tepat untuk menaklukkan Amanda dan aku segera menemukannya. Kedua paha Amanda menegang selama beberapa waktu sebelum tubuhnya mengejang penuh penerimaan. Punggung Amanda sontak membusur kala gelombang itu datang menyapunya. Aku mendengar Amanda mengudarakan erangan parau yang panjang dan memacu semangatku untuk membuatnya meneriakkan namaku di sela-sela pelepasan. Menyaksikan Amanda menggelinjang hebat mendadak membuat dadaku sesak oleh rasa bangga yang tidak terbantahkan. Bersumpah akan melimpahinya kenikmatan sebanyak mungkin. “Lo-Logan... Logan...” geram Amanda terbata-bata, jemarinya mencengkeram erat rambutku, memegang sisa kendali dirinya yang begitu rapuh. “Panggil aku dengan benar,” desisku sambil menonton Amanda menggeliat melalui kakinya. Kepala Amanda kembali mendongak dan bibirnya yang gemetar meracau tentang sesuatu yang kotor. Dia mengerang lebih panjang, lebih parau, lebih erotis. Membuatku mengecap lebih banyak rasa dirinya di
POV Amanda"Sudah bangun, Tuan Putri? Bagaimana perasaanmu?" tanya Logan sambil mengecup ringan puncak kepalaku dan satu tangannya kemudian beralih melingkari perutku.Aku bergumam dari sela-sela kuapku. Mendengar suara derit pegas ranjang yang berderak oleh bobot tubuh Logan yang berguling ke samping. Aku lalu menoleh, melihat otot-ototnya yang liat menerbitkan gelenyar aneh di perutku, dan mengawasi gerak-gerik Logan lebih lama dari biasanya."Menikmati yang kau lihat, little one?" goda Logan yang mengerling sekilas, lantas menyambar sehelai celana pendek dari dalam lemari di sudut kamar."Yeah, pemandangan yang bagus.""Mau mandi bersama? Setelah itu kita akan pergi ke suatu tempat."Aku menggigit bibir. Membayangkan tempat seperti apa yang Logan maksud. "Suatu tempat?""Kau akan menyukainya." Logan kembali mengambil dua helai handuk baru dan memamerkan senyumnya."Yang mana?" tanyaku menatap Logan tanpa berkedip."Dua-duanya?" Satu alis Logan menukik ke atas."Penawaran yang perta
POV LoganPersiapanku sempurna. Segala sesuatunya terlihat luar biasa dan aku yakin Amanda akan menyukainya. Rasa gugup yang melanda mendadak membuat tenggorokanku gatal, aku lalu berdeham-deham mengalihkan perhatianku pada sebuah kotak, dari bahan beledu lembut yang kugenggam di balik tangan kiriku."Kau cantik sekali," bisikku kemudian menggoda Amanda yang duduk dengan mata tertutup sehelai kain, yang sengaja kuminta pada seorang pelayan, setelah mengantar sampanye yang tadi kupesan."Kau sudah mengatakannya di dalam mobil." Amanda terkekeh menggenggam jemariku yang menyentuh kedua sisi wajahnya."Kuharap kau tidak akan bosan mendengarnya sebab aku suka memujimu dan yeah, Amanda, kau memang cantik. Sangat." Aku kembali berbisik, mengusap bibir bawahnya yang dilapisi lipstik warna lembut dengan ibu jariku, menikmati setiap reaksi yang dia tunjukkan."Kau coba membuatku tersipu?" kata Amanda yang lagi-lagi memamerkan senyumnya."Dan sepertinya berhasil? Sekarang, kau harus berbalik ke
POV Amanda"Aku tidak percaya kita telah melakukannya," bisikku pada Logan, merangkul erat salah satu sisi tubuhnya selepas selesai menutup kedai kopi milik kami, bisnis yang sudah berjalan sukses selama hampir tiga tahun terakhir."Kau yang melakukannya, Amanda. Semuanya berkat kerja kerasmu." Logan meremas bahu kiriku sambil mengangguk."Karena ada kau di dalamnya."Kami saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya aku merebahkan kepalaku ke dada Logan. Rasanya masih seperti mimpi. Melihat kehidupanku, kehidupan kami berdua, berjalan lancar persis seperti yang kuharapkan."Carlos dan Breeze baru saja pulang. Menurutmu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Carlos adalah pegawai laki-laki yang bekerja pada kami. Masih muda dan baru lulus SMU saat aku merekrutnya untuk bergabung sebagai barista. Breeze merupakan pegawai perempuan yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Carlos. Tangguh, sedikit tomboi, dengan keeksentrikan yang kadang-kadang membuatku terkejut dan mulai melih
POV Logan"Siapa yang menelepon di pukul enam pagi?" Aku menggeram dari balik bantal yang menutupi kepala, sepasang mataku lalu mengintip dari samping, mengawasi gerak-gerik Amanda yang sikapnya mendadak berubah ceria."Dari Carissa!" seru Amanda sambil melompat seperti seorang bocah yang baru saja menerima banyak kado di malam Natal.Aku menyingkirkan dua buah bantal yang sengaja kugunakan untuk melindungi wajahku dari cahaya, lantas mendongak menatap Amanda yang senyumnya melebar sekarang. Apa yang membuatnya begitu senang? "Carissa? Temanmu yang bekerja di klub?"Sosok tinggi semampai dengan rambut panjang dan suka mengoceh itu kemudian muncul dalam kepalaku. Aku mengenalnya sebagai kawan akrab Amanda. Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya."Dia tidak akan bekerja di klub lagi, Logan." Suara Amanda melengking dan membuatku berjengit karenanya."Apa maksudmu? Apa kau akan mengajaknya bekerja di kedaimu?" Satu alisku terangkat menanggapi."Tidak. Dia tidak akan membutuhkannya.
POV Amanda“Jika kau setuju, maka aku akan membantumu membayar uang jaminan untuk bebas dan menyewa seorang pengacara yang hebat untuknya.”Aku tertegun menatap seorang pria asing yang menawarkan kemurahan hatinya padaku sekarang. Dia tidak sengaja mendengar percakapanku dengan Andrew Fletcher—kakakku, melalui telepon seluler tadi. Si idiot itu sedang ditahan di kantor polisi bersama dua orang temannya yang lain karena kasus pengeroyokan di klub Red Flame.“Bolehkah aku duduk?” tanyanya kemudian.Aku langsung tersentak, lantas mengiyakan tanpa memikirkan konsekuensi yang akan menungguku ke depannya. Ada sesuatu dalam nada bicara pria itu yang terasa memprovokasi batas privasiku. Dia menciptakan persepsi bahwa dia sosok yang gemar mendominasi setiap orang hanya lewat caranya mengerling dan itu membuatku gugup.Aku mulai memperhatikan gerak-geriknya yang kaku, seolah-olah dia baru saja tergelincir di atas jalan bersalju dengan posisi pinggang yang jatuh lebih dahulu. Dia menarik punggun
POV LoganAku memperhatikan seluruh reaksi Amanda yang cenderung spontan, tetapi sedikit canggung itu. Sepasang matanya yang teduh seketika melebar sewaktu aku mengucapkan penawaranku padanya. Aku bertaruh dia akan marah, mungkin menamparku atau bisa jadi menyiram wajahku dengan sisa kopinya, dan mengata-ngataiku sebagai seorang pedofiliak berengsek yang akan menjebaknya.“A-apa maksudmu?” tanya Amanda dengan terbata-bata, mengerjap-ngerjap dengan sorot mata yang gelisah, dan melirik kikuk ke sekitar.“Hubungan cinta satu malam, Amanda. Kau dan aku akan berada di atas ranjang yang sama—”“Tung-tunggu, Logan. Maaf, ada yang harus kuluruskan padamu. Aku bukan wanita seperti itu,” selanya dengan napas yang mulai memburu dan kedua pipi yang merona terang seperti buah ceri.Buah ceri-ku yang menggoda. Aku lagi-lagi menyaksikan rasa gugup yang menyerang Amanda datang, lantas membiarkannya bergulat dalam kepanikan yang justru kunikmati. Sesuatu yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya, se
POV Amanda“Logan,” ralat pria itu lagi, satu alisnya menukik ke atas, mengisyaratkan perasaannya yang jengkel sebab harus mengoreksi caraku memanggilnya untuk ke sekian kali.Aku kemudian mengambil napas lebih banyak dan memantapkan suara, “Aku bersedia menerima tawaranmu, Logan.”Menyetujui ide Logan memang terdengar gila. Namun, dia benar tentang satu hal. Aku tidak punya pilihan, membiarkan Andrew mendekam di balik jeruji besi atau menolongnya keluar dari sana dengan pertukaran yang salah, rasanya seperti sedang menjual harga diriku pada Logan.Sejak ayahku meninggal, situasi di keluarga Fletcher tidak lagi sama. Semuanya terasa lebih mudah dahulu. Kami punya keintiman dan kekompakan satu sama lain, saling menjaga, saling mengisi, jenis kasih sayang yang sanggup membuat orang-orang iri karenanya, tetapi status itu mendadak harus berubah menjadi sesuatu yang kenangannya pernah kubanggakan.Ibuku kembali menikah selepasnya. Meninggalkan aku dan Andrew tiga tahun yang lalu untuk mena