POV AmandaKami melakukannya dengan spontan karena semuanya terjadi begitu saja, begitu cepat, dan begitu tiba-tiba. Logan adalah magnetnya, sedangkan aku feromagnetiknya. Tubuh kami pas, seolah-olah memang dirancang untuk satu sama lain.Aku tidak lagi peduli pada seberapa tuanya Logan dan seberapa mudanya aku atau apa perbuatan yang sedang kami nikmati benar dan salah. Perbedaan usia bukan hal yang kuprioritaskan sebab ada sesuatu yang menyita seluruh perhatianku pada rasa panas yang begitu mendesak untuk dilenyapkan. Di antara kedua pahaku, di sekujur tubuhku, sekarang.Aku merasa lembap sekaligus putus asa. Mendesahkan nama Logan berulang kali seperti yang sudah-sudah, mendambakan bibirnya turun menelusuri leherku, dan mengharapkan penuntasan yang menjanjikan kelegaan. Merasakan ketegangan seksual kami memuncak, merindu, membutuhkan satu sama lain.Punggungku menggeliat sewaktu gigi Logan menyentuh salah satu puncak payudaraku dan ibu jarinya menggosok pelan dengan komposisi yang
POV LoganAku kemudian meminta Amanda berbaring, memberinya kesempatan untuk mengambil napas panjang, membiarkan dia merasakan jemariku membelai kulit lehernya dengan lembut. Melindungi, membuatnya nyaman, bukan lagi mendominasi dan meninggalkan bekas telapak tangan di bokong kecilnya yang seksi itu.Jari tengahku turun menelusuri payudara Amanda sekarang. Menciptakan gerakan memutar pelan, sengaja memperlambat ritme, menggoda puncak yang seketika menegang kala aku menyentuhnya. Kesiap Amanda spontan mengudara sewaktu ibu jariku juga berperan aktif, memilin, dan menawarkan kenikmatan yang sudah tubuhnya kenali sejak seks pertama kami dimulai.“Kau menyukainya, Amanda?”“Sangat.”“Aku tidak pernah menginginkan wanita seperti aku menginginkanmu,” bisikku di tengah-tengah punggungnya yang membusur.Amanda tidak menanggapi atau dia memang tidak sedang dalam fase menyimak karena sesuatu yang kubuat pada tubuhnya. Aku mengalihkan perhatiannya melalui kecupan ringan di sepanjang perut dan pa
POV AmandaAku memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki sampai rute itu membawaku keluar sepenuhnya dari kawasan Elkins Park. Menunggu taksi datang dan mengangkutku ke klub Woody’s—tempat Carissa Sue, teman sepermainanku bekerja di sana. Di sepanjang perjalanan, aku lagi-lagi memikirkan Logan.Apa sikapku tadi keterlaluan? Aku mengakui aku memang sedikit kasar pada Logan. Namun, menjauh dari pria itu merupakan satu-satunya hal terbaik yang mampu kulakukan sebab kewarasanku mulai kembali selepas kami berpisah satu sama lain.“Berhenti di sini saja,” pintaku pada sopir yang kemudian menepikan mobilnya di sekitar butik sepatu dan aku turun dari taksi dengan berjalan kaki lagi untuk mencapai Woody’s yang hanya tinggal tiga meter jaraknya.Aku melangkah dengan perasaan gugup yang mendadak muncul menyergap punggungku dari balik trotoar berkelok yang membawaku menuju lokasi. Lampu-lampu jalan tampak membungkuk menyeramkan di pertigaan, seolah-olah akan mengait kerah bajuku dan melemparku
POV LoganAku melonggarkan kerah kemeja yang terasa mencekikku dengan sisa gairah semalam. Menutup buku absen dari kelas terakhir yang baru saja selesai kuhadiri, menenangkan diri lewat sekaleng kopi instan dingin, dan menajamkan penglihatanku ke segala penjuru kampus. Mencari sosok yang tidak lagi asing dengan rambut merah tembaga panjangnya yang mengilat di bawah terpaan sinar matahari.Setelah menunggu cukup lama, aku kemudian menemukan Amanda sedang berjalan menyusuri koridor seorang diri. Benda yang ditentengnya adalah sebuah buku tebal dengan sampul mengilap. Tas selempangnya yang terbuat dari bahan rajut dicangklongkan ke pundak kirinya.Langkah Amanda terlihat mantap dan menegaskan kesan bahwa dia tengah terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat. Apa yang membuatnya harus pulang lebih cepat? Pekerjaannya? Tugasnya? Bukankah libur musim panas baru saja dimulai dan hari ini hari terakhir mereka kuliah?“Berhati-hatilah dalam melangkah atau kau akan kehilangan sepatu kacamu, Cinde
POV AmandaAku berdiri di depan cermin dan melihat refleksi diriku di sana. Mengamati penampilanku yang sangat berbeda dari biasanya. Pakaian yang kukenakan tampak mengekspos beberapa bagian tubuhku terutama dada, bahannya ketat, melekat di setiap lekuk yang menonjolkan area pribadiku.“Memalukan sekali. Siapa yang mendesain baju bodoh ini?” desisku sambil berputar ke belakang, menengoknya dari sudut pandang yang lain. Setelah puas menghakimi model seragam itu sekali lagi dalam hati, ibu jariku kemudian terangkat meraba permukaan bibirku. Mengingat rasa ciuman yang masih tertinggal dari sisa kenangan tadi siang. Logan menciumku, tetapi aku justru menamparnya.Reaksi refleks yang kuberikan untuk membentengi diri sebelum terperangkap lebih jauh dalam pesona Logan. Itu akan menyulitkanku nantinya. Apa yang kupikirkan? Jatuh cinta pada pria yang lebih pantas untuk menjadi ayahku?“Pakai logikamu, Amanda.” Aku kembali membisikkannya pada diri sendiri.Aku mengembuskan napas kasar, menaikk
POV LoganSuaraku pelan dan merayap seperti pusaran angin tenang di musim semi. Aku membisikkannya dengan nada parau, ditelan oleh irama musik hiphop yang terdengar dari lantai bawah sebelum menyadari kesalahan yang terjadi, meralatnya sebelum Amanda tahu bahwa aku memang menyukainya. Mengapa aku membiarkan cinta merobohkan pengendalian diriku?“Karena apa?” tanya Amanda yang ekspresi wajahnya terlihat bingung, mendekatkan salah satu telinganya ke arahku, dan menunggu kalimat itu kuulangi sekali lagi.“Aku benci omong kosong... aku benci omong kosong... aku—uh, perutku sangat tidak enak, Rebecca. Berapa kadar alkohol yang kuminum? Kau berniat membuatku mabuk, eh? Aku tahu rencana busuk kalian para wanita,” racau seseorang yang datang dari sudut lain, seorang wanita bertubuh kecil dengan warna lipstik yang kelewat menyala merangkul pria teler itu, menyeretnya dengan susah payah selangkah demi selangkah.“Anda memang mabuk dan saya sudah memperingatkan Anda tentang sampanye itu berulang
POV Amanda“Ke mana saja kau, Amanda? Apa kau tidak tahu aku meneleponmu sampai ribuan kali? Sial, kau keterlaluan! Kau membiarkanku berasumsi yang bukan-bukan tentangmu. Kupikir telah terjadi sesuatu yang tidak beres atau ada seseorang yang menyakitimu. Mengapa kau baru mengabariku sekarang?” gertak Carissa sewaktu aku menghubunginya pagi ini, nadanya selantang pengeras suara, meluapkan segenap emosinya padaku.“Aku—well, entahlah, Carissa. Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa pekerjaan itu tidak cocok untukku,” balasku sambil mengembuskan napas letih, mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap sekelompok bunga peony liar yang tumbuh di dekat pohon pinus di seberang jalan.“Tidak cocok katamu? Apa kau bercanda? Kau mengalihkan seluruh panggilan ke kotak pesan selama dua minggu penuh. Dua minggu. Itu lebih dari cukup untuk membuatku gila. Setiap kali aku bertanya pada Andrew yang payah itu tentang keberadaanmu, dia hanya menjawab bahwa kau sedang pergi ke luar kota untuk menemui i
POV LoganAku masih memandangi potret Amanda yang kuabadikan lewat sapuan kuas waktu itu. Duduk di kursi malas sambil memegang segelas martini dingin yang kuracik sendiri, menyesapnya dengan hati-hati, merasakan komposisi seimbang antara gin dan vermouth yang mulai menyebar ke permukaan lidahku. Menghabiskannya dalam satu teguk dengan cepat.“Sempurna untuk mengisi soreku yang berjalan lambat seperti biasanya,” desahku menunggu kepuasan itu datang menyergap dadaku, tetapi anehnya aku justru merasa hampa dan putus asa.Keganjilannya menyisakan sesuatu yang berbeda. Aku termenung menatap kanvas berbingkai yang dipenuhi lekuk feminin di setiap sudutnya itu, menghalau perasaan rindu yang mendadak muncul membayangi hatiku, mengingatkanku pada sosok Amanda. Apa yang dikerjakannya sekarang?Yang jelas, Amanda tidak akan kembali ke klub itu lagi. Tidak untuk dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun, perjuangannya yang mengagumkan seketika membuatku mempertanyakan kehidupan rumit yang selalu
POV Logan"Siapa yang menelepon di pukul enam pagi?" Aku menggeram dari balik bantal yang menutupi kepala, sepasang mataku lalu mengintip dari samping, mengawasi gerak-gerik Amanda yang sikapnya mendadak berubah ceria."Dari Carissa!" seru Amanda sambil melompat seperti seorang bocah yang baru saja menerima banyak kado di malam Natal.Aku menyingkirkan dua buah bantal yang sengaja kugunakan untuk melindungi wajahku dari cahaya, lantas mendongak menatap Amanda yang senyumnya melebar sekarang. Apa yang membuatnya begitu senang? "Carissa? Temanmu yang bekerja di klub?"Sosok tinggi semampai dengan rambut panjang dan suka mengoceh itu kemudian muncul dalam kepalaku. Aku mengenalnya sebagai kawan akrab Amanda. Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya."Dia tidak akan bekerja di klub lagi, Logan." Suara Amanda melengking dan membuatku berjengit karenanya."Apa maksudmu? Apa kau akan mengajaknya bekerja di kedaimu?" Satu alisku terangkat menanggapi."Tidak. Dia tidak akan membutuhkannya.
POV Amanda"Aku tidak percaya kita telah melakukannya," bisikku pada Logan, merangkul erat salah satu sisi tubuhnya selepas selesai menutup kedai kopi milik kami, bisnis yang sudah berjalan sukses selama hampir tiga tahun terakhir."Kau yang melakukannya, Amanda. Semuanya berkat kerja kerasmu." Logan meremas bahu kiriku sambil mengangguk."Karena ada kau di dalamnya."Kami saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya aku merebahkan kepalaku ke dada Logan. Rasanya masih seperti mimpi. Melihat kehidupanku, kehidupan kami berdua, berjalan lancar persis seperti yang kuharapkan."Carlos dan Breeze baru saja pulang. Menurutmu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"Carlos adalah pegawai laki-laki yang bekerja pada kami. Masih muda dan baru lulus SMU saat aku merekrutnya untuk bergabung sebagai barista. Breeze merupakan pegawai perempuan yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Carlos. Tangguh, sedikit tomboi, dengan keeksentrikan yang kadang-kadang membuatku terkejut dan mulai melih
POV LoganPersiapanku sempurna. Segala sesuatunya terlihat luar biasa dan aku yakin Amanda akan menyukainya. Rasa gugup yang melanda mendadak membuat tenggorokanku gatal, aku lalu berdeham-deham mengalihkan perhatianku pada sebuah kotak, dari bahan beledu lembut yang kugenggam di balik tangan kiriku."Kau cantik sekali," bisikku kemudian menggoda Amanda yang duduk dengan mata tertutup sehelai kain, yang sengaja kuminta pada seorang pelayan, setelah mengantar sampanye yang tadi kupesan."Kau sudah mengatakannya di dalam mobil." Amanda terkekeh menggenggam jemariku yang menyentuh kedua sisi wajahnya."Kuharap kau tidak akan bosan mendengarnya sebab aku suka memujimu dan yeah, Amanda, kau memang cantik. Sangat." Aku kembali berbisik, mengusap bibir bawahnya yang dilapisi lipstik warna lembut dengan ibu jariku, menikmati setiap reaksi yang dia tunjukkan."Kau coba membuatku tersipu?" kata Amanda yang lagi-lagi memamerkan senyumnya."Dan sepertinya berhasil? Sekarang, kau harus berbalik ke
POV Amanda"Sudah bangun, Tuan Putri? Bagaimana perasaanmu?" tanya Logan sambil mengecup ringan puncak kepalaku dan satu tangannya kemudian beralih melingkari perutku.Aku bergumam dari sela-sela kuapku. Mendengar suara derit pegas ranjang yang berderak oleh bobot tubuh Logan yang berguling ke samping. Aku lalu menoleh, melihat otot-ototnya yang liat menerbitkan gelenyar aneh di perutku, dan mengawasi gerak-gerik Logan lebih lama dari biasanya."Menikmati yang kau lihat, little one?" goda Logan yang mengerling sekilas, lantas menyambar sehelai celana pendek dari dalam lemari di sudut kamar."Yeah, pemandangan yang bagus.""Mau mandi bersama? Setelah itu kita akan pergi ke suatu tempat."Aku menggigit bibir. Membayangkan tempat seperti apa yang Logan maksud. "Suatu tempat?""Kau akan menyukainya." Logan kembali mengambil dua helai handuk baru dan memamerkan senyumnya."Yang mana?" tanyaku menatap Logan tanpa berkedip."Dua-duanya?" Satu alis Logan menukik ke atas."Penawaran yang perta
POV Logan Lidahku mencari titik yang tepat untuk menaklukkan Amanda dan aku segera menemukannya. Kedua paha Amanda menegang selama beberapa waktu sebelum tubuhnya mengejang penuh penerimaan. Punggung Amanda sontak membusur kala gelombang itu datang menyapunya. Aku mendengar Amanda mengudarakan erangan parau yang panjang dan memacu semangatku untuk membuatnya meneriakkan namaku di sela-sela pelepasan. Menyaksikan Amanda menggelinjang hebat mendadak membuat dadaku sesak oleh rasa bangga yang tidak terbantahkan. Bersumpah akan melimpahinya kenikmatan sebanyak mungkin. “Lo-Logan... Logan...” geram Amanda terbata-bata, jemarinya mencengkeram erat rambutku, memegang sisa kendali dirinya yang begitu rapuh. “Panggil aku dengan benar,” desisku sambil menonton Amanda menggeliat melalui kakinya. Kepala Amanda kembali mendongak dan bibirnya yang gemetar meracau tentang sesuatu yang kotor. Dia mengerang lebih panjang, lebih parau, lebih erotis. Membuatku mengecap lebih banyak rasa dirinya di
POV Amanda“Kedua, aku ingin mendengar kau menyebut namaku saat kau klimaks di bibirku.” Logan membisikkannya dengan suara berat, menyentuh lembut garis rahangku menggunakan bibirnya, mengirimkan gelenyar aneh yang kukenali itu ke perutku.“Dan ketiga, aku akan membuatmu merasakan diriku seutuhnya.” Logan kembali berbisik dengan nada yang lebih kasar, seolah-olah pengendalian diri yang selalu dibanggakan olehnya habis meleleh di bawah kakiku.Darahku berdesir hebat sewaktu Logan mendorongku ke salah satu pilar. Tangannya langsung bergerak membebaskan kancing celana pendekku dan membuat kain dari bahan denim itu seketika meluncur melewati kedua kakiku. Aku menggeram sewaktu jemari Logan menyusup ke balik pelindung terakhir yang masih kukenakan. “Sial, Amanda. Kau basah sekali. Kau akan membuatku mati karena terangsang,” umpatnya kemudian. Aku melihat bibir Logan gemetar dan mendengus sebelum satu jarinya berpindah ke celah yang lebih pribadi. Kesiapku sontak mengudara. Punggungku me
POV LoganSudah tiga bulan berlalu sejak insiden keguguran Amanda di rumah sakit dan kehidupan kami berjalan seperti biasa. Rasanya seperti menemukan mimpi baru dari hari-hari buruk yang telah lama kami tinggalkan jauh di belakang. Kehadiran Amanda membawa angin segar di pergantian langit sore, memberi sentuhan yang menyenangkan, memercikkan semburat warna yang pernah hilang dalam hidupku.“Teh?”“Tanpa gula.” Aku mengangguk sekilas sebelum meneruskan pekerjaan, menyapukan kuas ke permukaan kanvas, dan menggoreskan pola dengan hati-hati.Detik berikutnya, aku mendengar suara teko dari bahan keramik yang terangkat dan denting benda yang diisi. Disusul derap langkah yang muncul dari arah belakang. Amanda kemudian menyodorkan secangkir teh yang baru saja dituangnya padaku. “Terima kasih, Sayang.” Aku kembali mengangguk dan mencicipinya sedikit.“Berapa lama lagi kau akan duduk di sini? Menatap papan lukis sepanjang hari dan mengabaikanku?” Nada Amanda sarat dengan kecemburuan, satu alis
POV AmandaKepalaku pengar. Rasanya seperti baru saja menenggak tiga botol sampanye demi mengungguli sebuah pertandingan yang tidak pernah ditakdirkan untuk kumenangkan. Aroma pertama yang kucium adalah bau steril khas rumah sakit, bau yang tidak kusukai, bau yang membuatku takut hanya dengan membayangkannya.Lemah tidak pernah jadi kata favoritku. Aku sudah bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang medis sejak Logan membawaku ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak berdaya dan bukannya keras kepala seperti biasa.Saat aku membuka mata, pemandangan yang kutangkap hanya warna putih di banyak tempat. Terlalu asing untuk sebuah kamar, terlalu kosong dengan perabot yang minim, dan terlalu kaku dengan ranjang crank yang sama sekali tidak empuk. Punggungku mendadak mati rasa untuk sedetik yang terasa seperti selamanya sewaktu menyadari bahwa aku masih ada di sini. Rumah sakit, erangku dalam hati. Aku menggali sisa ingatan yang juga memudar seiring dengan kesadaran
POV Logan“Apa karena dia? Pria yang lebih pantas jadi pamanmu itu? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?” cemooh Andrew dengan suara lantang, sorot matanya mengarah padaku, menatap penuh kebencian.Suasana mendadak diselimuti oleh ketegangan yang sama sekali tidak membuatku merasa gentar. Aku menyudahi percakapan yang baru saja terpotong bersama sang perawat dan berpaling menghadapi Andrew. Pandangan kami saling bertemu, mengaliri udara dengan kecemasan, membuat kesiap Amanda terdengar dari bibirnya.“Andrew? Da-dari mana kau tahu aku di sini? Maksudku, kau tadi mabuk—” “Dan terlihat tidak peduli?” selanya dengan nada sinis.Amanda kemudian menyandarkan punggungnya. Wajahnya pias, sepucat warna bola salju yang diguncang oleh tangan-tangan bocah nakal, dan bibirnya yang tipis itu setengah terbuka. Bersiap menyemburkan sejumlah kalimat untuk mematahkan spekulasi Andrew yang dianggapnya mengada-ada.Sayangnya, Andrew sama sekali tidak mengada-ada. Dia memang tahu dan aku lah orang yang mem