POV Amanda
“Du-dua puluh ribu dolar?”Sekujur tubuhku spontan gemetar mendengarnya. Aku berusaha menarik napas yang sempat terasa melegakan sebelum Logan sukses menyedot dan mencekiknya dari leherku secara paksa karena kalimat terakhirnya tadi. Apa maksud pria itu? Dua puluh ribu dolar. Dua puluh ribu dolar. Aku mengulanginya seperti sebuah mantra yang ditujukan untuk merasuki alam bawah sadar dan menghipnotisku dalam hati. Mengapa aku berutang dua puluh ribu dolar pada Logan sekarang?“Kompensasinya tidak murah, Sayang.”Sayang. Itu berbanding terbalik dengan yang kini kurasakan. Aku justru ingin memanggilnya si tua bangka berengsek yang—well, sialnya, dia tampan sekali atau akankah lebih pantas disebut ‘beruntungnya’ saja? Bukan ‘sialnya’?“Bukankah kita sudah sepakat? Kau akan menyewakan pengacara yang hebat dan membebaskan Andrew dengan pertukaran yang adil.”“Yang adil?” ulang Logan sambil meninggikan seringainya, memandangiku dengan sorot mata geli, sedangkan kedua tangannya terlipat angkuh ke dada.Setelah mengamati sikap arogan Logan, aku mulai membaca sekaligus memahami ke arah mana situasi kami akan bermuara. Pria itu penipu ulung, pemeras yang sangat licik, dan aku telah masuk ke dalam perangkap yang dia pasang. Terjebak seperti seekor tikus kecil lugu yang diumpan dengan sepotong keju mahal.Sepotong keju mahal. Aku benci anggapan itu. Perumpamaan yang membuatku berpikir bahwa aku orang lemah dan tidak berdaya hanya gara-gara aku tidak punya uang dua puluh ribu dolar di rekeningku, tidak punya cukup kuasa untuk melawan kesewenang-wenangan Logan, dan tidak punya alasan untuk membantah fakta nilai saldoku yang memang nol di bank.“Aku tidak pernah bilang begitu, Amanda. Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku akan bertindak adil padamu. Logan Caldwell tidak bermain dengan adil, pria yang ada di hadapanmu ini bermain untuk menang. Kita memang setuju tidur bersama dan menyewakan seorang pengacara untuk membebaskan kakakmu, tetapi itu tidak termasuk dengan ganti rugi yang diminta oleh Harold.”Kedua lututku mendadak terasa goyah. Gravitasi seketika berputar dalam detik-detik yang memusingkan dan itu memaksaku mundur dari area nakas untuk bersandar ke dinding. Mencengkeram erat sisa kendali diri yang kupunya atau aku akan roboh ke lantai dan berakhir dengan mempermalukan diriku sendiri.Aku tidak suka terlihat rendah di depan Logan. Kerapuhanku hanya akan membesarkan kepalanya, melayangkan jiwa pria itu ke suatu tempat yang jauh lebih tinggi, dan menindasku untuk dua puluh ribu dolar. Sihir abrakadabra juga tidak akan sanggup menolongku menambahkan serangkaian angka yang persis sama seperti yang dibutuhkan untuk membayarnya.Mulutku terasa kering. Dua puluh ribu dolar adalah jumlah yang sangat banyak. Aku tidak pernah memegang atau memiliki uang sebesar itu sepanjang hidupku, kami serba pas-pasan, dan aku bahkan berkesempatan pergi ke restoran Prancis kemarin sore hanya melalui kupon gratis yang dibagikan sebagai promosi pembukaan perdana.“Ekspektasi dan realitas merupakan dua hal yang tidak diizinkan untuk saling berdampingan, ingat?”Suara Logan yang serak menelanku seperti terjangan badai pasir, menggulung jiwaku ke dalam pusarannya untuk dihempaskan, dan ditinggalkan untuk tiada selepas fajar turun membelah langit malam. Mungkin aku yang salah sebab aku justru bergantung pada seutas tali yang semula kupikir akan menyelamatkanku atau bisa jadi aku yang memang kelewat naif untuk mengira bahwa pria itu jelmaan seorang pangeran dalam imaji masa kecilku.Pangeran dari negeri seberang yang menunggangi kuda tangguh, siap menghunuskan pedangnya pada naga berkepala tiga yang menyemburkan api untuk menghancurkan seisi desa yang damai, dan mengakhiri kisah agung itu dengan epilog kemenangan. Namun, aku salah besar. Aku mempercayai orang asing, melucuti kewaspadaanku, menyeret sepasang kakiku sendiri ke tengah laut untuk tenggelam.Aku mengaramkan Amanda Fletcher dengan segala kebodohannya di sana. Aku bahkan berpikir aku lebih idiot dari Andrew yang bernyali menantang sang keponakan wali kota, orang yang punya sejuta pengaruh setiap kali dia mengibaskan jemarinya, orang yang mampu membinasakan musuh-musuhnya dengan satu jentikan jari. Apa aku juga harus mengucapkan selamat tinggal pada Amanda yang tolol itu?“Berekspektasi bukan sesuatu yang buruk, Logan. Dengan berekspektasi, orang-orang akan berani bermimpi dan dengan bermimpi, kita akan maju.”“Kutipan paling bijak yang kudengar hari ini,” komentar Logan yang lagi-lagi menyunggingkan senyum menyebalkannya.“Aku tidak punya uang sebanyak itu sekarang, tetapi aku janji akan melunasinya sedikit demi sedikit. Aku akan mencicilnya setiap hari.”Demi Tuhan, aku sendiri tidak yakin akan mampu melunasi uangnya dengan gajiku sebagai tukang bersih-bersih di kantor. Aku harus mencari pekerjaan lain, profesi yang sanggup melonggarkan rantai di leherku, honor yang menghasilkan banyak tip dan mengurangi nominal dolar keparat itu satu per satu dari daftar.“Mencicil? Bagaimana aku percaya kau tidak akan kabur bersama dua puluh ribu dolarku?” Aku sontak menggertakkan gigi tanpa sadar, setengah melotot pada Logan, dan berharap aku punya cukup tenaga untuk meninju perutnya. Perutnya yang liat, kencang oleh otot-otot, torso padat yang mengesankan yang terbentuk dengan jadwal olahraga teratur. Menggelitik rasa ingin tahuku tentang ambang batas indikator nyeri seorang pria berstamina luar biasa seperti dirinya.“Dengan segala hormat, mustahil aku akan melarikan diri dari Philadelphia. Aku harus menyelesaikan kuliahku,” desisku lewat sela-sela gigi dan membuatnya tersebar seperti gemerincing mematikan pada ekor ular derik.“Kita tidak pernah tahu, Amanda.”Kita tidak pernah tahu. Pernyataan Logan benar. Mengapa aku tidak mampu berpikir jernih sewaktu pria itu menawari sesuatu yang akan menjerumuskanku ke dalam bahaya? Di mana otakku? Di mana akal sehatku? Aku terlalu marah pada diriku sendiri, pada diriku yang tidak punya logika, pada diriku yang silau dengan iming-iming jalan praktis. Cinderella bahkan harus melakukan pekerjaan rumah tangga—menyirami bunga-bunga, membersihkan loteng, dan mencuci setumpuk gaun lama milik ibu tirinya sebelum diizinkan pergi menghadiri pesta dansa sang pangeran. Mengapa aku justru mengiyakan sesuatu yang tidak bersifat rasional tanpa mempertimbangkan konsekuensinya? Aku baru saja menggali lubang untuk makamku sendiri.“Kau boleh mengukuhkannya dengan dokumen. Tanda tangan secara legal atau memanggil pengacara andalmu untuk mengurusnya. Aku akan mematuhi semua peraturannya.”“Apa kau yakin? Peraturanku sedikit berbeda dari peraturan orang-orang,” balasnya lagi, seringai itu masih bertahan di sudut bibirnya, melebar sekitar dua derajat dari sebelumnya.“Apa yang kau maksud dengan berbeda?” jawabku dengan nada sekasual mungkin, mengaburkan rasa gugupku pada nasib buruk yang akan menghadang, menegakkan posisi tubuhku dengan kepercayaan diri yang kian lama kian tipis dalam genggaman. “Aku seorang pebisnis dan seniman seperti yang kau tahu. Aku tidak suka merugi, tetapi aku juga penikmat keindahan. Jadi, menurutmu apa yang akan kulakukan agar aku tidak kehilangan dua peluang itu sekaligus?”Perutku langsung terpilin oleh sejumlah asumsi. Apa yang harus kukatakan pada Logan? Pria itu kemudian meneruskan, “Aku ingin kau menjadi objek pada potret lukisanku, Amanda. Aku suka tema yang murni. Sesuatu yang polos, tetapi juga melambangkan sensualitas.”“Dan apa itu murni? Mengenakan pakaian dengan warna tertentu? Putih?”“Kau harus telanjang.”***POV LoganAmanda akan kembali pukul empat sore. Menjadi potret paling indah yang akan kupajang di dinding kamar, menciptakan sentuhan baru pada setiap sudutnya yang dingin, kuno, dan maskulin, menggantikannya dengan perasaan baru yang penuh afeksi dan feminin. Sesuatu yang memudar sejak Brielle tiada.Aku sengaja melakukannya, mengikat Amanda dengan perjanjian baru, menjerat wanita itu lewat alasan dua puluh ribu dolar yang wajib dilunasi agar aku masih punya kesempatan untuk berinteraksi dengannya. Nekat adalah kata yang pertama muncul dalam benakku dan persetan adalah kata berikutnya yang langsung memompa ide-ide tersebut keluar dari bibirku. Gagasan paling brilian yang pernah ada, bukan?Siapa yang peduli pada dua puluh ribu dolar saat kau punya segalanya? Satu-satunya ambisiku hanya membawa Amanda kembali ke ranjang dan menghabiskan malam-malam lain bersamaku. Aku sendiri terkejut dengan pemikiran obsesif yang belum pernah menguasai naluriku sebelumnya, tetapi aku mendambakan Aman
POV AmandaSetelah aku mendengar dosen pengganti itu memperkenalkan diri dengan nama yang familier, aku seketika mendongakkan kepala. Menemukan sosok yang sama sekali tidak asing di sana. Pria itu menyeringai padaku, memamerkan sederet giginya yang rapi, sorot matanya tertuju ke arah Suzanne Stanwyck—atau aku?Aku lebih suka mempercayai asumsi yang pertama. Logan sedang menatap Suzanne—mahasiswi dari fakultas bisnis dan manajemen—yang duduk sambil menopangkan dua tangannya ke dagu di depanku, bukan aku. Namun, aku langsung menyangsikan pemikiran itu selepas Logan menaikkan satu alisnya sebagai isyarat menyapa.Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berharap aku punya keahlian sihir dan mampu memindahkan diriku ke dimensi lain dalam sekejap. Bersembunyi di gudang penyimpanan alat-alat kebersihan kampus atau menyurukkan kepalaku di seember penuh es batu. Mendinginkan rasa gelisah yang berubah menjadi kobaran panas pada wajahku.“Sebelum kelas tambahan ini dimulai, aku ingin kalian mempe
POV LoganSulit dipercaya. Beberapa jam yang lalu, Amanda masih duduk manis dan bersikap seperti seorang mahasiswi introvert yang lebih suka mencatat kisi-kisi penting tentang mata kuliahnya daripada bergosip ria dengan teman-teman sebayanya. Namun, dia ada di sini sekarang.Amanda duduk gelisah di depanku. Sepasang matanya yang menawan mengerjap-ngerjap, melirik kikuk ke sekitar seperti yang selalu dilakukannya sewaktu menghadapi suasana asing, sesuatu yang baru dan mengancam ruang aman dalam kepalanya. Aku tahu dia terusik pada ide sebagai model untuk potret lukisan, tetapi menurutku itu gagasan paling luar biasa dari semua rencana hebat yang sudah kusimpan rapat.Kini kami tengah berada di loteng, ruang khusus yang sengaja kupakai untuk menumpahkan ide dan menciptakan karya, tidak peduli siang atau malam. Tidak peduli aku cukup tidur atau melewatkan jadwal makan. Pemandangan kota yang menjorok ke arah utara dari jendela geser itu tidak pernah gagal menawarkan kesan rileks yang memb
POV Amanda“Bisakah kau mempertahankan posisimu sampai kira-kira lima menit ke depan, Amanda? Kau terlihat sempurna dalam pose itu,” kata Logan yang langsung mengoyak lamunan panjangku tentang ibu dan Andrew.“A-apa?”Logan masih meneruskan kegiatan, roman wajahnya serius, dan jemarinya mencoretkan sesuatu di atas kanvas. Sesekali menghapus garis yang kurang pas, sesekali melirikku dengan sorot mata yang menyiratkan integritas penuh. Dia mengerjakan dengan tenang, tetapi kedua tangannya tetap bergerak cekatan menciptakan karya.“Tetap di tempat,” bisiknya lagi, kembali memandangiku sambil menggoreskan sesuatu di sana.“Kau... kau menggambarku?”“Kau cantik,” puji pria itu sebelum terkekeh, lantas mengerling padaku lagi dan melanjutkan coretannya.“Itu bukan jawaban yang kubayangkan, tetapi merci atas pujiannya.”Satu alis Logan menukik ke atas. Menelengkan kepala, menatapku sekilas sebelum mengganti pensilnya dengan kuas yang lebih kecil, dan kembali berkutat pada sketsa itu. “Kau men
POV Logan“Apa kau membutuhkan bantuanku? Aku tidak keberatan untuk melakukannya,” sambungku lagi, menunggu Amanda memberi komentar.Amanda membeku selama sesaat, tetapi sepasang mata abu-abunya membelalak menatapku. Apa yang dia pikirkan sekarang? Mengutukku? Aku yakin dia sudah melakukannya berulang kali dalam hati.“Well, kita—”“Aku tahu,” selanya cepat dengan ekspresi yang tidak terbaca, datar, menyembunyikan emosinya.Amanda mengangguk sebelum mengembuskan napas pelan yang menyerupai desau angin tipis di sisa musim semi. Menggigit bibirnya, lantas melucuti satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya. Menampilkan seluruh aset berharganya yang langsung terpampang bebas di hadapanku.Amanda tidak mengenakan bra. Bajunya tergeletak di atas lantai dan celana pendeknya dibiarkan lolos dari pinggulnya. Tinggal satu kain pelindung yang terakhir, benda itu dihiasi pita kecil pada bagian depan, dilapisi ekstra renda yang justru membuatnya terlihat lebih manis bagi sang pemakai.“Apa ak
POV AmandaKami melakukannya dengan spontan karena semuanya terjadi begitu saja, begitu cepat, dan begitu tiba-tiba. Logan adalah magnetnya, sedangkan aku feromagnetiknya. Tubuh kami pas, seolah-olah memang dirancang untuk satu sama lain.Aku tidak lagi peduli pada seberapa tuanya Logan dan seberapa mudanya aku atau apa perbuatan yang sedang kami nikmati benar dan salah. Perbedaan usia bukan hal yang kuprioritaskan sebab ada sesuatu yang menyita seluruh perhatianku pada rasa panas yang begitu mendesak untuk dilenyapkan. Di antara kedua pahaku, di sekujur tubuhku, sekarang.Aku merasa lembap sekaligus putus asa. Mendesahkan nama Logan berulang kali seperti yang sudah-sudah, mendambakan bibirnya turun menelusuri leherku, dan mengharapkan penuntasan yang menjanjikan kelegaan. Merasakan ketegangan seksual kami memuncak, merindu, membutuhkan satu sama lain.Punggungku menggeliat sewaktu gigi Logan menyentuh salah satu puncak payudaraku dan ibu jarinya menggosok pelan dengan komposisi yang
POV LoganAku kemudian meminta Amanda berbaring, memberinya kesempatan untuk mengambil napas panjang, membiarkan dia merasakan jemariku membelai kulit lehernya dengan lembut. Melindungi, membuatnya nyaman, bukan lagi mendominasi dan meninggalkan bekas telapak tangan di bokong kecilnya yang seksi itu.Jari tengahku turun menelusuri payudara Amanda sekarang. Menciptakan gerakan memutar pelan, sengaja memperlambat ritme, menggoda puncak yang seketika menegang kala aku menyentuhnya. Kesiap Amanda spontan mengudara sewaktu ibu jariku juga berperan aktif, memilin, dan menawarkan kenikmatan yang sudah tubuhnya kenali sejak seks pertama kami dimulai.“Kau menyukainya, Amanda?”“Sangat.”“Aku tidak pernah menginginkan wanita seperti aku menginginkanmu,” bisikku di tengah-tengah punggungnya yang membusur.Amanda tidak menanggapi atau dia memang tidak sedang dalam fase menyimak karena sesuatu yang kubuat pada tubuhnya. Aku mengalihkan perhatiannya melalui kecupan ringan di sepanjang perut dan pa
POV AmandaAku memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki sampai rute itu membawaku keluar sepenuhnya dari kawasan Elkins Park. Menunggu taksi datang dan mengangkutku ke klub Woody’s—tempat Carissa Sue, teman sepermainanku bekerja di sana. Di sepanjang perjalanan, aku lagi-lagi memikirkan Logan.Apa sikapku tadi keterlaluan? Aku mengakui aku memang sedikit kasar pada Logan. Namun, menjauh dari pria itu merupakan satu-satunya hal terbaik yang mampu kulakukan sebab kewarasanku mulai kembali selepas kami berpisah satu sama lain.“Berhenti di sini saja,” pintaku pada sopir yang kemudian menepikan mobilnya di sekitar butik sepatu dan aku turun dari taksi dengan berjalan kaki lagi untuk mencapai Woody’s yang hanya tinggal tiga meter jaraknya.Aku melangkah dengan perasaan gugup yang mendadak muncul menyergap punggungku dari balik trotoar berkelok yang membawaku menuju lokasi. Lampu-lampu jalan tampak membungkuk menyeramkan di pertigaan, seolah-olah akan mengait kerah bajuku dan melemparku