POV AmandaAku memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki sampai rute itu membawaku keluar sepenuhnya dari kawasan Elkins Park. Menunggu taksi datang dan mengangkutku ke klub Woody’s—tempat Carissa Sue, teman sepermainanku bekerja di sana. Di sepanjang perjalanan, aku lagi-lagi memikirkan Logan.Apa sikapku tadi keterlaluan? Aku mengakui aku memang sedikit kasar pada Logan. Namun, menjauh dari pria itu merupakan satu-satunya hal terbaik yang mampu kulakukan sebab kewarasanku mulai kembali selepas kami berpisah satu sama lain.“Berhenti di sini saja,” pintaku pada sopir yang kemudian menepikan mobilnya di sekitar butik sepatu dan aku turun dari taksi dengan berjalan kaki lagi untuk mencapai Woody’s yang hanya tinggal tiga meter jaraknya.Aku melangkah dengan perasaan gugup yang mendadak muncul menyergap punggungku dari balik trotoar berkelok yang membawaku menuju lokasi. Lampu-lampu jalan tampak membungkuk menyeramkan di pertigaan, seolah-olah akan mengait kerah bajuku dan melemparku
POV LoganAku melonggarkan kerah kemeja yang terasa mencekikku dengan sisa gairah semalam. Menutup buku absen dari kelas terakhir yang baru saja selesai kuhadiri, menenangkan diri lewat sekaleng kopi instan dingin, dan menajamkan penglihatanku ke segala penjuru kampus. Mencari sosok yang tidak lagi asing dengan rambut merah tembaga panjangnya yang mengilat di bawah terpaan sinar matahari.Setelah menunggu cukup lama, aku kemudian menemukan Amanda sedang berjalan menyusuri koridor seorang diri. Benda yang ditentengnya adalah sebuah buku tebal dengan sampul mengilap. Tas selempangnya yang terbuat dari bahan rajut dicangklongkan ke pundak kirinya.Langkah Amanda terlihat mantap dan menegaskan kesan bahwa dia tengah terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat. Apa yang membuatnya harus pulang lebih cepat? Pekerjaannya? Tugasnya? Bukankah libur musim panas baru saja dimulai dan hari ini hari terakhir mereka kuliah?“Berhati-hatilah dalam melangkah atau kau akan kehilangan sepatu kacamu, Cinde
POV AmandaAku berdiri di depan cermin dan melihat refleksi diriku di sana. Mengamati penampilanku yang sangat berbeda dari biasanya. Pakaian yang kukenakan tampak mengekspos beberapa bagian tubuhku terutama dada, bahannya ketat, melekat di setiap lekuk yang menonjolkan area pribadiku.“Memalukan sekali. Siapa yang mendesain baju bodoh ini?” desisku sambil berputar ke belakang, menengoknya dari sudut pandang yang lain. Setelah puas menghakimi model seragam itu sekali lagi dalam hati, ibu jariku kemudian terangkat meraba permukaan bibirku. Mengingat rasa ciuman yang masih tertinggal dari sisa kenangan tadi siang. Logan menciumku, tetapi aku justru menamparnya.Reaksi refleks yang kuberikan untuk membentengi diri sebelum terperangkap lebih jauh dalam pesona Logan. Itu akan menyulitkanku nantinya. Apa yang kupikirkan? Jatuh cinta pada pria yang lebih pantas untuk menjadi ayahku?“Pakai logikamu, Amanda.” Aku kembali membisikkannya pada diri sendiri.Aku mengembuskan napas kasar, menaikk
POV LoganSuaraku pelan dan merayap seperti pusaran angin tenang di musim semi. Aku membisikkannya dengan nada parau, ditelan oleh irama musik hiphop yang terdengar dari lantai bawah sebelum menyadari kesalahan yang terjadi, meralatnya sebelum Amanda tahu bahwa aku memang menyukainya. Mengapa aku membiarkan cinta merobohkan pengendalian diriku?“Karena apa?” tanya Amanda yang ekspresi wajahnya terlihat bingung, mendekatkan salah satu telinganya ke arahku, dan menunggu kalimat itu kuulangi sekali lagi.“Aku benci omong kosong... aku benci omong kosong... aku—uh, perutku sangat tidak enak, Rebecca. Berapa kadar alkohol yang kuminum? Kau berniat membuatku mabuk, eh? Aku tahu rencana busuk kalian para wanita,” racau seseorang yang datang dari sudut lain, seorang wanita bertubuh kecil dengan warna lipstik yang kelewat menyala merangkul pria teler itu, menyeretnya dengan susah payah selangkah demi selangkah.“Anda memang mabuk dan saya sudah memperingatkan Anda tentang sampanye itu berulang
POV Amanda“Ke mana saja kau, Amanda? Apa kau tidak tahu aku meneleponmu sampai ribuan kali? Sial, kau keterlaluan! Kau membiarkanku berasumsi yang bukan-bukan tentangmu. Kupikir telah terjadi sesuatu yang tidak beres atau ada seseorang yang menyakitimu. Mengapa kau baru mengabariku sekarang?” gertak Carissa sewaktu aku menghubunginya pagi ini, nadanya selantang pengeras suara, meluapkan segenap emosinya padaku.“Aku—well, entahlah, Carissa. Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa pekerjaan itu tidak cocok untukku,” balasku sambil mengembuskan napas letih, mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap sekelompok bunga peony liar yang tumbuh di dekat pohon pinus di seberang jalan.“Tidak cocok katamu? Apa kau bercanda? Kau mengalihkan seluruh panggilan ke kotak pesan selama dua minggu penuh. Dua minggu. Itu lebih dari cukup untuk membuatku gila. Setiap kali aku bertanya pada Andrew yang payah itu tentang keberadaanmu, dia hanya menjawab bahwa kau sedang pergi ke luar kota untuk menemui i
POV LoganAku masih memandangi potret Amanda yang kuabadikan lewat sapuan kuas waktu itu. Duduk di kursi malas sambil memegang segelas martini dingin yang kuracik sendiri, menyesapnya dengan hati-hati, merasakan komposisi seimbang antara gin dan vermouth yang mulai menyebar ke permukaan lidahku. Menghabiskannya dalam satu teguk dengan cepat.“Sempurna untuk mengisi soreku yang berjalan lambat seperti biasanya,” desahku menunggu kepuasan itu datang menyergap dadaku, tetapi anehnya aku justru merasa hampa dan putus asa.Keganjilannya menyisakan sesuatu yang berbeda. Aku termenung menatap kanvas berbingkai yang dipenuhi lekuk feminin di setiap sudutnya itu, menghalau perasaan rindu yang mendadak muncul membayangi hatiku, mengingatkanku pada sosok Amanda. Apa yang dikerjakannya sekarang?Yang jelas, Amanda tidak akan kembali ke klub itu lagi. Tidak untuk dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun, perjuangannya yang mengagumkan seketika membuatku mempertanyakan kehidupan rumit yang selalu
POV AmandaApa yang kupikirkan? Perbedaan usia yang membentang di antara kami begitu nyata. Dia lebih tua dariku satu generasi, pernah punya kehidupan pernikahan yang bahagia bersama Brielle sebelum takdir buruk merampas paksa senyum dari wajahnya, dan membentuk pribadi dingin-sinis-tidak tersentuh itu padanya.“Apa yang harus kulakukan sekarang? Memberitahunya bahwa aku hamil?” bisikku pada diri sendiri, mengalihkan pandangan ke test pack yang kuletakkan di atas meja, mengamati dua garis samar yang langsung muncul di sana sewaktu aku mengeceknya.Bukankah aku baru saja mengucapkan selamat tinggal pada Logan? Bukankah aku membenci setiap sifat menyebalkannya? Bagaimana reaksinya nanti? Memintaku untuk mengaborsinya? Melepaskannya untuk adopsi?Pertanyaan-pertanyaan itu seperti ranjau yang sengaja ditanam dalam kepalaku dan siap meledak kapan saja. Menghancurkanku dengan kenyataan bahwa Logan hanya menyukaiku sebagai partner cinta satu malamnya. Semata-mata didasari oleh ketertarikan p
POV Logan“Jane?”Jane melempar senyum lebarnya padaku. Wanita berambut pirang itu melenggang santai, meletakkan clutch bag-nya di atas meja kerjaku, dan menempati kursi kosong yang ada di depanku. Dia masih sama menawannya seperti yang terakhir kali kuingat.“Aku suka reaksimu. Untung saja kau tidak punya riwayat penyakit jantung,” canda Jane sambil menyugar lembut ujung rambutnya yang ditata setengah ikal.“Siapa yang mengirimmu kemari? Giselle?” Aku memperhatikan model pakaiannya yang begitu mengundang, crop top warna cerah yang disandingkan dengan rok mini dari bahan denim, melekat sempurna di tubuh rampingnya.“Giselle tidak punya waktu untuk mengurusku. Dia sibuk menemani kekasih barunya di Jacobsville.”Aku mengantongi bolpoin yang semula kupegang ke dalam saku kemejaku dan mengumbar kekehan pendek. “Aku tidak tahu seleranya adalah para koboi.”Jane mengerucutkan bibirnya yang dipolesi lipstik itu, memandangi cat kukunya, dan memutar bola mata. “Kegemarannya memang menunggangi