POV Amanda
“Seberapa jauh kau mempercayai orang asing?” bisik Logan yang menyugar sebagian rambut depanku dengan jemari, merapikannya dari pandangan agar kami punya kesempatan untuk saling menatap lebih dekat, dan mendominasiku melalui sikapnya.Detik berikutnya, Logan mengangkat pinggangku dan membawa kami menuju ke sebuah kursi malas yang terbuat dari kayu ek model kuno itu dengan langkah memburu. Menurunkan tubuhku dari pangkuan, lantas menyentak celana pendekku ke bawah tanpa repot-repot membuka ritsletingnya. Pria itu melakukannya dengan mudah, seolah-olah usia yang matang telah mengajarinya begitu banyak pengalaman untuk menaklukkan berbagai versi pakaian wanita.Setengah telanjang dan gemetar di bawah sorot mata Logan yang memindai wajahku, aku mengerjap-ngerjap, menyeret sisa kewarasan yang masih kupunya. Perutku mendadak terpilin oleh sensasi kebas yang menetap di sepasang tungkaiku. Sesuatu yang sukses menghancurkan ketenangan terakhir yang kubangun dengan susah payah.“Tunggu sebentar,” kata Logan yang kemudian beranjak pergi ke sebuah pintu lain yang terhubung ke sebuah ruang khusus untuk menyimpan koleksi anggur miliknya.Logan kembali dengan sebotol red wine berlabel bahasa Prancis. Memamerkan minuman beralkohol itu dengan seringai bangga, menempatkannya di atas nakas sebelum membimbingku mendekat, mengajakku berdiri di depan salah satu cermin yang paling besar. Menangkap pantulan diriku yang tampak kacau di sana.Aku hanya mengenakan celana dalam—dari bahan katun yang tipis dengan renda—dan blus yang kusut karena pemberontakan. Postur Logan yang tinggi menjulang, membayangiku di belakang, merebut semua perhatianku pada refleksi kami di dalam kaca. Aku benci mengakuinya, tetapi mengapa aku dan Logan justru terlihat serasi?Logan membuka kancing blusku satu per satu, meloloskan bajuku dengan gerakan terlatih, menanggalkan pengait bra dan membiarkan tubuhku terekspos sepenuhnya. Kesiapku sontak mengudara bersama embusan napas Logan yang menggelincir di sepanjang bahuku. Gairah datang mengetuk dan menguji kendali diriku yang nyaris lenyap melalui singgungan kami.“Lihatlah ke dalam cermin, Amanda. Kau sangat cantik,” desis pria itu dengan suara parau, melayangkan satu kecupan ringan di daun telinga kiriku sebelum beralih untuk meraih botol anggur.Logan membuka penutup botol. Mengarahkan mulut botol ke leherku, menuangkan isinya, dan mengaliri dadaku dengan minuman fermentasi itu sampai ke batas pinggul. Aku tidak lagi terkesiap untuk mewakili keterkejutan, tetapi menganggapnya seperti karya erotika yang seksi.Aku mencoba rileks, mengendurkan saraf-saraf yang kejang oleh antisipasi, merasakan setiap kucuran yang membasahi tubuhku dengan penerimaan. Setelah Logan berhenti melakukannya, dia membungkuk di hadapanku, dan menjilati jejak wine yang melapisi kulitku dengan lidahnya. Rasanya seperti disengat arus listrik dalam komponen voltase yang efeknya lebih dari cukup untuk membuatku memekik kaget.Lidah Logan mengenali setiap lekuk diriku yang menantangnya untuk dinikmati dan mengeksplorasi setiap jengkalnya dengan hati-hati. Aku menggigit bibir, mematri sensasinya di ingatan, mendesahkan nama pria itu di sela-sela penelusuran. Mengintip sesekali pada segmen intimasi kami ke balik kaca.Logikaku tidak lagi mampu bekerja dengan benar sekarang. Gelenyar aneh yang semula menyelimuti punggungku spontan berpindah ke sekujur tubuh selepas Logan menciumiku dengan cara sensual yang belum pernah kutahu sebelumnya. Rasanya seperti akan meledak dalam euforia yang kemudian menjelma sebagai keputusasaan panjang di antara kedua pahaku.Logan menciptakan gemuruh luar biasa di dadaku, meninggalkan persepsi nikmat itu di sejumlah tempat yang tepat, dan membuatku mengharapkan penjelajahan yang lebih dari sekadar kecupan. Sentuhannya terasa lembut, posesif, menuntut penyerahan. Bukan lagi intimidasi yang menekan.Aku menyelinapkan jari-jariku di leher Logan, mencari penopang untuk meredam getaran kecil yang mengikis akal sehatku, dan memperhatikan alarm libido yang baru saja menyala di antara kami. Logan langsung berlutut, menurunkan lidahnya ke titik yang akurat, menghamburkan kesan menyenangkan yang melebihi seluruh pengalaman dalam hidupku. Aksi yang menyuntikku dengan energi asing.“Rasa anggur ini menjadi lima kali lipat lebih baik saat aku mencicipinya di tubuhmu, Amanda.”Aku menggigil sambil memejamkan mata, lantas mencengkeram pelan rambut Logan. Mengukuhkan segenap esensi untuk merekam setiap tahapnya. Lebur seperti salju yang meleleh dalam kobaran lidah api dan takluk pada kenikmatan yang kurengkuh, membiarkan semua pengendalian diriku hilang sepenuhnya.“Open your eyes slowly and look at yourself,” pinta Logan dengan nada serak.Aku menurut, membuka mataku kembali, menyaksikan pemandangan sempurna pada cermin. Menemukan diriku yang terdesak oleh dorongan gairah di dalam sana. Berdiri goyah dengan sosok Logan yang masih bersimpuh menebarkan sisi provokatifnya di antara kedua lututku, tangguh, dan menyiratkan maskulinitas yang jantan.“Can you see how desperate and needy you look?”Aku mengangguk. Tersentak oleh keberanian yang muncul pada potret diriku yang belum pernah ada sebelum mengenal Logan di situ. Aku kemudian menunduk, balas memandang ke balik gelora yang timbul di sepasang iris kelamnya. Mengharapkan disentuh sekali lagi seperti tadi, dicium tanpa menyisakan peluang untuk menyudahi adegan kami.“Tidakkah kau merasa takut padaku, Amanda?”Mengapa aku tidak lagi merasakan sesuatu yang semestinya? Sesuatu yang kuwaspadai sebelum kami saling mendamba satu sama lain, kecuali tubuhku memang kelewat piawai berkhianat sekarang. Mengkhianati segenap upayaku untuk menolak dan menghindari perasaan yang lebih dalam dari sekadar hubungan ranjang atau menerima percumbuan yang berubah mencandu.Aku menduga bahwa ketertarikan seksual yang intens di antara kami sebagai penyebabnya. Pengalamanku yang terbatas pada perlakuan pria seperti Logan juga salah satu pemicunya. Apa yang kurasakan lumrah dan menjadi alasan yang wajar untuk dimaklumi?Logan tidak menodong tanggapan dariku. Dia justru berdiri mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh ujung rambutku yang berantakan, membelai dengan lembut, dan mengangkat beberapa helainya ke wajah. Menghirup wangi sampo yang masih tertinggal di sana.“Kau beraroma seperti perpaduan buah ceri dan rasberi. Manis dan segar. Bau yang mengingatkanku pada musim panas. Sesuatu yang membangunkan sisi gelapku,” ungkap pria itu sambil mengecup rambutku, lebih pelan, lebih erotis.Gelombang ketegangan yang begitu pekat di sorot mata Logan seketika terdeteksi olehku. Dia melepaskan rambutku dari jemarinya, membiarkan setiap helainya jatuh melintasi pundak kiriku, dan memajukan bibirnya persis seperti yang kuharapkan. Memagut bibirku dalam tautan fisik paling mendebarkan yang menguasai ritme jantungku di menit-menit yang begitu menakjubkan.Lidah Logan bergerak menyusupi rongga mulutku. Mencari celah yang sukses melemahkan mekanisme pertahanan diriku secara keseluruhan. Setiap indraku pun berangsur mengenali pria itu dengan baik hingga membuatku memutuskan untuk menonaktifkan otakku dari prasangka buruk, meresapi hasrat yang kini menggelegak seperti lahar panas di bawah perutku, menyambut dengan respons yang hanya berdasarkan naluri.Reaksi Logan adalah hal terakhir yang kuingat. Dia balas menyurukkan jemarinya yang kokoh ke area leherku dan membuat darahku serta-merta berdesir hebat sewaktu pria itu melandaikan ciumannya ke bagian yang paling sensitif. Puncak payudaraku refleks menegang dalam mulut Logan dengan seribu hamparan rasa lega yang ganjil dan membuat penerimaan penuhku beralih menjadi pertanyaan-pertanyaan baru.Apa aku memang melakukannya demi Andrew atau diriku sendiri? Apa aku masih boleh menyebutnya sebagai pengorbanan selepas hubungan yang semata-mata dilandasi sentimen sesaat di antara kami harus berakhir esok pagi? Teka-teki itu pun kubiarkan mengapung tanpa jawaban, lantas mengendap dalam sunyi setelah Logan membaringkanku ke atas bentangan karpet dan memosisikan kepalanya turun di bawah perutku.“Kau sangat basah, Amanda. Kau basah dan siap untukku.”***POV LoganTerbangun dengan melihat wajah feminin yang masih terlelap di sampingku memang bukan situasi baru. Namun, untuk enam tahun terakhir sejak Brielle tewas dalam tragedi kecelakaan transportasi udara itu hidupku tidak lagi sama. Kekosongan yang tercipta di hari-hari yang kulalui sangat menyiksa dan kini aku telah terbiasa pada rutinitas membosankan yang selalu kulakukan.Aku melelang lukisan dan patung yang kubuat, memamerkan sekitar delapan belas ribu karya dari para seniman lain di museum seni yang kudirikan sejak sepuluh tahun lalu, dan menghasilkan pundi-pundi dolar yang luar biasa lewat itu. Semuanya sempurna hingga Brielle kemudian pergi secara tiba-tiba. Logan Caldwell yang pernah dikenal sebagai pria murah senyum di masa lalu pun juga ikut terkubur bersamanya.Aku mencintai Brielle. Dia adalah napasku, tetapi segala sesuatunya mendadak berbeda dari yang pernah kuimpikan tentang masa depan kami. Kehilangan menempaku sebagai sosok dingin yang jarang menampilkan ekspresi un
POV Amanda“Du-dua puluh ribu dolar?”Sekujur tubuhku spontan gemetar mendengarnya. Aku berusaha menarik napas yang sempat terasa melegakan sebelum Logan sukses menyedot dan mencekiknya dari leherku secara paksa karena kalimat terakhirnya tadi. Apa maksud pria itu? Dua puluh ribu dolar. Dua puluh ribu dolar. Aku mengulanginya seperti sebuah mantra yang ditujukan untuk merasuki alam bawah sadar dan menghipnotisku dalam hati. Mengapa aku berutang dua puluh ribu dolar pada Logan sekarang?“Kompensasinya tidak murah, Sayang.”Sayang. Itu berbanding terbalik dengan yang kini kurasakan. Aku justru ingin memanggilnya si tua bangka berengsek yang—well, sialnya, dia tampan sekali atau akankah lebih pantas disebut ‘beruntungnya’ saja? Bukan ‘sialnya’?“Bukankah kita sudah sepakat? Kau akan menyewakan pengacara yang hebat dan membebaskan Andrew dengan pertukaran yang adil.”“Yang adil?” ulang Logan sambil meninggikan seringainya, memandangiku dengan sorot mata geli, sedangkan kedua tangannya t
POV LoganAmanda akan kembali pukul empat sore. Menjadi potret paling indah yang akan kupajang di dinding kamar, menciptakan sentuhan baru pada setiap sudutnya yang dingin, kuno, dan maskulin, menggantikannya dengan perasaan baru yang penuh afeksi dan feminin. Sesuatu yang memudar sejak Brielle tiada.Aku sengaja melakukannya, mengikat Amanda dengan perjanjian baru, menjerat wanita itu lewat alasan dua puluh ribu dolar yang wajib dilunasi agar aku masih punya kesempatan untuk berinteraksi dengannya. Nekat adalah kata yang pertama muncul dalam benakku dan persetan adalah kata berikutnya yang langsung memompa ide-ide tersebut keluar dari bibirku. Gagasan paling brilian yang pernah ada, bukan?Siapa yang peduli pada dua puluh ribu dolar saat kau punya segalanya? Satu-satunya ambisiku hanya membawa Amanda kembali ke ranjang dan menghabiskan malam-malam lain bersamaku. Aku sendiri terkejut dengan pemikiran obsesif yang belum pernah menguasai naluriku sebelumnya, tetapi aku mendambakan Aman
POV AmandaSetelah aku mendengar dosen pengganti itu memperkenalkan diri dengan nama yang familier, aku seketika mendongakkan kepala. Menemukan sosok yang sama sekali tidak asing di sana. Pria itu menyeringai padaku, memamerkan sederet giginya yang rapi, sorot matanya tertuju ke arah Suzanne Stanwyck—atau aku?Aku lebih suka mempercayai asumsi yang pertama. Logan sedang menatap Suzanne—mahasiswi dari fakultas bisnis dan manajemen—yang duduk sambil menopangkan dua tangannya ke dagu di depanku, bukan aku. Namun, aku langsung menyangsikan pemikiran itu selepas Logan menaikkan satu alisnya sebagai isyarat menyapa.Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berharap aku punya keahlian sihir dan mampu memindahkan diriku ke dimensi lain dalam sekejap. Bersembunyi di gudang penyimpanan alat-alat kebersihan kampus atau menyurukkan kepalaku di seember penuh es batu. Mendinginkan rasa gelisah yang berubah menjadi kobaran panas pada wajahku.“Sebelum kelas tambahan ini dimulai, aku ingin kalian mempe
POV LoganSulit dipercaya. Beberapa jam yang lalu, Amanda masih duduk manis dan bersikap seperti seorang mahasiswi introvert yang lebih suka mencatat kisi-kisi penting tentang mata kuliahnya daripada bergosip ria dengan teman-teman sebayanya. Namun, dia ada di sini sekarang.Amanda duduk gelisah di depanku. Sepasang matanya yang menawan mengerjap-ngerjap, melirik kikuk ke sekitar seperti yang selalu dilakukannya sewaktu menghadapi suasana asing, sesuatu yang baru dan mengancam ruang aman dalam kepalanya. Aku tahu dia terusik pada ide sebagai model untuk potret lukisan, tetapi menurutku itu gagasan paling luar biasa dari semua rencana hebat yang sudah kusimpan rapat.Kini kami tengah berada di loteng, ruang khusus yang sengaja kupakai untuk menumpahkan ide dan menciptakan karya, tidak peduli siang atau malam. Tidak peduli aku cukup tidur atau melewatkan jadwal makan. Pemandangan kota yang menjorok ke arah utara dari jendela geser itu tidak pernah gagal menawarkan kesan rileks yang memb
POV Amanda“Bisakah kau mempertahankan posisimu sampai kira-kira lima menit ke depan, Amanda? Kau terlihat sempurna dalam pose itu,” kata Logan yang langsung mengoyak lamunan panjangku tentang ibu dan Andrew.“A-apa?”Logan masih meneruskan kegiatan, roman wajahnya serius, dan jemarinya mencoretkan sesuatu di atas kanvas. Sesekali menghapus garis yang kurang pas, sesekali melirikku dengan sorot mata yang menyiratkan integritas penuh. Dia mengerjakan dengan tenang, tetapi kedua tangannya tetap bergerak cekatan menciptakan karya.“Tetap di tempat,” bisiknya lagi, kembali memandangiku sambil menggoreskan sesuatu di sana.“Kau... kau menggambarku?”“Kau cantik,” puji pria itu sebelum terkekeh, lantas mengerling padaku lagi dan melanjutkan coretannya.“Itu bukan jawaban yang kubayangkan, tetapi merci atas pujiannya.”Satu alis Logan menukik ke atas. Menelengkan kepala, menatapku sekilas sebelum mengganti pensilnya dengan kuas yang lebih kecil, dan kembali berkutat pada sketsa itu. “Kau men
POV Logan“Apa kau membutuhkan bantuanku? Aku tidak keberatan untuk melakukannya,” sambungku lagi, menunggu Amanda memberi komentar.Amanda membeku selama sesaat, tetapi sepasang mata abu-abunya membelalak menatapku. Apa yang dia pikirkan sekarang? Mengutukku? Aku yakin dia sudah melakukannya berulang kali dalam hati.“Well, kita—”“Aku tahu,” selanya cepat dengan ekspresi yang tidak terbaca, datar, menyembunyikan emosinya.Amanda mengangguk sebelum mengembuskan napas pelan yang menyerupai desau angin tipis di sisa musim semi. Menggigit bibirnya, lantas melucuti satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya. Menampilkan seluruh aset berharganya yang langsung terpampang bebas di hadapanku.Amanda tidak mengenakan bra. Bajunya tergeletak di atas lantai dan celana pendeknya dibiarkan lolos dari pinggulnya. Tinggal satu kain pelindung yang terakhir, benda itu dihiasi pita kecil pada bagian depan, dilapisi ekstra renda yang justru membuatnya terlihat lebih manis bagi sang pemakai.“Apa ak
POV AmandaKami melakukannya dengan spontan karena semuanya terjadi begitu saja, begitu cepat, dan begitu tiba-tiba. Logan adalah magnetnya, sedangkan aku feromagnetiknya. Tubuh kami pas, seolah-olah memang dirancang untuk satu sama lain.Aku tidak lagi peduli pada seberapa tuanya Logan dan seberapa mudanya aku atau apa perbuatan yang sedang kami nikmati benar dan salah. Perbedaan usia bukan hal yang kuprioritaskan sebab ada sesuatu yang menyita seluruh perhatianku pada rasa panas yang begitu mendesak untuk dilenyapkan. Di antara kedua pahaku, di sekujur tubuhku, sekarang.Aku merasa lembap sekaligus putus asa. Mendesahkan nama Logan berulang kali seperti yang sudah-sudah, mendambakan bibirnya turun menelusuri leherku, dan mengharapkan penuntasan yang menjanjikan kelegaan. Merasakan ketegangan seksual kami memuncak, merindu, membutuhkan satu sama lain.Punggungku menggeliat sewaktu gigi Logan menyentuh salah satu puncak payudaraku dan ibu jarinya menggosok pelan dengan komposisi yang