POV Logan“Jane?”Jane melempar senyum lebarnya padaku. Wanita berambut pirang itu melenggang santai, meletakkan clutch bag-nya di atas meja kerjaku, dan menempati kursi kosong yang ada di depanku. Dia masih sama menawannya seperti yang terakhir kali kuingat.“Aku suka reaksimu. Untung saja kau tidak punya riwayat penyakit jantung,” canda Jane sambil menyugar lembut ujung rambutnya yang ditata setengah ikal.“Siapa yang mengirimmu kemari? Giselle?” Aku memperhatikan model pakaiannya yang begitu mengundang, crop top warna cerah yang disandingkan dengan rok mini dari bahan denim, melekat sempurna di tubuh rampingnya.“Giselle tidak punya waktu untuk mengurusku. Dia sibuk menemani kekasih barunya di Jacobsville.”Aku mengantongi bolpoin yang semula kupegang ke dalam saku kemejaku dan mengumbar kekehan pendek. “Aku tidak tahu seleranya adalah para koboi.”Jane mengerucutkan bibirnya yang dipolesi lipstik itu, memandangi cat kukunya, dan memutar bola mata. “Kegemarannya memang menunggangi
POV AmandaAku sudah memikirkannya semalaman penuh. Memberanikan diri untuk muncul di depan Logan sama sekali bukan kompromi yang mudah. Pertama, aku telah mengucapkan selamat tinggal padanya hari itu. Kedua, aku sedang membawa sebuah kehidupan baru dalam tubuhku dan dia merupakan bagian kecil dari kami.Sesuatu itu tumbuh. Dia akan berkembang. Dia akan menyebutku ‘mom’. Dia akan mirip aku atau Logan. Aku akan mengajarinya begitu banyak hal. Dia akan menyerap dan mempelajarinya dengan cepat.Aku mulai membayangkan boks lucu, sepreinya penuh renda, dan dilengkapi alat musik berputar yang tergantung di atasnya. Mengalunkan melodi lembut yang akan membantu si bayi untuk tidur lebih lelap. Manis sekali, pikirku.“Belok ke sini, Nona Fletcher.” Asisten pribadi Logan mengarahkan rute.Aku tersadar dan mengangguk pada pria itu. Mengikuti langkahnya, berbelok ke lorong-lorong yang semuanya dibangun dengan kaca-kaca serba artistik, mengirimkan kesan serba canggih yang futuristis. Kami berdiri
POV LoganJane kemudian tertawa dan menghapus air matanya. Dia tergelak sambil bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Sudah kuduga, pikirku. Dia sedang mengasah kemampuan aktingnya.“Aku yakin kau akan berhasil dalam audisi peran itu,” pujiku tulus pada aksi Jane tadi.“Well, aku memang dituntut untuk memerankan berbagai jenis emosi. Aku tidak ingin gagal seperti yang sudah-sudah. Jadi, aku berlatih lebih keras selama beberapa bulan terakhir dan mempraktikkannya secara spontan.” Jane mengibaskan ujung rambutnya, mengedipkan satu matanya padaku, dan kembali duduk di kursi yang semula dia tempati.“Tidak akan, Jane. Kapan audisinya dimulai?”“Dua hari lagi.”“Kuharap semuanya akan berjalan lancar untukmu.”Jane hanya tersenyum, lantas menyisir rambutnya dengan jemari. Aku memperhatikan wajah tenangnya sebelum meneruskan obrolan. “Industri hiburan keras, kau tahu.”“Itu mimpiku. Aku pernah berjanji pada Brielle untuk mewujudkannya suatu hari nanti. Aku akan punya nama panggung yang diken
POV Amanda“Pernikahan bukan untuk main-main.” Suaraku bergetar seperti lonceng yang dipukul angin.“Kapan aku pernah main-main? Aku tidak mengajakmu untuk berpura-pura menjadi istriku, tetapi mengajakmu menikah.” Nada Logan mantap dan tidak ada keraguan yang kutangkap di matanya.Aku berpaling ke arah lain dan menyahut, “Tidak, Logan.”Pernikahan bukan sesuatu yang kubayangkan akan terjadi padaku dalam waktu dekat. Aku tidak punya masalah dengan komitmen, tetapi menikah dengan Logan juga bukan solusi. Tidak karena kehamilanku.Aku mulai berhenti bermimpi tentang hal-hal indah dalam pernikahan sejak keluargaku tidak lagi utuh. Perspektifku mengenai hubungan berubah. Aku lebih pesimis dan sinis terhadap kehidupan para pasangan sebab aku sadar happy ever after yang banyak orang puja memang hanya eksis dalam cerita-cerita dongeng.“Tidak? Maksudmu, kau tidak akan menikah denganku?” Suara Logan tidak selantang tadi, ada gelenyar kekecewaan yang terselip di dalam sana, dan aku merasa bersa
POV LoganAku mengamati Amanda yang menyeka bibirnya, balas memandangiku dengan sorot mata ingin tahu, dan membuat punggungku mengejang oleh rasa gugup yang belum pernah kualami sebelumnya. Menceritakan tentang Magdalena memang akan kembali menguak luka lama. Namun, aku telah memutuskan untuk berdamai dengan masa lalu.“Namanya Magdalena. Warna rambutnya sedikit lebih terang darimu, tetapi sedikit lebih gelap dari Brielle.” Aku berbisik di depan wajah Amanda sambil menonton setiap reaksinya.“Itu nama yang cantik.”“Sama seperti dirinya.” Aku kembali berbisik pada Amanda.“Apa yang terjadi pada Magdalena?” Nada Amanda terdengar hati-hati.Aku berusaha mengumpulkan rasa tenang yang mendadak hilang dari dadaku dengan mengangkat jari telunjukku dan menelusuri garis rahang Amanda. Mengusapnya lembut, lantas membiarkan seluruh memori tentang malam itu kembali terulang dalam benakku. Menyeretku secara paksa di bawah dosa penghakiman.Rasanya seperti tengah menyetel kaset lama dari balik rak
POV Amanda“Dengan syarat.”“Syarat? Tidak masalah. Kau boleh mengajukan syarat apa saja. Rumah mewah? Kendaraan pribadi? Perhiasan berlian? Aku akan memberikan semuanya untukmu,” sesumbar Logan sambil memamerkan seringainya padaku.“Kau pikir aku hanya akan mengincar keuntungan itu darimu?”Kedua alis Logan terangkat. Bibirnya mengatup membentuk seulas garis kaku sebelum berbisik ke salah satu sisi wajahku. “Jadi, apa yang kau minta pada Daddy?”Degup jantungku mendadak berhenti untuk sedetik yang terasa mendebarkan. Aku mengatur ritme napasku yang kacau dan menyahut dengan terbata-bata, “A-aku hanya ingin kita menandatangani sejumlah dokumen yang dibutuhkan untuk legalitas pernikahan. Tidak boleh ada acara atau mengundang kerabat. Tidak boleh ada yang tahu bahwa kita akan menikah.”“Apa kau lebih suka bermain kucing-kucingan? Baiklah. Kali ini, kita akan mengikuti aturanmu.”“Satu lagi.”“Aku mendengarkan.”“Andrew juga tidak boleh tahu tentang pernikahan kita.”Kening Logan spontan
POV LoganPersis seperti yang kuduga minggu lalu, Amanda datang dengan pakaian kasual dan sepatu kets favoritnya. Tidak ada pertukaran cincin atau sesuatu yang menggambarkan nuansa perkawinan dalam hubungan kami, kecuali perubahan status yang hanya kami berdua yang tahu. Rasanya masih seperti mimpi yang mendadak berakhir kala fajar menjelang.Aku dan Amanda baru saja keluar dari gedung catatan sipil seusai mencatatkan pernikahan kami. Prosesnya yang efisien sama sekali tidak terasa menyulitkan bagiku. Dengan mengendarai kendaraan pribadi, kami kemudian pulang ke Elkins Park sebagai pasangan pengantin baru. Di sepanjang perjalanan, Amanda lebih banyak diam dan memandangi arus lalu lintas yang padat merayap di luar jendela. Aku melirik sesekali ke samping kursi penumpang, memastikan prosesi yang kami lakukan tadi memang nyata, memastikan Amanda yang sedang duduk tenang di sisiku tidak akan lenyap seperti kabut sihir dalam film fantasi. Haruskah aku tergelak atas pemikiran konyolku send
POV AmandaTaksi membawaku melesat seperti Cadillac yang melintasi pusat kota Philadelphia dalam kecepatan sedang. Di sepanjang perjalanan, aku hanya memandang murung ke luar jendela dan meremas ujung kemejaku kuat-kuat untuk mencegah air mata turun membanjiri wajahku. Mengapa meninggalkan Logan seperti tadi rasanya menyakitkan?Menghela napas tidak pernah sesesak ini sebelumnya, seolah-olah udara berubah seperti polusi yang mencekik leherku. Bukannya melegakan dan membuatku menghirup kehidupan. Namun, merenggut seluruh energi yang kupunya.“Belok kiri. Rumah pertama tanpa pagar,” ucapku dengan nada serak pada sopir.“Lewat sini?”“Benar,” sahutku lagi, mengikuti arah jari pria itu dan bersiap untuk turun.Kendaraan kami kemudian berhenti di depan rumah. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal di dalam, aku langsung keluar. Dengan setengah berlari, aku menuju pekarangan dan berniat untuk segera naik ke lantai atas menenangkan diri di kamar.Semuanya masih baik-baik saja sa