POV Logan
Aku memperhatikan seluruh reaksi Amanda yang cenderung spontan, tetapi sedikit canggung itu. Sepasang matanya yang teduh seketika melebar sewaktu aku mengucapkan penawaranku padanya. Aku bertaruh dia akan marah, mungkin menamparku atau bisa jadi menyiram wajahku dengan sisa kopinya, dan mengata-ngataiku sebagai seorang pedofiliak berengsek yang akan menjebaknya.“A-apa maksudmu?” tanya Amanda dengan terbata-bata, mengerjap-ngerjap dengan sorot mata yang gelisah, dan melirik kikuk ke sekitar.“Hubungan cinta satu malam, Amanda. Kau dan aku akan berada di atas ranjang yang sama—”“Tung-tunggu, Logan. Maaf, ada yang harus kuluruskan padamu. Aku bukan wanita seperti itu,” selanya dengan napas yang mulai memburu dan kedua pipi yang merona terang seperti buah ceri.Buah ceri-ku yang menggoda. Aku lagi-lagi menyaksikan rasa gugup yang menyerang Amanda datang, lantas membiarkannya bergulat dalam kepanikan yang justru kunikmati. Sesuatu yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya, sesuatu yang mendorong semua pengendalian diriku keluar untuk dihabisi di hadapan wanita itu, dan membuatku kehilangan kontrol.Setelah aku melihat Amanda menggertakkan gigi berulang kali dan tampak putus asa saat menerima panggilan dari seseorang tadi, aku langsung sadar bahwa dia sedang terperangkap dalam suatu kesulitan, itu tentang kakaknya. Aku sama sekali tidak menyesali tindakanku yang kurang terpuji karena telah menguping pembicaraan orang lain tanpa sengaja. Takdir selalu mengatur di waktu yang tepat, bukan?“Hanya untuk bersenang-senang dengan cara yang tidak biasa, Amanda. Jika kau memang ingin menolak tawarannya, maka katakan saja padaku. Aku akan sangat kecewa, tetapi apa boleh buat? Hidup memang tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi kita.”Amanda kembali menjilat bibirnya dan menciptakan pergolakan hebat dalam kepalaku. Mengapa dia harus melakukannya? Membasahi permukaan bibirnya yang kecil itu, membuatku mendamba rasa dirinya di lidahku, dan mempertanyakan seberapa lembut sensasinya di bawah pagutanku.Amanda merespons kalimat terakhirku dengan baik. Dia mengedikkan kedua bahunya, menyelipkan rambutnya yang panjang seperti warna api itu ke salah satu daun telinganya lagi, kemudian menggaruk ujung hidungnya. Aku membaca raut wajahnya yang begitu ekspresif, menontonnya dilanda oleh dilema, dan merasa puas selepasnya.Sejak pertama kali Amanda tiba di depan pintu restoran Prancis yang hanya sesekali kukunjungi sekarang, penampilannya mendadak menarik segenap perhatianku, sederhana dengan blus renda berpotongan longgar dan celana pendek yang begitu pas melapisi pinggul seksinya. Dia terlihat muda, penuh antusias yang terlukis di balik sepasang iris abu-abunya yang menawan, mengingatkanku pada seseorang dari masa laluku.“Bagaimana aku percaya padamu?”Aku menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab dan mengeluarkan bukti koneksi yang mampu meyakinkan Amanda untuk memercayaiku. Teman-teman dekatku separuhnya merupakan pengacara yang reputasinya tersohor di Philadelphia. Persentase mereka memenangkan kasus-kasus sangat tinggi.“Kau punya relasi yang bagus,” komentarnya sambil menatapku dengan pandangan curiga.Kini Amanda menggigit bibirnya dan itu membuatku sontak mengetatkan rahang. Mencegah naluri primitifku mengambil alih kewarasan yang masih tersisa atau pengendalian diriku yang kelewat rendah justru akan menghancurkan setiap momen. Mengacaukan seluruh usahaku untuk membujuknya menyepakati janji yang kutawarkan.Aku tahu Amanda tengah berperang mengatasi sejumlah konfrontasi yang mengguncang dirinya sekarang. Namun, aku terlalu egois untuk mencapai ambisiku. Aku membiarkan wanita itu merana dalam ketidakberdayaan yang menjeratnya, lantas mengiyakan tanpa berniat untuk melepaskannya lagi.Pesona Amanda terasa familier bagiku, tetapi kepribadiannya juga sesuatu yang baru. Sama sekali berbeda dari yang kubayangkan. Aku bersusah payah menyingkirkan sikap dinginku yang biasa kurang peduli pada hal-hal yang ada di sekeliling demi dirinya, melancarkan satu langkah cepat untuk membawanya ke dalam hidupku yang kosong sejak Brielle—istriku, meninggal enam tahun yang lalu.Brielle punya nuansa rambut yang sama dengan Amanda, merah yang cantik dan lurus, menjuntai halus di sepanjang punggungnya. Untuk sedetik yang terasa menyiksa, aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri mengenai semua pemikiran Amanda tentang seorang Logan Caldwell melalui sudut pandangnya. Apa dia menganggapku sebagai pria tua yang menjijikkan dan tidak tahu malu?“Jadi, kita hanya akan—uh, well, um, tidur bersama dan kau akan menolong Andrew untuk dibebaskan? Mengapa aku seperti sedang mendengar sebuah manuskrip untuk film eksploitasi?” tuding Amanda yang serta-merta menyoroti wajahku dengan penuh antisipasi.“Tentu saja, Amanda. Aku pria yang tidak pernah mengingkari janji. Lagi pula, kau juga sudah mengantongi kartu namaku. Alamat, nomor yang bisa kau hubungi, dan lainnya tertera dengan jelas di sana,” balasku kemudian.“Kupikir itu bukan ide yang aman. Aku akan mencari jalan lain yang lebih pantas untuk mengeluarkan kakakku dari sana. Aku memang tidak memahami seluk-beluk hukum, tetapi aku akan mencoba dengan segala upaya yang mampu kulakukan,” tolaknya mantap.Aku belum pernah menerima kegagalan dalam apa pun sebab aku percaya bahwa aku dilahirkan sebagai pendominasi. Jika aku menginginkan sesuatu, maka aku akan mendapatkannya. Begitu juga dengan Amanda, aku sangat menginginkannya, mencicipi setiap jengkal tubuhnya yang ramping dan melampiaskan rasa penasaranku pada sesuatu yang terlindung di balik bahan pakaiannya yang transparan.Amanda punya daya tarik yang mengundang sekaligus mengagumkan bagiku. Setiap kali pandangan kami bersinggungan, rasanya seperti menemukan sekotak hadiah yang disiapkan oleh Sinterklas yang pernah kupercaya ada semasa kecil dahulu, sesuatu yang belum pernah kujumpai pada orang lain bahkan pada Brielle sekalipun. Aku berharap dia tidak pernah mengetahui isi kepalaku yang berkaitan dengan dirinya karena bisa kupastikan bahwa dia akan mengutuk pikiran kotorku.“Itukah keputusanmu, Amanda?”Amanda. Amanda. Amanda. Aku suka menyebut namanya dengan logat Skotlandia-ku, mengulanginya sampai menimbulkan kesan akrab yang kuharap tidak lagi menciptakan jarak di antara kami, tetapi aku akan berhati-hati. Aku tidak ingin membuat wanita itu takut dan lolos dari genggaman atau membuatnya berpikir bahwa aku pria sinting yang hanya peduli pada selangkanganku saja.“Jika memang begitu menurutmu, maka aku akan menghargainya. Mudah-mudahan kau berhasil sebab seperti yang kita tahu lingkungan di dalam penjara cukup keras. Aku yakin kau juga pernah mendengarnya di suatu tempat,” sambungku dengan seringai yang sengaja kutinggikan pada sudut bibirku.Kepanikan lagi-lagi mengendap di dalam mata Amanda. Aku tahu perkataanku tadi sedikit banyak mulai menularkan pengaruh pada hatinya sekarang dan itulah yang kuinginkan, memanfaatkan kondisinya yang goyah, memikatnya dengan pelan dan pasti. Bukankah kita harus bersabar untuk hasil yang paling baik dari yang terbaik?“Baiklah, Amanda. Aku harus pergi. Ada sesuatu yang akan kuurus. Kuharap kau beruntung dengan masalah kakakmu,” ucapku dengan menegaskan nada pada sebaris klausa yang terakhir.Aku beranjak dari kursi, menggantungkan kemujuran agar berpihak padaku, lantas melirik wanita yang sukses memukauku dengan karakternya yang atraktif itu sekali lagi. Dia masih sama luar biasanya seperti sewaktu pertama kali masuk kemari dan memancing minatku di detik kelima kala aku menangkap siluetnya. Si buah ceri yang memprovokasi kedisiplinanku.“Tung-tunggu sebentar, Tuan Caldwell. Aku berubah pikiran.”***POV Amanda“Logan,” ralat pria itu lagi, satu alisnya menukik ke atas, mengisyaratkan perasaannya yang jengkel sebab harus mengoreksi caraku memanggilnya untuk ke sekian kali.Aku kemudian mengambil napas lebih banyak dan memantapkan suara, “Aku bersedia menerima tawaranmu, Logan.”Menyetujui ide Logan memang terdengar gila. Namun, dia benar tentang satu hal. Aku tidak punya pilihan, membiarkan Andrew mendekam di balik jeruji besi atau menolongnya keluar dari sana dengan pertukaran yang salah, rasanya seperti sedang menjual harga diriku pada Logan.Sejak ayahku meninggal, situasi di keluarga Fletcher tidak lagi sama. Semuanya terasa lebih mudah dahulu. Kami punya keintiman dan kekompakan satu sama lain, saling menjaga, saling mengisi, jenis kasih sayang yang sanggup membuat orang-orang iri karenanya, tetapi status itu mendadak harus berubah menjadi sesuatu yang kenangannya pernah kubanggakan.Ibuku kembali menikah selepasnya. Meninggalkan aku dan Andrew tiga tahun yang lalu untuk mena
POV Logan Aku hanya berniat menggoda Amanda, tetapi ketakutannya pada kepribadianku kembali terlukis jelas di wajahnya yang cantik sekarang. Ekspresi gugup itu membuatku ingin mengudarakan tawa dengan keras, membiarkan semburat pucat menghiasi bibirnya, dan menciumnya sampai dia mengerang tanpa ragu. Namun, aku harus menahan diri untuk adegan yang sempurna itu dan membuat penantianku bernilai sepadan nantinya. “Itu lelucon pria-pria Inggris,” selorohku sambil menyunggingkan seringai tipis pada Amanda yang seketika mundur satu langkah lebih jauh dari posisinya semula. “Benarkah? Maaf, selera humorku memang rendah,” komentarnya kemudian. Aku melihat kedua pipi Amanda merona terang. Apa dia merasa malu karena sudah memikirkan sesuatu yang buruk mengenai seorang Logan Caldwell? Wanita itu seharusnya mengintip sejumlah imaji liar yang menyangkut tentang dirinya dalam kepalaku, rencana-rencana yang kusiapkan, dan pandangan pribadiku akan tubuhnya. “Dia pelayanku. Seseorang yang menguru
POV Amanda“Seberapa jauh kau mempercayai orang asing?” bisik Logan yang menyugar sebagian rambut depanku dengan jemari, merapikannya dari pandangan agar kami punya kesempatan untuk saling menatap lebih dekat, dan mendominasiku melalui sikapnya.Detik berikutnya, Logan mengangkat pinggangku dan membawa kami menuju ke sebuah kursi malas yang terbuat dari kayu ek model kuno itu dengan langkah memburu. Menurunkan tubuhku dari pangkuan, lantas menyentak celana pendekku ke bawah tanpa repot-repot membuka ritsletingnya. Pria itu melakukannya dengan mudah, seolah-olah usia yang matang telah mengajarinya begitu banyak pengalaman untuk menaklukkan berbagai versi pakaian wanita.Setengah telanjang dan gemetar di bawah sorot mata Logan yang memindai wajahku, aku mengerjap-ngerjap, menyeret sisa kewarasan yang masih kupunya. Perutku mendadak terpilin oleh sensasi kebas yang menetap di sepasang tungkaiku. Sesuatu yang sukses menghancurkan ketenangan terakhir yang kubangun dengan susah payah.“Tung
POV LoganTerbangun dengan melihat wajah feminin yang masih terlelap di sampingku memang bukan situasi baru. Namun, untuk enam tahun terakhir sejak Brielle tewas dalam tragedi kecelakaan transportasi udara itu hidupku tidak lagi sama. Kekosongan yang tercipta di hari-hari yang kulalui sangat menyiksa dan kini aku telah terbiasa pada rutinitas membosankan yang selalu kulakukan.Aku melelang lukisan dan patung yang kubuat, memamerkan sekitar delapan belas ribu karya dari para seniman lain di museum seni yang kudirikan sejak sepuluh tahun lalu, dan menghasilkan pundi-pundi dolar yang luar biasa lewat itu. Semuanya sempurna hingga Brielle kemudian pergi secara tiba-tiba. Logan Caldwell yang pernah dikenal sebagai pria murah senyum di masa lalu pun juga ikut terkubur bersamanya.Aku mencintai Brielle. Dia adalah napasku, tetapi segala sesuatunya mendadak berbeda dari yang pernah kuimpikan tentang masa depan kami. Kehilangan menempaku sebagai sosok dingin yang jarang menampilkan ekspresi un
POV Amanda“Du-dua puluh ribu dolar?”Sekujur tubuhku spontan gemetar mendengarnya. Aku berusaha menarik napas yang sempat terasa melegakan sebelum Logan sukses menyedot dan mencekiknya dari leherku secara paksa karena kalimat terakhirnya tadi. Apa maksud pria itu? Dua puluh ribu dolar. Dua puluh ribu dolar. Aku mengulanginya seperti sebuah mantra yang ditujukan untuk merasuki alam bawah sadar dan menghipnotisku dalam hati. Mengapa aku berutang dua puluh ribu dolar pada Logan sekarang?“Kompensasinya tidak murah, Sayang.”Sayang. Itu berbanding terbalik dengan yang kini kurasakan. Aku justru ingin memanggilnya si tua bangka berengsek yang—well, sialnya, dia tampan sekali atau akankah lebih pantas disebut ‘beruntungnya’ saja? Bukan ‘sialnya’?“Bukankah kita sudah sepakat? Kau akan menyewakan pengacara yang hebat dan membebaskan Andrew dengan pertukaran yang adil.”“Yang adil?” ulang Logan sambil meninggikan seringainya, memandangiku dengan sorot mata geli, sedangkan kedua tangannya t
POV LoganAmanda akan kembali pukul empat sore. Menjadi potret paling indah yang akan kupajang di dinding kamar, menciptakan sentuhan baru pada setiap sudutnya yang dingin, kuno, dan maskulin, menggantikannya dengan perasaan baru yang penuh afeksi dan feminin. Sesuatu yang memudar sejak Brielle tiada.Aku sengaja melakukannya, mengikat Amanda dengan perjanjian baru, menjerat wanita itu lewat alasan dua puluh ribu dolar yang wajib dilunasi agar aku masih punya kesempatan untuk berinteraksi dengannya. Nekat adalah kata yang pertama muncul dalam benakku dan persetan adalah kata berikutnya yang langsung memompa ide-ide tersebut keluar dari bibirku. Gagasan paling brilian yang pernah ada, bukan?Siapa yang peduli pada dua puluh ribu dolar saat kau punya segalanya? Satu-satunya ambisiku hanya membawa Amanda kembali ke ranjang dan menghabiskan malam-malam lain bersamaku. Aku sendiri terkejut dengan pemikiran obsesif yang belum pernah menguasai naluriku sebelumnya, tetapi aku mendambakan Aman
POV AmandaSetelah aku mendengar dosen pengganti itu memperkenalkan diri dengan nama yang familier, aku seketika mendongakkan kepala. Menemukan sosok yang sama sekali tidak asing di sana. Pria itu menyeringai padaku, memamerkan sederet giginya yang rapi, sorot matanya tertuju ke arah Suzanne Stanwyck—atau aku?Aku lebih suka mempercayai asumsi yang pertama. Logan sedang menatap Suzanne—mahasiswi dari fakultas bisnis dan manajemen—yang duduk sambil menopangkan dua tangannya ke dagu di depanku, bukan aku. Namun, aku langsung menyangsikan pemikiran itu selepas Logan menaikkan satu alisnya sebagai isyarat menyapa.Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berharap aku punya keahlian sihir dan mampu memindahkan diriku ke dimensi lain dalam sekejap. Bersembunyi di gudang penyimpanan alat-alat kebersihan kampus atau menyurukkan kepalaku di seember penuh es batu. Mendinginkan rasa gelisah yang berubah menjadi kobaran panas pada wajahku.“Sebelum kelas tambahan ini dimulai, aku ingin kalian mempe
POV LoganSulit dipercaya. Beberapa jam yang lalu, Amanda masih duduk manis dan bersikap seperti seorang mahasiswi introvert yang lebih suka mencatat kisi-kisi penting tentang mata kuliahnya daripada bergosip ria dengan teman-teman sebayanya. Namun, dia ada di sini sekarang.Amanda duduk gelisah di depanku. Sepasang matanya yang menawan mengerjap-ngerjap, melirik kikuk ke sekitar seperti yang selalu dilakukannya sewaktu menghadapi suasana asing, sesuatu yang baru dan mengancam ruang aman dalam kepalanya. Aku tahu dia terusik pada ide sebagai model untuk potret lukisan, tetapi menurutku itu gagasan paling luar biasa dari semua rencana hebat yang sudah kusimpan rapat.Kini kami tengah berada di loteng, ruang khusus yang sengaja kupakai untuk menumpahkan ide dan menciptakan karya, tidak peduli siang atau malam. Tidak peduli aku cukup tidur atau melewatkan jadwal makan. Pemandangan kota yang menjorok ke arah utara dari jendela geser itu tidak pernah gagal menawarkan kesan rileks yang memb