POV LoganPersiapanku sempurna. Segala sesuatunya terlihat luar biasa dan aku yakin Amanda akan menyukainya. Rasa gugup yang melanda mendadak membuat tenggorokanku gatal, aku lalu berdeham-deham mengalihkan perhatianku pada sebuah kotak, dari bahan beledu lembut yang kugenggam di balik tangan kiriku."Kau cantik sekali," bisikku kemudian menggoda Amanda yang duduk dengan mata tertutup sehelai kain, yang sengaja kuminta pada seorang pelayan, setelah mengantar sampanye yang tadi kupesan."Kau sudah mengatakannya di dalam mobil." Amanda terkekeh menggenggam jemariku yang menyentuh kedua sisi wajahnya."Kuharap kau tidak akan bosan mendengarnya sebab aku suka memujimu dan yeah, Amanda, kau memang cantik. Sangat." Aku kembali berbisik, mengusap bibir bawahnya yang dilapisi lipstik warna lembut dengan ibu jariku, menikmati setiap reaksi yang dia tunjukkan."Kau coba membuatku tersipu?" kata Amanda yang lagi-lagi memamerkan senyumnya."Dan sepertinya berhasil? Sekarang, kau harus berbalik ke
POV Amanda"Aku tidak percaya kita telah melakukannya," bisikku pada Logan, merangkul erat salah satu sisi tubuhnya selepas selesai menutup kedai kopi milik kami, bisnis yang sudah berjalan sukses selama hampir tiga tahun terakhir."Kau yang melakukannya, Amanda. Semuanya berkat kerja kerasmu." Logan meremas bahu kiriku sambil mengangguk."Karena ada kau di dalamnya."Kami saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya aku merebahkan kepalaku ke dada Logan. Rasanya masih seperti mimpi. Melihat kehidupanku, kehidupan kami berdua, berjalan lancar persis seperti yang kuharapkan."Carlos dan Breeze baru saja pulang. Menurutmu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Carlos adalah pegawai laki-laki yang bekerja pada kami. Masih muda dan baru lulus SMU saat aku merekrutnya untuk bergabung sebagai barista. Breeze merupakan pegawai perempuan yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Carlos. Tangguh, sedikit tomboi, dengan keeksentrikan yang kadang-kadang membuatku terkejut dan mulai melih
POV Logan"Siapa yang menelepon di pukul enam pagi?" Aku menggeram dari balik bantal yang menutupi kepala, sepasang mataku lalu mengintip dari samping, mengawasi gerak-gerik Amanda yang sikapnya mendadak berubah ceria."Dari Carissa!" seru Amanda sambil melompat seperti seorang bocah yang baru saja menerima banyak kado di malam Natal.Aku menyingkirkan dua buah bantal yang sengaja kugunakan untuk melindungi wajahku dari cahaya, lantas mendongak menatap Amanda yang senyumnya melebar sekarang. Apa yang membuatnya begitu senang? "Carissa? Temanmu yang bekerja di klub?"Sosok tinggi semampai dengan rambut panjang dan suka mengoceh itu kemudian muncul dalam kepalaku. Aku mengenalnya sebagai kawan akrab Amanda. Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya."Dia tidak akan bekerja di klub lagi, Logan." Suara Amanda melengking dan membuatku berjengit karenanya."Apa maksudmu? Apa kau akan mengajaknya bekerja di kedaimu?" Satu alisku terangkat menanggapi."Tidak. Dia tidak akan membutuhkannya.
POV Amanda“Jika kau setuju, maka aku akan membantumu membayar uang jaminan untuk bebas dan menyewa seorang pengacara yang hebat untuknya.”Aku tertegun menatap seorang pria asing yang menawarkan kemurahan hatinya padaku sekarang. Dia tidak sengaja mendengar percakapanku dengan Andrew Fletcher—kakakku, melalui telepon seluler tadi. Si idiot itu sedang ditahan di kantor polisi bersama dua orang temannya yang lain karena kasus pengeroyokan di klub Red Flame.“Bolehkah aku duduk?” tanyanya kemudian.Aku langsung tersentak, lantas mengiyakan tanpa memikirkan konsekuensi yang akan menungguku ke depannya. Ada sesuatu dalam nada bicara pria itu yang terasa memprovokasi batas privasiku. Dia menciptakan persepsi bahwa dia sosok yang gemar mendominasi setiap orang hanya lewat caranya mengerling dan itu membuatku gugup.Aku mulai memperhatikan gerak-geriknya yang kaku, seolah-olah dia baru saja tergelincir di atas jalan bersalju dengan posisi pinggang yang jatuh lebih dahulu. Dia menarik punggun
POV LoganAku memperhatikan seluruh reaksi Amanda yang cenderung spontan, tetapi sedikit canggung itu. Sepasang matanya yang teduh seketika melebar sewaktu aku mengucapkan penawaranku padanya. Aku bertaruh dia akan marah, mungkin menamparku atau bisa jadi menyiram wajahku dengan sisa kopinya, dan mengata-ngataiku sebagai seorang pedofiliak berengsek yang akan menjebaknya.“A-apa maksudmu?” tanya Amanda dengan terbata-bata, mengerjap-ngerjap dengan sorot mata yang gelisah, dan melirik kikuk ke sekitar.“Hubungan cinta satu malam, Amanda. Kau dan aku akan berada di atas ranjang yang sama—”“Tung-tunggu, Logan. Maaf, ada yang harus kuluruskan padamu. Aku bukan wanita seperti itu,” selanya dengan napas yang mulai memburu dan kedua pipi yang merona terang seperti buah ceri.Buah ceri-ku yang menggoda. Aku lagi-lagi menyaksikan rasa gugup yang menyerang Amanda datang, lantas membiarkannya bergulat dalam kepanikan yang justru kunikmati. Sesuatu yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya, se
POV Amanda“Logan,” ralat pria itu lagi, satu alisnya menukik ke atas, mengisyaratkan perasaannya yang jengkel sebab harus mengoreksi caraku memanggilnya untuk ke sekian kali.Aku kemudian mengambil napas lebih banyak dan memantapkan suara, “Aku bersedia menerima tawaranmu, Logan.”Menyetujui ide Logan memang terdengar gila. Namun, dia benar tentang satu hal. Aku tidak punya pilihan, membiarkan Andrew mendekam di balik jeruji besi atau menolongnya keluar dari sana dengan pertukaran yang salah, rasanya seperti sedang menjual harga diriku pada Logan.Sejak ayahku meninggal, situasi di keluarga Fletcher tidak lagi sama. Semuanya terasa lebih mudah dahulu. Kami punya keintiman dan kekompakan satu sama lain, saling menjaga, saling mengisi, jenis kasih sayang yang sanggup membuat orang-orang iri karenanya, tetapi status itu mendadak harus berubah menjadi sesuatu yang kenangannya pernah kubanggakan.Ibuku kembali menikah selepasnya. Meninggalkan aku dan Andrew tiga tahun yang lalu untuk mena
POV Logan Aku hanya berniat menggoda Amanda, tetapi ketakutannya pada kepribadianku kembali terlukis jelas di wajahnya yang cantik sekarang. Ekspresi gugup itu membuatku ingin mengudarakan tawa dengan keras, membiarkan semburat pucat menghiasi bibirnya, dan menciumnya sampai dia mengerang tanpa ragu. Namun, aku harus menahan diri untuk adegan yang sempurna itu dan membuat penantianku bernilai sepadan nantinya. “Itu lelucon pria-pria Inggris,” selorohku sambil menyunggingkan seringai tipis pada Amanda yang seketika mundur satu langkah lebih jauh dari posisinya semula. “Benarkah? Maaf, selera humorku memang rendah,” komentarnya kemudian. Aku melihat kedua pipi Amanda merona terang. Apa dia merasa malu karena sudah memikirkan sesuatu yang buruk mengenai seorang Logan Caldwell? Wanita itu seharusnya mengintip sejumlah imaji liar yang menyangkut tentang dirinya dalam kepalaku, rencana-rencana yang kusiapkan, dan pandangan pribadiku akan tubuhnya. “Dia pelayanku. Seseorang yang menguru
POV Amanda“Seberapa jauh kau mempercayai orang asing?” bisik Logan yang menyugar sebagian rambut depanku dengan jemari, merapikannya dari pandangan agar kami punya kesempatan untuk saling menatap lebih dekat, dan mendominasiku melalui sikapnya.Detik berikutnya, Logan mengangkat pinggangku dan membawa kami menuju ke sebuah kursi malas yang terbuat dari kayu ek model kuno itu dengan langkah memburu. Menurunkan tubuhku dari pangkuan, lantas menyentak celana pendekku ke bawah tanpa repot-repot membuka ritsletingnya. Pria itu melakukannya dengan mudah, seolah-olah usia yang matang telah mengajarinya begitu banyak pengalaman untuk menaklukkan berbagai versi pakaian wanita.Setengah telanjang dan gemetar di bawah sorot mata Logan yang memindai wajahku, aku mengerjap-ngerjap, menyeret sisa kewarasan yang masih kupunya. Perutku mendadak terpilin oleh sensasi kebas yang menetap di sepasang tungkaiku. Sesuatu yang sukses menghancurkan ketenangan terakhir yang kubangun dengan susah payah.“Tung